114

0
0
Deskripsi

Jantung berdegup semakin kencang. Rasa takut menjalar lagi ketika bayangan panjang itu berujung tinggi tepat di depan. Pada puncaknya ada sorot dua nyala kuning terang dan sebuah suara yang mendesis.

Pendaran terang mengintip di ufuk timur jauh. Fajar hanya berjarak beberapa langkah lagi. Namun begitu, beberapa langkah itu saja terasa sangat jauh. Sementara kini tiupan dingin angin pagi masih melayangkan lari kaki kuda menapaki jalanan berbatu. Gelap masih tinggal. Dari baliknya masih terlihat sosok-sosok mengerikan berenang-renang di permukaan tanah. Sosok-sosok itu memiliki duri di punggungnya yang bergelombang. Tidak pusing mencari tahu wujud sosok dari kegelapan itu, Parikesit segera mengambil kuda-kuda untuk menembak.

"Sial! Saya tidak dapat membidik!" gerutu Parikesit.

Kereta kuda yang terus bergoyang-goyang akibat lajur yang tidak rata membuat pijakan si pemanah jadi bimbang. Jika mampu tentu sudah Parikesit lesatkan anak panah, tetapi jangankan berdiri, membidik sambil berlutut saja sulit rasanya.

"Biar aku pegang, kang!"

Dari bawah Jaka mencengkeram pergelangan kaki Parikesit. Berat badannya yang menggantung di udara membuat tarikan tubuh Parikesit ke bumi menguat. Maka segera saja Parikesit berdiri lagi, membentangkan lagi tali busur kemudian mengarahkan mata anak panahnya.

"Tahan, Jaka!" seru Parikesit.

"Bergegas, kang! Kita berdua bisa terhempas!" balas Jaka cepat kemudian.

Suara mengikik kencang terdengar semakin ramai. Parikesit setidaknya dapat melihat ada tiga sosok yang mengejar dari belakang. Dari dalam tanah lalu menyeruak, kemudian menyelam lagi. Seakan-akan permukaan tanah laksana kolam renang. Desing busur memekakkan telinga, lesat anak panahnya membelah ruang, tepat ketika satu dari sosok menyeramkan itu menyeruak dari dalam tanah, mata panah Parikesit segera menyapanya dalam di kepala. Darah hitam menyembur deras. Sosok itu meronta-ronta kesakitan. Enam kaki, atau tangan, tidak ada yang tahu, mencakar-cakar tanah sebelum akhirnya tidak bergerak lagi.

Kereta kuda menubruk kerikil besar. Guncangan yang ditimbulkannya begitu kuat hingga Jaka terpaksa melepas pegangan tangannya pada pergelangan kaki Parikesit, lalu kemudian merapatkan tubuhnya lagi pada dinding belakang kereta kuda. Sementara di atas atap, Parikesit terpaksa menurunkan tubuhnya juga. Dua ekor jejadian masih memburu dengan ganasnya. Kematian kawannya sepertinya tidak membuat nyali mereka ciut. Malahan membuat mereka jadi semakin ganas. Sambil menggerutu Jaka melilitkan tali tambang pada gagang kerisnya. Senjata bawaannya sekarang sudah jadi bandul. Yang membedakan sekarang, bukan pada dinding berbatu keris itu dilempar melainkan ke arah jejadian Bajag Lipan. Sama seperti Parikesit, bidikan Jaka meleset jauh dari sasaran akibat guncangan yang masih menerpa kereta kuda. Berkali-kali Jaka lemparkan namun jejadian itu dapat menghindarinya dengan mudah.

"Jaka!" seru Parikesit.

"Kang!"

"Lempar ke atas!"

Jaka memutar-mutar bandul dadakannya kemudian melemparkannya tinggi ke udara. Sedetik kemudian ada sebuah anak panah yang menyambar gagang kerisnya. Tubrukan itu mengubah arah lesat si keris, menjadikan arahnya yang semula menuju udara, sekarang menikung tajam menghujam atas tanah. Suara mengikik keras dan semburan darah hitam menjadi pertanda jika keris Jaka berhasil mengenai sasarannya. Tidak ambil pusing Jaka membersihkan keris miliknya dari darah hitam, sekarang ia bersiap untuk melempar lagi.

Kematian dua kawannya membuat si jejadian itu mengubah siasat. Tidak lagi sekarang ia berenang-renang di dalam tanah, melainkan menjauh dari kereta kuda ke tepian yang jaraknya tidak mungkin dijangkau bandul dadakan milik Jaka. Sementara anak panah Parikesit juga sulit memburu karena bebatuan yang menghalangi.

"Gantikan saya mengemudi, Panji!"

"Sa-saya tidak dapat mengemudikan kereta kuda, kang!"

Bukan tanpa sebab Ginanjar meminta Panji menggantikannya di belakang tali kusir. Jejadian itu menggunakan bebatuan sebagai tameng untuk mengejar lari kuda. Sekarang jejadian itu sudah berada di depan. Ginanjar menggerutu. Ia yakin sekali jika ia dapat menghabisi jejadian itu sekiranya mendekat. Namun, Ginanjar tidak dapat melepaskan tali kekang kuda pada saat yang bersamaan. Pun, Panji memang terlihat tidak dapat mengendalikan kereta kuda, belum lagi pada medan laju yang sukar seperti itu. Termenung untuk berpikir membuat kewaspadaan Ginanjar menurun. Tidak sadar Ginanjar membiarkan kuda-kuda untuk menentukan arah. Kuda-kuda itu mengubah arah larinya menghindari batu-batu yang besar dan licin. Jarak yang jadi dekat digunakan jejadian itu untuk menyerang. Dari balik tanah ia menyeruak, menerjang tinggi hendak menyambar Panji dengan gigi dan duri-durinya yang tajam. Panji bergidik ngeri kala terkaman itu hanya berjarak dua langkah dari wajahnya.

Dari balik jendela menghunus sebuah golok menyasar si jejadian. Darah hitam dari luka tusukan muncrat, membasahi genggam tangan Patik Kradaksa dan dinding kereta kuda jadi hitam. Jejadian itu memekik kesakitan. Sinaran dari fajar yang semakin dekat membawa cahaya, memperlihatkan sosok mengerikan itu keluar dari gelapnya malam. Jejadian itu bertubuh besar. Ukurannya hampir serupa dengan tinggi orang dewasa. Lipan raksasa, itu yang terlintas dalam pikiran Panji dan Ginanjar. Namun yang membedakan, lipan itu penuh duri di sekujur tubuhnya. Sungutnya pula penuh dengan gigi-gigi tajam. Air liur yang menebar bau busuk jadi pertanda jika ada racun di sana.

"Panji, merunduk!"

Panji membungkuk dengan cepat. Ginanjar menyambar keris yang berada di balik pinggang Panji, menariknya keluar dari sarungnya, lalu ikut menusuk jejadian itu. Suara mengikik terdengar memekakkan telinga lagi. Ginanjar hendak menghujamkan bilah keris itu lebih dalam lagi namun ia tidak dapat. Kuda-kuda yang semakin kehilangan arah membuat Ginanjar terpaksa kembali pada tali kekang kuda. Gerutu si putra mahkota membangunkan Panji. Panji mendongak lagi, segera ia sambar gagang keris miliknya kemudian ia tarik kuat-kuat. Luka panjang dari sobekan bilah tajam kerisnya menyemburkan darah hitam. Jejadian itu menggelepar di atas tanah kemudian mati.

"Kang! Kang Ginanjar! Lebih cepat! Mereka mengejar lagi!" seru Jaka dari belakang.

Setidaknya ada lima belas jejadian serupa yang mengejar lagi. Kelompok baru suruhan Panguntalraga tampak lebih ganas dari tiga kawan sebelumnya. Parikesit bergidik ngeri, dalam hati meyakini tidak mungkin menghalau belasan mereka.

"Batu sebelah sana, kang!" seru Panji sambil menunjuk arah barat.

Pada arah yang dituju, tepat di bibir sungai, di antara bebatuan banyak, terdapat satu batu yang ukurannya besar. Batu itu juga menjorok ke arah sungai. Ginanjar memacu kuda-kudanya lagi. Dengan cekatan tiga kuda itu menikung tajam, berbelok arah menuju arah sang kusir inginkan.

"Berpegangan!" seru Ginanjar kencang. "Hyaaat!"

Kuda-kuda itu berlari menapaki permukaan batu. Pada jengkal terakhir dua belas kaki mereka melompat bersama-sama. Tarikan kuat melayangkan kereta kuda ke udara. Meski hanya beberapa detik, namun tidak terhankan rasa ngeri berada di udara. Parikesit dan Jaka saja sampai memejamkan mata karena takut. Guncang kuat tidak hanya melepas duduk dari tempatnya, genggam dari gagangnya, namun juga kesadaran. Tidak ada yang tahu dengan pasti apa yang baru saja terjadi, bahkan Ginanjar dan Panji yang berada di depan. Namun sekarang, kereta kuda itu sudah menapak tanah lagi. Sungai yang jadi dinding pemisah tadi sekarang sudah berada di belakang.

"Tidak ada yang terluka? Tidak ada yang terjatuh?" tanpa menunggu jawaban dari para penumpangnya, Ginanjar sudah memacu kudanya lagi. "Semoga sungai dapat menahan mereka sementara waktu!"

Putra mahkota Argakencana sempatkan menengok ke belakang. Ia dapati lima belas jejadian Bajag Lipan mengamuk-ngamuk di tepi sungai. Sempat Ginanjar tersenyum lega, melempar seringai mengejek. Namun seringai itu segera menguap hanya dua detik berselang. Semua orang, tidak terkecuali Parikesit dan Jaka yang masih merasa pusing, atau Semar dan Carika yang masih merasa mual, terganggu oleh rasa merinding yang menjalar kulit. Dari arah depan kabut nila mewujud karpet yang melapisi padang tandus. Panji berseru sembari menunjuk arah. Padanya Ginanjar membanting setir, mengubah arah kereta kudanya menjauh dari racun. Dari balik pekatnya nila menyeruak lagi dengan ganas belasan jejadian. Belum cukup penampakan mereka membuat rasa takut kembali menggantung ruang, gema suara menggelegar yang tadi sempat menghilang sekarang kembali lagi.

"Grraaah! Gada Inten! Perlayakan! Rebut Gada Inten!"

Raung sang tuan berbalas pekik raung jejadian anak buahnya. Jejadian Bajag Lipan merayap semakin cepat dan ganas. Beberapa dari mereka malah hampir dapat mengejar dan menangkap Jaka jika bukan Parikesit yang menghalau mereka dengan tembakan anak panah.

"Mereka terlalu banyak! Saya tidak bisa menghalau semuanya!" seru Parikesit dari atap kereta kuda. "Jaka! Pindah ke dalam! Kamu bisa celaka!"

Namun yang dituju tidak membalas. Jaka sibuk menghalau dan balas menyerang jejadian itu dengan bandul senjata dadakannya, sambil merapatkan punggungnya pada Gada Inten.

"Kurang ajar!" gerutu Ginanjar sembari menarik tali kekang, menjadikan laju kereta kudanya berbelok, menjauhi terkaman jejadian dari sisi. "Apa tidak ada yang dapat kita lakukan? Gunung itu..." katanya lagi sambil menoleh ke sisi, pada bayangan Gunung Mahesa yang masih terlihat samar. "Panji? Panji!"

Serupa saudara kembarnya, Panji tidak menyahuti kata-kata yang ditujukan padanya. Sambil menghalau dengan kibasan kerisnya, Panji berpikir keras. Sesekali ia melirik sekitar, melihat medan yang mulai terang oleh cahaya pagi. Barangkali ada petunjuk. Barangkali ada sesuatu yang dapat melahirkan gagasan demi melepaskan diri dari kepungan maut. Panji mencari lubang untuk menjebak jejadian, ia juga mencari bebatuan besar yang dapat digunakan untuk mengecoh, namun nihil, Panji tidak menemukan apa-apa selain kosong dan kering padang tandus.

Matahari yang sudah menampakkan kepalanya membawa terang yang menyibak gelap dari permukaan. Darinya juga mendatangkan cahaya yang memantul dalam kilau emas dan perak. Seakan jadi isyarat, pandangan mata segera tertuju padanya. Meski hanya sekilas namun Panji menemukan jika pantulan itu berasal dari zirah kuno yang tertimbun pasir.

"Tunggu! Apakah kita sudah..." buru-buru Panji menaikkan tempat berdirinya jadi memijak kursi kusir. Dari ketinggian ia melihat sekeliling. Dari balik membosankannya tandus, kering, berdebu medan laga, Panji dapati jika hamparan itu sekarang ramai oleh kerlip emas dan perak. "Ini dia! Kang, berbelok ke utara!"

Ginanjar menarik tali kekang kudanya. Kereta berbelok tajam menuju arah yang dimaksud. Jejadian Bajag Lipan mengikuti dengan cara menerobos tanah, lalu menolak pada bebatuan dalam bumi, yang kemudian melantingkan tubuh mereka menyeruak tanah.

"Kakang Ginanjar! Anak panah akan segera habis! Segera cari tempat berlindung!" seru Parikesit.

"Hilangkan diri dari penglihatan Panguntalraga! Ngger, cari goa!" susul Patih Kradaksa yang bergelantungan di pintu kereta kuda.

"Jangan, kang! Terus! Terus saja menuju Mahesa!" timpal Panji tiba-tiba.

"Apa yang kamu katakan, Panji? Kita tidak bisa terus-terusan lari dari mereka! Cepat lambat kita dapat tertangkap!" balas Parikesit sambil terus menembak.

Tatap mata Panji tajam pada Ginanjar. Yang dituju tahu jika Panji tidak sedang main-main. Maka akhirnya Ginanjar tidak jadi menarik tali kekangnya, tidak jadi membelokkan laju kereta kuda, dan malah menambah kecepatan. Panji meraih tepian kereta kuda, sedikit ia condongkan tubuhnya agar yang di belakang dapat mendengarnya.

"Jaka! Kita sudah sampai! Lakukan sekarang!" seru Panji.

Jaka menarik bandul senjata dadakannya. Dengan tergesa-gesa Jaka lepaskan ikatan tali pada gagang kerisnya, lalu ia kembalikan pada gagang Gada Inten. Gada itu juga kemudian ia sematkan di punggung. Setelahnya, ganti Jaka yang merayap di dinding kereta kuda demi meraih ambang pintu kereta kuda. Patih Kradaksa yang berjaga meraih tangan Jaka kemudian menariknya masuk.

"Bibi Carika! Tolong ambilkan kantung milikku!" seru Jaka.

Sambil takut-takut Carika merangkak menuju ujung pojok kereta kuda. Kumpulan kantung-kantung besar itu ia tarik satu persatu, sambil memeriksa dan mencari yang mana kantung milik Jaka. Sebuah topeng kayu yang tersemat menggantung di tepian jadi tanda jika itulah kantung yang Jaka inginkan. Sekuat tenaga, sambil mengerang memanggil tenaga, Carika dorong kantung itu menuju Jaka. Gada berganti kantung. Gada pula menggantikan tempat kantung itu di pojok kereta kuda. Setelah yakin jika ia telah mengikat kantung itu kuat-kuat, Jaka mengeluarkan tubuhnya lagi di ambang pintu kereta kuda. Sambil berpegangan pada pintu kereta kuda Jaka mendorong tubuhnya naik ke atap. Di sana, ia berbagi tempat dengan Parikesit, yang tentu saja terkejut dengan kehadirannya.

"Jaka! Apa yang kamu lakukan?" seru Parikesit ketika mendapati Jaka mengambil lima anak panah terakhir miliknya.

Sebuah kantung kecil Jaka keluarkan dari dalam kantung miliknya. Dari kantung kecil itu terdapat lima buah bola, yang jika ditilik dari kasar permukaannya, terbuat dari bahan campuran kapur dan tanah liat. Bola-bola itu diikatkan pada mata panah. Sebuah sumbu yang ada pada permukaan bola itu Jaka sulut dengan memantikkan batu api.

"Arahkan tinggi ke udara, kang!" seru Jaka sambil memberikan anak panah itu pada Parikesit.

Biar banyak pertanyaan dalam kepala, namun Parikesit melakukan apa yang Jaka minta padanya. Parikesit bidikkan panahnya tinggi kemudian ia hempaskan. Dua detik berselang anak panahnya meledak dalam nyala berwarna-warni. Suara ledaknya juga demikian kencangnya hingga membuat semua orang terkejut.

"Sekali lagi!" kata Jaka memberikan anak panah yang baru pada Parikesit. Untuk kedua kalinya Parikesit membidik udara, melesatkan anak panahnya yang kemudian meledak lagi. "Sekali lagi!" terus begitu hingga habis lima anak panah dalam ledakan nyala berwarna-warni.

Jaka memutar tubuhnya, tiarap ke muka kereta kuda. Bersama saudara kembarnya Jaka menilik padang tandus dengan tatapan tajam. Semakin jauh kereta kuda menuju, semakin sering ia temui bekas reruntuhan zirah, tameng dan persenjataan yang tertimbun termakan jaman. Dari balik bebatuan dan pasir nampak ada zirah yang retak, pedang dan tombak yang patah atau tameng yang terbelah. Dan jumlah mereka tidak sedikit. Tidak belasan melainkan hingga ratusan! Suara pekik jejadian Bajag Lipan semakin mendekat. Begitu pula Panguntalraga yang ikut mengejar dalam semburan kabut nila beracun.

"Sial kamu, Jaka! Ledakan seperti itu harusnya kamu arahkan pada mereka!" gerutu Parikesit sambil melompat turun dari atas atap.

Busur pusaka tanggal, sekarang menggantung di punggung. Sudah tidak berguna ia tanpa anak panah. Tempat Jaka berada sebelumnya sekarang jadi tempat Parikesit berjaga. Berbekal Keris Pulanggeni peninggalan ayahandanya Parikesit tak gentar berada di hadapan jejadian yang hendak menerkamnya.

Dari sela-sela zirah, tameng dan persenjataan yang tidak terhitung itu mulai nampak ada asap hitam yang menyembur. Mulanya tipis namun lama kelamaan menebal. Geram suara rendah terdengar. Satu geram tertimpa geram lainnya. Hingga kemudian geram itu tumpang-tindih dengan pekik jejadian Bajag Lipan. Semua pasang mata menjadi saksi jika dari hitam permukaan tanah ada terkam yang memangsa jejadian bajag lipan. Jejadian yang mewujud dari asap hitam itu ukurannya besar-besar dan bentuknya beragam. Ada yang menyerupai harimau, ada yang menyerupai beruang dan babi hutan. Malahan ada yang bentuknya tidak jelas seperti manusia setengah burung elang, tengkorak manusia berkepala macan, atau malah sungguhan tengkorak manusia!

Tidak ada yang tidak terkejut, bahkan Panguntalraga yang pasukannya diserang jejadian lain.

"Berpegangan!" seru Ginanjar kencang.

Ginanjar menikungkan kereta kudanya menghindari terkaman jejadian harimau. Di hadapan mereka sekarang bayangan-bayangan hitam jejadian Sambiharja menghadang. Maka mau tidak mau Ginanjar mengubah arah laju kereta kudanya.

"Panji, Jaka, terangkan pada saya apa yang baru saja terjadi?!" tanya Ginanjar.

"Siluman dan jejadian penghuni Padang Sambiharja." jawab Jaka melirik kanan dan kiri.

"Yang kamu lakukan barusan adalah memanggil jejadian yang lain? Kalian sengaja memanggil mereka untuk diadu dengan Panguntalraga? Kalian hendak mengadu api dengan api?" buru Ginanjar tidak percaya.

"Siasat bodoh!" timpal Parikesit dari belakang.

Si kembar tidak menyahuti keluh jengkel Ginanjar dan Parikesit. Keduanya terus menilik kanan dan kiri padang tandus. Ginanjar terus melajukan kereta kudanya menurut arah yang Panji tunjukkan, sembari menghindari terkaman jejadian Bajag Lipan dan jejadian dari Padang Sambiharja. Di belakang sana, Parikesit mengibas-ngibaskan bilah kerisnya, menghalau mereka yang hendak menerkam.

"Kenapa masih belum muncul juga? Apa tanda seperti tadi masih belum kurang?" gerutu si kembar gelisah dalam hatinya.

Matahari semakin naik. Sekarang Padang Sambiharja sudah hadir utuh tanpa tersembunyi lagi. Puing-puing bekas peperangan itu semakin ramai. Pertempuran antara jejadian Bajag Lipan dan jejadian Padang Sambiharja sudah nampak terjadi di berbagai arah. Ada dari mereka yang terang-terangan menyerang Panguntalraga, musnah tidak tersisa tertelan kabut nila beracun. Sampai ramai dan gaduh begitu saja, masih juga tidak menarik perhatian Panji dan Jaka. Hanya ketika terlihat kebul di kejauhan, pada arah di mana pasir dan debu tebal berarak tinggi, perhatian keduanya tertuju.

"Itu dia!" seru Jaka.

"Kakang Ginanjar, ke arah sana! Kecepatan penuh!" susul Panji kemudian.

Kereta kuda berbelok tajam lagi. Jejadian yang mengejar menikung tajam hendak menerkam dengan buasnya. Jantung berdebar kencang adakah di sana harapan berada?

Semakin dekat kereta kuda dengan kebul asap dan debu yang menutup cakrawala, semakin terdengar gemuruhnya menggema. Angin bertiup dengan kencangnya hingga menerbangkan tidak hanya kerikil dan bebatuan, namun juga jejadian yang berukuran kecil terhempas tinggi ke udara.

"Badai pasir! Panji, Jaka, itu badai pasir!" seru Ginanjar terkejut.

"Terus saja, Kang!" seru Jaka.

"Percayalah pada kami!"

"Cih! Sial! Hyaaat!"

Kereta kuda melompat sebuah undakan batu. Badai pasir itu begitu besarnya hingga menghalangi pandangan dari biru langit pagi hari. Badai pasir itu begitu dahsyatnya hingga membuat tanah bergetar hebat. Kuda-kuda meringkik ketakutan. Terhenti laju lari mereka. Jejadian yang hendak menerkam melayang-layang, terombang-ambing dalam puting beliung yang berputar tinggi. Panji dan Jaka mengenakan lagi tudung kepala dan penutup wajah mereka. Jaka melompat turun kemudian bergegas menuju belakang. Ia tarik Parikesit dan lemparkan Parikesit masuk kereta kuda, kemudian ia tutup pintu serta jendelanya. Panji menarik Ginanjar turun lalu membawanya tiarap di kolong kereta kuda. Tidak lama berselang Jaka ikut menyusul.

Gemuruh badai begitu menakutkannya, membuat semua orang membungkuk demi melindungi diri. Rasa takut begitu mencekam, hati mengutuk-ngutuk jalan hidup yang apes. Jika tidak mati diterkam jejadian maka mati ditelan badai.

Bising gemuruh suara badai masih tertinggal di telinga. Namun terpaan kencangnya lama-lama mulai terasa surut. Tiupan yang membuat jubah berkibar-kibar dan bebatuan berterbangan sekarang sudah tidak ada lagi. Pelan-pelan mereka mengangkat wajah. Entah harus takjub atau semakin merasa ngeri, kereta kuda sekarang berada di tengah-tengah mata badai. Dinding angin berpasir dan berdebu melingkar dalam tingginya yang tidak akan pernah terjangkau. Di dalam dinding puting beliung itu jejadian yang tertelan sudah jadi bangkai.

"A-apa yang terjadi?" bisik Ginanjar mendongak melihat ke sekitar.

"Kakang, tetaplah tenang dan jangan beranjak dari dekat kami." bisik Panji yang sudah keluar dari kolong kereta kuda terlebih dahulu, kemudian menjulurkan tangannya pada Ginanjar.

"Sesungguhnya, aku juga merasa gugup." bisik Jaka. Jaka memberi isyarat melalui kaca jendela agar yang di dalam tetap merunduk dan tidak bersuara.

Panji berada di kanan, Jaka ada di kiri sementara Ginanjar berada di tengah-tengah. Dalam langkah pelan ketiganya berjalan maju ke depan, memunggungi tiga ekor kuda yang terduduk dengan lemahnya.

Di hadapan mereka sekarang adalah dinding badai pasir. Yang ada di hadapan mereka tidak berbeda dengan yang ada di sisi atau belakang. Puting beliung. Entah mengapa si kembar malah membawa Ginanjar berdiri mematung pada ketiadaan. Lagi berpikir seperti itu perhatian Ginanjar dikejutkan oleh suara sesuatu yang merayap di atas pasir. Di balik tebalnya badai nampak ada bayangan hitam panjang yang melingkar. Jantung berdegup semakin kencang. Rasa takut menjalar lagi ketika bayangan panjang itu berujung tinggi tepat di depan. Pada puncaknya ada sorot dua nyala kuning terang dan sebuah suara yang mendesis.

"Di balik sisik hitam tersimpan sebuah cangkriman. Pada teka-tekinya menyimpan kunci gerbang bawah bumi dan pintu hati. Rajawa sang naga. Cantrik yang terasing dari kawanannya. Membuang diri karena kesetiaan dan kepatuhannya pada Jangkarbumi. Perkara alas bumi telah jadi latar hidupnya yang lalu. Kehilangan Raja Pewaris Bumi menjadikan ia mengikat saudara dalam keheningan pojok jagad dunia wayang. Dari perang besar ia bertahan, kini berjuang seorang diri menjaga makam para pahlawan. Rajawa sang patih. Bijaksana usianya yang uzur mewujud kunci gerbang ghaib KincirAmetu. Hanya hati tulus dan suci yang dapat meruntuhkan keras pendiriannya."
 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
CeritaWayang
Selanjutnya 115
1
0
Panguntalraga menyeringai. Lebar. Gigi-gigi taringnya menyapa Sambiharja. Tanduk dan cucuk yang menghiasi kepala dan tengkuk lehernya menegang. Kekeh tawanya bersama geram rendah tentu bukan jadi pertanda yang baik.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan