
Pagelaran Sewu Lelembut
Part 1 - topeng Nyawa
Prolog :
Binar purnama menerangi suara gending gamelan yang mengiringi sebuah pementasan wayang. Seorang dalang memainkan dengan menegangkan kisah pewayangan yang membuat seluruh penontonya terpukau.
Setiap wayang yang dimainkan seolah memiliki nyawa dan berlaku layaknya tokoh yang diceritakan pada lakon yang dimainkan. Ada jiwa yang dimasukkan kedalamnya, jiwa seorang dalang yang menelusuri jejak kitab-kitab pewayangan selama berpuluh-puluh tahun hingga...
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Pagelaran Sewu Lelembut
Selanjutnya
Desa Tumbal Lemah Mayit Part 3 - Jasad Pertama
11
5
DESA TUMBAL ‘Lemah Mayit’ part 3 - Jasad Pertama Spoiler :(Sudut pandang Cahyo..)… “Ini patung apa? bentuknya mengerikan begini” tanya Dipta yang melihat sebuah patung di punden berundak tempat warga melakukan pemujaan. “Sesembahan mereka. mereka menyembah sesuatu yang dianggap sebagai perwujudan dari sisi gelap dewa..” Jawab Danan. “Mereka disesatkan oleh sosok yang mengaku dewa ini..” Dipta membuat kesimpulannya sendiri. “Para penganut kepercayaan yang memuja Dewa Dewi pun pasti juga akan bertentangan dengan ritual ini..” Tambahku. Kami melanjutkan pencarian kami di pemakaman itu. Sepertinya satu malam tidak akan cukup jika kami harus mengecek semua nisan yang ada di tempat ini. “Apa yang kalian lakukan di tempat ini?” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang kami bertiga. Aku menoleh dan seorang kakek tengah berdiri di sana memperhatikan kami. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari keberadaannya? “Ng—nggak Mbah, kami cuma pingin tahu saja,” Jawabku. “Kalian bukan dari desa ini. Berani-beraninya kalian!” Ucapnya dengan raut wajah marah. “I–iya, Mbah. Maaf, kita pergi…” Ucap Danan yang segera menarikku dan Dipta. Kami segera melangkahkan kaki keluar dari situs pemakaman itu. Tapi ternyata niat kami tidak berjalan semulus itu. Tiba-tiba obor kami mati begitu saja. Danan mencoba menyalakannya, namun batang koreknya enggan menyala. Kami pun segera sadar bahwa kakek itu melakukan sesuatu. Kami menoleh kembali ke arah sang kakek penjaga makam itu, dan saat itu kami sadar. Kakek itu bukan kakek biasa. “Desa ini dipenuhi oleh orang-orang baik. Tapi kami punya aturan untuk pendatang. Menjadi bagian dari desa ini, atau menjadi penghuni pemakaman ini…” Mendengar ucapan itu, Dipta terlihat panik. Sepertinya ia juga tahu bahwa ucapan itu bukan ancaman semata. “I–itu mas! Di belakang kakek itu!” Dipta menyadari sesuatu yang membuatnya semakin pucat. Di belakang kakek itu samar-samar mulai bermunculan sosok pocong yang menyebar di antara pepohonan. pocong itu semakin menyebar ke seluruh hutan seolah berniat mengepung kami. “Mereka adalah pendatang-pendatang seperti kalian yang menolak menjadi bagian dari kami..”..
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan