
JALUR MATI ALAS MERAPI
PART AKHIR II - PUSAKA PARA DEWA
(Part Danan dan Cahyo)
Untuk part akhir ini seperti biasa nggak ada spoiler ya… ^^
JALUR MATI ALAS MERAPI
47
4
7
Berlanjut
Tragedi yang menimpa Galang dan Tiwi mempertemukan mereka dengan Danan dan Cahyo. Sebuah perjalanan pendakian kembali dilakukan demi menyelamatkan nyawa dan mengungkap misteri tentang Wulan.
1 file untuk di-download
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses
Kategori
Jalur Mati Alas Merapi
Selanjutnya
[TAMAT] SABDA PANGIWA - Keranda Tulah
15
9
SABDA PANGIWA - Keranda Tulahtotal : 90 Halaman PROLOG :Nak, jangan pernah kamu mengaku sebagai anak Bapak. Hapuskan nama Bapak dari namamu...Malam itu, suara tangis seorang remaja pecah di tengah keheningan sebuah gubuk tua yang tersembunyi di pematang sawah. Di luar, angin menderu kencang membawa bau anyir lumpur dan kematian. Langit seperti ikut menangis, menggantung mendung tanpa hujan. Gubuk reyot itu menjadi satu-satunya tempat yang belum dijangkau oleh teror dari kegelapan.Nggak, Pak! Keluarga kita keluarga terhormat! Keluarga kita sudah menolong banyak orang! Tegar bangga dengan keluarga kita!BRAKK!!Suara tubuh terhempas keras ke lantai bambu mengguncang hati Tegar. Ia menoleh dan melihat ayahnya tergolek di lantai, tubuhnya kejang-kejang. Dari telinga dan sudut matanya mengalir darah hitam pekat yang tak wajar—seperti ada sesuatu yang sedang menggerogoti dari dalam.Tegar berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Tubuh itu panas, namun terasa sekarat. Tangannya gemetar, mencoba menahan kehancuran yang ia tahu tak bisa dihentikan.Jangan jadi mantri seperti Bapak, Le. Hiduplah dengan cara yang jauh berbeda. Pilihlah jalan yang tak bisa mereka temukan... Jangan... biarkan mereka menemukanmu...Bapak! Jangan ngomong kayak gitu! Bapak pasti bisa sembuh! Bapak pasti bisa lawan penyakit ini!Sang ayah tersenyum tipis—senyum seorang lelaki yang tahu ajalnya tinggal hitungan detik. Ia mengangkat tangannya dengan sisa tenaga, menyentuh wajah anaknya.Ini... sudah batasnya. Pergilah... Mereka akan sampai ke sini sebentar lagi...Tegar menggeleng, menggenggam tangan ayahnya erat-erat. Tegar nggak akan ninggalin Bapak!Keras kepala tidak akan membawa kebaikan, Le... Beberapa detik lagi... yang ada di hadapanmu cuma mayat... Jangan dendam... Bapak cuma ingin lihat kamu hidup...Tangis Tegar pecah. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi dada ayahnya. Namun saat itulah, suara-suara itu terdengar dari kejauhan.Suara obor.Langkah-langkah berat.Nyanyian lirih yang seperti mantra kematian.Tegar menoleh. Dari celah bilik bambu, terlihat cahaya obor menyala—bergerak perlahan seperti ular api yang meliuk di tengah sawah. Di tengah arak-arakan itu, sesuatu yang membuat jantung Tegar serasa diremas oleh tangan tak kasatmata.Sebuah keranda bambu, diusung oleh para pria berikat kepala hitam. Di dalamnya, seonggok tubuh yang dibungkus kain kafan dengan simbol-simbol aneh. Keranda itu bukan sekadar pengantar jenazah. Itu adalah pembawa kutukan.Tegar tahu. Mereka—orang-orang itu—telah membunuh seluruh keluarganya. Tidak dengan pisau atau senapan. Tapi dengan ritual. Dengan kematian yang dijadikan alat. Dan kini, mereka datang untuk menyelesaikan yang tersisa.Hanya ia yang berhasil diselamatkan—dan untuk itu, ayahnya harus menukar nyawa.Tolong, Tegar... pergi... bisik ayahnya, kali ini lebih lemah dari sebelumnya.Kaki Tegar lemas. Hatinya ingin tetap tinggal, ingin menjaga sang ayah sampai akhir. Tapi naluri—dan rasa takut yang menyesakkan—memaksanya untuk memilih.Ia menahan tangis, mencoba memaksakan senyum meski dadanya seperti disayat. Bapak... Tegar akan jadi orang baik. Tegar akan hidup bahagia sampai tua. Tegar janji...Sang ayah ingin menjawab, namun suaranya tinggal bisikan. Tapi senyuman itu masih ada. Senyuman yang cukup untuk jadi kekuatan terakhir Tegar.Tegar pamit ya, Pak... Kalau semua sudah tenang, Tegar janji akan kembali. Akan kubur Bapak dan keluarga kita dengan layak...Tangan ayahnya yang lemah memberi isyarat. Isyarat terakhir untuk pergi. Tegar memposisikan tubuh ayahnya senyaman mungkin di amben kayu, lalu berdiri. Kakinya berat, tapi ia mulai melangkah.Tanpa menoleh. Tanpa ragu.Di belakangnya, suara arak-arakan semakin dekat. Gubuk itu akan menjadi saksi bisu kematian terakhir dari keluarga yang pernah dihormati.Dan Tegar—ia kini menjadi satu-satunya pewaris nama yang harus ia kubur dalam-dalam. ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan