
Deskripsi
Istana Keraton Argapinus. Namanya sudah terlebih dahulu ada sebelum nama kerajaannya diresmikan. Bukan asal pemberian nama istana keraton oleh sang raja karena memang begitu adanya. Istana keraton itu berada di lereng Gunung Mahesa. Berdiri di tengah-tengah hamparan pepohonan pinus yang menjulang tinggi.
Di bawah teduhnya Rendra dan Dindra masih berjalan menyusuri jalan. Semakin mereka berdua menjauhi gedung perpustakaan dan mendekati wilayah tengah istana keraton semakin ramai suasana terdengar....
Purana Geni
14
6
143
Selesai
Setiap yang bernama adalah yang berwujud. Setiap nama pula adalah hidup. Selama yang menyandang masih berpijak, selama itu pula namanya berkumandang. Hingga nanti mati. Namun, para bijak berkata, apalah arti sebuah nama?Biarlah sebagian orang menganggap lalu, sembari mengangguk tidak peduli. Namun tidak bagi Rendra dan Dindra. Nama bagi mereka adalah nyawa. Tanpanya, sukar untuk melanjutkan hidup. Berbekal tekad mencari asal-usul atas nama yang mereka sandang, keduanya nekat pergi meninggalkan rumah. Pergi meninggalkan negeri khayalan, pergi dari segala surga yang mereka miliki. Bersama Kirana, sang guru yang juga abdi setia, berpetualang menjelajahi jagad dunia wayang demi setitik petunjuk akan arti nama. Namun, tanpa mereka sadari jika bukan hanya sekedar arti nama yang menunggu di ujung jalan. Ada sebuah rahasia besar yang belum saatnya mereka ungkap. Sebuah kenyataan yang akan mengubah garis sejarah Marcapada.Karena, para bijak juga berkata, rasa ingin tahu dapat membunuhmu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya
4
0
0
Pada ruang jagad semesta yang tidak berujung matahari dan rembulan sudah ganti giliran sebanyak dua putaran. Setiap saat dan setiap waktu nyalanya tetap sama. Begitu pula hangatnya. Pertanda jika kehidupan masih berkenan singgah di jagad dunia wayang. Pada kehidupan terdapat senang dan susah. Namun sepertinya hanya susah yang tertinggal di dalam Istana Keraton Argapinus. Meski sudah dapat tersenyum dan bergurau lagi namun Prabu Mahawira terlihat kelelahan. Jamuan makan pagi itu meski lengkap dengan penghuni mejanya namun tidak benar-benar terasa lepas. Hanya Dindra saja yang masih dapat menghangatkan meja dengan gurauannya yang jenaka. Sementara di sisi yang lain Rendra masih dengan pergulatan dalam pikirannya.Tatapan tajam diam-diam menjurus Prabu Mahawira yang sedang meladeni canda Dindra. Di sisinya yang lain Maya terlihat sedang tertawa-tawa sendiri.“Rendra?”Entah apa yang ada di dalam benak Rendra karena tidak hanya hari ini saja tetapi semenjak kemarin ia memperhatikan gerak-gerik ayahandanya. Seakan-akan ada yang ingin disampaikan namun tidak akan pernah dapat terucapkan.“Arya Rendra Widurachakra? Apa kamu sedang melamun?”Suara wanita yang semenjak tadi memanggil namanya sekarang terdengar naik. Rendra terkejut dan buru-buru menoleh ke sumber suara. Rani Banurhasmi memperhatikan tingkah putranya terheran-heran.“Ya...ya? Eh, maaf. Daulat ananda, apakah Sibu memanggil?” ujar Rendra terbata-bata.“Kamu sedang benar-benar melamun, ya? Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?” tanya Rani Banurhasmi.“Ananda...tidak, tidak ada, Bu.”“Yang benar? Apa kamu kurang sehat?” lanjut Rani Banurhasmi sambil menempelkan tangannya pada kening Rendra.“Tidak, Bu. Ananda sehat.” jawab Rendra sambil tersenyum.“Ibu tahu jika engkau membaca sampai larut malam dua hari kebelakang ini. Ibu tidak melarang tetapi kurangilah. Tidak baik berjaga sampai terlalu larut.”“Daulat, Bu. Sesungguhnya memang ada beberapa hal yang sedang ananda kaji. Tetapi ananda akan manut. Mulai sekarang ananda akan tidak akan berjaga sampai terlalu larut lagi.”“Percaya Bu, Rendra pasti bergadang lagi.” timpal Dindra. “Ibu tentu tahu seperti apa kalau Rendra sudah belajar?”“Ibu juga ingin bicara denganmu, Dindra. Kamu tahu tapi malah diam saja. Ingatkan jika Rendra lupa waktu.”“Loh, kenapa aku juga malah kena omel?” gerutu Dindra. Maya yang berada di seberangnya tertawa geli.Tiba-tiba Dindra merasa ada sebuah tenaga yang menyambar pergelangan tangannya. Tubuhnya tertarik ke sisi. Rendra sudah berada dekat, mulutnya kurang dari sejengkal telinga Dindra. Ia berbisik,“Cobalah kamu raba suasana hati Kanjeng Romo sekarang.”“Apa yang sedang kamu bicarakan?” tanya Dindra.“Sudah, lakukan saja. Saya mohon?”Dindra melirik sebentar namun tatapan mata Rendra berkata jika ia sungguh-sungguh. Maka mau tidak mau Dindra lakukan juga meski ia tidak mengerti apa yang hendak saudara kembarnya itu cari. Dua bola mata hijau beralih menuju Prabu Mahawira. Yang sedang melihat terdiam sejenak dalam sikapnya yang masih ditarik oleh Rendra. Tidak lama kemudian Dindra kembali lagi pada saudara kembarnya.“Masih gusar. Seperti kemarin saja. Sepertinya masih karena perkara perkakas-perkakas itu. Memangnya ada apa?” bisik Dindra.“Begitukah? Baiklah, terima kasih, ya.” Rendra melepaskan tarikan tangannya kemudian kembali pada hidangannya. “Kanjeng Romo, dapatkah ananda bertanya jikalau boleh?”“Ya? Ada apa, Nak?” sahut Prabu Mahawira.“Perkakas-perkakas itu, yang tempo hari menjadi perbincangan, seperti apa bentuknya? Apakah benar-benar bagus seperti ceritanya?”“Ah, rupanya engkau ingin tahu juga, Nak?”“Tentu saja. Jika benar bagus tentu ananda ingin memilikinya juga.” jawab Rendra.“Perkakas-perkakas itu benar-benar bagus. Sungguh bagus!” ujar Prabu Mahawira bersemangat. Rautnya cerah mengingat-ingat kunjungannya di hari kemarin. “Bentuknya rapih. Begitu juga potongannya! Lipatannya teratur. Oh, corak yang dihasilkannya betul-betul istimewa! Semua perkakas tidak terkecuali! Pisau, golok, arit sampai cangkul! Semua bagus! Berkunjunglah kesana, Nak. Tanyakan berapa ongkos membuat keris jika engkau ingin. Sekadar engkau punya untuk berjaga-jaga.”“Setelah mendengar cerita Kanjeng Romo, ananda menjadi semakin ingin tahu. Benar-benar tergoda. Tidak hanya pada perkakas yang dihasilkan namun juga bagaimana para cantrik dan pandai besi bekerja pula. Jika memungkinkan dan terdapat waktu senggang akan ananda sempatkan mampir kesana.” kata-kata Rendra bukan bohong. Prabu Mahawira benar-benar berkata jujur. Sangat tidak mungkin seseorang berdusta dengan raut cerah seperti itu. Kata-kata sang raja tiba dari dalam hati. Sebuah pengakuan rasa kagum yang benar-benar tulus.Namun nyatanya Rendra tidak benar-benar melakukan apa yang ia katakan pada perjamuan santap pagi. Seusai menyelesaikan pembelajaran dari Kirana di gedung perpustakaan ia segera bertolak kembali menuju Kedaton lalu ke dalam ruangannya. Pintu menuju halaman segera ia buka lebar. Alas duduk yang terlipat ia bentangkan lagi. Tidak lama berselang di atas gelaran karpet itu sudah penuh dengan tumpukan buku, lembaran kertas dan alat-alat tulis. Rendra segera berkutat lagi dengan bacaannya.Sesuai dengan yang sang ratu khawatirkan, malam itu Rendra berjaga lagi. Pemandangan hijau dari halaman sudah tidak terlihat lagi. Kawannya sekarang adalah nyala lampu obor yang menjadi satu-satunya penerang. Tidak cukup bulan setengah yang hampir berada di puncak.Sedang kalap begitu tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Suara langkah kaki menyusul kemudian. Rendra tidak pusing-pusing untuk melihat siapa yang datang. Pun, bahkan Rendra tidak mengalihkan pandangannya dari halaman buku di atas pangkuan.“Saya tidak punya waktu untuk meladeni ceritamu hari ini, Dindra. Maaf, besok saja, ya?” kata Rendra.“Ah, bagaimana dengan nasibku? Apa kamu tidak mau meluangkan waktu untuk kakakmu juga?”Rendra menoleh kemudian mendongak. Bukan Dindra namun Maya. Sang kakak tiba membawa nampan. Diatasnya terdapat dua buah gelas dan satu buah poci kecil. Asap putih tipis mengepul tanda baru saja selesai dimasak.“Kangmbok Maya? Aduh!” Rendra segera menutup bukunya lalu buru-buru merubah posisi duduknya menghadap sang kakak yang sekarang menaruh nampan di sela-sela tumpukan buku. “maaf saya tidak melihat terlebih dahulu. Hehehe.”“Apa Kanjeng Sibu pernah bercerita kalau dahulu Kanjeng Romo juga seorang kutu buku, persis kamu sekarang?” tanya Maya sambil menuang isi teh pada gelas kemudian memberikannya pada Rendra.“Ya. Saya masih ingat. Terima kasih banyak, Kangmbok. Maaf merepotkan.”“Jaga kesehatanmu, Dimas. Katamu tidak ingin melepas kepergian kami tanpa gundah? Kami justru akan gundah kalau kamu sampai jatuh sakit karena terus menerus berjaga sampai larut.” hijau tatapannya membelai Rendra dengan penuh sayang.“Daulat, Kangmbok. Saya akan segera menyelesaikan bacaan malam ini lalu segera beristirahat.”Seakan memang Mahesa berniat mengganggu Rendra dari bacaannya, dari arah taman terdengar langkah kaki lagi. Namun kali ini Rendra dan Maya tidak perlu pusing-pusing menerka siapa yang datang. Kekeh dan sapa riangnya sangat mudah untuk dikenali.“Kamu juga belum pergi beristirahat, Dimas?”“Kangmbok sendiri juga kenapa berada di sini? Hehehe.” balas Dindra sekenanya. Tidak pakai permisi, Dindra ikut duduk di atas gelaran karpet. “Tetiba saja aku teringat Sibu yang memintaku untuk memeriksa apa Rendra berjaga lagi. Maka aku segera kesini. Tak tahunya ada Kangmbok Maya juga. Hehehe. Lain kali aku juga ingin dibawakan teh, dong!”“Bukan teh yang akan aku bawakan untukmu tetapi param! Bukan kepalamu yang bonyok tetapi ototmu!” gurau Maya sambil memberikan gelas yang lain lagi pada Dindra.“Hehehe.” kekeh Dindra sambil menerima segelas teh. “Kamu masih belum selesai, Rendra? Apa sudah ketemu cara memecahkan perkara perkakas itu?”“Bukan hanya perkakas tetapi cara baru agar perdagangan negeri tidak terganggu.”“Heran. Bisa-bisanya kamu begitu tertarik pada persoalan seperti itu.”“Suatu hari nanti kamu harus turut peduli, Dindra. Ini perkara kerajaan dan para penduduk. Bagaimana jika suatu saat nanti Romo berhalangan hadir dan tanggung jawab itu berpindah pada kita? Pada saat itu kita harus siap. Perkara ini adalah kesempatan baik untuk belajar.” terang Rendra.“Ckckck! Kata-katamu bagus sekali, Dimas. Sepertinya kamu sudah siap untuk mewarisi tahta kalau Romo lengser nanti.” puji Maya.“Heh.” kekeh Rendra. “Bukan untuk tahta maka saya demikian tetapi demi para penduduk. Lagi, saya merasa sangat tidak pantas jika disamakan dengan Kanjeng Romo. Masih banyak yang belum saya ketahui. Berikan saja pada Dindra. Dindra yang paling dekat dengan para penduduk. Dan sepertinya para penduduk lebih terbuka padanya.”“Tidak, tidak,” sanggah Dindra cepat kemudian. “aku tidak sanggup berpikir yang berat-berat seperti kamu. Berikan saja pada Kakang Malhari atau angkat Paman Patih Rajawa saja.”“Eh, mana dapat seperti itu?” celetuk Maya.“Boleh.” sahut Rendra dan Dindra berbarengan. “Romo pernah bercerita jika siapa saja yang cakap dan mampu menjaga kesejahteraan para penduduk maka ia pantas duduk di atas singgasana.”“Benarkah? Sepertinya aku lupa jika Romo pernah bercerita seperti itu. Hehehe.”“Padahal masih muda tetapi ingatan Kangmbok Maya sudah seperti nenek-nenek. Pikun. Hehehe.”“Sembarangan.” sahut Maya sebal. Satu tangannya segera mencari pipi Dindra untuk dicubit namun yang dituju segera menghindar. “Memangnya aku pelupa? Hanya sekali ini saja, bukan?”“Lihat, Kangmbok Maya bahkan lupa jika pernah lupa. Hehehe. Bukankah dua hari lalu juga Kangmbok Maya lupa jika pernah mendengar nama...apa namanya...Banawi! Ya! Banawi! Benar pelupa, bukan?”“Tidak lagi, kok! Sepertinya aku sudah ingat pernah mendengar nama itu dimana!”“Yang benar? Kalau begitu dimana?” buru Dindra ingin tahu.“Sebentar, biar aku mengingat-ingat dulu...Maya memejamkan matanya. Mengerenyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. Rendra yang sedari tadi terlihat tenang sekarang terpancing lagi perhatiannya ketika mendengar nama Banawi.“Banawi...Banawi....” gumam Maya masih mengingat-ingat.“Ya? Dimana?” buru Dindra tidak sabar.“Ah! Ya! Aku ingat sekarang! Aku pernah membacanya di...Sedetik lagi teka-teki itu terungkap jawabannya tiba-tiba Maya berhenti berbicara. Raut wajahnya yang bersemangat seketika tersentak. Buru-buru Maya menutup mulutnya agar tidak ada kata-kata lagi yang keluar. Terbelalak kedua matanya. Bola matanya yang hijau memburu kedua adik kembarnya yang menyodorkan tubuh maju. Sekarang ia berganti cemas. Seakan-akan baru saja terhindar dari sebuah kecelakaan.“A...aku...aku...” kata Maya terbata-bata.“Ya? Dimana, Kangmbok?” buru Dindra lagi.“A...aku sepertinya salah dengar....ya! Aku salah dengar! Hehehe!” kekeh Maya.Rendra mengerenyitkan dahi. Jelas sekali tawa sang kakak dipaksakan.“Salah dengar? Bisa salah dengar?” tanya Dindra tidak mengerti.“Ya! Aku tertukar Banawi dengan Danawi! Hehehe! Ternyata aku tidak pernah mendengar nama Banawi! Maaf ya, aku sudah membuat kalian penasaran!”“Benar begitu?” tanya Dindra sedikit curiga. “Kalau begitu semua dugaan Rendra menjadi sia-sia saja?”“Aku tidak berkata jika terkaan Rendra sia-sia. Tidak sama sekali, kok! Mana tega aku bilang begitu? Mungkin saja, bukan? Hehehe!”“Tetapi jika Kangmbok Maya salah dengar, apa artinya Paman Patih Rajawa juga salah dengar? Bukankah kita mendengar sendiri jika nama Banawi yang terucap?”“Kalau itu aku tidak tahu.” jawab Maya. Gelagatnya semakin terlihat salah tingkah. “Mana mungkin pengetahuanku melampaui Paman Patih Rajawa? Apalagi Guru Resi Rakata dan Kangmbok Mastani? Hehehe. Kamu berbicara tidak karuan, Dimas.”“Tetapi aku merasa yakin sekali. Sungguh. Kita tidak mungkin salah dengar, bukan?”“Sudahlah Dindra,” sela Rendra tiba-tiba. “kedatanganmu untuk mengingatkanku beristirahat, bukan? Tidak untuk membuatku semakin pening? Kalau begini saya malah tidak dapat beristirahat.”“Eh, benar juga! Aku juga sampai lupa waktu!” sambar Maya cepat kemudian. “Maaf, Dimas Rendra! Aku malah hampir membuatmu tidur larut lagi!” Maya mendekatkan wajah lalu mencium pipi Rendra. “Kamu juga segeralah kembali!” lanjutnya kemudian mencium pipi Dindra.“Terima kasih atas jamuan tehnya, Kangmbok. Tehnya nikmat sekali. Selamat malam.”“Hehehe! Terima kasih, Rendra!”Maya buru-buru berdiri lalu keluar dari ruangan. Langkah kakinya yang tergesa-gesa terdengar sepanjang lorong hingga kemudian tidak terdengar lagi.Rendra masih tinggal. Duduk bersila di antara tumpukan buku. Tangannya masih menggenggam gelas yang isinya tinggal seperempat lagi. Sementara Dindra berdiri menghadap pintu sambil melipat kedua tangan di depan dada.“Aku tahu kalau Kangmbok Maya sedang merasa jenuh. Hehehe. Aku tahu Kangmbok hanya mencari alasan untuk ke sini dan berbincang-bincang denganmu.” kata Dindra.“Dindra,”“Apa?” sahutnya sambil melirik ke bawah.“apa kamu pernah jalan-jalan di kaki gunung?”“Kenapa pertanyaanmu tiba-tiba janggal begitu? Tentu saja pernah. Memangnya kamu belum pernah?”“Terus sampai tiba di bibir hutan?”“Ya. Sampai habis bibir hutan.”“Ada apa disana?”“Memangnya kamu benar-benar belum pernah turun gunung? Seingatku, Romo pernah mengajak kita berjalan-jalan kesana.”“Tentu saja saya turut kesana. Saya hanya ingin bertanya apa yang kamu ingat. Saya ingin mencocokan dengan ingatanku.” jawab Rendra.“Ya, tidak ada apa-apa. Sehabis hutan hanya ada padang tandus. Kering tidak ada apa-apanya. Di sana katanya Paman Patih Rajawa berjaga dari mahluk-mahluk jahat yang ingin masuk Kincir Ametu. Memangnya, seperti apa yang kamu ingat?”“Seperti itu. Sama sepertimu.”“Kalau begitu kenapa malah bertanya? Buang-buang waktuku saja.” tanya Dindra dengan nada jengkel.Ditanya begitu Rendra tidak segera menjawab. Rendra masih memainkan genangan dalam gelas. Tak jemunya ia pandangi hingga lewat bulan dari puncak malam.“Sepertinya saya mendapatkan sesuatu.” kata Rendra dengan suara pelan.“Dapat sesuatu? Apa maksudmu?”“Pencerahan, mungkin? Sesungguhnya saya juga tidak yakin,” jawab Rendra sambil menunjuk kepala dengan jari telunjuk lalu memutar-mutarnya di udara. Rendra meletakkan gelas di atas tikar lalu berdiri. Kemudian, ia berjalan menuju tepi halaman sambil memandangi bintang-bintang di angkasa gelap.“Pencerahan bagaimana maksudmu? Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan.”“kamu tentu tahu jika dua hari kebelakang telah terjadi banyak peristiwa yang tidak diduga-duga. Beberapa diantaranya bahkan mengejutkan kita berdua.”“Setidaknya buatmu.”Rendra melirik dari balik bahunya. Tatapannya sebal pada saudara kembar yang masih bisa cengengesan.“Peristiwa adu mulutku dengan Guru Kirana, pertemuan dengan jajaran kepatihan, hingga yang baru saja terjadi, semua membuatku berpikir. Hingga baru saja saya menduga-duga apakah semua hal itu saling terkait satu sama lain?”“Ngaco.” sambar Dindra. “Mana mungkin ada hubungannya? Perkara buku mana ada sangkut-pautnya dengan perkara perkakas? Lagi, apa yang baru saja terjadi? Memangnya ada?”“Kangmbok Maya.” jawab Rendra cepat sambil berbalik badan.“Kangmbok Maya? Memangnya kenapa? Kangmbok tidak berulah apa-apa. Mana mungkin duduk sambil minum teh menjadi tanda macam-macam? Rendra, jangan-jangan kamu demam?” tanya Dindra berturut-turut sambil berusaha meraih kening saudara kembarnya.“Dengar dahulu kata-kataku,” sanggah Rendra sambil menepis tangan Dindra yang hendak menjangkau keningnya. “memang sekilas tidak berhubungan. Memang benar jika perkara buku di perpustakaan tidak akan pernah menyelesaikan perkara perkakas para penduduk. Namun bukan itu yang menjadi perhatianku sekarang.”“Lantas?”“Yang menjadi perhatianku adalah sikap orang-orang pada kita berdua. Guru Kirana, Kanjeng Romo hingga Kangmbok Maya. Semua itu tidak terjadi secara kebetulan, semua itu berhubungan.”“Walah! Kamu benar-benar sudah ngawur. Aku sudah tidak dapat lagi mengikuti jalan pikiranmu. Aku benar-benar bingung, Rendra!” ujar Dindra sambil geleng-geleng kepala.“Saya tahu jika kamu tidak benar-benar dungu untuk acuh pada kenyataan jika memang ada yang tidak beres pada ketiga nama yang kusebutkan barusan. Sedikitnya kamu pasti sadar.”“Aku tidak mau ikut-ikutan.” sahut Dindra sambil mengangkat kedua tangannya. “Yang sedang kamu bicarakan adalah guru, orang tua dan saudara. Aku tidak mau ikutan kualat!”Rendra membalas dengan tatapan datar dan hela nafas panjang. Ia tidak berkata-kata lagi. Kembali ia berputar lalu memandang bulan yang semakin jatuh ke arah barat.“Ayolah, Rendra.” bujuk Dindra. “Kamu mewarisi tajam pikiran Kanjeng Romo. Tentunya isi pikiranmu tidak seremeh itu, bukan?”“Dan kamu mewarisi kepekaan Kanjeng Sibu,” balas Rendra berbalik lagi. “kamu pasti merasakanya, bukan? Ingat-ingatlah lagi. Ingat-ingat suasana hati Guru Kirana di perpustakaan tempo hari! Bukankah karena itu kamu melerai kami? Kemudian ingat-ingatlah ketika saya memintamu meraba isi perasaan Romo pagi ini. Dan tentunya kamu tidak benar-benar bodoh sampai tidak sadar jika Kangmbok Maya baru saja berbohong pada kita berdua?” Diberi rentetan seperti itu membungkam Dindra. Kembar yang memiliki nyala hijau pada bola matanya itu sekarang ganti tertunduk. Mungkin merenungi apa yang saudara kembarnya katakan.“Saya masih ingat nasihat Kanjeng Romo ketika berendam bersama-sama tempo hari. Nasihatnya sungguh bijak namun sesungguhnya tidak menjawab pertanyaanmu, bukan?” ujar Rendra lagi. Yang ditanya tidak mengangguk juga tidak menggeleng. “Dan sekarang isi pikiranku tidak lagi mencari cara agar perkakas-perkakas itu dapat terpakai, pun bukan lagi mencari cara menyeimbangkan hasil kerja penduduk dengan pendapatan negeri.”“Lalu? Apa yang ada di dalam pikiranmu sekarang?” raut wajah Dindra tidak lagi terlihat enteng. Raut wajahnya terlihat menegang sama seperti saudara kembarnya.“Apa itu Banawi? Di mana Banawi? Kenapa Paman Patih Rajawa sampai menyinggung Banawi? Kenapa beliau begitu takutnya memberi saran kepada Kanjeng Romo seakan-akan nama itu tabu? Dan kenapa Kangmbok Maya sampai berdusta pada kita berdua?” beber Rendra panjang lebar. Dindra yang mendengarkan tidak segera menjawab.“Menurutmu, ke mana semua pertanyaan itu terhubung?” tanya Dindra dengan nada bicara yang perlahan.“Semua terhubung pada dua buku di perpustakaan itu.” jawab Rendra cepat. Satu jarinya menunjuk gelap seakan-akan gedung perpustakaan ada di sana. “Simak kata-kataku Dindra, jika ada satu hal yang menguatkan isi pikiranku maka hal itu adalah jika nama-nama tersebut mengetahui isi buku itu. Dan Kangmbok Maya telah berdusta jika ia salah ingat. Kangmbok Maya tidak salah ingat. Nama Banawi pasti ada di dalam buku-buku itu!”“Wah! Rendra, kata-katamu benar-benar gila! Bagaimana mungkin kamu dapat berpikir seperti itu? Kamu tidak memiliki bukti! Salah-salah, sama saja kamu sudah membicarakan buruk Kanjeng Romo, Kangmbok Maya dan Guru Kirana di belakang!”“Hanya itu yang menerangkan kenapa nama Banawi membuat Paman Patih Rajawa menjadi cemas dan ketakutan. Hanya itu yang menjawab kenapa Kangmbok Maya sampai berbohong. Jika kamu masih belum yakin, tanyakan apa arti nama itu pada Guru Kirana. Taruhanku, beliau juga akan menjadi gusar!” kata Rendra tidak mengindahkan peringatan Dindra.Dindra tidak membalas lagi. Pelan-pelan ia berjalan mundur sampai tepi dinding. Lalu dengan lemah ia jatuhkan tubuhnya-tertunduk dengan perasaan linglung.“Dindra,” panggil Rendra lagi. Yang disebut namanya tidak menyahut kecuali dengan lirikan lemah. “Pernahkah kamu bertanya apa yang ada di balik padang tandus di sana? Pernahkah kamu bertanya apa sebab dan mula Paman Patih Rajawa berjaga di sana? Pernahkah kamu bertanya kenapa kita harus mengenali semua nama-nama dan tempat-tempat itu? Sempatkah kamu menyadari jika jumlah apsari hanya empat puluh sembilan sementara apsara berjumlah lima puluh?”“Benarkah?” akhirnya rasa ingin tahu Dindra terpancing lagi.“Ya.” jawab Rendra sambil mendekat lalu ikut duduk bersandar di dinding. “Semakin saya membuka mata pada sekeliling semakin banyak tanda tanya bermunculan. Seperti halnya kamu yang bertanya keberadaan tempat-tempat di luar sana. Seperti apa tempat-tempat itu, bukan begitu isi pikiranmu?”Dindra mengangguk lemah. Hanya itu jawabannya.“Sudahlah Dindra, tidak perlu menyangkal dan berpura-pura acuh lagi. Saya saudara kembarmu dan saya tahu isi pikiranmu. Kamu juga berpikir jika semua orang menyembunyikan sesuatu dari kita berdua, bukan?” tanya Rendra sedikit lirih.Lagi, hanya anggukan lemah yang menjadi jawaban Dindra.“Kamu benar, saya tidak memiliki bukti apa-apa. Semua hanya naluriku saja. Tetapi entah kenapa naluriku seakan berteriak-teriak hendak memberi isyarat.”“Kamu pikir perlukah mengikutinya?”“Saya tidak tahu. Saya bahkan tidak tahu apa yang baru saja saya katakan padamu. Mungkin hanya celoteh omong-kosong saja.” jawab Rendra sambil melirik tumpukan buku yang tertinggal di sisi. “Tapi yang saya tahu dan yakini, jika memang semua orang menyembunyikan sesuatu dari kita berdua, semua itu atas dasar kasih dan sayang.”“Kalau begitu kenapa kamu sampai menyiksa diri seperti ini?”“Karena saya sungguh-sungguh ingin meringankan beban Kanjeng Romo! Saya tidak main-main ketika berkata jika kita akan memikul Kincir Ametu! Saya hanya ingin jika saat itu tiba maka saya berada dalam keadaan siap. Hanya itu! Namun sulit rasanya saya bergerak sekarang. Semua pertanyaan itu menjadi beban pikiran. Membuat kepalaku tidak dapat berpikir dengan jernih!”Dindra tidak berbicara juga tidak bertanya lagi. Bersandar lemah sambil memandangi bintang. Dan sepertinya Rendra juga sudah lelah. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan ketika selang lama kemudian, ketika Dindra berdiri dan ganti berdiri di tepi halaman.“Kenapa kita belajar tentang semua kisah para pahlawan dan kerajaan-kerajaan itu jika memang tidak akan pernah kita temui. Kenapa kita berlatih ilmu kanuragan dan bela-diri padahal tidak pernah ada pertikaian. Kenapa Kakang Malhari rajin berkeliling dan memeriksa seluruh wilayah Kincir Ametu. Itu yang menjadi ganjalan dalam pikiranku. Sekadar kalau kamu ingin tahu saja.” kata Dindra.“Saya tidak tahu apa kita terlambat menyadari semua kejanggalan ini atau tidak.”“Lalu, bagaimana? Apa kamu akan bertanya dan mencari jawabannya?”“Bertanya? Pada siapa?”“Siapa saja.” sahut Dindra cepat. “Mungkin Kanjeng Sibu tidak akan berdusta seperti halnya Kangmbok Maya?”“Saya tidak tahu.” jawab Rendra lemah. “Mungkin benar pertimbangan Romo dengan menunda usia kita hingga dua puluh. Kita tidak siap. Semua ini membuatku mabuk. Mungkin saja nyatanya biasa. Mungkin saya saja yang berpikir berlebihan.”“Memang itu kebiasaan burukmu sedari dulu.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan