106

0
0
Deskripsi

"Aku tiba seorang diri," ujar Paruh Hitam memotong sembari menoleh ke arah keramaian serta menebar hawa dingin menusuk tulangnya lagi. "dan bersama sebuah tawaran."

Entah sudah berapa malam habis angin kering dan dingin padang tandus itu jadi kawan perjalanan. Seperti malam-malam sebelumnya, sekarang rombongan dapati mereka berada dalam persembunyian malam. Berbekal batu-batu besar yang jadi dinding persembunyian mereka membuat sebuah kemah lagi. Api unggun semakin kecil sekarang kayu bakarnya sudah hampir habis. Tidak hanya itu namun juga air dan obat. Semua perbekalan tertumpah untuk Arjuna. Sang ksatria, semakin hari semakin memburuk keadaannya. Arjuna hanya terbangun sesekali untuk mendapat perawatan dari sang apsari namun begitu, racun dalam tubuhnya masih juga enggan untuk pergi. Malahan, menggerogoti semakin ganas. Patih Kradaksa semakin melemah juga keadaannya. Sementara tidak ada yang mempedulikan Odi. Si penjahat masih terikat dan janggalnya, Odi sama sekali tidak terlihat memberontak. Sepanjang pelarian itu Odi bungkam seribu bahasa.

Suasana kalut yang menggantung terasa lebih menuntut dari yang sebelumnya mereka rasakan. Meski ruang terbuka luas tidak berujung namun tidak hanya Panji dan Jaka, namun Ginanjar dan Parikesit juga, merasa jika mereka sedang dikurung dalam ruang sempit. Ruang sempit itu tidak hanya mengurung namun juga mengukung, memisahkan dari dunia yang seharusnya.

"Kakang," panggil Parikesit. "kita tidak dapat seperti ini terus-menerus. Kita harus mengobati Eyang Arjuna."

"Saya tahu, dimas. Tetapi bagaimana caranya?" sahut Ginanjar resah melempar batu masuk api unggun.

"Tidak ada cara lain lagi. Kita berpencar. Saya akan membawa Eyang Arjuna kembali ke ibukota!"

"Jangan bicara ngawur, dimas! Bagaimana jika penjahat-penjahat itu menemukanmu?"

"Saya akan berkuda sesunyi mungkin."

"Maaf, Kakang Parikesit, tetapi saya setuju dengan Kakang Ginanjar. Bagaimana jika para penjahat itu telah menemukan jejak kemah kita?" ujar Panji.

"Saya tidak peduli! Saya akan menyelamatkan Eyang Arjuna entah bagaimana caranya!" ujar Parikesit lagi berapi-api.

"Apa kamu masih belum mengerti, dimas? Kamu hanya membunuh dirimu sendiri dan Eyang Arjuna!" balas Ginanjar mulai naik rasa jengkelnya.

"Apa beda dengan sekarang, kang? Jika kita terus-menerus berkuda tidak tentu arah seperti ini tidak hanya Eyang Arjuna yang akan celaka tetapi kita semua!" balas Parikesit tidak kalah galaknya.

"Kakang Ginanjar, Kakang Parikesit, mohon jangan bertengkar!" kata Panji berdiri lalu menghampiri Ginanjar dan Parikesit yang sudah bertukar tatapan galak satu sama lain.

"Kang Parikesit tidak keliru, bukan?" celetuk Jaka lemah sambil memainkan arang api unggun dengan malas. "Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kuda-kuda itu juga punya batasan, Panji. Antara kita segera menemukan bala-bantuan atau kita berhasil menghancurkan gada ini!" kata Jaka lagi kemudian melempar Gada Inten dengan kerikil.

"Kita tidak dapat menghancurkan gada itu dengan cara yang biasa. Kita masih ingat dengan apa yang terjadi sebelumnya. Apa memang gada ini tidak dapat dihancurkan?" keluh Parikesit jengkel seperti halnya Jaka. "Jalan yang kita miliki hanyalah menemukan bala-bantuan secepatnya!"

"Kembali ke Cengkarbumi hanya akan membawa maut untukmu, dimas! Apa kamu mau menyelamatkan Eyang Arjuna dengan mengorbankan hidupmu sendiri?"

"Aku yang akan menemani Kang Parikesit!" ujar Jaka tiba-tiba. Jaka berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekati Ginanjar dan Parikesit. "Harapan kita hanyalah Gusti Arjuna. Selama bukan dukun siluman itu yang mengejar, aku pasti akan menemukan cara untuk mengecohnya. Atau jika perlu..." kata-kata Jaka terhenti sesaat oleh hela nafas berat. "...aku sendiri yang akan mengecohnya!"

"Ngawur!" sambar Panji.

"Bicaramu tidak karuan!" susul Niken Mustikawati kemudian.

Hadirnya sang apsari jadi hela jeda angin segar sesaat. Namun tidak untuk Jaka yang ditatapi galak oleh Niken Mustikawati. Diperlakukan begitu bukannya membuat Jaka jadi diam dan merenung, malahan membuatnya berbicara lagi.

"Ayolah! Kamu juga pasti menemukan cara, Panji! Berada di mana pikir tajammu itu?"

"Tidak pernah masuk dalam perhitungan saya untuk mengorbankan nyawa orang lain, apalagi nyawamu, Jaka!" balas Panji dengan nada jengkel.

"Kalau begitu artinya kamu tidak siap! Kamu tidak dapat melihat hal yang lebih besar, Panji! Kamu tidak siap mengorbankan diri demi keselamatan orang banyak!"

"Oh, rupanya kamu mendengar kata-katanya? Sekarang kamu lebih mendengar kata-kata seorang penjahat daripada kata-kata saudaramu sendiri?" balas Panji tidak kalah galaknya.

"Setidaknya aku sudah siap untuk berkorban! Seperti halnya Gusti Arjuna dan Gusti Patih Kradaksa!"

"Cukup!" sambar Niken Mustikawati melerai Panji dan Jaka. "Tidak ada yang berkata-kata lagi! Tidak ada yang mengorbankan nyawanya demi apapun!"

Maka mau tidak mau Panji dan Jaka menjauh kemudian menyudut ke sisi yang berseberangan. Sudah begitu, Ginanjar dan Parikesit juga kembali ke tempat mereka semua. Keempatnya tidak berkata-kata lagi namun raut wajah resah dan jengkel menggantung di depan. Terasa sekali jika yang panas malam itu bukan saja api unggun melainkan rasa dalam hati.

"Kita akan menemukan sebuah cara. Percayalah. Namun sampai hari baik itu tiba marilah kita terus menjaga jarak dari kejaran mereka dengan begitu hamba dapat merawat Gusti Arjuna lebih lama lagi." kata Niken Mustikawati lagi.

"Tetapi Gusti Arjuna tidak membaik, bu. Racun itu terlalu kuat untuk ibu rawat seorang diri." keluh Jaka.

"Hamba akan mencari cara! Kita masih memiliki waktu!" jawab Niken Mustikawati lagi.

"Kenapa nyai terdengar begitu yakin?" tanya Parikesit dengan tatapan curiga.

"Ki-kita melihat bersama-sama, bukan? Ketika dukun hitam itu terluka begitu parahnya?" adalah Carika yang menjawab sambil takut-takut melihat ke arah tepi kereta kuda.

Sesosok yang terduduk tersembunyi dalam bayangan mengekeh. Suara kekehnya saja sudah cukup untuk memantik nafsu amarah jadi menyala lagi. Namun yang dituju acuh, tidak mempedulikan tatap galak yang memburunya dari sekeliling api unggun.

"Aku tidak akan terlalu mengkhawatirkan Panguntalraga. Paruh Hitam yang harus kalian waspadai." kata Odi sambil melirik sinis. "Orang itu licik, licin dan culas. Meski benci namun harus kuakui Paruh Hitam cerdas dan cerdik. Kalian pikir bagaimana caranya Bajag Lipan bisa bersembunyi di dinding Cengkarbumi tanpa kalian sadari?"

"Ce-celaka..." gumam Ginanjar menukar raut wajahnya jadi sukar.

"Kau harus memiliki pikiran dan jiwa yang kuat untuk melawannya. Orang itu tidak dapat kalian kalahkan hanya dengan otot." kata Odi melirik Jaka.

"Tak apakah jika aku ambil kata-katamu sebagai pujian, Sisik Kelabu?"

Suara serak datang dari kabut nila yang menyembur di retakan tanah. Bau busuk menusuk hidung, membuat siapa saja yang menciumnya tidak hanya mundur menjaga jarak namun juga menaikkan kuda-kuda. Semua pandangan mata melotot, terbelalak tidak percaya kala sesosok manusia berjalan keluar dari tebalnya kabut nila beracun itu. Senjata segera terangkat, tubuh melintang melindungi mereka yang tidak berdaya. Kirana tampak ketakutan dibalik Panji dan Jaka yang bersiaga. Carika gemetaran meski Ginanjar dan Parikesit yang jadi tameng mencoba menenangkannya. Patih Kradaksa menjaga sebuah kereta kuda yang berisi Semar dan Arjuna. Odi merengsek keluar dari bayangan api unggun, meski kedua tangannya terikat namun kedua kaki sudah menancap kuat di atas tanah. Odi sudah bersiap jika harus bertarung lagi.

Sebuah senyum sinis menebar dingin yang menusuk tulang. Penjahat bertubuh kurus kering itu melihat wajah-wajah yang menunujukkan ngeri. Pemandangan itu, malah membuat senyumnya jadi semakin lebar. Suara robek mengalihkan perhatiannya untuk sementara. Tali yang mengikat tubuh robek oleh gigitan rajah ular naga yang membungkus tubuh Odi dengan luka-luka baru.

"Hentikan, Sisik Kelabu," kata Paruh Hitam dengan suaranya yang serak. "Rajah Paksina hanya akan membunuh dirimu sendiri."

"Kaulah yang akan mati, bedebah!" kata Odi menggeram menahan amarah. "Akan kubuat kau-

"Aku tiba seorang diri," ujar Paruh Hitam memotong sembari menoleh ke arah keramaian serta menebar hawa dingin menusuk tulangnya lagi. "dan bersama sebuah tawaran."

Tidak ada yang bersuara. Bukan karena ingin tahu dengan apa yang akan Paruh Hitam katakan setelahnya, namun karena rasa takut itu begitu dashyatnya hingga mencekik leher, membuatnya sulit mengeluarkan kata-kata.

"Saat ini Paduka Panguntalraga masih mencari kalian semua, masih mencari Gada Inten," kata Paruh Hitam lagi sambil melirik tempat dekat kereta kuda. Buru-buru Carika yang berada di dekatnya mengambil Gada Inten kemudian ia berikan pada Parikesit. "jika beliau menemukan kalian, oh, tidak terbayang jadi apa kalian semua. Namun yang pasti, akan lebih mengenaskan dari semua mayat di Cengkarbumi."

"Kurang ajar..." geram Ginanjar mengepalkan tinjunya kuat-kuat.

"Bawa gada itu padaku, Sisik Kelabu." kata Paruh Hitam menoleh pada Odi. Sikapnya tenang seakan-akan setiap orang yang berada di hadapannya kumpulan bocah, tidak membawa ancaman sama sekali. "Dengan kekuatan itu aku dapat mengembalikan lagi kesaktianmu. Bersama-sama kita lenyapkan Panguntalraga dan kuasai dunia ini. Bukankah itu yang jadi keinginanmu juga?"

Semua orang terkejut mendengar kata-kata Paruh Hitam. Terlebih Odi. Terbelalak matanya menghadap Paruh Hitam. Ginanjar memberi isyarat agar semua orang berpindah dua langkah menjauh, karena sekarang mereka tidak hanya mengangkat kuda-kuda mengarah Paruh Hitam namun juga Sisik Kelabu. Namun begitu, tidak disangka tawaran Paruh Hitam hanya dijawab oleh suara kekeh mengejek.

"Cih! Setelah mengkhianatiku sekarang kau akan mengkhianati tuanmu sendiri? Bajag Lipan memang penuh dengan orang munafik!"

"Bahkan aku yang berada di kejauhan dapat merasakan betapa dahsyatnya kekuatan rahasia yang tersimpan di dalam Gada Inten. Kau, dari banyak orang, tentu telah terbayang apa yang dapat kau lakukan dengan semua kekuatan itu. Bayangkan, Odi, jika kekuatan itu digunakan bukan untuk membangkitkan Sambangdalan melainkan orang lain...misalnya saja orang tuamu? Atau mungkin Kelopak Putih?" kata Paruh Hitam menyunggingkan senyum yang mengerikan.

Hanya melalui kata-kata saja Paruh Hitam dapat membuyarkan raut mengejek dari wajah Odi dengan mudahnya. Tidak terlihat lagi raut wajah melawan dari Sisik Kelabu. Ia tertinggal dengan mulut menganga lebar dan kedua mata terbelalak tidak percaya.

"Su-Sukma?" bisik Odi.

"Aku sudah tidak memerlukan lagi tempat utama di hadapan Panguntalraga sekarang semua sejawatku sudah mati. Tetapi, jika saja kau dan Kelopak Putih menginginkan kehidupan yang bebas, maka akan aku kabulkan! Setelah Panguntalraga mati dan aku mendapatkan kekuatan itu, aku tidak akan lagi memerlukanmu! Kau bisa pergi! Menjalani hidup seorang diri seperti yang selama ini kau inginkan!" ujar Paruh Hitam sembari membentangkan satu-satunya pergelangan tangan yang ia miliki serta menyeringai lebar. "Nah, Odi, bawa gada itu padaku! Buktikan padaku kau pantas mendapat tempat bersamaku di dunia yang baru!"

Odi tampak risau. Raut wajahnya masih seperti tadi, terperangkap dalam bayangan buruk yang menggantung di dalam pikiran. Hela nafasnya mulai memburu. Tidak hanya karena rajah ular naga yang menggerogoti kulitnya semakin ganas namun juga karena bayangan akan kawan yang mati. Odi perlahan-lahan memutar kepalanya, menuju Gada Inten yang sedang berlindung dalam barisan rapat. Mereka yang mengelilingi ganti mengarahkan persenjataan ke arah Sisik Kelabu.

"Cih! Maaf, Nak Jaka, seharusnya pada saat itu saya mendengarkan kata-katamu! Orang ini seharusnya biar mati terpanggang matahari!" gerutu Patih Kradaksa sambil merendahkan kuda-kudanya.

"Gu-Gusti Patih! Jangan tergesa-gesa!"

Patih Kradaksa melesat rendah hendak memburu Odi dengan keris senjatanya. Namun begitu, dengan mudahnya Odi dapat mementalkan serangan itu hanya dengan satu kibasan tangan. Entah karena keadaan Patih Kradaksa yang sudah sangat lemah, ataukah karena kekuatan Odi yang meningkat karena kesaktian rajah di kulitnya, tidak ada yang tahu. Yang jelas sekarang Patih Kradaksa terpukul mundur, kembali lagi ke hadapan barisannya bersama suara yang merintih kesakitan. Senjata keris miliknya yang melayang-layang di udara jatuh dekat Odi dan segera disambarnya. Namun begitu, bukannya menyimpan untuk jadi senjatanya sendiri, Odi malah menyarangkan tendangan kuat di gagang keris itu, menjadikannya anak panah yang memburu Paruh Hitam.

"Sisik Kelabu," kata Paruh Hitam terkekeh-kekeh. Keris yang melesat mengarahnya menubruk dinding tak kasat mata. Sekarang jatuh tak bertuan di atas tanah. "rupanya kau lebih senang bersama Kelopak Putih di neraka daripada di dunia ini."

"Aku yang akan mengantarmu ke neraka, keparat!" seru Odi melesat hendak meninju Paruh Hitam dengan satu tangannya.

Sama seperti keris milik Patih Kradaksa, tinju Odi menggantung di udara. Jemari kurus Paruh Hitam membungkusnya dalam dingin yang menusuk bagaikan ratusan jarum beracun.

"Kuberi tahu, Odi," bisik Paruh Hitam pada Odi yang terlihat terkejut serangannya dipatahkan begitu mudah. "dalam satu raga tidak dapat dihuni oleh dua jiwa."

Mulut Paruh Hitam komat-kamit merapal mantra. Untuk sesaat Odi sudah bersiap akan gelombang tidak kasat mata yang akan menyiksanya. Namun begitu, bukan itu yang terjadi setelahnya. Tidak ada gelombang menyiksa yang menerpa tubuhnya. Yang terjadi adalah rajah ular naga yang melilit tangannya sekarang meronta-ronta bagaikan cacing kepanasan. Ular naga itu mengamuk tidak terkendali. Sudah begitu, sisiknya yang tajam tidak lagi menyayat-nyayat kulit Odi melainkan menebasnya tiada ampun. Odi meraung kesakitan. Tubuhnya berdarah-darah bagaikan ditebas oleh puluhan bilah pedang yang tidak kasat mata. Hanya dalam dua detik berselang saja tubuh si penjahat itu sudah penuh dengan darah. Satu jentik jari Paruh Hitam mementalkan Odi, membuatnya jatuh berguling-guling di atas tanah.

Semua pandang mata bergidik ngeri. Sekarang dua tatap mata merah Paruh Hitam nampak menyorot tajam dari balik pekatnya nila beracun.

"Bi-bius keparat!" rintih Odi pelan.

Gelombang tak kasat mata menerpa dengan dahsyatnya bagaikan tiupan badai. Bersamaan dengan itu juga suara mengikik keras membuat telinga jadi pengang dan kepala jadi terasa sakit tidak tertahankan. Semua kuda-kuda dan pijakan runtuh dengan mudahnya. Rintih kesakitan terdengar mengganti tenangnya malam jadi mencekam. Sirep itu sungguh dahsyat. Tubuh seakan diserang hawa panas dan dingin secara bersamaan. Belum lagi seakan-akan ada sesuatu yang besar dan berat menindih punggung.

"Racun yang tidak berwujud adalah racun sejati. Betapa eloknya racun yang tidak meninggalkan bekas." kekeh Paruh Hitam sembari berjalan mendekat.

Parikesit jatuh di atas kedua lututnya menyusul orang-orang yang lain. Genggam pada Gada Inten terlepas seakan-akan tenaga benar-benar meninggalkan raganya. Gada Inten menggelinding menjauh. Panji yang berada dua langkah di dekat berusaha menujulurkan tangannya untuk meraih gada hitam itu namun ia tidak dapat. Jangankan untuk merengsek, untuk menujulurkan tangan saja rasa sakitnya tidak tertahankan. Panji mendongak, mengintip ke arah depan. Di hadapannya Paruh Hitam nampak berbayang. Penjahat bersenjatakan sirep itu seperti telah membelah dirinya jadi empat. Maka Panji mengerang lagi, memanggil tenaganya agar tangannya terjulur. Namun begitu, hanya sampai disitu saja yang dapat ia lakukan. Hanya untuk membuka jemari saja tubuhnya mengijinkan. Jemarinya bergetaran hebat, sukar untuk digerakkan.

Rasa hati ingin meraung meluapkan rasa sakit namun tidak ada suara yang keluar. Hingga kemudian dari bawah ada sinaran hijau yang merayap mendekat. Sinaran hijau itu menyentuh kulit lalu membungkusnya dalam warna. Bersamaan dengan itu rasa sakit dan berat yang menimpa tubuh perlahan-lahan terangkat. Suara langkah kaki yang mendekat membuat perhatian jadi teralih. Dari arah belakang seorang apsari berjalan tertatih-tatih dalam nyala terang. Niken Mustikawati masuk medan laga.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
CeritaWayang
Selanjutnya 107
0
0
Duhai Gusti Wisanggeni, ijinkanlah Baramasa berkobar dalam hati hamba sekali lagi! seru Kirana sekuat tenaga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan