ANOMALY (Part 29)

21
2
Deskripsi

"Pinjam ponselmu," pinta Bian tiba-tiba saat akan merebahkan diri di ranjang.

Keningku mengernyit. "Untuk apa?"

"Untuk menghubungi seseorang. Kau lupa telah melempar ponselku ke sungai?" Ia terdengar menyindirku.

Aku hanya mendengus pelan. "Menghubungi siapa? Kalau untuk menghubungi istrimu, kali ini kau yang akan aku lempar ke sungai."

Jarum pendek mulai menyentuh angka dua belas, sedangkan jarum panjang melangkah ke angka sebelas. Hampir setengah jam sudah aku menantikan kehadiran Will alias Willis. Namun batang hidungnya yang besar itu sama sekali belum muncul. Ia pasti mengejar kereta paling pagi agar bisa tiba di Colmar sesegera mungkin. Rupanya masalahku sangat krusial baginya.

Bian terlihat mengawasi gerak-gerikku yang sedari tadi gelisah. Pasti ia bertanya-tanya dalam hati kenapa aku segelisah ini. Ya Tuhan! Terang saja aku gelisah. Aku sangat tidak berharap kejadian seperti di rumah Risa berbulan-bulan lalu terulang lagi. Lagipula saat ini posisiku sendirian. Kalau mereka berdua beradu otot, apa yang bisa aku lakukan? Pura-pura pingsan? Pura-pura sakit perut akan melahirkan? Ya, aku rasa itu bukan ide buruk. Baiklah, mau tidak mau, aku akan melakukan plan B itu seandainya kekhawatiranku yang tadi terjadi.

Napasku terasa sesak melihat kedatangan Willis dari ujung jalan. Ia masih sama berwibawanya dengan yang kemarin. Aku mengharapkan satu senyuman darinya. Tapi melihat air mukanya yang terlalu serius, harapan itu terpaksa aku buang jauh-jauh.

Nah, sekarang kegelisahanku bertambah. Berkali-kali aku menarik napas panjang untuk sekedar mengurangi perasaanku yang bercampuraduk. Bian yang memang sedari tadi tidak menanyakan apa pun soal Willis, jadi berbalik dan menyadari penyebab kegelisahanku. Ia pasti menebak kalau pemuda yang sedang melangkah mendekati kami saat ini adalah Willis.

"Kau mengatakan soal perjanjian padanya?" tanya Bian tepat sasaran, dengan tanpa menoleh padaku.

Aku tidak menjawab hingga membuatnya kembali ke posisi semula---face to face denganku. Kedua alisnya nyaris bertabrakan melihat kebisuanku.

"Harusnya aku tidak heran...." Ia melanjutkan kalimatnya dengan sedikit kesal kurasa.

Aku tetap membisu.

"Jadi, apa yang akan dia lakukan padaku? Menghajarku?" Lagi-lagi ia bertanya tepat pada intinya.

Sunyi.

"Han Jihyun...." Ia berusaha mencari jawabannya.

Aku menunduk. Jadi begini ya, ketika perasaan bersalah dan gelisah berbaur jadi satu? Demi apa pun, aku tidak ingin merasakannya lagi. Hidupku beberapa puluh menit ini menjadi tidak tenang karenanya.

Seseorang terlihat menarik kursi di sampingku dan duduk di sana. Tanpa perlu mengangkat wajah, aku sudah tahu kalau dia adalah Willis.

"Jadi kau yang namanya Bian Lee?" Willis bertanya dengan nada bicara yang sama sekali tidak enak.

"Willis Neville? Saudaranya Jihyun? Senang bertemu denganmu," sapa Bian yang terdengar sangat santai. Itulah salah satu kelebihannya. Kemampuan mengendalikan emosi dan ekspresinya sangat baik -kecuali di depanku.

"Andai Jihyun tidak memohon padaku, aku pasti sudah menghajarmu."

Aku menelan ludah mendengar perkataan mengerikan Willis yang sangat dingin itu. Perlahan aku memberanikan diri menatap Bian.

"Maafkan aku...," sesalku dengan tatapan memohon.

"Aku tidak suka berbasa-basi. Jadi aku katakan langsung pada masalahnya. Batalkan perjanjian kalian," ucap Willis tegas.

Ucapan itu hanya ditanggapi Bian dengan seulas senyum tipis. "Tidak bisa."

"Tarik beasiswa untuk Kyung dan apartemen yang ditinggali Jihyun. Aku akan mengembalikan uangmu." Willis sepertinya telah menebalkan telinganya dari penolakan Bian.

"Tidak bisa."

Penolakan yang sama itu membuat jari Willis mengepal. Urat-uratnya yang mulai menegang membuatku takut setengah mati sampai mataku nyaris berkaca-kaca.

"Batalkan perjanjiannya!" Bentakan Willis membuat jantungku hampir melompat. Bodohnya, air mataku malah mendesak keluar di situasi seperti ini. Rasanya dadaku sesak membayangkan perpisahan dengan Bian. Cepat-cepat aku mengusap air mataku dengan punggung tangan.

"Tidak bisa." Reaksi Bian sangat tenang ketika mengatakan penolakan yang sama itu untuk ketiga kalinya. Hatiku mencelos melihat keteguhannya. Padahal bisa saja Willis menghajarnya habis-habisan akibat sikap kepala batunya itu.

Willis menarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosinya. Tingkat pendidikannya yang tinggi tentu akan berkorelasi positif dengan kemampuannya mengendalikan emosi.

"Kenapa tidak bisa?" Nada bicaranya mulai terdengar sedikit lebih santai.

"Aku tidak bisa melepas tanggung jawabku," jawab Bian tegas.

Willis mendengus. "Masih berani membicarakan tanggung jawab, ya? Kalau begitu kau tidak boleh menceraikan Jihyun."

Aku mendelik mendengar ucapannya. Aku tidak salah dengar, kan? Entah kenapa aku bahagia mendengar permintaan Willis yang sama tidak masuk akalnya dengan permintaanku. Ahirnya aku temukan satu persamaan dengannya yang membuatku yakin jika ia adalah saudara kembarku.

Aku senang, tapi reaksi Bian terlihat paradoks. Ia membisu yang membuatku yakin kalau ia akan menolak. Pasti! Aku tahu itu! Sudah aku duga, selama ini ucapan manis dan sikap romantisnya hanya topeng agar aku mau menyerahkan anak ini.

"Kenapa diam?" sindir Willis.

Bian menghela napas. Ia memandangku bergantian dengan Willis sebelum berkata, "Aku bisa saja. Tapi masalahnya tidak sesederhana itu."

Saudara kembarku tersenyum miring, "Sedang mencari alasan?"

"Tidak." Bian mengalihkan pandangannya padaku dan berkata, "Jihyun, kumohon. Ikut ke Seoul denganku...."

Ia mengulangi permohonannya yang sebetulnya sudah aku setujui. Namun melihat gelagat Willis, rencana itu sepertinya tidak akan berjalan mulus.

"Tidak akan aku izinkan sebelum kau berjanji." Willis menolak cepat.

Bian terlihat putus asa dalam ketenangannya. Ia menatapku, berusaha meminta kepastian. Aku menggigit bibir. Kedua mata polos itu... ia ayah dari anakku. Rasanya aku tidak sanggup untuk mengabaikannya.

Kutarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Will. Aku ikut Bian ke Seoul."

Rahang Willis mengeras, "Jihyun, kita sudah membahasnya, kan? Batalkan perjanjiannya."

"Willis...." Aku menyentuh bahunya selembut mungkin untuk meluluhkan hatinya.

"Jihyun, bagaimana bisa aku membiarkanmu pergi begitu saja dengan pria tidak bertanggungjawab macam dia?" Willis masih menahanku dengan kekeraskepalaannya sambil mengarahkan telunjuknya pada Bian.

"Sudah aku bilang, ini bukan salah Bian." Tenggorokanku kembali tercekat sesaat setelah mengatakannya. Aku tidak sedang melakukan pembelaan palsu untuknya. Memang dari awal Bian sama sekali tidak menginginkannya. Semua ini terjadi karena seorang wanita yang haram aku sebutkan namanya. Bisa-bisa lidahku kudisan mengeja namanya.

"Berhenti membelanya, Jihyun!"

Suara Willis yang kembali meninggi membuat hatiku sesak sendiri. Aku kuat-kuatkan hatiku. Aku tahan setengah mati air mata yang kembali hendak mengkhianatiku. Rasanya aku berada di situasi yang serba salah.

Aku salah karena mencintai Bian. Tapi salahkan juga pria itu karena telah memberikan harapan padaku! Aku ingin sekali mengakhiri perjanjian itu sesuai dengan perintah Willis. Namun aku tidak bisa karena ada misteri di masa laluku yang disimpan baik-baik oleh Bian.

Aku ingin melepas pria bermarga Lee itu. Tapi dendam ini menahanku. Parahnya, aku semakin tersulut dengan obsesi kompulsif untuk memiliki dia seutuhnya. Tentu saja setelah apa yang telah dilakukan oleh istri betulannya---si wanita yang haram aku sebutkan namanya---itu padaku tiga tahun yang lalu.

"Aku tidak sedang membelanya, Will! Bian benar. Masalahnya tidak sesederhana itu. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan dengannya. Aku akan kembali ke Seoul." Aku menegaskan suara agar Willis yakin dengan keputusanku.

Senyum tipis terukir di wajah Bian mendengar keputusanku. Setidaknya itu cukup berhasil membuatnya tidak dipojokkan oleh Willis. Namun senyuman itu tidak bertahan lama karena saudara kembarku itu kembali menentang keputusanku.

"Jihyun, jangan membuat keputusan bodoh!"

"Sejak awal aku memang sudah membuat keputusan bodoh. Aku sudah terlanjur melangkah sejauh ini. Jadi biarkan aku menyelesaikannya!"

"Setidaknya kau bisa menahan dirimu agar tidak jatuh dalam lubang yang sama! Aku tidak mau kau terus berbuat kesalahan setelah apa yang terjadi selama ini!" Willis masih tidak terima dan berusaha mendebatku.

Bibirku mengatup kuat mendengar kalimatnya. Kemudian, aku tersenyum kecut mendapati fakta bahwa aku selalu melakukan kesalahan di matanya.

"Lalu ke mana kau selama ini? Kenapa baru mencariku sekarang? Setelah aku berada di titik terdalam di hidupku? Kenapa?" desakku dengan suara bergetar. Aku sudah tidak sanggup berkata-kata lagi menghadapi ini. Bahkan air mataku kembali mendesak keluar tanpa mampu aku tahan.

"Andai aku tahu lebih awal!"

"Sudah cukup!" Bian menyela ucapan Willis. Ia memandangku yang tengah sibuk mengusap air mata dengan sangat menyedihkan. Tanpa aku minta, ia menggantikan tanganku di sana, hanya untuk menghapus jejak kepedihan hati yang menyesakkan rongga dadaku.

"Jangan membuat wanita yang aku cintai menangis, Willis."

Satu kalimat yang membuat hatiku semakin mencelos. Bukannya tenang, tangisanku semakin hebat mendengar ketulusan dalam kalimatnya. Bian bodoh! Harusnya ia mengatakan itu pada dirinya sendiri!

Ia bangkit dari kursinya, lalu duduk nyaris berlutut di sampingku. Aku menatapnya dengan air mata yang belum berhenti sehingga ia kembali mengusap bulir-bulir itu dari pipiku. Ia berusaha tersenyum untuk menghibur hatiku yang sedang terluka. Sayangnya, aku sama sekali tidak merasa terhibur. Lukaku terlalu perih. Namun tak sedikit pun ia menghilangkan senyum itu dari wajahnya. Tangannya mulai mengelus perutku dengan lembut, seolah berusaha menyapa malaikat kecilnya di dalam sana.

"Jihyun, kau terlalu banyak menangis. Tolong jangan buat dirimu merasa tertekan. Pikirkan bayi kita...."

Harusnya aku ikut tersenyum. Sialnya, lagi-lagi air mataku semakin deras. Aku memang tidak bisa diperlakukan seperti itu ketika menangis. Niscaya, tangisanku semakin menggila seperti saat ini. Aku benar-benar ingin memukul Bian! Tapi aku tidak sanggup karena aku sampai sesenggukan karena terlalu banyak menangis.

Helaan napas Willis terdengar cukup keras.

"Bian Lee, kau benar-benar mencintai Jihyun?"

Bian mengalihkan perhatiannya pada si empunya pertanyaan barusan. Senyum manis tadi menguap begitu saja saat tatapan matanya beradu dengan sorot mata elang Willis.

"Apa aku terlihat berbohong?" Ia balik bertanya dengan wajah garang.

"Jika kau benar-benar mencintai Jihyun, permintaanku yang tadi harusnya mudah, kan?"

Tangisanku mulai mereda melihat keduanya yang sepertinya akan memulai perdebatan baru. Bian hanya tersenyum miring menanggapi pertanyaan itu.

"Kau benar-benar mirip Jihyun," ucapnya nyaris tidak terdengar.

"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Jawab saja pertanyaanku tadi," balas Willis mulai kesal lagi.

"Aku sudah bilang, ini tidak sesederhana kedengarannya. Percayalah padaku, lebih baik Jihyun tidak bersamaku setelah anak ini lahir."

Dadaku serasa terhimpit mendengar ucapan Bian yang itu. Isakanku belum sepenuhnya mereda, tapi aku kembali harus mendengar untaian kata yang menyakitkan. Bian memandangku lagi, sementara aku membuang mukaku ke arah lain. Aku tidak punya kekuatan untuk membalas tatapannya setelah kalimatnya barusan. Aku bahkan berharap mati saat ini juga. Sepenuhnya aku berdoa agar pria keparat yang mengejarku berbulan-bulan lalu kembali untuk menyetorkan nyawaku ke surga.

Aku menarik napas panjang, lalu menatap Willis.

"Sudah cukup pembicaraannya. Aku lelah. Aku akan tetap ke Seoul bersama Bian. Semua resikonya akan aku tanggung sendirian. Kau tidak perlu merasa repot karenaku, Willis. Aku bisa mengatasinya seorang diri. Aku terbiasa sendirian. Jadi tidak ada alasan bagimu untuk mengkhawatirkan aku," ucapku pelan tapi tegas. Meskipun Bian telah mengatakan bahwa perpisahan itu lebih baik untuk kami, namun aku tidak akan menyerah.

Aku telah bersumpah akan menjadi satu-satunya wanitamu, Bian Lee.

Aku bersumpah.

Willis terlihat tidak suka. Ia menentangku, "Aku masih tidak terima ji--"

"Will, tolong. Aku lelah. Bisa kita hentikan ini?"

***

Naluri seorang ibu pasti menyadari ada yang tidak beres pada anak-anaknya. Karena itu, aku tidak heran ketika ibu menanyakan situasi yang sebenarnya tengah terjadi. Namun aku dan Willis hanya kompakan tersenyum sambil menggeleng, lalu kembali menikmati makan malam lezat yang telah ibu buatkan untuk kami. Seperti biasa, Bian sibuk bercengkerama dengan nenekku sampai tertawa-tawa. Aku menghela napas.

"Jadi jenis kelamin cucuku ini perempuan?" Ibuku mengalihkan topik setelah tadi memastikan semuanya baik-baik saja.

Aku mengangguk dengan mulut dipenuhi daging.

"Karena ini cucu pertama, ibu ingin sekali memberinya nama. Boleh, kan?" tanya ibuku lagi sambil memandangiku dan Bian.

Aku tidak terlalu memikirkan nama karena sejak awal aku telah menanamkan kesadaran bahwa anak ini milik Bian dan wanita yang haram aku sebutkan namanya. Jadi aku menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Bian. Untungnya, ia memberikan izin pada ibuku hingga senyum bahagia terpancar dari wajah beliau.

"Ibu ingin kami menamakannya siapa?" senyum Bian.

"Evelyn. Artinya cahaya," jawab ibuku antusias.

Aku dan Bian berpandangan. Nama itu sangat cantik. Aku menyukainya. Semoga Bian pun menyukai nama cantik yang sangat Prancis itu.

Perlahan senyum suamiku mulai terukir, "Evelyn Lee. Nama yang cantik. Jihyun, kita bisa memanggilnya Eve. Imut sekali...."

Suara dentingan sendok dan piring terdengar lebih keras dari biasanya hingga aku menoleh ke sumber suara, Willis yang tengah makan. Mungkin bagi ibu dan nenek, ia terlihat biasa saja. Namun bagiku, atau mungkin Bian -jika ia peka, ada kemarahan luar biasa yang terpendam jauh di dalam hatinya. Ia pasti muak bukan main mendengar ucapan Bian yang sok rumahtanggawi barusan.

"Maaf," ucap Willis tanpa memandang satu pun dari kami.

"Mau aku suapi?" tawarku berbasa-basi.

"Aku bukan anak kecil, Jihyun."

"Tapi kau tidak bisa memegang sendoknya."

"Tanganku licin."

Ibuku malah tersenyum mendengar obrolan tidak bergunaku barusan. Ia menopang dagunya seraya memandangi aku dan Willis, sebelum berucap, "Kalian manis sekali. Coba dari dulu momen seperti ini terjadi."

Aku dan Willis kompakan tersenyum lagi. Namun dalam hati, sesungguhnya kami sama-sama menyimpan luka.

***

"Pinjam ponselmu," pinta Bian tiba-tiba saat akan merebahkan diri di ranjang.

Keningku mengernyit. "Untuk apa?"

"Untuk menghubungi seseorang. Kau lupa telah melempar ponselku ke sungai?" Ia terdengar menyindirku.

Aku hanya mendengus pelan. "Menghubungi siapa? Kalau untuk menghubungi istrimu, kali ini kau yang akan aku lempar ke sungai."

Ia mendekatkan wajahnya padaku, "Memangnya kau kuat mengangkatku?"

Wajahku memerah. Ia benar. Tentu saja aku tidak akan kuat mengangkat tubuhnya. Aku bukan Xena, si pahlawan wanita yang perkasa.

"Willis yang akan melakukan itu untukku!"

"Sebegitu cemburunya kau pada Minah?" Ia menyipitkan matanya.

"Jangan menyebutkan namanya di depanku!"

Ia mengendikkan bahunya sebelum menghempaskan pantatnya di tepi ranjang, tepatnya di sampingku. "Ceritakan padaku, apa yang terjadi pada kalian hingga membuatmu seperti ini?"

Aku bergeming, sangat lama sehingga membuat Bian menyerah.

"Aku tidak akan menghubungi Minah. Puas? Sekarang pinjamkan ponselmu," ucapnya berusaha memenangkan hatiku.

"Janji?"

"Iya."

Dengan hati yang tidak ikhlas, aku menyerahkan ponselku padanya setelah aku membuat pola rumit untuk membuka kunci layar. Wajah Bian menjadi berseri-seri seperti habis menang lotre dua triliun saat ponselku berpindah ke tangannya. Aku memperhatikan baik-baik tingkahnya saat berusaha menghubungi seseorang. Melihat wajah kusutnya, aku tebak panggilan itu sia-sia. Tapi Bian terus mencoba, hingga akhirnya pada satu titik, wajah kusut itu kembali berseri.

"Halo. Jessica, kau sedang tidur? Ini Bian.... Tolong uruskan penggantian nomor ponselku.... Iya, ponselku hilang di sungai. Untuk sementara, kau handle semuanya. Hubungi nomor ini jika ada urusan urgent. Aku akan memberikan bonus untuk biaya panggilan ke luar negeri.... Lusa. Aku akan kembali lusa.... Baiklah."

Klik.

Alisku bertaut. "Jessica?"

"Asisten pribadiku," jawabnya singkat dengan tangan yang masih sibuk dengan ponselku.

"Asisten? Asisten betulan, kan? Bukan asisten tanda kutip?" tanyaku memastikan.

Bukannya menjawab, Bian justru melemparkan tatapan aneh padaku. Ia menyodorkan ponsel di depan wajahku hingga aku dapat melihat dengan jelas penyebab tatapan aneh itu. Aku tecekat, tidak menyangka ia telah membaca pesan masukku dengan lancang. Ia terlihat marah.

"Kau masih berhubungan dengan Levin?"

"Hanya teman...." Demi apa pun, aku berusaha mencari alasan paling simpel dan masuk akal saat ini. Levin memang telah mendapatkan nomor ponsel baruku dari Lay. Dan sekarang, aku menyesal telah diam-diam bermesraan dengannya di belakang Bian.

"Hanya teman?" Tatapannya mulai menusuk ulu hatiku.

Aku menggigit bibir dengan wajah tertunduk. Namun wajahku kembali terangkat karena perbuatan Bian yang memaksaku menatapnya. Jemarinya menopang daguku dengan kuat hingga aku tidak bisa menunduk lagi. Dan sekarang aku bisa melihat ekspresinya dengan sangat jelas. Terlalu jelas malah. Ia marah.

"Kau bilang, kau mencintaiku. Kau bilang, kau bersumpah ingin merebutku dari Minah. Tapi apa ini? Jadi bagimu, cinta itu hanya main-main?"

Mataku membulat sempurna. Perasaanku berbalik menjadi sebuah kebahagiaan menyadari ucapannya barusan.

"Kau cemburu pada Levin?" Aku malah menggodanya dengan tidak tahu malu.

"Iya. Aku cemburu!"

"Kalau begitu, kau akan memilihku, kan?" tanyaku memanfaatkan situasi.

Dan seperti biasanya, jika aku sudah mengungkit hal itu untuk ke sekian puluh kali, ia mendadak menjadi orang paling gagu sedunia. Aku tersenyum sinis.

"Kalau kau tidak bisa menjanjikan apa-apa untukku, berhentilah berlagak seakan kau satu-satunya yang berhak atasku," ucapku berusaha mengambil ponsel dari genggamannya, tapi gagal. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi hingga aku tak mampu menjangkaunya. Aku berdiri agar aku bisa mengambilnya. Tapi ia ikut berdiri yang memastikan kegagalan aksiku.

"Kau benar. Aku memang tidak bisa menjanjikan apa-apa untukmu. Tapi bisakah setidaknya kau hargai hubungan kita?" tanyanya menatapku lekat-lekat.

"Aku lelah. Kita sudah terlalu banyak membicarakan hal yang menguras emosi hari ini. Kembalikan ponselku."

Lelah. Satu kata pamungkas yang membuatku menang di berbagai kondisi dalam keadaan hamil begini. Tanpa banyak bicara, ia mengembalikan ponselku dengan wajah tertekuk.

"Penjelasanmu soal Levin. Itu yang aku tunggu berbulan-bulan. Kau tahu? Aku sangat cemburu," ucapnya nyaris berbisik.

Aku tertegun untuk waktu yang cukup lama untuk mencerna baik-baik makna kalimat "aku sangat cemburu" yang baru saja ia lontarkan dengan kesal barusan. Rasanya seperti mimpi saat tiga kata itu terucap. Sungguh kata-kata yang sakti dan sukses melumpuhkan nalarku dalam sekejap.

Aku tercenung dalam kesunyian kamar, dengan wajah Bian yang menatapku kecewa.

***

Paris, 12.20 pm.

Kelegaan luar biasa memenuhi rongga dadaku ketika tiba di apartemen Willis dengan selamat. Aku sangat tidak menyukai situasi di kereta cepat selama tiga jam perjalanan dari Colmar ke Kota Paris.

Bagaimana aku bisa duduk dengan nyaman? Situasinya tadi amat parah. Willis dan Bian benar-benar tidak ditakdirkan untuk bisa bertemu baik-baik atau sekedar menyapa "bonjour" dengan ramah. Aku sendiri sedang stuck di suasana hati yang tidak cukup memadai untuk mencairkan kekakuan di antara mereka. Willis membenci Bian. Dan ya, tentu saja ia pun jengkel padaku karena sikap kepala batuku yang tak kunjung berkurang.

Aku sama sekali tidak menyalahkan sikapnya. Ia benar di satu sisi. Atau haruskah aku katakan, ia benar dan sudah semestinya aku mengikuti sarannya untuk mengakhiri perjanjian? Andai saja Bian tidak lancang mengambil secuil ingatanku, aku berani pastikan jika aku tidak akan sudi lagi menginjakkan kakiku di Korea Selatan. Apalagi untuk bertemu wanita yang haram kusebutkan namanya. Tidak! Aku tidak punya rencana untuk menemuinya.

Helaan napasku memecah kebisuan antara aku dan Bian. Willis tidak terlihat. Entah di kamar mandi atau di kamar. Aku tidak terlalu memperhatikan ia sejak aku mendudukkan diriku di sofa.

Baru saja aku memikirkannya, ia pun muncul dari arah kamar mandi dan berjalan terus ke arah pintu.

"Will, mau ke mana?" tanyaku heran saat melihatnya akan keluar.

"Ke kampus."

"Lama tidak?"

Alisnya terangkat sebelah. "Mungkin sore nanti aku kembali. Kenapa?"

Aku terdiam sebentar, lalu berkata dengan hati-hati, "Aku ingin melihat kampusmu. Sepertinya semua orang di dekatku sekolah di tempat yang hebat. Aku hanya ingin melihat tempat sehebat itu. Mumpung aku di Paris."

"Jangan mulai lagi, Jihyun! Kita baru sampai. Harusnya kau istirahat." Bian langsung melontarkan ketidaksepakatannya.

"Kau tidak lelah? Istirahat saja dulu. Kau bisa meminta Bian main ke kampus setelah cukup kuat," ucap Willis secara tidak langsung menyetujui pendapat Bian barusan.

Mereka kaku satu sama lain, tapi ada satu persamaan yang manis: mereka berdua mengkhawatirkan aku. Itu membuat senyumku terulas sangat tipis. Daripada jatuh dalam debat kusir, aku pun mengikuti saran Willis.

Ada satu hal yang belum sempat aku tanyakan pada Bian. Sebenarnya ada banyak sih. Tapi aku sedang tidak ingin membahas hal berat saat ini. Yang paling ingin aku kulik informasinya dari Bian adalah soal Kyung. Aku memandang diam-diam pada Bian yang tengah menyandarkan kepalanya di sofa dengan mata terpejam.

"Apa yang kau katakan pada Kyung soal kita?" tanyaku langsung pada poinnya.

"Menurutmu?" Ia bereaksi masih dengan mata terpejam.

"Aku sedang tidak ingin berasumsi."

"Aku bilang, kau istriku dan kau hamil."

"Lalu?" kejarku lagi.

"Dia terkejut. Kalau saja aku sedang tidak panik, mungkin aku sudah tertawa keras-keras melihat mata adikmu yang besar itu hampir keluar karena kaget," tuturnya sambil tersenyum dengan kelopak mata masih melekat satu sama lain.

"Apa lagi yang kau katakan?" lanjutku cemas.

Kali ini ia membuka tautan kelopak matanya dan menegakkan tubuhnya hanya untuk menatapku. Tidak terlihat raut wajah yang kesal atau serius di sana. Ekspresinya itu sedikit banyak membuat hatiku lega meskipun aku sama sekali belum tahu apa lagi yang telah ia tuturkan pada Kyung.

"Aku bilang, kau menghilang hingga aku terpaksa menemuinya atas saran Lay. Aku harus banyak berterimakasih pada sahabatmu itu."

Aku tersenyum miring, "Masih berani mengatainya mucikari lagi? Hei, Bung. Banyak-banyaklah minta maaf pada Lay. Kau sudah terlalu berburuk sangka pada pemuda sebaik itu."

Bian menghela napas sambil memposisikan kepalanya di bahuku. Satu tangannya menyentuh perutku, mencoba memberikan kenyamanan dan kehangatan melalui sentuhan lembutnya di sana. Aku diam saja menghadapi sikap sok manjanya yang menyebalkan sekaligus membuatku berdebar itu.

"Kadang aku berpikir, harusnya Lay saja yang menikah denganmu. Dia sangat baik. Dia bisa menjagamu dengan sangat baik daripada aku," ucapnya dengan penuh kepasrahan.

Hati ini membeku untuk sesaat. Butuh beberapa detik bagiku untuk kembali menguasai diri mendengar untaian kalimatnya barusan. Aku tidak suka ia mengatakan hal itu.

"Kau bisa menjagaku lebih baik dari Lay," bisikku dengan suara hampir bergetar.

"Tidak. Aku tidak bisa menjagamu sebaik dia.... Jihyun—"

Suara ponselku menginterupsi ucapan Bian. Itu Willis.

"Ada apa Will?" tanyaku langsung.

"Kau jadi ke kampus, kan? Aku lupa memberitahu kalau kunci mobilnya ada di nakas dalam kamarku. Pakai saja mobilku. Ingatlah untuk beristirahat."

"Ah, iya. Terima kasih." Aku segera mengakhiri panggilan.

"Will? Dia bilang apa?" selidik Bian.

"Kunci mobilnya ada di kamar. Kita akan ke kampus Will, bukan?"

Aku memastikan keputusan Bian. Aku tidak mungkin pergi sendirian karena aku tidak bisa menyetir mobil. Jangan lupakan kenyataan bahwa aku orang miskin. Jangankan punya mobil, untuk makan saja aku masih harus berusaha keras.

Bian menarik kepalanya dari bahuku, "Tidurlah."

"Janji dulu!" desakku memastikan lagi.

"Iya! Sekarang kau tidur dulu!" sahutnya sembari berdiri di depanku.

Kedua tangan kokoh itu membawaku dalam gendongannya tanpa sempat aku menolak. Ah, aku juga tidak punya niat untuk menolak sikap manisnya yang mendebarkan itu. Berbulan-bulan ia sering memperlakukanku dengan cukup buruk, kurasa ini adalah salah satu balasan manis atas penantianku dalam diam. Aku tersenyum tipis dengan kedua indera penglihatanku yang tak jauh-jauh dari lekukan wajahnya yang menggemaskan.

"Sudah puas memandangku?" tanya Bian tiba-tiba berhenti di depan pintu kamar Willis yang pernah aku gunakan sebelumnya. Mata dan bibirnya sama-sama tersenyum yang membuatku bersumpah ingin memakannya karena ia terlihat lebih manis dari permen kapas di festival kembang api.

"Belum," jawabku polos dan tak tahu malu.

"Setelah ini kau boleh memandangku sepuas hatimu. Tapi tolong kau buka pintu kamar ini. Tanganku hanya dua dan sudah aku pakai untuk mengangkat tubuhmu yang berat ini," pintanya manis.

Aku tersenyum dengan jahil. "Aku tidak memintamu menggendongku. Jadi, buka saja sendiri."

"Ayolah, Gadisku. Kau sangat berat. Sebentar lagi tanganku patah jika kau tidak mau membukakan pintu itu untukku. Kau mau tanganku patah?" Ia masih berusaha merayuku dengan senyuman yang tak sedikit pun memudar.

"Itu ide yang bagus. Mau aku bantu patahkan?" sahutku santai.

"Ya sudah. Kita batal ke kampus."

Aku mendecak kesal, "Iya! Iya!"

Tanganku menarik kenop pintu hingga Bian melenggang bebas masuk ke dalam kamar dan membaringkanku dengan hati-hati di tempat tidur. Ia tidak beranjak dari sampingku, malah ia ikut berbaring.

"Nah, sekarang pandanglah aku sepuas hatimu," ucapnya sambil memposisikan tubuhnya ke arahku, hingga mataku memiliki jangkauan luas untuk mengakses wajahnya dekat-dekat.

"Tidak mau. Aku mau tidur," tolakku langsung memunggunginya.

Dengusan kecil terdengar, membuatku tersenyum geli karena merasa telah berhasil mengerjainya. Namun, tangannya mengelus perutku dari belakang secara tiba-tiba.

"Kita nikmati saja apa yang ada karena ke depannya, aku tidak tahu apakah kita masih ditakdirkan untuk bersama atau tidak," bisiknya lembut tapi sukses membuat hatiku seperti diguyur air dingin, membeku.

Aku menggigit bibir.

***

Hampir satu jam aku terlelap di kamar Willis dan dalam rengkuhan Bian. Rencana awalku akan tetap dilaksanakan: mengunjungi kampus Willis. Dengan berbekal pengetahuan spasial milik Bian akan Kota Paris, kami pun tiba di salah satu kampus kenamaan dunia itu.

Kepalaku menengadah demi melihat keanggunan bangunan bergaya Eropa klasik yang menjulang congkak seakan ingin menembus langit dengan atap-atap lancipnya. Ini yang aku namakan seni kelas tinggi yang memadukan citarasa sains, budaya, dan estetika kelas dewa yang begitu menawan hati. Aku terpana oleh Sorbonne. Ia seperti Cassanova. Indah, dan agung, memaksa bangunan di sekitarnya seolah terbuai dalam rengkuhannya yang klasik dan misterius, tapi memikat.

Bian menggamit lenganku. Langkah kami terayun di antara seluruh unsur keindahan itu. Percaya tidak? Aku jadi turut merasa indah hanya dengan berada di sini bersama si pria sipit itu.

"Aku tidak percaya kau pernah kuliah di sini." Celetukan pedasku untuk Bian keluar di tengah jalan.

Ia mempererat tautan tangannya di lenganku, "Apa aku terlihat kurang meyakinkan? Aku salah satu lulusan terbaik program master di sini."

"Dengan mulut yang berbisa seperti itu, mana bisa aku percaya? Kau tidak cocok dengan keanggunan kampus ini yang sangat elegan. Sedangkan kau? Kau hanya remahan roti yang sedang diangkut semut," jawabku kejam mengingat semua ucapan jahatnya yang telah ia lontarkan padaku selama ini.

"Nah, sekarang mulut siapa yang berbisa?" Ia malah balik menyerangku secara verbal. Sekarang gamitannya terlepas. Ia merangkul bahuku dengan lembut.

"Aku hanya mengatakan daftar dosa yang telah kau lakukan padaku," elakku cepat.

"Seperti kau tidak pernah berbuat dosa padaku saja. Mau aku sebutkan satu per satu?" tukasnya santai tapi tepat sasaran hingga membuatku bibir bawahku maju karena merasa ucapannya benar.

"Belakangan ini kau jadi jauh lebih sabar. Kau tidak habis terbentur, kan?" Aku mengalihkan topik.

Rambut halus itu membelai keningnya dengan lembut karena hembusan angin yang menyapa Sorbonne. Jari lentiknya menyingkirkan helaian rambut itu hingga keningnya yang halus terekspos. Rangkulannya di bahuku menguat.

"Inilah aku yang sebenarnya. Tidak ada yang perlu aku tutupi lagi karena sebentar lagi...," ucapnya menggantung.

Ya, sepertinya dia memang punya hobi membuatku penasaran. Aku malas kalau harus bertanya ini-itu lagi yang pasti berujung pada rasa penasaranku yang semakin besar. Apa-apa yang ia lontarkan sepertinya bukan membuat keingintahuanku tuntas. Malah sebaliknya, muncul teka-teki baru dalam kepalaku yang memaksa milyaran syaraf otakku bekerja ekstra untuk menghubungkan berbagai kemungkinan, logis maupun tidak logis. Salah satu hal paling tidak logis menurutku sejauh ini adalah pada bagian: ia akan mengembalikan ingatanku.

Dia gila.

Tetapi aku lebih gila lagi karena sudah percaya padanya. Ini namanya kegilaan beruntun. Sudahlah, aku pusing. Aku bahkan tidak pernah bermimpi ini akan terjadi dalam hidupku.

Deretan kursi-kursi kayu tertata rapi di kanan jalan, dinaungi oleh jajaran pepohonan hijau di akhir Bulan April yang menjadi penanda musim semi di Eropa, khususnya Prancis. Bian menarik satu kursi untukku dengan lagak manly, lalu membantuku duduk di atasnya. Baiklah, dia memang manly meskipun wajahnya kadang mengkhianati ke-manly-an itu. Salahkan adonan yang terbentuk dalam rahim ibunya hingga menurunkan gen yang unik pada wajahnya. Sialnya, aku menyukai keunikan itu. Di mana lagi aku bisa menemukan pria berwajah tampan sekaligus imut, manis, dan cantik dalam waktu bersamaan?

Ah! Aku nyaris melupakan sosok Levin. Itu membuatku mendadak berpikir keras, kenapa hidupku dikelilingi pria model begini? Astaga....

"Kau tunggu di sini. Aku belikan minuman untukmu," kata Bian yang langsung pergi setelah kepalaku terangguk.

Rasanya mata ini tidak pernah bosan memandang keindahan ciptaan Tuhan yang terukir syahdu di kota penuh romansa bernama Paris ini. Sesekali aku mendengus iri melihat beberapa orang mahasiswa yang tengah berkutat dengan buku tebal mereka. Aku teringat studiku di bidang sastra yang sama sekali tidak jelas ke mana arahnya. Sepertinya episode perjalanan karir akademikku sudah tamat. Menyedihkan.

Aku merogoh ponsel dari saku dalam tasku, lalu menekan tombol nomor yang ada di sana.

"Halo, Will. Aku sudah di kampus," sapaku.

"Ah, tolong share location padaku," sahut Willis dari seberang sana.

"Ok. Bye."

Usai mengakhiri panggilan, jariku menjelajah fitur peta dalam ponsel untuk berbagi lokasi pada Willis. Tepat setelah aku melakukannya, seseorang menepuk bahuku dari samping kanan. Aku pun menoleh, dan seorang gadis Asia yang sangat cantik, menawan, terlihat angkuh, dan penuh aura mengintimidasi terpampang nyata di sampingku. Sesaat, aku terpukau dalam pesona kecantikannya yang luar biasa.

"Hi. Are you Korean?" tanyanya dengan senyuman seksi.

"Ah, yes. You too?" balasku antusias.

Dia tertawa ringan, membuat aura keangkuhan dalam wajahnya sirna dalam sekali tarikan. Aku bersumpah, gadis ini sangat cantik dengan inner beauty yang sangat kuat.

Ia mengulurkan tangannya untuk menyapaku, "Namaku Saera. Kau?"

Aku menyambutnya. "Aku Jihyun. Kau kuliah di sini?"

Ia mengangguk kecil, "Aku melanjutkan studi master Economics Science di sini. Tapi kuliahku sudah selesai."

Bibirku membulat menyadari betapa elegannya saat gadis itu menyebut "Economics Science". Terdengar sangat cerdas, dan bergengsi, bukan? Mendengarnya saja sudah membuat dadaku berdebar. Dia hebat.

"Jadi, kau tidak kembali ke Korea?" tanyaku penasaran.

Ia mendekatkan kursinya padaku, "Aku terlibat proyek kampus. Mungkin setelah proyek itu selesai, aku baru akan kembali. By the way, kau sendirian?"

Aku menggeleng, "Suamiku sedang membelikan minuman untukku."

"Ah, ya.... Kau sering ke Paris?"

"Tidak. Baru kali ini."

Senyum cantik itu kembali merekah, "So, is this your babymoon avenue?"

Pertanyaan itu membuatku tertawa kecil. Lucu juga kalau ini dianggap babymoon. Aku pun hanya mengangguk menanggapinya. Ya, anggaplah ini memang babymoon trip.

"Wah, pasti menyenangkan. Berapa usia kandunganmu?" tanyanya lagi. Dari caranya mengajakku bicara, ia pasti sangat bahagia bertemu denganku.

"Tujuh menuju delapan bulan."

Ia mengangguk-angguk perlahan lalu membenahi duduknya. Sementara itu, kedua netraku terpaku pada sebuah buku tebal di pangkuannya: An Inquiry Into The Nature and Causes of The Wealth of Nations. Buku itu adalah hasil pemikiran super dari Adam Smith si tokoh ekonomi klasik yang kerap digaung-gaungkan oleh guruku ketika aku masih duduk di bangku SMA.

Hatiku semakin berdecak penuh kekaguman. Benar-benar bukan gadis sembarangan.

"Jihyun." Suara lembut Bian memanggilku.

Aku menoleh dengan satu senyuman melihat kedatangannya yang membawa dua gelas minuman di kedua tangannya. Ia menarik kursi kayu yang berada di sampingku dan menghempaskan dirinya di sana. Tak lama kemudian, ia terlihat membeku, membuat kedua alisku bertaut.

"Bian-oppa?"

Suara Saera yang menyebut nama suamiku dengan lugas dan penuh keyakinan itu membuatku menoleh padanya---gadis itu. Bian sendiri masih bergeming. Satu pertanyaan besarku mulai menyeruak. Aku yakin keduanya saling mengenal.

"Kau mengenal suamiku?" tanyaku ragu-ragu.

Mata indah Saera sedikit membulat mendengar pertanyaanku, "Suami?"

Aku tidak tahu ada apa di antara mereka. Tapi aku akan melakukan tindakan preventif dengan mengenalkan pada dunia---terutama pada gadis cantik di samping kananku ini---bahwa Bian Lee adalah suamiku. Jadi aku mengangguk kuat disertai senyuman penuh kejujuran.

Sayangnya, hanya aku yang tersenyum. Wajah Bian menegang, sementara wajah cantik Saera yang tadinya ramah, perlahan berubah mendung.

"Sepertinya kalian saling mengenal," ucapku memastikan lagi, berharap salah satu di antara keduanya menanggapi keingintahuanku.

"Tentu saja aku mengenalnya, Jihyun." Nada bicara Saera mulai terdengar tidak ramah.

"Apa Bian kakak tingkatmu dulu?" tanyaku konyol.

Ia tersenyum dan berkata, "Lebih dari kakak tingkat. Dia-"

"Dia Kim Saera. Adik Minah," sela Bian cepat.

Bibirku membulat, antara terkejut dan takjub. Pantas saja wajahnya terlihat sangat mirip dengan wanita yang haram kusebutkan namanya itu. Bedanya, kecantikan Saera sangat misterius, seksi, dan mengintimidasi. Pembawaannya juga terlihat lebih matang dan dewasa. Mungkin pengaruh terlalu lama hidup di budaya Barat. Tentu saja ada korelasinya! Para wanita di Korea Selatan lebih suka penampilan yang terlihat imut, sedangkan wanita dalam budaya Barat lebih condong pada penampilan matang yang seksi. Tetapi itu hanya kesimpulan dangkalku saja.

"Jadi, apa maksud semua ini?" tanya Saera menghancurkan pemikiranku tentangnya barusan.

"Kakakmu yang menginginkan ini," jawabku cepat.

"Kakakku?" tanyanya tidak percaya.

"Kau sudah tahu masalahnya, Saera. Jadi aku minta, jangan berpikiran macam-macam."

Ucapan Bian membuat Saera mendengus kasar.

"Sepertinya kakakku tidak akan melakukan hal gila seperti itu. Ini bukan alasanmu saja 'kan?" sindirnya sinis.

"Daripada kau menyudutkan Bian, lebih baik kau tanyakan pada kakakmu yang baik hati itu." Emosiku sedikit tersulut.

"Wow, kau ini hanya istri kedua tapi sombong sekali padaku," balas Saera dingin.

Aku tersenyum miring, "Setidaknya aku tidak penuh dengan tipu muslihat."

"Apa maksudmu?!" tanyanya dengan suara tinggi.

"Saera, berhenti. Dia sedang hamil. Kau tidak malu bertengkar dengan wanita hamil?" Bian berusaha menghentikan perdebatan panasku dengan adik iparnya itu.

Di saat nyaris bersamaan, Willis muncul dengan sosok tampannya yang memukau.

Meskipun hanya berpenampilan simpel, tapi pesona kombinasi Asia dan Eropa dalam dirinya sama sekali tidak berkurang. Aku mengutuk dalam hati karena dua hal. Pertama, kenapa aku tidak se-menawan dia? Kedua, kenapa Willis selalu datang di tengah pusaran konflik?

"Saera?" Kata pertama yang justru keluar dari bibir merahnya adalah nama gadis cantik itu.

"Oww, kau mengenalnya juga?" tanyaku sarkastik. Pertemuan penuh kehangatan antara aku dan Saera tadi berubah 180° menjadi panas.

Willis mendekatkan wajahnya padaku, lalu berbisik, "Dia adalah gadis Korea yang aku ceritakan."

Sontak kedua tanganku berlomba untuk menutupi mulutku. Dunia benar-benar hanya selebar kening Yoona SNSD! Aku jauh-jauh dari Seoul ke Paris dan ... apa yang aku temukan sekarang?

"Bian, bisa kita pergi dari sini?"

Nampaknya memang itu yang diharapkan Bian. Ia langsung mengangguk tanpa berpikir panjang, diikuti kerutan kening yang menghiasi wajah Willis.

"Aku baru datang. Kenapa kau malah pergi?" tanya Willis tidak terima.

"Aku juga pergi," kata Saera ikut-ikutan.

"Hei! Hei! Kalian kenapa malah meninggalkanku?!" protes Willis semakin tidak terima. Ia menahan lengan Saera yang tidak peduli dengan pertanyaannya.

Mata indah Saera mendelik, "Kenapa kau menahanku?"

Kemudian, Willis menjawab menggunakan Bahasa Prancis yang sama sekali tidak aku pahami. Yang aku tahu, Bian hanya menyunggingkan senyum tipis mendengar kalimat itu. Ah, biarkanlah. Aku juga tidak ingin tahu.

Aku tersenyum miring, "Nah, sepertinya kalian butuh waktu untuk bicara. Jadi, aku pergi saja."

Saera mempersembahkan wajah dinginnya padaku dan Bian. Sementara aku pura-pura tidak peduli dan beranjak perlahan dari kursi.

Bian ikut bangkit dan menghela napas, "Saera, apa pun yang ingin kau ketahui, tanyakan saja padaku. Aku dan Jihyun akan mencari hotel."

Willis langsung menyambar ucapan Bian dalam bahasa negara yang tengah kujejaki ini. Mereka bertiga sukses membuatku merasa jadi orang paling bodoh di sini. Itu membuatku bertekad untuk mulai belajar Bahasa Prancis.

Bian, Saera, dan Willis terlibat dalam pembicaraan singkat tapi sangat serius. Tingkat keseriusannya berkorelasi positif dengan garis-garis kerutan di kening Willis yang semakin banyak. Kuduga, mereka membicarakan tentang aku, Bian dan Saera yang telah saling mengenal.

"Sudah cukup! Aku pergi!" ucap Bian keras.

Detik itu juga, ia menarik tanganku untuk berlalu dari hadapan Willis dan Saera. Ia terlihat kesal.

"Kita ke mana?" tanyaku.

"Eiffel. Sesuai permintaanmu," jawabnya singkat.

"Jauh tidak dari sini?"

"Sekitar lima belas menit mungkin."

"Pakai mobil?"

"Kau mau pakai jet?" Bian balik bertanya.

"Kau punya?" balasku.

"Tidak."

"Lalu kenapa bertanya?" kejarku lagi.

Bian menatapku sekilas, "Jangan meluapkan kekesalanmu pada Saera padaku."

"Kau dan Saera kuliah di kampus yang sama. Apa Sorbonne punya mata kuliah untuk mengajarkan mahasiswanya punya mulut berbisa?" Aku menyindirnya.

"Jihyun-ah. Jangan membuatku tambah pusing. Oke?" Bian berusaha mengakhiri kekurangajaranku. Salah satu tangannya menggandengku kuat, berlagak posesif seakan aku ini adalah barang paling mahal baginya.

"Kapan kita kembali ke Seoul? Kau sudah beli tiket, kan?"

"Besok."

Mataku mendelik. "Besok?! Lalu kita batal ke Disneyland?! Aku tidak mau kembali ke Seoul sebelum kita ke Disneyland!"

Ia mulai menarik napas panjang. Sepertinya, ia butuh kesabaran lebih untuk menghadapiku.

"Jihyun sayang, penerbangan kita pukul sembilan malam. Jadi kita masih punya waktu untuk ke Disneyland. Kau tidak akan lama 'kan di sana? Ingat kehamilanmu."

Hhhh.... Aku menghela napas lega. Akhirnya aku mengangguk. Aku memang tidak berencana untuk menjelajah lama-lama di sana. Yang penting, aku sudah melihat dari dekat wujud Disneyland dan berjalan-jalan di dalamnya.

***

Ratu Kota Paris bernama Menara Eiffel itu berdiri penuh kesombongan. Menyapa liukan gemulai Sungai Seine yang membelah kota ini dengan kemolekan irama airnya. Aku berdiri menatap menara itu dengan perasaan kecil, segan memandangi kepongahan sang ratu penguasa Paris.

"Mau aku foto sendirian?" Bian menawarkan diri.

Aku menggeleng, "Aku ingin berfoto bersamamu."

Aku menyerahkan ponselku padanya. Ia mengaktifkan mode self timer selama lima detik dan mencari angle terbaik agar Nyonya Eiffel itu bisa terbingkai sempurna di antara kami. Di detik kelima, tanganku menarik pipinya hingga bibirku bertaut dengan bibirnya. Romantic scene itulah yang berhasil diabadikan oleh kamera ponselku.

Mata Bian membulat. Aku melepaskan tautan bibirku dengan senyum polos.

"Kau nakal," omelnya pelan. Harusnya dia tidak heran dengan sikapku yang seperti tadi.

"Aku mau lihat!" Aku merebut ponsel dari tangannya.

Pipiku memerah melihat foto itu. Maksudku ... baiklah, aku biasa berciuman. Tapi melihat foto ciuman seperti ini, kenapa rasanya memalukan ya? Astaga....

"Kenapa wajahmu merah begitu?" selidik Bian.

Aku menggeleng cepat. Rasanya memalukan mengakui hal itu. Padahal selama ini, label gadis jalang seperti sudah melekat erat padaku.

"Hei, bisa tidak kau mengondisikan wajahmu?" tanyanya lagi.

"Wajahku kenapa memangnya?" Aku agak panik.

"Aku tidak suka melihat wajah merahmu."

Aku menggigit bibirku sebentar, lalu bertanya pelan, "Jelek ya?"

"Berhenti mengigit bibirmu!" ucapnya serius.

Alisku bertaut. "Kau ini kenapa?"

Ia mencondongkan wajahnya padaku, "Ada dua hal yang aku benci darimu...."

Aku mendengus sebal. Aku tidak tahu kalau sampai sekarang ia masih menyimpan kebencian untukku. Semua ini pasti berkaitan dengan si wanita yang haram aku sebutkan namanya itu!

"Katakan saja. Aku tahu kau membenciku," ucapku membuang muka ke arah lain.

Ia mengelus pipiku, seperti seorang psikopat yang akan menghabisi calon korbannya dengan halus.

"Pertama, aku benci wajahmu yang memerah." Elusannya di pipiku berpindah ke bibir dengan seringai jahat. Ia melanjutkan, "Kedua, bibirmu ini.... Berhentilah menggigit bibirmu. Kalau kau ingin sebuah ciuman dariku, katakan saja."

"Yakkk!!!"

Dan sebuah kecupan lembut dari bibirnya membungkam bibirku dengan sangat manis. Di sini, disaksikan sang penguasa Paris dan punggawanya: Eiffel dan Sungai Seine.

***

Bian tertegun mendapati koper besar yang aku bawa dari Seoul. Ia pasti tidak mengira kalau aku membawa benda sebesar dan seberat itu ke Paris. Yang ia tahu, aku hanya membawa koper kecil saat ke Colmar. Aku tidak mau merepotkan diriku sendiri. Jadi, terima kasih untuk supir taksi, porter bandara, dan Willis yang sudah mau merelakan diri mengangkatnya.

“Sebesar itu keinginanmu untuk pergi dariku?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Kalau maksudmu itu sebesar koper yang aku bawa, jawabannya tidak. Keinginanku lebih besar lagi. Kenapa memangnya?” tanyaku sambil mengikat rambut, memamerkan leher jenjangku padanya.

“Tinggalkan saja kopermu di sini. Aku tidak mau membawa barang sebesar itu.”

Aku mencebikkan bibir. Suamiku ini harusnya jadi orang yang paling bisa diandalkan dan paling mengerti aku. Tetapi lihat kelakuannya sekarang. Bahkan sejengkal pun ia tidak sudi membawakan koper sebesar itu untukku. Sepertinya aku harus kembali menabahkan hati agar kesabaranku tetap tinggi di depannya. Kalau bukan karena aku mencintainya, mungkin aku sudah menyumpahinya habis-habisan.

“Lalu aku pakai apa nanti?!” Aku bertanya dengan setengah merutuk.

“Kau mau belanja?” Bian memberikan penawaran menggiurkan dengan sangat tiba-tiba.

Mataku menyipit.

“Kau yang bayar?” tanyaku memastikan.

“Pastilah. Tinggalkan kopermu di sini. Kau beli saja pakaian baru. Nanti setiba di Seoul, kau juga bisa belanja sepuas hatimu untuk mengganti pakaianmu yang ada di koper itu,” jawab Bian santai, seakan uang itu hanya berupa helaian daun maple kering yang menumpuk di musim gugur.

Baru saja akan menyahut, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Willis menyembul dari sana. Ia terlihat sedikit lelah dan menurut dugaanku, suasana hatinya sedang buruk. Aku mulai beropini ringan karena penampakannya yang sedikit kacau saat ini. Tapi aku sama sekali tidak berminat menanyakannya pada Willis. Kupikir, masalah hari ini sudah cukup. Aku tahu diri untuk tidak mengingatkannya lagi. Dia butuh istirahat.

“Aku dan Bian akan menginap di hotel,” ucapku hati-hati.

“Aku antar,” ucapnya berusaha tersenyum.

Aku semakin tidak enak hati melihat keterpaksaan dalam senyumannya. Ia pasti telah mendapat jatah masalah karenaku. Aku yakin ini erat kaitannya dengan Saera.

“Kami pakai taksi saja. Kau butuh istirahat,” ucap Bian mewakili isi kepalaku.

Willis tidak menampik, juga tidak mengiyakan. Aku paham, suasana hatinya pasti benar-benar amburadul sekarang. Dia sampai tidak menjawab begitu. Kekalutan pikirannya terlihat jelas di kedua mata birunya yang tajam bak mata elang.

Mataku melebar saat melihat Bian menyentuh pundak Willis.

“Will, maafkan aku untuk semua kekacauan ini. Percayakan Jihyun padaku. Aku akan menjaganya.” Ucapan Bian yang itu membuat hatiku mencelos begitu saja.

Ia melanjutkan apa yang ingin dikatakan, “Aku memang tidak bisa menjanjikan apa pun untuknya. Tapi bukan berarti aku akan mengabaikannya. Willis, tolong biarkan kami menyelesaikan ini.”

Willis hanya mendengus kasar. “Tidak usah mengatakan apa pun. Terserah kalian mau apa,” ucapnya tanpa peduli dengan niat Bian yang berusaha bicara baik-baik. Ia menepis tangan lelakiku dari pundaknya, lalu melengos begitu saja meninggalkan kami yang berdiri terpaku di dalam kamar. Hati ini ngilu melihat Willis yang kacau karena cipratan masalah dariku.

Aku dan Bian berjalan berdampingan keluar kamar. Perlahan aku menghampiri Willis yang duduk terpekur di sofa dengan wajah tertekuk. Muram.

“Aku tidak membawa koperku. Boleh aku titipkan di sini?” tanyaku pelan.

“Semoga kau ingat jalan pulang ke Prancis.” Willis berkata dengan penuh nada sarkasme tanpa memandangku.

Aku menggigit bibirku dengan perasaan yang mulai kacau. Rasanya air mata mulai menggenang di pelupuk mataku. Setengah mati aku tahan-tahan agar kesedihanku tidak mencuat ke permukaan. Itu hanya akan membuat Willis bertambah kacau....

“Kami pergi dulu,” ucap Bian yang kemudian menggamit lenganku, meninggalkan Willis sendirian dalam kekacauan hatinya.

***

Bian membawaku ke Avenue des Champs-Élysées seusai check in di salah satu hotel yang berlokasi di dekat Menara Eiffel. Katanya, itu adalah salah satu tempat belanja yang cukup populer. Aku hanya mengiya-iyakan saja karena aku benar-benar tidak punya orientasi arah sama sekali tentang Kota Paris. Aku pasrahkan semuanya pada Bian Lee yang pernah tinggal cukup lama di kota ini. Rasanya tidak berlebihan jika aku memberinya wewenang ilmiah untuk apa-apa yang akan aku lakukan di sini.

Menjadi wanita seorang Bian Lee telah membawaku ke gaya hidup hedon yang menyilaukan mata. Emmm, aku memang sering ke kelab malam. Tapi bukan karena aku penganut gaya hidup seperti itu. Aku di sana karena ingin menghibur diriku. Sangat berbeda dengan situasi saat ini. Ini murni bersenang-senang tanpa perlu memikirkan: besok aku akan makan apa?

Perasaan sedih yang tadi menghantuiku mendadak tergantikan oleh letupan kebahagiaan. Meskipun hanya sementara, tapi setidaknya gaya hedon yang sangat menggoda ini mampu menceriakan kembali hatiku yang sempat mendung. Bian rela menggunakan black card-nya demi membelikan berbagai barang mahal untukku. Di titik ini, perasaan berkuasa kembali menggodaku. Inilah enaknya jadi ibu hamil. Permintaan ibu hamil adalah titah, tidak bisa diganggu gugat. Rupanya Bian termasuk dalam aliran yang itu.

"Sudah puas belanjanya?" tanya Bian sambil menenteng tas belanjaanku yang berisi beberapa potong pakaian.

"Sebenarnya belum. Tapi aku tahu kalau mencari uang itu sulit. Jadi aku tidak akan menguras isi dompetmu lebih dalam lagi," jawabku sambil mengelus pinggangku yang terasa agak pegal. Bagaimana tidak pegal? Aku belum beristirahat dengan benar sejak tadi pagi.

"Aku tidak keberatan kau menghabiskan uangku. Berapa pun uang yang aku habiskan untukmu, tidak akan pernah sepadan dengan pengorbananmu."

Aku terkesima mendengarnya, sampai-sampai langkahku terhenti begitu saja.

Kening Bian mengernyit.

"Kenapa?" tanyanya heran.

Dengan cepat aku menggeleng, lalu kembali mengayunkan langkahku yang terasa agak berat karena beban di perutku.

Pengorbanan....

Aku masih ingat ketika Bian membentakku karena ketahuan keluar bersama Lay dan Risa. Waktu itu hatiku sangat terluka saat ia mengungkit soal pengorbanannya dan Minah. Di sini, di Kota Paris, untuk pertama kalinya ia menghargai pengorbananku untuk mengandung anaknya. Demi apa pun, aku sangat bahagia mendengar kalimatnya yang tadi. Rasanya semua lelahku menguap begitu saja.

"Kau lapar?"

Aku mengangguk kuat yang diikuti senyumnya. Tanganku menggamit lengannya dengan manja hingga tiba di sebuah kafe yang sangat cozy.

"Kau pesan saja apa pun. Aku pergi sebentar," ucap Bian yang cukup mengejutkanku.

"Kau mau ke mana? Tidak biasanya...."

"Aku mau membeli ponsel. Semoga kau ingat kalau aku punya banyak urusan penting," sahutnya setengah menyindirku.

Aku memutar bola mataku dengan malas. Tragedi ponselnya yang aku lempar itu sepertinya sudah menjadi daftar dosaku yang sangat menguntungkan baginya. Bahas saja terus, Bian Lee, umpatku dalam hati.

Umpatanku terpatahkan dengan satu kecupan lembut darinya di keningku. Ah, harus berapa kali aku katakan kalau aku lemah di hadapannya? Entah pesona apa yang dia miliki hingga bisa membuatku jatuh tanpa syarat padanya. Ini gila!

"Memangnya tidak bisa ditunda sampai kita tiba di Seoul?" Aku berusaha protes.

"Jihyun, aku punya banyak urusan kerja. Tanggung jawabku besar."

"Kan ada Jessica. Bukannya kau sudah melimpahkan tanggung jawabmu padanya?" kejarku lagi.

Ia mengecup bibirku. Mencoba membungkamku rupanya. Jari lentiknya membelai rambut kecoklatanku dengan penuh kasih sayang. Kedua bola matanya menatapku dengan teduh.

"Memang. Tapi aku harus tetap memantau dari jauh. Aku punya banyak proyek bernilai milyaran yang tidak bisa aku lepas begitu saja Aku bekerja untuk masa depan Evelyn juga. Aku harus menjamin kehidupan anakku, kan?"

Hatiku terasa sejuk mendengar suara dan kalimat lembutnya barusan. Aku lemah. Iya, aku benar-benar telah kalah pada pesona pria ini yang bahkan tidak bisa memilih dengan benar antara aku atau wanita yang haram kusebutkan namanya. Namun, begitu mengingat wanita pertamanya, dadaku terasa sesak. Terlebih saat aku mencoba mengeja dalam hati kalimat Bian barusan.

Menjamin masa depan Evelyn, ya.

Lalu bagaimana dengan masa depanku?

Apakah kau masih akan tetap ada di masa depanku, Bian Lee?

Dadaku serasa dihimpit.

"Baiklah." Hanya itu yang bisa aku ucapkan sebelum Bian meninggalkan aku bersama kursi kosong di sampingku yang harusnya diisi olehnya. Aku menarik napas panjang tepat saat pelayan datang untuk menanyakan pesananku dalam Bahasa Prancis. Sigh! Aku lupa kalau aku tidak pandai menggunakan bahasa negara ini. Yang aku tahu hanya bahasa sederhana nan pasaran seperti: aku mencintaimu. Bibirku mengerucut. Berbekal bahasa isyarat, aku pun sukses memesan makanan dan minuman yang tertulis di daftar menu.

Berkali-kali aku mengecek jam di ponselku. Hampir sepuluh menit berlalu, tapi Bian belum datang juga. Makanan yang aku pesan pun belum tiba di depan mata.

"Excuse me."

Suara seorang lelaki asing membuatku menoleh.

"Ya?" jawabku heran.

"Han Jihyun?" tanyanya to the point.

"Iya. Ada apa, ya?" Aku semakin heran mendapati bahwa lelaki bule ini mengetahui namaku.

"Saya mendapat pesan dari Bian Lee untuk menjemput Han Jihyun. Bisa ikut dengan saya?"

Alisku bertaut seiring dengan berbagai pertanyaan yang mencuat dalam otakku. Aku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran Bian. Tadi dia menyuruhku makan dan menunggunya. Sekarang dia malah mengutus orang lain untuk menjemputku. Benar-benar membingungkan.

"Nyonya Han Jihyun, bisa ikut saya?" tanya lelaki itu lagi hingga membuyarkan pemikiranku barusan.

"Darimana kau tahu namaku?" Aku menyelidikinya.

"Tuan Bian Lee yang mengatakannya pada saya. Dia menunggu Anda saat ini," jawabnya sopan.

"Memangnya Bian di mana sekarang?" Mataku membulat.

"Saya tidak boleh mengatakannya, Nyonya. Dia berpesan begitu." Lelaki itu menjawab dengan sangat sopan dengan dialek yang cukup mudah kumengerti.

"Kenapa tidak???"

Lelaki itu terdiam sejenak sebelum menjawab, "Sebenarnya saya tidak boleh mengatakan ini. Tapi Anda terlihat tidak percaya. Tuan Bian Lee akan marah jika saya gagal membawa Anda. Tuan Lee telah menyiapkan sesuatu untuk Anda."

Hmmm.... Masuk akal.

"Oke. Aku ikut," anggukku lalu meletakkan beberap lembar uang untuk mengganti makanan yang tidak jadi kupesan.

Dengan menenteng belanjaan, aku pun mengikuti langkah lelaki asing itu untuk menyusuri jalan, lalu masuk ke dalam mobil yang... jelek. Aku serius, mobil ini jelek, dan baunya... ugh! Andai saja aku dalam kondisi hamil muda, mungkin aku sudah muntah dalan mobil ini. Aku tidak percaya Bian tega meminta orang lain menjemputku dengan mobil model begini. Baiklah, aku tidak ada masalah dengan jeleknya. Aku hanya bermasalah dengan aromanya saja. Aku berencana akan membelikan pengharum mobil untuk lelaki asing itu setelah ini.

Jalanan Kota Paris digilas habis oleh roda-roda mobil lelaki asing itu. Objek pandanganku beralih pada Arch de Triomphe, bangunan indah yang didedikasikan untuk menghormati jasa La Grande Armée. Dalam hati, aku semakin mengagumi setiap sudut kota ini. Rasanya setiap jengkalnya hanya dipenuhi oleh keindahan yang tak terkatakan. Pengecualian untuk mobil yang saat ini aku tumpangi. Aku tidak keberatan dengan mobil jelek ini. Mungkin ini salah satu dari bagian kejutannya yang harus disiapkan lelaki asing yang bernama....

Ah, kenapa aku tidak menanyakan namanya, ya? Seharusnya aku melakukan itu sejak tadi.

"Maaf, siapa namamu?" Akhirnya pertanyaan itu aku ajukan juga.

"Riccardo," jawabnya singkat.

Aku hanya membulatkan bibirku sembari menikmati pemandangan Kota Paris. Namun semakin lama, aku menyadari kalau ini sudah terlalu jauh dari tempat tadi. Maksudku, Bian hanya berjalan kaki. Tidak mungkin kan ia pergi sejauh ini? Ya kecuali dia memang sengaja menyewa taksi, lalu meminta seseorang menjemputku untuk memberikan kejutan di sebuah tempat romantis. Bisa saja sih.

Lamunanku buyar saat mobil itu berhenti di dekat kawasan permukiman kumuh yang berjajar di sepanjang rel kereta. Bibirku membulat lagi. Aku pernah membaca soal permukiman kumuh di Paris yang berada di La Petite Ceinture. Tapi mendapatkan diriku berada di sini rasanya luar biasa. Iya, aku tahu ini hanya permukiman kumuh. Tapi suatu hal yang unik bukan menemukan fakta ini di tengah glamour romansa Kota Paris yang sangat berkelas dan masyhur?

"Bian di sini?" tanyaku penasaran.

Riccardo tidak menjawab. Ia hanya membuka pintu mobil, lalu menghampiriku. Tiba-tiba ia membekapku dengan sebuah saputangan yang beraroma chloroform. Sangat cepat hingga aku tidak bisa menghindar.

Aku berusaha meronta, tapi dekapan dan bekapan lelaki itu terlalu kuat. Ia terus menekan saputangan itu hingga rasanya dadaku akan menciut karena kekurangan pasokan oksigen. Rasanya aku hampir mati. Aku tidak bisa berbuat banyak. Posisiku telah terkunci, entah untuk berapa lama. Aku takut....

Perlahan sekelilingku menghitam.

Gelap. Sunyi.

to be continued….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ANOMALY (Part 30)
12
4
SHIT!!! Willis mengumpat kesal mendapati bahwa keberadaan Jihyun sudah tidak terlacak lagi, tepat setelah kaki mereka menjejaki La Petite Ceinture.Bian terpaku di tempatnya berdiri. Ia tidak punya bayangan lagi tentang apa yang harus dilakukan sekarang. Otaknya buntu. Kecemasan yang berlebihan membuat kinerja otaknya mendadak melambat di saat genting.Kalau sampai terjadi sesuatu pada Jihyun, aku akan membunuhmu, Bian! Willis mengancam dengan telunjuk yang tepat mengarah ke wajah pria sipit itu.BAGIAN INI MENGGUNAKAN AUTHOR POV.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan