
PUSAKAYANA
Part 8 - Alam Pusaka
spoiler :
"Tahan emosimu, Jul! Kita selidiki dulu!" ujar Danan.
Ia menitipkan tubuhnya pada Cahyo dan memisahkan sukma. Roh Danan melayang, menyusuri tempat itu yang menyerupai sarang ular raksasa. Ia menghindari para siluman, mencari biang keladi kekacauan itu.
Namun ketika melayang di atas dewi ular bersisik putih itu, sosok tersebut langsung menyadari kehadirannya. Ia menatap Danan, tersenyum menggoda.
Tanpa disadari, seekor ular besar mengendap, bersiap menyergap....
Ada chapter baru minggu ini!
PUSAKAYANA
95
21
9
Berlanjut
Spoiler :
Dengan gerakan terakhir, ia memakan semua benda yang diambil dari tubuh istrinya—menelannya satu demi satu. Bau darah dan daging terbakar memenuhi ruangan.Lalu... keheningan. Beberapa detik kemudian, tubuh Ki Satmo menggeliat hebat.Ia mendangak, matanya putih. Dari dalam tenggorokkannya muncul sesuatu...Sebatang tombak tua, berkarat dan berlumuran darah, menembus dari dalam mulutnya, merobek rahang dan bibirnya. Tombak itu terus keluar, memanjang, penuh ukiran aneh, disertai semburan darah segar dari tenggorokannya.Manjing Marcapada telah bangkit.
Dan semua yang ada di ruangan itu… akan menyesali apa yang baru saja mereka lakukan. Hawa merinding tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan. Suhu udara menurun drastis. Api dalam tungku mendadak meredup, dan asap dupa berubah warna menjadi kehitaman, menggulung seperti makhluk hidup yang meliuk di udara. Bau anyir dan belerang menyatu menjadi satu aroma yang menusuk hidung—tanda kehadiran sesuatu yang tak berasal dari dunia ini.Pusaka itu… bangkit.Dari mulut Ki Satmo, tombak berukir aneh itu terus mencuat—tua, berkarat, namun memancarkan kekuatan yang membuat udara terasa lebih berat. Pada saat itu pula, kutukan yang mengendalikan Ki Satmo patah. Kesadarannya kembali, tapi tubuhnya sudah terlalu rusak. Darah mengucur dari mulut dan lehernya. Rongga mulutnya sobek, tenggorokannya koyak, dan wajahnya tinggal menyisakan siksaan.Matanya menatap kosong ke langit-langit, tersadar akan kematian yang segera datang.“Jadi ini… Manjing Marcapada…” bisik salah satu pria dari kelompok berjubah hitam. Ia mendekat perlahan, matanya berbinar oleh keserakahan.Tanpa ragu, ia menarik tombak itu dari mulut Ki Satmo.SRAK!!!
Darah menyembur, tubuh Ki Satmo terguncang hebat. Napasnya kini tinggal desahan pelan, setipis helai rambut yang menari di ujung ajal.Pria itu mengangkat tombak dengan angkuh. “Akulah tuanmu sekarang!” katanya, memutar-mutar senjata terkutuk itu di udara.Namun hanya butuh beberapa detik…Matanya melebar. Napasnya tercekik. Dunia di sekelilingnya berubah dalam sekejap.
Ruangan yang semula berisi rekan-rekannya kini penuh mayat, mengenakan pakaian kuno, tubuh mereka terbelah, terbakar, ada yang tergantung terbalik di langit-langit dengan wajah menganga seperti berteriak tanpa suara.“A—apa ini…?! Ini bukan… ini BUKAN Manjing Marcapada!!”
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Pusakayana
Selanjutnya
PUSAKAYANA 9 - Jagat Menungso
6
3
Pusakayana Part 9 - Jagat MenungsoSpoiler :“Sendirian di puncak bukit selama ini pasti sepi, ya…” ucap Naya sambil menatap ke arah langit. Bulan bundar menggantung seperti mata para leluhur yang terus memperhatikan mereka dari atas.Buto Kendil tak menjawab, tapi tubuhnya sedikit mengendur, seolah menunjukkan perasaan lega karena kehadiran seorang sahabat. Naya lalu menoleh ke arah makam kecil yang ada tak jauh dari situ—makam ayah Danan, yang sudah lama bersemayam di tanah itu.Dengan suara lirih, Naya berkata,
“Aku mendapat mimpi…”Tangannya meremas jubah tipis yang ia kenakan. “Mas Danan akan gagal. Petaka akan datang… dari tempat yang bahkan tak bisa dijangkau manusia.”Buto Kendil hanya menatap, diam.Sudah tiga malam berturut-turut mimpi itu datang. Naya melihat desanya runtuh dalam asap dan api. Ia melihat Danan pulang membawa kekalahan, dan bersamanya—bencana yang tak bisa ditahan.“Desa sudah menggelar ritual. Ki Arsa memimpin langsung. Dia juga bersiap pergi ke tempat dalam mimpiku. Semua ini agar petaka itu tidak benar-benar datang…”Buto Kendil mendengarkan. Tiba-tiba ia berdiri, tubuhnya membesar perlahan, jauh lebih besar dari terakhir kali Naya melihatnya bertarung di Padang Kurusetra.“Gik… gik… gik…”Ia tertawa keras, sambil memukul-mukul dadanya—gaya khasnya saat menyatakan kesiapan untuk bertempur.Naya tak bisa menahan senyum.
“Iya… iya… aku tahu, kau bisa diandalkan, Buto Kendil.”
Suaranya lembut, penuh kasih, seperti berbicara kepada kakak tua yang sering menghibur di tengah masa kecilnya yang sunyi.Lalu ia menunduk pelan.
“Tapi tetap saja… aku berharap Mas Danan berhasil, agar kita tak perlu kehilangan siapa-siapa lagi.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan