104

0
0
Deskripsi

Hanya sampai di situ, kesemuanya dihentak kejutan lagi. Sebuah ledakan dari dalam Cengkarbumi menerbangkan Odi dan Panguntalraga ke udara. Kuda-kuda semakin jadi liar. Mereka semua menarik-narik kepala berharap dapat melepas ikatnya dari pancang.

Suara deru angin kencang memekakkan telinga. Serpihan debu dan pasir menerpa wajah kencang, hingga setiap dari mereka harus berlindung dengan menutup wajah atau lebih baik lagi berlindung di belakang sesuatu yang besar. Debu mengepul tebal, suara orang terbatuk-batuk terdengar dari beberapa arah.
 

“A-apa itu tadi?” keluh Jaka menegakkan tubuhnya sembari mengusir debu dari wajah.

“Gada itu punya kehendaknya sendiri?” gumam Odi sembari melihat ke arah Gada Inten yang sekarang sudah padam lagi.

RRAAAH!!!

Suara raung menggema ruang memekakkan telinga. Dari arah suara itu berasal terlihat kepulan debu tebal dan puing-puing yang dilempar cambuk sulur hitam. Di tengah pekatnya kabut nila beracun itu sudah terlihat wajah mengerikan siluman yang hendak memburu.

“Celaka! Dia sudah menemukan kita!” seru Panji sambil menarik Niken Mustikawati dan Carika berdiri.

“Cih! Setan alas!” gerutu Odi memutar tubuhnya lalu memasang kuda-kuda.

“Kita harus pergi! Sekarang juga!” seru Parikesit berlari menuju Gada Inten lalu mencabutnya dari atas tanah.

“Tutup pintu gorong-gorong sekarang!” seru Ginanjar pada para prajurit yang berjaga dekat gerbang gorong-gorong. “Semuanya! Ikut saya menuju tangga!”

“Kang Ginanjar!” seru Jaka setelah melirik tangga panjang yang terpahat dari bawah hingga puncak dinding Cengkarbumi. “Kang, waktunya tidak akan cukup!”

“Pergilah,” kata suara yang tertatih-tatih. “saya akan menahannya.”

“Eyang! Tidak! Jangan melawannya, Eyang Arjuna! Ikutlah dengan kami!” seru Ginanjar.

Laju lari terpogoh-pogoh menghampiri Niken Mustikawati. Semar berbisik dengan raut wajah cemas pada sang apsari. Hanya satu kalimat, namun mampu membuat Niken Mustikawati merengsek keluar dari barisan rombongannya. Dua tangan yang terjulur di depan berpendar hijau. Pendaran itu lalu membungkus tubuh Arjuna dan Gada Inten. Sekejap kemudian, Niken Mustikawati sudah membawa Sang Panengah Pandawa dan pusaka usang itu terbang ke udara.

“Bagus! Semuanya, terus lari sekuat tenaga! Jangan berhenti.” seru Ginanjar kencang.

Berada di paling depan Panji dan Carika. Sementara di belakangnya Parikesit bersama Patih Kradaksa. Sementara Jaka bersama Ginanjar menemani Semar yang larinya lambat. Raung amuk Panguntalraga semakin jelas terdengar. Deru ledakan dari sulurnya lebih kencang terdengar.

“Keparat!” raung Panguntalraga.

Sulur hitam itu membelah diri jadi empat. Kesemuanya menyembur kencang memburu dinding. Bebatuan mulai runtuh. Jika rombongan itu tidak menahan laju larinya, tentu sudah mati tertimpa batu besar atau malah jatuh dari ketinggian. Patih Kradaksa keluar dari barisannya bersama pusaka keris miliknya. Meski sang patih itu dapat menghalau beberapa pecut sulur hitam itu, namun tetap saja hawa gelap Panguntalraga masih jauh lebih dashyat. Patih Kradaksa tampak kewalahan. Apalagi ketahanan tubuhnya sekarang sudah jauh menurun akibat pertarungannya yang sudah lewat. Pendaran hijau di udara tertangkap mata Panguntalraga. Segera dukun sakti itu mengarahkan pecut sulurnya ke arah Niken Mustikawati.

“Jangan berhenti, nyai.” ujar Arjuna dengan suara berat.

Arjuna memutar sikap tubuhnya. Sekarang ia menghadap ke arah bawah. Busur yang digenggam sekarang berdiri lagi. Cahaya temaram anak panahnya jadi tanda jika Arjuna sudah kehabisan tenaga, namun begitu, tetap saja ia tembakkan. Ledakan dari peraduan hawa murni dan gelap itu tidak memusnahkan sulur hitam, tetapi cukup membuatnya terpental menjauhi dinding. Panguntalraga sudah dekat. Tidak pusing lagi ia dengan sulur cambuk hitam, Gada Inten itu hendak ia ambil dengan tangannya sendiri. Dari arah bawah melesat sesosok yang terbungkus hawa hitam. Sosok itu tubuhnya sudah penuh dengan rajah sisik naga. Sisik itu tidak hanya melilit tangannya melainkan hingga ke sekujur punggung. Yang lebih mengerikan lagi, rajah itu benar-benar hidup sekarang. Sisik naga hitam meliuk-liuk mengoyak-ngoyak punggung Odi dengan tepiannya yang setajam bilah pisau. Satu ayunan tinju mendarat telak di atas wajah Panguntalraga. Dukun sakti itu terpukul mundur.

“Grrr! Odi!” raung Panguntalraga. “Kau menjual jiwamu padaku dan sekarang kau menggunakan berkat yang kuberi untuk melawanku? Dasar anak tidak tahu diri!”

Odi tidak membalas. Odi menapak dinding lalu menerjang menuju Panguntalraga. Empat sulur hitam menyambut, membungkus ruang kosong di mana Odi hendak menaruh dirinya. Sebentar kemudian, keduanya sudah terlibat pertarungan yang dahsyat.

Terengah-engah anggota rombongan tiba di puncak lubang Cengkarbumi. Keringat mengucur deras jadi tanda tenaga yang dikuras sangat banyak. Namun begitu, kesemuanya tahu jika maut di belakang punggung tidak mengijinkan tubuh untuk beristirahat meski hanya sejenak. Mengitari lubang raksasa Cengkarbumi adalah kereta-kerata kuda para pedagang dan pelancong. Kesemuanya tidak berpenghuni terkecuali satwa wahananya. Kuda-kuda meringkik-ringkik kencang, kaki-kaki mereka menyepak tidak karuan. Semua tanda jika kuda-kuda itu sedang merasa cemas dan takut.

“Ayo! Ayo, naik ke atas kereta!” seru Jaka.

Sebuah kereta kuda yang ditarik dua ekor kuda jadi tujuan Jaka. Di sana juga Niken Mustikawati mendaratkan Arjuna dan Gada Inten. Parikesit tiba menyusul dan segera memapah Arjuna untuk segera naik. Semar tiba belakangan, tanpa diminta sang abdi mengambil Gada Inten dan mengikatnya di belakang kereta kuda. Sementara kelompok yang lain lagi, yang dipandu Ginanjar, menuju kereta kuda lain yang berada di sebelah.

Hanya sampai di situ, kesemuanya dihentak kejutan lagi. Sebuah ledakan dari dalam Cengkarbumi menerbangkan Odi dan Panguntalraga ke udara. Kuda-kuda semakin jadi liar. Mereka semua menarik-narik kepala berharap dapat melepas ikatnya dari pancang.

Panguntalraga menyemburkan lagi kabut nila beracun ke arah Odi yang baru saja mendarat di atas tanah. Rajah sisik naga di punggung meliuk-liuk semakin cepat. Semakin sisik itu jadi gusar, semakin jadi parah luka robek di punggung namun semakin jadi kuat juga ketahanan tubuh Odi. Meski ia mengerang kesakitan, namun hawa gelap yang membungkus tubuhnya mampu mengusir kabut nila beracun yang hendak merasuk. Odi melesat dalam kecepatan yang tinggi. Arahnya lurus menuju Panguntalraga. Dari balik pinggan ia keluarkan golok senjatanya. Dan bersama kanuragan dari dunia bawah itu Odi hujamkan mata golok di atas dada Panguntalraga. Dukun sakti itu meraung keras kesakitan. Bersamaan dengan itu juga kabut nila beracun menyembur deras dari tempat luka tusuk itu berada.

“Terkutuk! Odi!”

Dengan tenaganya Panguntalraga mengarahkan semburan nila beracun itu jadi terpusat menuju Odi. Panas, nyeri dan ngeri menerpa Odi dalam waktu bersamaan. Odi meringis kesakitan. Satu tangan yang menggenggam golok ia cabut dari tempatnya, kemudian satu tangan yang lain lagi mengantarkan sebuah pukulan untuk wajah mengerikan Panguntalraga.

“D-dia mengalahkan Panguntalraga?”

Tubuh Panguntalraga terpelanting tinggi. Semburan nila beracun itu sudah surut. Jika masih ada pun, mereka buyar di udara. Panguntalraga jatuh ke dalam Cengkarbumi.

“Sekarang! Kita pergi sekarang!” seru Parikesit naik ke kursi kusir dan segera memacu kereta kuda untuk melaju.

“Kang! Ikuti kami!” seru Jaka sambil melambaikan tangan pada Ginanjar yang jadi kusir kereta kuda yang lainnya.

“Kita akan menuju ke mana? Tu-tunggu, apa siluman itu sudah mati?” kata Parikesit lagi dengan nada cemas.

“Aku tidak peduli lagi dengan mereka, kang! Kita harus mengkhawatirkan keselamatan kita terlebih dahulu! Dan juga keselamatan Gusti Arjuna!” kata Jaka melirik ke belakang, ke dalam kereta kuda, di mana terdapat Niken Mustikawati yang sedang mengobati sang Panengah Pandawa.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
CeritaWayang
Selanjutnya 105
0
0
“Apakah jadi beda?” balas Odi dengan nada enteng. “Orang tua kami hanya jelata. Entah akan mati karena penyakit di hari tua atau mati karena Bharatayudha tololmu itu. Tetapi tetap saja rajamu itu melahirkan aku dan Kelopak Putih."
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan