PANGGUNG BATARA #1 - TAKDIR PEMBAWA DARAH

20
5
Deskripsi

PANGGUNG BATARA 1 - TAKDIR PEMBAWA DARAH

Kematian misterius sang ayah membuat Arsa dan Ibunya memutuskan untuk membangun kembali hidup mereka sebagai manusia pada umumnya. Mereka meninggalkan kehidupan sang ayah yang berprofesi sebagai seorang Dalang. 

Sayangnya, sebuah kejadian yang tidak wajar memaksa kembali Arsa untuk menggunakan peninggalan sang ayah demi menyelamatkan nyawa teman-temanya.

---

Kisah ini merupakan bagian dari Jagad Segoro Demit

RAKSASA DIBALIK KOBARAN API

Binar purnama menerangi suara gending gamelan yang mengiringi sebuah pementasan wayang. Seorang dalang memainkan dengan menegangkan kisah pewayangan yang membuat seluruh penontonya terpukau.

Setiap wayang yang digerakkan seolah memiliki nyawa dan berbuat layaknya tokoh pada kisah itu. Ada jiwa yang dimasukkan kedalamnya, jiwa seorang dalang yang menelusuri jejak kitab-kitab pewayangan selama berpuluh-puluh tahun hingga bisa menampilkan pementasan itu.

"Bapak keren ya, Bu!" ucap seorang anak yang mengagumi permainan ayahnya di atas panggung.

"Iyo le, tapi ini sudah lewat tengah malam. Kamu tidur ya," balas ibu dari anak itu.

"Emoh bu, Arsa mau nonton bapak sampai selesai," bantah anak itu.

"Heh, besok kamu sekolah. Sebentar lagi aja ya, habis itu pulang sama ibu," rayu ibunya.

Anak itu memasang muka cemberut, namun ia tahu kalau ia tidak bisa membantah perintah ibunya itu.

Alunan gending gamelan masih terdengar sayup-sayup dari rumah mereka. Anak itu tertidur bersama dengan ibunya yang setia menemani di sebelahnya. Ada sebuah mimpi yang dijaga oleh sang ibu, tentang seorang anak yang bercita-cita meneruskan mimpi ayahnya membawa budaya leluhurnya ke seluruh Nusantara.

...

"Bu! Bu Arimbi! Buka, Bu!!"

Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berteriak sembari menggedor pintu rumah. Ibu dan anak itu terbangun dan mengumpulkan kesadaranya. Ia melihat cahaya matahari masih malu untuk menembus tirai jendela kamarnya. Merekapun segera menghampiri asal suara itu dan mencari tahu maksud dari orang itu.

"Pak Joyo, ada apa pa..."

Belum sempat menyelesaikan pertanyaanya, Ibu itu melihat kobaran api dari arah pementasan.

"Bu, itu api apa bu?" Tanya anak yang mulai panik dengan menggenggam baju ibunya itu.

"Pa—panggung, panggung dan gubuk sekitar pementasan kebakaran,Bu! Cepat pergi, api akan sampai ke tempat ini!!" teriak orang itu.

Ucapan Pak Joyo seketika membuat Arimbi panik. Iapun menggendong Arsa dan mendekat ke arah panggung.

"Bapak!! Bapak!!"

Teriak Arimbi sembari berusaha melindungi Arsa dari panasnya api.

"Arimbi, sudah... kita harus segera pergi, api mulai menyebar" ucap salah seorang warga.

"Tapi.. Suami saya! Suami saya dimana??!"

Beberapa warga saling bertatapan, wajahnya seolah memberi jawaban buruk atas keadaan suami Arimbi.

"Ma—maaf Arimbi, Ki Darmo Suseno gagal melarikan diri.." balas salah seorang warga.

Seketika tangis Arimbi meledak, ia segera berlari menuju panggung namun beberapa warga memaksa menariknya untuk menjauh. Kobaran api sudah tidak dapat dipadamkan, rumah-rumah kayu yang mendominasi desa menjadi santapan lezat untuk api yang siap menghanguskan seluruh desa.

Arsa menahan tangis di gendongan ibunya. Ia terus menatap panggung tempat semalam ia menyaksikan kehebatan ayahnya. Tapi ada sesuatu yang terus membuatnya menatap api itu begitu lama..

Dari balik api yang melahap seluruh desa, Arsa seolah melihat bayangan sosok raksasa besar yang tertawa di tengah kobaran api. Sosok raksasa yang di kisah pewayangan sering disebut dengan nama Buto..

Entah itu halusinasinya atau tidak, tapi samar-samar ia melihat seseorang sedang berdiri seorang diri di hadapan makhluk itu dengan menggenggam keris di tanganya. Sekilas sosok itu menoleh dan menatap Arsa dari jauh.

"Bapak pamit yo Le..."

***

 

BABAK 1 – TAKDIR SANG PEMBAWA DARAH

Suara alarm jam berbunyi tanpa henti memekakan telingaku. Dengan refleksnya aku melemparkan bantal yang menemaniku sepanjang malam ke arahnya. Dan bodohnya, hal itu hanya menambah daftar kerjaanku di pagi yang membosankan ini.

"Bu! Arsa Berangkat!"

Pamitku sembari mengambil roti bakar yang sudah ibu buatkan untuku sejak subuh tadi.

"Heh, sarapan yang bener! Duduk dulu, main pergi aja!" Teriak Ibu menegurku.

"Ini udah bener bu! Rotinya enak!" Jawabku yang dibalas dengan gelengan kepala oleh ibu.

"Yowis hati-hati! Jangan lupa berdoa biar hari ini lancar," ucap ibu yang mengejarku ke dekat pintu.

"Amin..."

Aku mencium tangan ibu dan segera pergi mengejar angkutan umum yang selama ini setia mengantarkanku kemanapun aku mau.

Arsa Adicahya..

Itu namaku, tepatnya nama yang kugunakan saat ini. Seorang mahasiswa semester akhir sekaligus pekerja lepas di salah satu perusahaan percetakan. Tidak ada pilihan, aku harus menyelesaikan kuliahku dengan dana yang kudapatkan dari pekerjaan ini. Setidaknya dengan status sebagai sarjana, aku bisa membuat bisa mendapat pekerjaan yang layak dan memberi kehidupan yang layak untuk ibu.

"Perempatan kota ya bang!" teriakku sembari mengetuk langit-langit angkot yang kunaiki.

Mobil angkutan berwarna biru itupun berhenti tak jauh dari kantor percetakan tempat tujuankau saat ini.

"Pagi Pak Katno... " ucapku pada Pak Katno satpam kantor yang setia menunggu kami di gerbang.

"Pagi Mas Arsa, nggak usah buru-buru. Masih setengah delapan kok," balasnya.

"Iya Pak, siap-siap dulu," akupun mencetak kartu absenku dan segera masuk ke ruangan.

Aneh, pagi ini ruang kantor terasa sepi. Biasanya sudah ada beberapa karyawan yang datang lebih pagi.

"Sa! Kesini deh!"

Tiba-tiba terdengar suara Wina dari arah tangga darurat. Wina adalah karyawan lepas sepertiku, rumahnya lebih dekat dengan kantor hanya berjalan tidak sampai sepuluh menit untuk mencapainya.

Akupun menengok ke arah Wina dan mendapati beberapa karyawan sedang berkumpul di sana.

"Kenapa Na? kok pada ngumpul di sini?" Tanyaku bingung.

"Lu liat aja sendiri, Sa," balasnya sembari mengarahkan wajahnya ke dinding tangga darurat.

Di sana terlihat salah satu dinding di tangga darurat hancur dengan cukup parah. Anehnya, ada kerusakan itu membentuk sebuah lubang yang menunjukkan sebuah ruangan.

"Gempa... kayaknya gempa semalem yang bikin ruangan lubang ini. tadi juga beberap bagian bangunan rontok, tapi sudah dibersihin sama OB" jelas Wina.

Seperti karyawan lainya, akupun penasaran dengan lubang itu. Terlebih, ada sebuah ruangan di sana..

Benar, aku memastikan bahwa itu adalah sebuah ruangan.. Bukan sekedar sisi bangunan kosong biasa melainkan ruangan yang terdekorasi lengkap dengan meja, kursi, dan perabotan ruangan yang ditinggali. Beberapa karyawan sudah berada di dalam memeriksa kondisinya.

"Ojo mlebu..." (Jangan masuk..)

Samar-samar aku mendengar suara dari belakang seolah melarangku untuk masuk. Akupun menoleh ke belakang, namun hanya ada Wina di sana. Itu suara pria yang berat, dan terlebih menggunakan bahasa jawa.

"Kenapa Sa?" Tanya Wina.

"Eh.. enggak," balasku yang memilih untuk menghiraukan dan mencoba masuk ke ruangan.

Belum sempat aku melangkahkan kaki ke dalam, tiba-tiba suara alarm jam kantor berbunyi. Seluruh karyawanpun meninggalkan lubang itu dan bersiap untuk briefing pagi.

Keberadaan ruangan tadi menjadi salah satu bahasan brifing pagi, tapi karena banyak pekerjaan yang harus kami dahulukan, kami memilih untuk tidak menghiraukanya dan fokus pada pekerjaan kami. Untuk masalah lubang tersebut, pimpinan menyerahkanya pada bagian building.

Pekerjaanku hari ini cukup banyak, aku harus mengatur layout beberapa terbitan untuk naik cetak. Bukanya tidak bisa ditunda, tapi besok aku ada jadwal kuliah jadi harus menyelesaikanya hari ini juga.

"Lembur juga, Sa?" tanya Wina.

"Iya, besok aku ngampus.. ga bisa kalau ga dilemburin," balasku.

Winapun meninggalkan sejenak mejanya sembari merenggangkan tubuhnya. Tak berapa lama, iapun kembali dengan meletakkan segelas kopi hitam di mejaku.

"Wah makasi, Na!" 

"Santai..." 

Winapun kembali duduk di mejanya dan mulai berkonsentrasi dengan pekerjaanya kembali. 

Aku menyeruput kopi hitam buatan Wina yang sedikit berhasil menyelamatkan pikiranku dari rasa penat atas pekerjaanku. yah, itulah Wina.. walau tidak banyak bicara, ia selalu bisa menebak apa yang kubutuhkan.

...

"Dummm...." 

Di tengah kesibukan kami, tiba-tiba terdengar suara dentuman yang membuat bangunan ini sedikit bergetar. debu-debu mulai berserakan dari langit-langit ruangan.

"Gempa?" Tanya Wina.

Aku belum bisa memastikan, tapi salah satu karyawan meninggalkan mejanya dan berjalan ke arah tangga darurat.

"Reza! Ngapain?" Wina penasaran dengan Reza yang tiba-tiba berjalan ke arah tempat itu.

Dummm!!

"Bener, Suaranya dari arah sini..." ucap Reza memberi tahu kami.

Sontak kami meninggalkan meja dan mendatangi tempat yang cukup membuat ramai tadi pagi.

Dumm!! Dummm!!

Suara itu terdengar semakin cepat. Dengan berhati-hati Reza memastikan bahwa itu adalah suara dari tembok di ruangan tadi. Sekali lagi, tembok asal suara itu mulai retak seolah dihantam sesuatu dari sisi baliknya.

Wajah penasaran Reza seketika berubah menjadi rasa takut, sepertinya ia merasakan sesuatu saat memasuki lubang itu.

"Na... Wina! panggil Pak Katno. Ada yang nggak beres," ucap Reza.

Wina mengangguk dan segera mengangkat telpon untuk memanggil Pak Katno yang masih berjaga. 

Sayangnya tembok itu tidak bertahan lama, dentuman itu membuat tembok itu hancur dan menghamburkan debu yang pekat. Anehnya, tepat saat tembok terbuka seluruh listrik di bangunan itu mati serentak.

"Lungo..." (Pergi)

Tiba-tiba suara yang kudengar tadi pagi terdengar kembali. Tapi kali ini aku merasakan perasaan yang aneh. Aku merinding, bukan hanya karna kegelapan ini. Aku merasa ada sesuatu yang membahayakan nyawaku.

"Wina! Kita Cabut, Na!" Ajakku pada Wina.

"Cabut? Kenapa Sa? paling bentar lagi listriknya nyala" Tolak Wina.

"U—udah percaya aja! perasaanku nggak enak. Sekalian kita samperin Pak Katno," ucapku.

Mendengar alasanku dan dengan sedikit paksaan, Winapun akhirnya setuju, namun untuk meyakinkan karyawan lain sepertinya waktuku tidak sempat.

Kami berlari melalui tangga utama. Di tangga, kami berpapasan dengan Pak Katno yang menuju ke atas. Semoga saja Pak Katno memiliki kapasitas untuk menangani masalah ini.

Brukkk!!!!

Tepat saat sampai ke tangga lantai dasar, tiba-tiba kami dikejutkan dengan tubuh seseorang yang terjun bebas ke lantai dasar. Sontak suara tubuh yang menghantam tanah dan darah yang bermuncratan menyambut kami di sana.

"Re--Reza!!" Teriak Wina panik.

Akupun melarang Wina untuk mendekat. 

"Kita pergi dulu cari pertolongan, Na!" 

"Ta—tapi itu Reza!" 

Di tengah perdebatan kami, tiba-tiba Reza yang seharusnya tidak mungkin selamat itu mulai bergerak. ia berusaha berdiri memaksa lengan dan kakinya yang patah dan menatap kami dengan wajah penuh darah.

"Khikhikhi... Mati...." 

Ucap Reza dengan suara dan logat yang tidak kami kenal.

Kami tertegun sesaat menyaksikan hal itu, namun sebuah langkah kaki menyusul kami dari atas dan segera menarik tangan kami.

"Lari!! Keluar bangunan!" 

Itu Pak Katno, sepertinya ia menyaksikan apa yang terjadi di atas dan memilih untuk kembali ke bawah.

Kamipun segera keluar dan Pak Katno mengunci pintu kantor rapat-rapat.

"Pak!! Masih ada karwayan lain di atas pak!!!" aku mencoba menahan Pak Katno.

Wajah Pak Katno terlihat pucat, ia memilih tidak menjawab ucapanku dan segera kembali ke posnya.

"Polisi, kalian telepon polisi.. saya coba hubungi orang pintar" ucapnya sambil terbata-bata

Orang pintar? apa maksudnya? mengapa sampai harus memanggil orang pintar?

...

Tak berapa lama pimpinanpun kembali ke kantor bersama dengan beberapa orang yang cukup berumur. mereka meminta penjelasan pada Pak Katno dan masuk ke dalam bangunan kantor.

Ada beberapa warga yang membawa benda-benda seperti bunga sesaji, dupa, dan kain putih yang masuk kedalam sesuai perintah orang-orang itu.

"Pak.. sebenernya apa sih yang terjadi di atas?" Tanyaku.

Pak Katno mengusap air matanya, ia seolah tidak tega mengetahui apa yang terjadi di dalam bangunan itu saat ini.

"Se—setan..” Gumam Pak Katno..

Aku dan Wina saling berpandangan. Aku tidak menyangkan kata-kata itu yang muncul dari seorang satpam yang selama ini sangat siap bertugas melawan orang-orang yang berniat jahat.

“Setan seperti kakek yang sangat tua dengan rambut panjang, bajunya seperti baju orang kerajaan jaman dulu yang sudah lapuk dan robek. 

Wajahnya… Wajahnya penuh dengan darah dan kukunya lebih tajam dari pisau.”

Pak Katno mencoba menggambarkan sosok yang ia maksud dengan tangan yang gemetar.

"Pak, Bapak nggak ngarang kan?" Wina tidak percaya.

Pak Katno mengusap kembali matanya. ia seolah tidak peduli apakah ada orang yang mempercayainya. Mungkin ia justru berharap bahwa yang ia saksikan itu adalah halusinasi.

"Makhluk itu nangkep Mas Boris, narik tanganya sampai putus dan memakanya begitu saja.." Tambah Pak Katno dengan nafas yang menderu ketakutan.

 

***

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Panggung Batara
Selanjutnya PANGGUNG BATARA #2 - KI BUTO
10
3
PANGGUNG BATARA #2 - KI BUTODari balik ruangan misterius itu, muncul sosok makhluk bengis yang tak segan untuk membunuh siapapun. Apapun yang terjadi saat itu diluar kendali Arsa. Tapi, kali Ini Wina, sahabat Arsa yang berharga yang menjadi incaran.  Di tengah rasa putus asa, suara yang sedaritadi berbisik dengan misterius kini memberinya petunjuk..---Karya ini berisikan cerita dalam format tulisan pendek (bukan pdf) dan hanya bisa dibaca di karyakarsa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan