ANOMALY (Part 24)

20
4
Deskripsi

Cerita ini bisa dibaca GRATIS di Wattpad @dimudipu.

Tapi kalau mau update baca lebih dulu, kalian sudah ada di tempat yang tepat.

Happy reading :D

Minah menjemputku sekitar pukul sembilan malam. Ia memintaku menemaninya mulai malam ini karena Bian sudah pergi tadi pagi. Jadi hari ini aku resmi bertandang ke kediaman Bian dan Minah untuk pertama kalinya. Selama ini hanya mereka berdua yang selalu ke apartemen. Aku sama sekali tidak tahu di mana rumah mereka. Bahkan kediaman mereka pun dirahasiakan dariku. Dan sekarang, aku sedikit terkejut mengetahuinya.

Ini di luar ekspektasiku. Maksudku, pengusaha kaya raya sekelas Bian harusnya punya rumah yang mewah nan megah dengan beberapa pelayan di dalamnya. Terdengar seperti drama sih, tapi ekspektasiku memang seperti itu.

Aku tidak menyangka jika rumahnya begitu minimalis dengan taman yang apik segar di mata dan cukup luas. Di sana juga ada sebuah kolam renang mungil. Semuanya benar-benar didesain dengar konsep minimalis tapi dengan nuansa alam yang kental. Semua bayanganku akan rumah idaman ada di sini.

"Kalian hanya berdua?" tanyaku takjub.

"Iya. Romantis, kan?" sahut Minah bangga.

Hatiku justru ngilu mendapatkan kenyataan ini. Jadi selama Bian menemaniku, dia hanya sendirian? Maksudku... dia benar-benar melewati malamnya tanpa seorang pun di sisinya?

Untuk sejenak aku terdiam, sebelum akhirnya berusaha menguasai diriku lagi.

"Kalian tidak punya asisten rumah tangga?" selidikku.

"Ada. Tapi dia tidak tinggal di sini. Dia hanya datang di jam-jam tertentu."

Aku mengangguk-angguk.

"Pianonya bagus," pujiku sambil menyentuh grand piano berwarna putih bersih di ruang keluarga.

"Kau bisa bermain piano?" tanya Minah.

"Ayahku seorang pianis. Beliau mengajarkan aku cara bermain piano," tuturku sembari tersenyum mengingat masa lalu.

Wanita cantik itu merangkul pundakku.

"Ayo, ikut aku. Aku punya sesuatu yang pasti kau suka," ucap Minah menarik tanganku.

Ia mengajak kami ke lantai tiga. Tadinya aku pikir hanya ada dua lantai dengan sebuah rooftop park dengan berbagai permainan sebagai atap. Ternyata di rooftop itu terselip sebuah ruangan santai berkonsep sangat ceria dan penuh warna dengan rak-rak buku di dekat taman.

Secara keseluruhan, ruangan ini sangat cocok untuk bermain dengan anak dan menikmati quality time bersama keluarga. Tidak hanya itu, dalam ruangan santai yang minimalis itu masih ada ruangan lain yang tertutup rapat. Minah membuka pintu ruangan itu.

"Wow, studio musik?" tanyaku dengan bibir membulat dan mata membesar.

Ruangan yang dirancang kedap suara itu aku amati dengan seksama. Di ruangan ini terdapat sebuah keyboard besar (alat musik) dan gitar berwarna hitam, satu set personal computer yang aku yakin pasti spesifikasi yang tertanam di dalamnya tidak main-main, serta satu set peralatan rekaman seperti micropohone dan earphone yang sering aku lihat di studio musik kenamaan melalui televisi.

"Ini semua milik Bian," ujar Minah sambil menyentuh keyboard hitam dengan tatapan menerawang, lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Tapi sudah lama sekali aku tidak mendengar suaranya."

"Kenapa?"

"Sejak aku divonis tidak bisa memiliki anak, ia tidak pernah sekali pun ke lantai ini lagi. Dia memiliki angan yang begitu besar pada anak pertamanya. Karena itulah ia mendedikasikan semua yang ada di lantai ini untuk anaknya kelak. Termasuk taman di luar sana," tutur Minah pelan sambil menunjuk taman melalui pintu yang masih terbuka.

Mataku mengikuti arah tangan Minah. Rumah ini memiliki rooftop yang indah. Jajaran bunga krisan, mawar dan bunga matahari mini tumbuh cantik. Rumput di atas tanahnya pun terlihat sangat rapi dan terawat. Sebuah perosotan mini dan ayunan cantik semakin menyemarakkan taman. Aku harus memuji arsitek rumah ini jika aku mengenalnya.

"Aku jadi penasaran dengan suara Bian," ucapku tanpa sadar.

"Lebih baik kau tidak mendengarnya."

Mataku membulat, "Kenapa? Suaranya sangat buruk ya?"

Ia mengeleng cepat.

"Tidak. Suaranya sangat indah. Dia hampir saja debut menjadi penyanyi. Tapi ayahnya meminta dia kuliah di luar negeri."

"Wow! Tapi kenapa kau menyarankan aku tidak mendengarnya?" heranku.

"Jangan tertawa...," ucapnya lalu berhenti sejenak yang membuatku semakin penasaran kenapa aku tidak boleh mendengarkan suara Bian.

"Oke. Kenapa?"

"Aku tidak yakin para gadis akan tahan melihat seorang pria tampan bernyanyi dengan indah sambil bermain piano," jawabnya polos.

Astaga... dia cemburu?

"Aku sudah sering melihat pemandangan itu di televisi," sahutku membela diri.

"Rasanya berbeda Jihyun. Itu kan di televisi. Kalau melihat langsung, rasanya seperti kita menjadi fangirl gila yang akan berteriak dengan heboh 'Oppaaaa ... Oppaaaa ... saranghae! Kau sangat tampan!' Ya, kurang lebih begitulah," tutur Minah yang membuatku tersenyum geli.

Bicara tentang Bian, aku tidak heran jika pria itu betulan debut menjadi penyanyi. Wajahnya memang sangat tampan, ketampanan khas idol yang menggemaskan. Aku juga cukup sadar jika ia punya suara yang memikat walaupun aku belum pernah sekalipun mendengarnya bernyanyi. Jangan haraplah mendengar ia bernyanyi. Pria itu lebih sering memamerkan suara tenornya yang menyebalkan ketika mengomeliku.

Minah mengajakku turun ke lantai paling bawah setelah menutup ruangan tadi rapat-rapat.

"Jihyun, tidurlah duluan. Aku akan menyusul."

Kepalaku mengangguk begitu saja. Aku jadi penasaran, seperti apa sih isi kamar Bian dan Minah?

Gagang pintu kutarik perlahan. Kamar itu gelap. Dengan susah payah, akhirnya aku menemukan tombol lampu dengan bantuan cahaya ponsel. Jantungku nyaris melompat keluar ketika melihat sosok super besar Bian dan Minah yang tertempel di tembok.

Astaga! Bisa-bisanya ia menempelkan foto sebesar itu di dinding. Untung ia tidak melakukan hal yang sama di apartemen. Apa hanya aku yang berpikir kalau mereka berdua terlalu berlebihan?

Aku kembali mengamati kedua foto yang diambil dalam hutan itu. Bian dan Minah mengenakan pakaian ala pangeran dan putri kerajaan di Eropa dengan setting hutan belantara. Aku tebak, ini adalah foto prawedding mereka. Ini mengingatkanku pada film bertema fantasi semacam "Maleficent", "Snow White and The Huntsman", dan sejenisnya. Mereka sangat serasi, tampan dan cantik.

Pintu kamar terbuka.

"Jihyun, belum tidur?" tanya Minah.

Aku menggeleng. "Belum. Kau punya piyama?"

Ia membuka lemari dan mengeluarkan satu setel piyama berwarna tosca yang lembut. Aku menerima piyama itu dan menanggalkan pakaianku di depannya. Mata wanita itu tidak lepas dari perutku yang membesar dengan senyuman yang juga tidak lepas dari bibirnya yang tipis. Setelah selesai berpakaian, aku merebahkan diri di tempat tidur dengan posisi sedikit miring.

"Boleh aku matikan lampunya?"

"Eh, sudah mau tidur?" tanyaku heran.

Ia tersenyum cantik.

"Tidak juga. Rasanya lebih menyenangkan saja bercerita dalam gelap. Bukankah semua wanita suka melakukan itu? Berkumpul bersama, mematikan lampu, lalu bercerita tentang apapun semalaman sampai ketiduran."

Dia benar, kecuali di bagian: semua wanita. Aku tidak termasuk dalam kategori wanita yang dideskripsikan olehnya. Aku lebih suka siklus seperti ini: mematikan lampu, berbaring di kasur, menarik selimut, lalu menjelajah alam mimpi. Itu adalah siklus paling sempurna bagiku. Berita baiknya, aku masih seorang wanita dan aku membuat definisi wanita yang agak berbeda darinya.

"Ya sudah. Aku juga lebih suka lampunya dimatikan," kataku.

Kalau yang ini, kami sepaham.

Mataku menerawang, jika langit-langit ini tembus pandang, maka tatapanku akan menembus angkasa dan membawaku pada sosok Bian yang seakan bisa kulihat di atas sana.

"Kau menyukai Bian?" Pertanyaan Minah yang terlalu blak-blakan membuat bayangan pria itu menghilang begitu saja dari khayalanku.

"Kenapa kau bertanya seperti itu?" Aku balik bertanya, masih dengan pandangan ke langit-langit kamar yang remang ini.

"Hanya memastikan kalau semuanya berjalan baik."

"Berjalan baik dalam pandanganmu itu yang bagaimana?"

"Dalam pandanganku...," kalimat Minah mengambang. Ia menghela napas sejenak, "aku harap kau tidak melibatkan perasaanmu terlalu jauh dalam urusan ini."

Aku tertawa pelan mendengar pernyataannya.

"Menemani pria memang tugasku. Lagipula, apa yang bisa aku harapkan darinya? Dari perspektif mana pun, tidak ada yang bisa membuatku tertarik padanya."

Terlalu kejam karena aku mengatakan hal tidak sopan seperti itu di depan istri betulannya si Bian Lee. Sudah aku katakan berkali-kali, aku benci diriku yang harus berbohong. Tapi aku memang harus melakukannya.

"Dia tidak seperti itu. Jihyun, dia pria yang baik."

"Kalau memang baik, harusnya dia peduli pada anaknya ini. Bukannya mengabaikanku selama berbulan-bulan."

"Kau salah...."

"Aku tahu aku hanya lady escort, tapi aku sama seperti wanita lain yang butuh diperhatikan dalam keadaan seperti ini. Bukan karena aku menyukai Bian. Karena keadaan yang memaksa."

Aku masih memandangi langit-langit dan terlihat seperti melakukan monolog dengan benda di atasku. Saat mengatakan 'bukan karena aku menyukai Bian', aku telah membuat sebuah kebohongan besar lagi.

Minah menggeser posisi tubuhnya hingga menghadap ke arahku. "Dia peduli. Dia ke apartemen hampir setiap hari kalau kau mau tahu."

Untuk beberapa detik, tenggorokanku tercekat.

Jemari Minah mengelus perutku. "Tapi dia tidak pernah bisa masuk. Dia masih merasa bersalah karena membuatmu pingsan dan berani menamparmu waktu itu. Jadi, kedatangannya di apartemen hanya selalu berakhir di depan pintu."

Tenggorokanku semakin tercekat. Sudah aku katakan sejak dulu, aku pingsan bukan karenanya. Lagipula, aku malah bersyukur dengan tamparannya yang membuat Lay memaafkanku.

Pria itu.... Ah, aku ingin memukulnya!

Ia menarik tangannya dari perutku, lalu berbaring dengan posisi sama denganku. Sekarang ia terlihat seperti akan mengajak langit-langit mengobrol. Wanita itu melanjutkan dongengnya tentang Bian yang mulai membuatku merasa bersalah.

"Setiap kau menghubungiku untuk minta izin keluar, Bian pasti mengikutimu. Dia meninggalkan urusannya hanya untuk menjagamu dari jauh. Kau tahu? Aku sangat cemburu padamu."

Pengakuan yang menyesakkan dari Minah. Hari ini, untuk pertama kalinya ia mengatakan kecemburuannya. Aku selalu tahu jika ia cemburu setengah mati walau ia terlihat biasa saja. Tapi pengakuan seperti ini, aku tidak pernah menduganya. Itu membuatku bahagia dan sedih di saat bersamaan. Aku bahagia karena diam-diam Bian peduli padaku, dan aku sedih karena menjadi benalu dalam kehidupan Minah.

"Aku memang sangat cemburu. Tapi aku tidak akan menghancurkan semuanya karena cemburu buta. Aku selalu menyemangati diriku sendiri... ini akan berlalu, sebentar lagi berakhir.... Lagipula, siapa yang akan aku salahkan? Semua ini terjadi karena aku sendiri yang memaksa kalian."

Kisah itu aku dengarkan seksama. Baik aku, Minah, dan Bian, kami semua ada di posisi yang sama sekali tidak menyenangkan. Jadi aku tidak akan berkomentar apa pun untuk setiap cerita Minah.

Dadaku memang sesak memikirkan semua ini, terlebih memikirkan pria itu. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Pilihanku hanyalah menjalani semua ini sampai akhir. Bahkan itu tidak layak disebut pilihan karena hanya itulah jalan yang tersedia.

"Jihyun, boleh aku meminta sesuatu padamu?"

"Apa?"

"Jangan jatuh cinta pada Bian. Aku mohon dengan sangat."

Aku terkesiap.

"Apapun yang dilakukan Bian, tolong jangan pernah libatkan perasaanmu di dalamnya."

Aku tersenyum kecil pada langit-langit. "Tidak usah repot-repot mengingatkan. Aku tidak tertarik padanya."

Bohong! Aku bohong!

Dadaku bergemuruh.

Aku tidak bisa menampik perasaanku sendiri. Tapi aku tahu, sadar, dan paham akan kenyataannya. Aku hanyalah pasangan kontrak yang menikah hanya karena balasan menggiurkan. Sepenuhnya aku menggunakan logika dan mengabaikan kenyataan bahwa aku memang jatuh pada pria menyebalkan itu.

Astaga, aku bahkan tidak tahu kapan dan kenapa aku bisa jatuh padanya! Mungkin aku adalah gadis paling bodoh di dunia karena bisa mencintai pria yang sudah memperlakukanku dengan buruk. Aku harap ini segera berakhir dan aku segera pergi bersama Levin, meski hatiku sudah porak-poranda oleh Bian.

Dadaku serasa terhimpit, sesak.

"Aku tidur duluan," ucapku pelan lalu memunggungi Minah.

Aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa....

***

Bunga mawar merah memamerkan kuncupnya yang baru bersemi. Tetesan air yang kusiram setengah jam yang lalu masih menempel di kelopak mungilnya. Minah pergi ke rumah sakit empat jam yang lalu. Asisten rumah tangga pun telah menyelesaikan tugasnya hari ini dan pergi beberapa menit yang lalu. Hanya tinggal aku di rumah ini.

Aku melangkah masuk ke ruang santai di lantai tiga. Rak-rak buku dalam ruangan tertata sederhana tapi bagus. Permadani lembut berwarna biru tua menyentuh telapak kakiku dengan ramah. Aku pernah membaca, warna biru sangat bagus untuk meningkatkan kreativitas dan melambangkan kecerdasan. Pemilihan warna yang pas.

Setiap rak diberi label penanda seperti dalam perpustakaan. Buku cerita, novel, dan komik berada dalam rak yang sama dengan label: Beyond Imagination. Sedangkan buku bernuansa eksak, sosial, politik, dan berbagai topik serius lainnya berada dalam rak berlabel: Feed Your Brain.

Aku harus mengakui selera Bian yang sangat baik, kecuali untuk foto super besar yang mengagetkanku saat itu. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti kenapa mereka memasang foto sebesar itu. Hanya mereka berdua dan Tuhan yang tahu alasannya.

Mataku tertumbuk pada sebuah rak yang berlabel: Our Life Stories. Aku mendekati rak itu, mengamati isi rak satu per satu. Ternyata isinya album foto. Tanganku meraih salah satunya. Satu album foto bersampul seorang model bayi sudah berpindah ke tanganku. Halaman pertama aku buka.

"Oh my God! So cute!" pekikku gemas melihat foto seorang bayi lucu dengan pipi tembem dan kulit putih merona. Mungkin kelak bayi ini akan semenggemaskan ayahnya.

"Bian Lee, 6 Mei...," gumamku membaca tulisan di samping foto itu.

Aku baru menyadari jika pria itu akan bertambah tua bulan depan. Tapi aku tidak ingin repot-repot menyiapkan kado untuknya. Toh, ia pasti akan menghabiskan waktunya dengan Minah.

Pfffttt.... Aku mengerucutkan bibirku.

Tanganku kembali membalik halaman album foto. Isi album foto yang aku pegang saat ini adalah cerita masa kecil Bian dan Minah. Mereka sudah terlahir rupawan. Aku harus kembali mengakui bahwa mereka adalah pasangan sempurna dan kembali mengutuki nasibku yang terlihat buruk dibandingkan mereka. Yang paling utama adalah mengutuki kelancanganku yang telah berani menyukai Bian.

Album itu aku letakkan kembali di tempat semula. Aku kembali menyisir isi rak itu. Tanganku menarik satu album foto berwarna coklat tua yang terlihat antik tapi elegan. Ternyata kumpulan foto Minah.

Aku duduk, kemudian membolak-balik halaman album. Tiba-tiba fokus pandanganku terhenti pada sebuah foto. Aku amati foto itu baik-baik, berharap aku tidak melihat apa yang tidak ingin kulihat.

Buruknya, semakin aku amati, foto itu semakin jelas saja. Tulisan di samping foto itu pun memperjelas semuanya.

Tubuhku lemas.

***

"Willis. Aku mau ke Prancis."

"Benarkah Jihyun?! Kapan?!" Suara Willis terdengar sangat antusias.

"Aku sudah memesan tiket. Besok siang aku berangkat. Tiba di sana sekitar pukul setengah tujuh malam," ucapku sambil bersyukur dalam hati karena telah membuat visa ke Prancis, jadi aku bisa langsung berangkat.

"Mendadak sekali. Baiklah, kabari jika sudah tiba."

"Aku akan mengabarimu hanya jika aku telah tiba di Paris. Setelah ini, aku akan menonaktifkan ponselku."

"Oh, ok. Take care."

Pakaianku berserakan di atas tempat tidur. Tidak tanggung-tanggung, kali ini aku memilih koper besar berkapasitas 20 kg untuk mengepak seluruh bawaanku. Tidak peduli seberat apa koperku nanti, aku terus mengisinya hingga penuh. Lupakan soal kerapian dan estetika, aku hanya ingin segera pergi dari sini. Aku berencana menginap di hotel dekat bandara agar aku tidak kerepotan besok siang. Selain itu, aku harus ke dokter untuk meminta surat izin agar aku bisa ikut penerbangan ke Paris.

Koperku benar-benar berat. Aku sampai minta bantuan pengemudi taksi agar naik ke lantai tiga untuk membawakan koperku ke bawah. Aku tidak akan membuat bayiku mengalami kelahiran prematur hanya karena masalah koper. Setelah semuanya siap, aku pun meluncur ke hotel.

Setiba di kamar hotel.

BRAKKK!

Aku membanting pintu dengan kalut.

Sendiri. Itu lebih baik....

Aku termangu. Pandanganku kosong. Hariku yang harusnya indah jadi hancur karena selembar foto di album foto Minah yang mengungkapkan kebenaran tiga tahun yang lalu. Aku benar-benar tidak menyangka, gadis yang merebut Ken dariku itu adalah Minah.

Sekali lagi, aku kembali mengutuki diriku sendiri.

Harusnya aku ingat dari awal.

Harusnya aku sadar ketika aku merasa wajah wanita itu tidak asing bagiku.

Harusnya aku curiga karena wanita itu menjebakku dalam perjanjian gila!

Harusnya....

Harusnya....

Harusnya....

Begitu banyak "harusnya" yang lain yang membuatku ingin meminjam mesin waktu agar bisa memperbaiki semuanya.

to be continued….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya ANOMALY (Part 25 - Flashback 18+)
12
8
Jihyun....Aku mengabaikan panggilan Ken karena harus fokus pada tugas dari dosen. Mataku terus fokus di laptop sambil mengetik. Aku tidak akan mengorbankan nilai tugasku hanya karena suara manja si pemuda berkulit seksi itu. Tidak, tidak lagi.Tanpa permisi, tangan Ken melingkar di bahuku. Aku meliriknya dengan risih.Ken. Aku harus selesaikan ini.Jadi tugas kuliahmu lebih penting daripada aku? protesnya dengan bibir mengerucut.Aku tidak suka setiap ia mengerucutkan bibirnya. Bukan karena ia terlihat buruk. Sama sekali bukan.Faktanya, itu hanya akan membuatku gemas dan semakin menggilainya. Ia sangat imut, tampan, seksi, atau apalah itu sebutannya. Tak ada seorang pun yang mampu menolak pesonanya yang unik. Itu berarti termasuk aku. Ayolah, aku kekasihnya. Sudah pasti aku sangat tergila-gila padanya. Aku bahkan harus mempertanyakan pada diriku sendiri mengenai kadar kewarasanku jika berada di sampingnya. Mendekati 20% mungkin. Delapan puluh persen sisanya adalah logikaku yang mungkin telah mati karena terguyur oleh pesonanya yang panas.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan