
“Bersaksilah, Cengkarbumi!” seru Ginanjar mengangkat tinjunya tinggi-tinggi. “Atas nama Antasura! Atas nama Mahesa! Atas nama Cengkarbumi yang bertahan!”
Dari bongkahan bebatuan yang berserakan ada kering yang menghisap hayat. Jangan lengah, bayang Yamadipati masih mengintai. Ia masih berada dan belum beranjak. Ia tidak akan ragu-ragu membawa jiwa dan hati yang lemah berpindah menuju alam kekosongan. Agar selamat, tetaplah melangkah dan jangan berhenti. Ada harapan bagi siapa saja yang senantiasa bergerak meski setapak demi setapak. Meski tajam jasad bumi yang sekarat melukai, menjadikan jejak merah berbekas darah, ketahuilah jika yang demikian adalah pengharapan yang tinggal dari mereka yang gugur. Nafas yang mereka hela, suara yang mereka lantangkan dan hangat yang mereka bagi adalah senyata-nyatanya do’a dari para penghuni makam.
Sayap merah Garuda, sisik biru Baruna dan taring hijau Antaboga kini tinggal cerita. Sisa-sisa mereka kini jadi puing yang berjajar mewujud pagar makam para pahlawan. Sedikitnya ada empat puluh pancang yang berdiri berjajar dalam barisan yang rapih. Yang paling depan, berpancangkan pedang dan tombak adalah pusara sang adipati. Seorang ksatria agung dari masa terdahulu pernah berkata jika ranjang ksatria yang paling nyaman adalah pelukan bumi berselimutkan zirah. Beruntung Adipati Darusambada berhasil mendapatkannya.
Tumpukan batu yang dulunya bangunan kini jadi dinding yang melindungi tenda-tenda yang berada di dalamnya dari tiupan angin kering. Rintih kesakitan dan batuk memburu masih terdengar dari tenda-tenda terpencar pada setiap titik Cengkarbumi. Ada yang menderita luka namun masih lebih banyak yang menderita ragam penyakit karena terpapar racun. Tanpa lelah dan jemunya Dewi Utari dan Dewi Asmarawati merawat mereka siang dan malam. Sampai hari ini tiada raut jenuh terpampang di wajah jika bukan senyum yang ramah. Meski telah luntur semenjak lama riasan di wajah namun tidak mengurangi anggun dan berwibawanya putri-putri Astina dan Argakencana itu.
“Apa kita masih memiliki persediaan air?” tanya Dewi Utari sembari memeras kain basah kemudian menempelkannya di atas kening seorang tua renta yang terbaring tak sadarkan diri.
“Jika untuk minum masih tersisa. Namun jika untuk para penduduk yang sakit...” gumam Dewi Asmarawati dengan nada gelisah.
“Sudah lewat dua hari setengah dari prajurit bertolak menuju ibukota demi membawa air dan obat tetapi mengapa sampai hari ini mereka belum kembali?”
“Semoga tidak terjadi hal yang buruk di tengah jalan. Saya tidak tahu apa saya kuat menerima jika ada kabar buruk yang lain lagi.”
Suara langkah kaki mendekat. Tiba menyusul suara pintu tenda yang tersibak. Seorang gadis berkepang dua tiba membawa seikat bunga dalam dekapannya. Dari wajahnya yang dekil dan cemong debu dan kotoran tertinggal raut terheran-heran kala mendapati dua putri yang terjebak resah.
“A-apa ada yang terjadi, Gusti Dewi Utari? Gusti Dewi Asmarawati?”
“Tidak. Tidak ada apa-apa.” sahut Dewi Asmarawati berdusta sembari memaksakan senyumnya kembali lagi. “Apa yang kamu bawa, Dhami? Dapat bunga dari mana?”
“I-ini adalah bunga-bunga sisa bekas dagangan hamba. Hamba coba tanam kemudian beri air. Rupanya mereka masih dapat hidup. Semoga saja dapat menghibur semua orang.” ujar gadis penjual bunga itu malu-malu.
“Sungguh cantik sekali.” ujar Dewi Asmarawati sembari menerima ikat bunga dari Dhami. Senyumnya sekarang benar-benar senyum tulus dari dalam hati. “Tentu saja bunga ini dapat menghibur semua orang yang sedang sakit. Terima kasih, Dhami.” yang dituju tersenyum mendapati persembahannya benar-benar berguna.
Sebuah kendi yang sudah hancur setengah wujudnya mewujud pot sederhana. Air yang jadi selimut bunga-bunga itu bekas perasan kain kompres para penduduk yang sakit. Sedikit wanginya yang menebar sudah jadi cukup untuk kepala merenggangkan diri dari tekanan hidup.
“Bunga-bunga ini adalah pertanda jika kehidupan masih dapat lahir dari Cengkarbumi. Dan seperti bunga-bunga ini juga, Cengkarbumi akan bertahan.” ujar Dewi Asmarawati.
“Mohon maaf, Gusti Raden Ayu, hamba hanya dapat ikut berdo’a semoga keselamatan mengiringi tuan putra dan para ksatria. Semoga para pahlawan dapat kembali dengan selamat.”
“Oh, terima kasih, Dhami.” sahut Dewi Asmarawati kemudian memeluk gadis penjual bunga itu erat. “Semoga langit dan bumi mendengar do’amu dan do’a kita semua.”
Angker bumi tidak mengijinkan syahdu hati tinggal barang sejenak lebih lama. Terdengar gaduh dari luar. Dari suaranya tampak orang-orang sedang berkerumun. Terang saja membuat Dewi Utari, Dewi Asmarawati dan Dhami jadi penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Si gadis penjual bunga menahan kedua putri, biar ia saja yang memeriksa kalau-kalau hanya ulah orang-orang yang sedang jenuh. Namun begitu, Dhami segera kembali lagi dengan rasa hati yang was-was.
“Gu-Gusti Raden Ayu! Ada yang datang! Ramai!”
“Pelan-pelan, Dhami. Apa yang terjadi?” tanya Dewi Utari beranjak dari tempat duduknya.
“A-ada tamu!”
Dewi Utari dan Dewi Asmarawati menyaksikan jika di dari tangga panjang di dinding kadipaten hingga ke alun-alunnya ramai oleh orang-orang berbusana hijau gelap berhiaskan sulaman emas di tepian. Puluhan jumlah mereka. Dari setiap mereka membawa karung dan kotak-kotak kayu yang ukurannya besar-besar. Tidak perlu berpikir dalam untuk menerka jika yang datang bukanlah awak prajurit atau penghuni Argakencana. Tidak pula Astina. Karena jika memang mereka salah satunya, maka tentu Dewi Utari dan Dewi Asmarawati dapat mengenali.
Seorang gadis belia mengambil tempat di atas bekas panggung yang sekarang puing. Hijau tatap matanya serasi dengan busana bagus berwarna seragam. Selendang putih melingkari pinggang. Rambutnya yang pendek sebahu, berhiaskan kepang di sisi kiri kepala, berterbangan tersibak angin kering. Tidak salah mengira jika pesonanyalah yang menjadikan semua orang berkerumun. Senyum ramah Maya tebar rata pada para penontonnya. Siapa yang tahu jika dibalik raut manisnya ada rasa gugup yang tidak tertahankan. Begitu dahsyatnya hingga membuat suara dan nada bicaranya jadi tidak teratur.
“Sa-salam wahai warga Cengkarbumi yang budiman! A-anu, kami membawa bahan makanan, pakaian, obat-obatan air dan juga kayu. Dan, oh! Kami juga membawa tabib! Mohon jangan sungkan untuk meminta untuk diperiksakan! Semoga bantuan kecil ini dapat meringankan duka hadirin sekalian!”
Asing. Tiba-tiba dan tidak jelas. Jelas saja tidak segera membuat para penduduk berhamburan menghampiri awak Kincir Ametu. Mereka semua malah berkerumun. Kasak-kusuk sembari curi-curi pandang pada Maya yang berada di atas panggung. Yang dituju semakin jadi kikuk dan salah tingkah. Senyumnya jadi semakin kaku. Semakin lama wajahnya berubah jadi pucat.
“Maaf, siapakah engkau ini?”
Suara yang lantang terdengar dari belakang kerumunan. Dari sikap para penduduk yang segera membuka jalan untuk Dewi Utari dan Dewi Asmarawati, mudah bagi Maya untuk menerka jika keduanya tentu orang-orang yang dituakan di sana. Maka Maya buru-buru turun dari panggung dan menghampir kedua putri yang telah tiba itu.
“Sa-salam, nyai. Kiranya Panjenengankah tokoh yang bertanggung jawab di sini?” tanya Maya ramah. Namun yang ditanya tidak segera menjawab. Dewi Utari memasang sikap angkuh dan tatap tajam curiga. “A-anu, kami...kami...”
“Maaf, tetapi kami tidak dapat menerima bantuan yang tidak jelas asal-usulnya. Mohon untuk tidak tersinggung. Setelah apa yang menimpa Cengkarbumi, tidak mudah bagi kami untuk menerima kelompok yang tidak kami kenali.” ujar Dewi Utari dengan nada tajam.
“Siapakah engkau dan datang dari manakah orang-orang ini?” hanya Dewi Asmarawati saja yang masih dapat memasang sikap dan nada bicara yang ramah.
“Ji-jika tentang itu...bagaimana mengatakannya ya...” gumam Maya tertunduk. Tidak berani ia mengangkat wajah hanya jika berujung pada tatap galak Dewi Utari. “Aduh! Aku tidak tahu lagi!” buru-buru Maya menolehkan wajahnya ke belakang, menuju arah reruntuhan panggung. “Kakangmas Ginanjar! Kakangmas Parikesit! Aku menyerah! Sudah aku bilang jika aku tidak bisa!”
“Ginanjar?”
“Parikesit?”
Kejut dan tanya Dewi Utari dan Dewi Asmarawati berbalas hanya sedetik kemudian. Dari tumpukan kayu panggung muncul wajah yang dinanti-nantikan. Senyum Parikesit dan seringai jahil Ginanjar menjadi wahah bagi hati yang kering.
“Kami pulang, bu.”
Ada sebuah tenaga yang entah dari mana datangnya, yang mampu melajukan langkah kaki Dewi Utari dan Dewi Asmarawati untuk menyongsong putra tercinta. Pada pelukan itu pecah tangis dua ibu yang terbebas dari gusar hati.
“Baik-baik saja, nak? Tidak luka? Engkau sakit?” buru Dewi Asmarawati mengusap-usap pipi Ginanjar.
“Apa yang terjadi? Ceritakan pada ibu. Semua. Ceritakan semua, ya? Parikesit, nak?” susul Dewi Utari sembari menatap lekat-lekat Parikesit dalam pandangan mata yang basah oleh air mata.
Bukannya tidak ingin menjawab namun haru sudah terlanjur menguasai hati Ginanjar dan Parikesit. Keduanya peluk erat lagi sang ibu.
“Kang?” bisik Parikesit sembari menyeka air mata dari pelupuk.
“Ya.” sahut Ginanjar cepat sembari melepaskan pelukannya dari Dewi Asmarawati. “Bu, mohon tunggulah sebentar.”
Ginanjar berpindah pada Maya yang tertinggal di sisi. Ia genggam tangannya, hendak mengajaknya kembali ke atas panggung. Mulanya Maya menolak. Apalagi jika bukan karena rasa kikuknya. Namun kemudian Parikesit menepuk bahu Maya sembari mengangguk. Barulah Maya bersedia, meski bersama raut kikuk yang semakin menjadi.
Dari atas panggung Ginanjar menyapu wajah rakyat-rakyatnya. Kesemuanya memasang raut kejut dan lega. Merasa jika penantian mereka perlu dihadiahi lebih, Ginanjar membuka satu tangannya ke arah kiri. Sorak para penduduk pecah kala Patih Kradaksa dan Carika menunjukkan diri. Sang patih menyapa dengan lambaian tangan dan anggukan kepala. Sementara Carika segera menghambur demi berbagi duka bersama-sama rakyat-rakyatnya.
“Telah lewat hari-hari yang menangguhkan nasib Argakencana dalam mimpi buruk yang merenggut kedamaian. Racun yang membius nyawa dan melumpuhkan Cengkarbumi.” Ginanjar menarik suasana melalui suara lantang. “Bajag Lipan! Ingatlah nama yang menghantui negeri! Ingatlah nama yang memetik nyawa para pahlawan! Ingatlah nama yang menuntaskan bakti Gusti Adipati Darusambada!” seru sang putra mahkota semakin lantang. Tidak hanya suaranya yang memenuhi telinga namun juga kobar semangatnya yang menyulut jiwa. Raut para penduduk yang semula ngeri kala nama kawanan penjahat itu berkumandang kini pudar. Berubah jadi nyali. Berani. Berang, malahan. “Nama itu memetik air mata Mbakyu Carika, nama itu menguras daya Eyang Patih Kradaksa dan nama itu yang berhasil membungkam Sang Arjuna! Wahai rakyat-rakyat Argakencana yang tegar hatinya, nama itu yang menyesatkan kami berempat pada padang tandus tidak berujung! Nama itu yang hampir memutuskan semua asa dan harapan!”
Gaduh pidato Ginanjar tidak hanya menghisap para pendengarnya jadi semakin mendekat, namun juga mengundang mereka yang merintih dan tertatih dalam tenda perawatan untuk ikut menyaksikan. Banyak dari mereka yang memaksakan berjalan. Tidak sedikit pula yang hanya mampu duduk bersila di depan tenda.
“Hingga tiba pada suatu ketika, kala hitam dan gelap malam jadi latar hari, bersinar terang sebuah bintang. Satu bintang yang jadi pelita. Satu nyala yang menyangga asa. Wahai jiwa-jiwa Cengkarbumi,” ujar Ginanjar berkeliling panggung demi menebar tajam tatapannya pada setiap wajah. “ikutlah bersamaku untuk bersaksi jika nama bintang itu Kirana.”
Suara isak tangis menyela dari sisi. Carika yang berada dalam peluk rakyat-rakyatnya sembab wajahnya memerah karena duka. Berselang kemudian terdengar suara isak tangis yang lainnya lagi.
“Nyala itu menyangga asa, nyala itu melajukan lari kami menjauh dari maut yang mengejar di belakang dan nyala itu menyelamatkan kepingan terakhir dari Argakencana yang tersisa. Nyala bintang itu mengantar kami hingga jauh ke ujung tenggara, pada sebuah peradaban yang menyambut asa Argakencana dalam jabat erat. Pada peradaban di lereng gunung itu tidak hanya memberi kami harapan baru melainkan sebuah penuntasan. Pada peradaban itu ada kerabat! Pada peradaban itu ada saudara! Pada peradaban itu ada sebuah hutang yang tidak akan pernah akan terbayar!”
Semakin berubah cepat langkah Ginanjar mondar-mandir di atas panggung. Semakin menderu hela nafasnya, berubah tajam raut wajahnya, seakan-akan ingatan dari masa yang telah lewat membuat kobar jiwanya menyala jadi lebih ganas.
“Bersaksilah, Cengkarbumi!” seru Ginanjar mengangkat tinjunya tinggi-tinggi. “Atas nama Antasura! Atas nama Mahesa! Atas nama Cengkarbumi yang bertahan!” nafas yang memburu sudah berada di ujung daya namun Ginanjar tetap mendorong sekuat tenaga. Sebuah yang jadi raung membahana, memantul pada dinding cekungan, menjadikan langit dan bumi mendengar. “Bajag Lipan binasa! Argakencana merdeka!”
Gemuruh dahsyat menggetarkan bumi yang porak-poranda. Pecah Cengkarbumi. Sorak-sorai membahana. Puluhan lutut jatuh membawa pemiliknya dalam isak haru. Gegap-gempita menyerukan nama Argakencana, Cengkarbumi dan Adipati Darusambada. Pada mereka sekarang tidak ada lagi batas usia atau jabatan. Yang muda tidak segan memeluk yang tua. Banyak dari mereka yang berbondong-bondong mengerubungi Patih Kradaksa dan Carika. Lebih banyak lagi yang mengerubungi Dewi Utari dan Dewi Asmarawati. Empat orang itu, tentu saja tenggelam dalam haru para penduduk. Isyarat ibu jari Parikesit angkat tinggi-tinggi ke arah atas panggung. Ginanjar menyahuti dengan isyarat gelengan kepala, memberi pesan agar adik sepupunya menyeka terlebih dahulu air mata yang tertahan. Parikesit membalas dengan seringai mengejek.
“Hiks...hiks...”
“Bagaimana? Tidak sulit, bukan?” ujar Ginanjar pada Maya yang berlinangan air mata.
“Sebal! Aku tahu semua orang berkomplot untuk mengerjaiku!” gerutu Maya.
“Hehehe. Habisnya, hanya kamu saja yang bertingkah seakan-akan semua ini perjalanan wisata.”
“Bukan maksud mengerjai, hanya Kakang Ginanjar tidak ingin mengaku kemenangan ini sebagai kemenangan Argakencana. Para penduduk harus tahu wujud dari peradaban itu. Setidaknya wakilnya saja.” ujar Parikesit yang menyambut kembalinya Ginanjar dan Maya.
“Tidak ada yang pantas selain putri negeri, bukan?” sambung Ginanjar sembari tertawa terkekeh-kekeh.
“Aku tidak mau tahu lagi! Semuanya menyebalkan!”
Sorak-sorai menyambut Ginanjar. Kerumunan itu begitu padatnya hingga sulit untuk bergerak. Dengan ramah Ginanjar menyapa. Dan, sama seperti Patih Kradaksa dan Carika, sang putra mahkota itu juga pasrah dirinya tenggelam dalam ombak penduduk. Sungguh lega rasa hati. Tidak ada yang lain lagi yang mampu menandingi rasa lapang bersatu dalam suka cita dan duka bersama para penduduk.
“Engkaukah...dari peradaban itu?” tanya Dewi Utari masih sesenggukan. Raut galak itu sudah tidak ada. Sekarang berganti senyum bahagia.
“Mohon maaf!” ujar Maya buru-buru menundukkan tubuhnya. “Ha-hamba telah bersikap kurang-ajar! Hamba sama sekali tidak tahu jika Panjenengan adalah ibunda dari Kakangmas Ginanjar!”
“Salah, nimas. Heh. Sibu Utari adalah ibuku. Sementara Sibu Asmarawati yang ibundanya Kakang Ginanjar.” ujar Parikesit menengahi. “Bu, perkenalkan, namanya Maya.”
“Maya?” panggil Dewi Asmarawati meraih jemari sang putri kemudian menggenggamnya erat-erat. “Namamu Maya? Oh, terima kasih...terima kasih! Terima kasih telah menyelamatkan negeri dan anak-anak saya!” ujarnya berlinangan air mata lagi.
“Eh! A-anu...itu, tidak mengapa! Aduh, Kakangmas Parikesit!” sahut Maya jadi salah tingkah. Parikesit yang dituju tidak berbuat apa-apa selain menyeringai jahil lagi. “Mohon untuk tidak berlebihan, Gusti Raden Ayu! Ha-hamba juga hendak berterima kasih karena telah menjaga adik-adik hamba!”
“Adik?”
“Sibu lupa?” celetuk Parikesit.
“Kami berdua, Gusti Raden Ayu. Hehehe!”
Suara renyah memanggil dari belakang. Dua laki-laki remaja tiba. Kembar. Padanya pula dua buah kitab bersampul merah tua dan beraksara emas. Yang satu dipeluk pemiliknya di depan dada, sementara yang satu lagi tergantung pada sabuk pinggang.
“Rendra! Dindra! Oh, nak!” Dewi Utari buru-buru menghampir dan memeluk keduanya erat-erat.
“Eh? Eh?” Dewi Asmarawati melihat kesamaan nyala hijau pada mata Dindra dan Maya, lalu kemudian kemiripan parasnya dengan Rendra. “Oh, jagad! Rupanya...”
“Negeri kalian itu, Kincir Ametu, sungguhan?” tanya Dewi Utari, masih sesekali terisak, sembari tersenyum pada kembar Rendra dan Dindra.
“Seperti yang Kangmbok Maya katakan, kini Bajag Lipan sudah binasa dan kedatangan kami ke sini demi mengantar segala keperluan yang mungkin saja pada penduduk butuhkan! Dan kami juga akan membantu!” ujar Dindra bersemangat.
“Demikian adanya, hadirin Raden Ayu sekalian. Namun setelah kami mengantar Panjenengan sekalian menuju atas dinding. Kiranya Kanjeng Romo ingin bertemu jika berkenan.” sambung Panji.
“Prabu Mahawira, maksud kalian berdua?” tanya Dewi Asmarawati yang dijawab anggukan Rendra dan Dindra.
“Oh, tentu, nak! Tentu! Kami tentu akan menemui beliau sekarang juga!” ujar Dewi Utari sembari membersihkan pakaiannya dari debu dan kotoran.
“Rendra, Dindra, saya titip Sibu Utari dan Sibu Asmarawati.” ujar Parikesit. Yang disebut namanya mengangguk cepat.
“Engkau tidak ikut kami, nak?”
“Tugas ananda sekarang adalah membantu para cantrik, tabib dan awak Kincir Ametu untuk membagikan makanan dan obat-obatan. Sibu tidak perlu khawatir, kami akan segera menyusul.” jawab Parikesit. “Nimas Maya hendak turut?”
“Nanti.” jawab Maya pendek, masih memasang raut sebal. Parikesit yang mendengarnya hanya tertawa kecil sembari geleng-geleng kepala.
Arah jalan Parikesit adalah menuju kerumunan cantrik dan tabib di mana Mastani yang mengepalai mereka. Tampak wakil dari Kincir Ametu itu kewalahan mengatasi kerumunan para penduduk. Sementara Ginanjar, sudah menyingsingkan lengan bajunya, membagikan air dan obat-obatan pada kelompok di mana Malhari mengepalai.
Jalan menuju tangga tepi dinding cukup jadi jeda bagi Rendra mengabarkan Dewi Utari dan Dewi Asmarawati kabar Arjuna yang telah membaik. Tidak ketinggalan Dindra menambahkan sekadar mengingatkan jika Ratna dan Adya pula berada dalam keadaan baik.
“Sungguh kami tidak tahu harus membalas dengan apa atas jasa baik pada Romo Arjuna. Oh, Rendra, Dindra, terima kasih. Sungguh.”
“Kewajiban kami semua, Gusti Raden Ayu.” jawab Rendra.
“Kiranya tuan putri masih jengkel dengan tingkah nakal putra-putra kami? Oh, sungguh kami mohon maaf. Sangat jarang sekali Ginanjar berulah usil sampai terlewat batas seperti tadi.”
“Apa kamu tahu jika tadi aku berdebar-debar sekali sampai mau pingsan rasanya?” gerutu Maya sembari menjewer telinga Dindra.
“Aduh..duh...kangmbok, sakit! Ampun!” lirih Dindra kesakitan.
“Pokoknya nanti akan aku adukan pada romo dan Eyang Arjuna!” ujar Maya kemudian.
“Eyang Arjuna?” sahut Dewi Asmarawati dan Dewi Utari terheran-heran.
“Semua akan menjadi jelas nanti kala Gusti Raden Ayu Utari dan Gusti Raden Ayu Asmarawati berjumpa dengan Kanjeng Romo. Mohon tidak risau, semuanya akan baik-baik saja.”
Dewi Utari dan Dewi Asmarawati salin lihat satu sama lain. Keduanya tahu jika akan ada sesuatu. Terlebih, tingkah Dindra yang cekikikan sendiri menambah kecurigaan.
Langkah kaki sudah berada tinggi. Cengkarbumi sudah berada jauh di bawah. Dari ketinggian tampak kerumunan itu masih tinggal. Dari ketinggian pula tampak semua orang tengah merawat korban musibah. Di permukaan atas sana porak-poranda yang sama masih tinggal. Bukan bangungan namun kereta-kereta kuda yang hancur terkena hempasan Panguntalraga. Tidak ada orang di sana selain kering dan kosong. Dua putri Arjuna menerka-nerka dalam hati adakah sang raja sungguh telah menunggu? Karena nyatanya tidak ada yang mereka temui.
Terkecuali suara kepak sayap. Tidak satu melainkan belasan. Terkejut kemudian terpesona Dewi Utari dan Dewi Asmarawati kala mendapati kawanan sembrani terbang berputar-putar di angkasa. Bayangan kawanan mereka mewujud atap yang melindungi dari sengat terik matahari. Semakin dikejutkan lagi keduanya kala ada yang hitam, yang menyeruak dari kawanannya yang berwarna-warni, mendarat bersama hempas angin kencang. Debu dan pasir yang menerpa mata menjadikan kesemuanya memalingkan wajah. Tidak sadar jika sembrani hitam itu telah mendarat delapan langkah di depan. Bentang sayapnya yang besar menjadi tirai dua sosok yang tersembunyi di baliknya. Rasa hati kikuk dan berdebar menjadikan Dewi Utari dan Dewi Asmarawati bersiap menerima kehadiran Prabu Mahawira. Jika mereka harus bersimpuh di atas tanah yang kering dan panas maka jadilah.
Namun yang terjadi tidak demikian. Jangankan untuk turun bersimpuh, untuk bergerak saja tidak mampu. Seakan ada pasak gaib yang menahan gerak di ruang kala sayap Anggara terbuka dan menampilkan dua wajah. Bahagia, sedih dan haru bercampur jadi raut yang sukar dijelaskan kata-kata. Rasa hati berkecamuk. Naluri Dewi Utari dan Dewi Asmarawati meminta untuk mendekat demi mencari tahu. Namun tanya menjadi aral yang melintang jalan. Sementara bagi sang raja dan sang ratu pula demikian, seakan lenyap keberanian, yang dapat mereka lakukan hanyalah lirih memanggil.
Paku gaib yang menahan diri menusuk lebih dalam hingga ke relung hati dan pikiran. Mereka membebaskan titik ingatan dari belenggu rantai yang mengikat. Laksana sambar halilintar, ingatan dari masa yang terlupakan itu menghempas bagaikan banjir bandang, mengembalikan lagi bayangan tersembunyi pada garis sejarah. Bayangan akan semua ingatan itu mewujud kunci yang mengurai suara lirih memanggil sang raja dan ratu. Laki-laki muda yang pernah menemani mereka berbincang di taman dahulu kala kini telah kembali.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
