
PURI JAGATSUKMA
Part 2 - Nyai Jambrong
Spoiler :
… Desa Wulungmanten.
Sebuah desa sunyi yang bertetangga dengan tempat tinggal Guntur dan Arum. Nama desa itu mendadak menggemparkan ketika longsor besar menguak sesuatu yang tak seharusnya terlihat.
Di tebing yang runtuh, warga menemukan makam-makam kuno. Batu-batu bata merah berlumut membentuk lingkaran, menyerupai sisa candi yang lama terkubur.
“Belum ada yang berani turun ke bawah,” bisik seorang warga di warung kopi. “Waktu pertama kali ditemukan,...
PURI JAGATSUKMA
12
1
2
Berlanjut
Sebuah Istana dari masa lalu muncul di sebuah desa di seberang jurang. Sebuah istana yang telah tersegel selama ribuan tahun dan menyimpan berbagai kengerian. Pusaka, Ilmu hitam, dedemit, semuanya tersegel di sana selama ribuan tahun. Dan siapapun yang diakui oleh kekuatan misterius dari istana itu akan diberkahi sebuah permohonan.Berbagai pendekar berebut untuk memasukinya dan mendapatkan kesempatan mengabulkan permohonan mereka masing-masing. Kesempatan itu diincar oleh para penganut ilmu hitam untuk memenuhi keserakahannya. Untuk mencegah itu, Para Pendekar Jagad segoro demit mengambil resiko untuk menghadapi tantangan di Puri itu.
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Puri Jagatsukma
Sebelumnya
PURI JAGATSUKMA Part 1 - Kang Jawir
8
1
PURI JAGATSUKMAPart 1 - Kang JawirSpoiler :… “Ribut wae! Ulah ulin di dieu?!” (Berisik! Jangan main di sini?!)Kang Jawir, pria kurus dengan wajah tirus dan rambut awut-awutan, mengibaskan tangan gusar ke arah anak-anak yang berlarian di tanah lapang dekat gubuknya.“Jangan galak-galak, Kang Jawir! Tanahnya kan luas, enak buat main!” teriak salah satu bocah.“Luas-luas téh tanahnya Kang Jawir nu babat! Bukan buat main!” balas Kang Jawir, wajahnya masam namun nada suaranya lebih terdengar gugup daripada benar-benar marah.Anak-anak bukannya takut, malah makin ribut. Gelak tawa mereka pecah, seolah tak mempedulikan omelan Kang Jawir. Pria itu mendengus, mengambil sandal usangnya, pura-pura hendak melempar. Namun sebelum sempat, dari dalam gubuk terdengar suara langkah goyah.“Sudah, sudah… istirahat dulu mainnya. Nyai bikinin kue cucur…”Seorang nenek tua berambut putih kusut muncul dengan susah payah, menenteng piring anyaman berisi cucur hangat. Ia adalah Nyai Runtak—sosok buta yang dulu kerap ditakuti anak-anak karena wajahnya yang suram. Tapi setelah mereka mengenalnya, ketakutan itu berganti jadi rasa hormat dan sayang.“Tuh kan! Nyai Runtak baik, nggak kayak Kang Jawir!” seru seorang bocah, disambut sorakan teman-temannya yang langsung berlarian mengerubungi sang nenek.Nyai Runtak tersenyum lembut, meski pandangannya tak pernah mengarah tepat ke wajah anak-anak. Ia tahu mereka ada di sekitarnya dari langkah, dari napas, dari kehangatan suasana.“Kang Jawir téh bukan galak… Dia cuma khawatir. Ini sudah magrib. Orang tua kalian pasti mencari. Habis makan langsung pulang, ya.”“Iya, Nyai!” jawab bocah-bocah kompak.Salah satunya, Daru, menjulurkan lidah ke arah Kang Jawir, meledek. Kang Jawir refleks memelototinya, meski telinganya merah sendiri karena malu.“Daru… jangan suka ngeledek Kang Jawir. Nggak sopan. Dia lebih tua dari kalian, dan hatinya sebenarnya baik,” ujar Nyai Runtak bijak.“Hehe, kok Nyai tahu? Kan Nyai nggak bisa lihat?” sahut Daru polos.Nyai Runtak tersenyum, suaranya lirih tapi penuh makna.“Mata Nyai memang buta… tapi bukan berarti Nyai nggak bisa melihat.”Anak-anak terdiam, saling berpandangan, bingung oleh ucapan itu. Tapi di hati kecil mereka, kata-kata Nyai Runtak terasa menenangkan.Setelah menyantap cucur, mereka membereskan permainan dan bergegas pulang saat langit mulai merona merah. Dari kejauhan, Kang Jawir diam-diam mengikuti langkah kecil mereka. Gerakannya kikuk, tapi penuh kehati-hatian agar tidak ketahuan.Tiba-tiba, suara Daru terdengar dari jauh, lantang tapi bernada usil.“Sudah, Kang Jawir! Nggak usah ngikutin. Kami aman kok, udah dekat desa!”Kang Jawir terperangah, wajahnya memerah. Ia menggaruk kepala, tersenyum canggung, lalu berteriak, entah untuk menutupi rasa malunya atau benar-benar tulus mengingatkan.“Langsung ke rumah! Jangan mampir-mampir lagi!”Suara itu mungkin terdengar, mungkin juga tidak. Tapi Kang Jawir tahu, di balik ledakan tawanya, anak-anak itu mengerti maksudnya…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan