
Cerita ini bisa dibaca di Wattpad juga @dimudipu dan GRATIS. Tapi kalau mau baca lebih cepat, di sini tempatnya :D
Kumpulan awan cirrus berarak pelan, lembut seperti bulu-bulu putih beterbangan. Belum pernah kulihat langit secerah ini. Euforia musim semi begitu terasa dan aku nyaris tidak percaya jika aku benar-benar melalui nyaris empat bulanku tanpa sosok Bian.
Empat bulan tanpa Bian, tidak berarti empat bulan tanpa Minah. Wanita itu bersikeras mengunjungiku setiap pekan. Walaupun ia sangat kukuh dengan keinginannya, tapi dia luar biasa baik dan memahami aku. Aku tidak tahu berapa banyak air mata yang ia teteskan hanya untuk mengikhlaskan Bian bersamaku. Ia sangat tegar.
Sedangkan pria yang ia ikhlaskan itu....
Dulu ia berjanji akan menjagaku. Tapi kemudian besoknya, ia melepasku. Semudah membalikkan telapak tangan, semudah itu pula ia melepas janjinya. Secara normal dengan logika penuh, tidak ada satu pun hal yang bisa dirindukan darinya, mengingat apa yang telah ia lakukan padaku. Mungkin logikaku telah tumpul karena aku....
Aku memang merindukannya.
Hatiku terasa aneh tanpanya. Seperti ada yang kurang di hari-hariku karena aku tidak bisa mengganggu atau merepotkannya.
Aku merindukan suara lembutnya yang manis ketika malaikat sedang menguasai pikirannya, sekaligus merindukan suara tenornya ketika iblis berkeliaran dalam jiwanya.
Aku rindu rengkuhannya yang menghangatkan setiap jengkal tubuhku.
Aku rindu ingin merepotkannya.
Aku rindu bertengkar dengannya.
Aku rindu setengah mati padamu, Bian-ssi....
Rasanya tiap sudut hatiku meneriakkan kerinduanku yang tak tersampaikan. Bahkan angin pun mengkhianatiku, enggan aku titipkan bisikan kerinduanku pada pria saraf tegang yang telah menumpulkan logikaku itu.
Kruuuk....
Oh, kalau yang itu suara perutku, bukan suara hatiku yang tengah merindu seorang pangeran tampan. Aku pun mencari sesuatu di dapur untuk mengisi perutku, tapi tidak ada yang cukup mampu membangkitkan seleraku. Stok makanan di lemari pendingin sudah hampir habis hingga aku terpaksa harus keluar.
Aku mengenakan topi dan masker berwarna hitam serta jaket super longgar milik Bian -yang selalu ia simpan dalam lemari- untuk menutupi perutku yang membesar. Sejak peristiwa pengejaran waktu itu, aku jadi ekstra hati-hati menyembunyikan identitasku. Selain itu, perutku juga sudah membesar dan aku tidak ingin ada orang yang mengenaliku. Dan jaket ini... memakai jaket miliknya membuatku tersenyum pahit, sesak. Aroma tubuh dan parfumnya masih menempel di jaket itu. Mencuatkan kerinduan yang semakin menjadi hingga menyiksa batinku.
Telunjukku menekan tombol lift. Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka. Di saat bersamaan, jantungku nyaris melompat keluar. Sosok Bian mengejutkanku.
Kenapa pria ini muncul lagi dengan tiba-tiba?!
Aku memang merindukannya, sangat malah. Tapi aku belum siap bertemu dengannya. Aku urung memasuki lift dan segera mengambil langkah seribu untuk kembali masuk dalam apartemenku.
Tapp!
Pria itu tidak tinggal diam melihatku. Meskipun sebagian wajahku tertutup, dia masih bisa mengenaliku karena barang miliknya yang aku kenakan. Aku meringis karena cengkeraman tangannya di pergelanganku terasa sakit. Ia memaksaku masuk ke dalam lift untuk menuju ke lantai bawah.
"Kita ke rumah sakit," ucapnya tanpa menunggu pertanyaanku.
"Mau apa?"
"Minah memintaku menjemputmu. Kita akan melakukan ultrasonografi sebelum aku berangkat ke Singapura besok pagi."
"Pergi saja sana. Aku tidak mau. Aku lapar, aku mau belanja, dan aku tidak ingin tahu jenis kelaminnya. Itu tidak penting."
Pintu lift tertutup. Ia memandangku dengan tidak suka.
"Kau pikir itu hanya tentang jenis kelamin? Aku tidak peduli penting tidaknya bagimu. Kita harus mengecek kesehatan bayimu. Pulang dari rumah sakit, kita makan malam, dan belanja."
Bayimu? Kenapa dia tidak mengatakan bahwa ini bayinya juga? Aku menghela napas, lalu memandangnya dengan marah tapi tetap berusaha menjaga bicaraku.
"Oke. Tapi izinkan aku melakukan sesuatu terlebih dahulu."
"Silakan," ucapnya.
Plakk!
Bian memandangku tidak percaya sambil memegangi pipinya kirinya. Kemudian ia memegang tanganku dengan kasar.
"Apa yang kau lakukan tadi?!" Suara tingginya keluar. Harusnya menjadi penyanyi saja karena suaranya yang kuat menggelegar itu.
"Astaga, pelankan suaramu," kataku dengan ekspresi tanpa dosa. Suara kerasnya sama sekali tidak mengintimidasiku.
Ia mendengus kasar. "Kenapa kau menamparku?"
"Anggap saja itu hadiah darinya karena lama tidak bertemu," elakku sambil menunjuk perutku yang tertutup jaket longgar. Yang sebenarnya, aku memang telah bersumpah akan menampar pria ini jauh-jauh hari. Aku tidak akan melupakan sumpahku begitu saja setelah apa yang telah ia lakukan padaku.
Matanya mengikuti arah tanganku. Ia memandang perutku lalu melanjutkan kata-katanya.
"Kau tidak terlihat hamil. Apa benar ada bayi di sana?"
"Apa?! Mau aku tampar lagi?! Kau lupa siapa yang melakukan ini padaku?!"
"Tentu saja aku ingat, Gadisku. Mau aku hamili lagi? Kita bisa membuat anak kembar, boy and girl. It sounds perfect," tawarnya polos sambil berangan-angan.
Aku melotot.
"Sialan! Kau brengsek!"
"Tapi kau mencintai si brengsek ini, kan?"
"Terserah!" Aku menutup perdebatan dengan kesal.
Berbulan-bulan yang lalu dia mementahkan perasaanku begitu saja. Sekalinya muncul, dia malah berniat menghamiliku lagi. Pria ini butuh rumah sakit jiwa. Menemukan Bian yang seperti ini membuatku ngeri. Sepertinya banyak hal yang terjadi selama beberapa bulan ini hingga otaknya jadi semakin bergeser. Mengerikan.
Aku melangkah masuk ke dalam mobilnya lalu duduk bersandar dan melepaskan maskerku. Pria itu menyusulku, tapi herannya, setelah duduk dia malah menatapku dari jok kemudi. Aku balas memandangnya.
"Mobilnya tidak akan berjalan sendiri meski kau menatapku sampai kiamat," sindirku sinis.
"Mendekat padaku," ucapnya manis sambil menggenggam tanganku hingga membuatku bertanya-tanya.
"Mau apa?"
"Apa anakku tidak merindukanku?" tanyanya lembut seraya mengelus perutku menggunakan tangannya yang lain, tentu saja dibarengi senyuman malaikat yang sangat meneduhkan.
Aku hanya mendengus pelan melihat senyuman sok lembutnya itu.
"Untuk apa dia merindukan ayahnya yang tega meninggalkan ibunya," sahutku ketus.
"Jihyun-ah...."
"Tidak usah sok manis. Nanti kalau aku jatuh cinta padamu lagi, kau akan melarang perasaanku lagi!"
Kalimatku membuatnya diam. Genggaman tangannya menguat hingga aku dapat merasakan kehangatan yang menjalar ke dalam hatiku.
"Kau terluka?" Suara lembut itu lagi. Aku tidak boleh goyah!
"Nyalakan mobilnya."
"Jihyun...." Ia kembali menyebut namaku dengan suara indahnya.
"Minah menunggu," selaku lagi.
"Dengarkan aku...."
"Aku keburu lap-"
Cuppp!
Bian menempelkan bibir tipisnya pada bibirku dengan tiba-tiba hingga membuatku bisu. Darahku berdesir ketika ia mulai menggerakkan bibir manisnya, seakan mengalirkan aliran listrik yang membuatku tersengat oleh kebahagiaan.
Bodohnya, aku kembali tertarik masuk ke dalam permainannya. Mataku terpejam dan perlahan mengikuti ritme gerakan bibirnya. Aku membalas ciumannya, menarik tanganku dari genggamannya dan mulai mengalungkan tanganku di lehernya. Ia menekan tengkukku hingga ciuman itu terasa jauh lebih dalam dan menghangatkan. Saat bibirku terbuka, ia mulai melesakkan lidahnya hingga menekan lidahku sendiri, lalu menyapukannya di langit-langit rongga mulutku, membuatku merasakan lagi bagaimana letupan kebahagiaan itu menjalar ke seluruh tubuhku. Suara kecapannya melesak jauh ke dalam telingaku, membuat rengkuhanku menguat.
Otakku berhenti berpikir.
"Aku merindukanmu, Jihyun...," bisiknya ketika tautan bibirnya terlepas dari bibirku.
Aku terkejut, tapi tetap membisu sambil mengatur napas dengan kening yang menempel pada keningnya. Aku tidak akan semudah itu lagi jatuh dalam permainannya. Paling-paling setelah mengatakan itu, dia akan kembali mengatakan: Jihyun, ini salah. Lidah memang tidak bertulang, ya....
"Jangan pernah mengatakannya. Itu menjijikkan," balasku pelan sambil menarik wajahku menjauh darinya. Rengkuhannya terlepas.
"Aku menjijikkan?" Ia mengerutkan kening.
"Perilakumu. Kau membenciku, kan? Kau tidak perlu bersikap manis. Berpura-pura merindukanku hanya untuk berbasa-basi. Aku tidak perlu belas kasihan darimu," jawabku sambil menatap monitor kecil di depanku.
Helaan napasnya terdengar.
"Aku ingin mengatakan sesuatu lagi," ucapnya kembali berusaha meraih tanganku. Aku menarik tanganku lebih cepat darinya hingga ia hanya meraih angin.
"Tidak usah membahas apa pun soal perasaan. Hubungan kita sebatas kontrak. Aku sangat menyadari itu."
"Jihyun, lihat aku."
"Tidak mau," tolakku mentah-mentah.
"Aku bilang lihat, ya lihat. Lihat aku!"
"Big no!"
"Jihyun-ah!"
"Berhenti memaksaku! Jangan membuatku kembali jatuh padamu! Aku sudah berusaha menetralkan perasaanku! Jangan bersikap seolah-olah kau juga mencintaiku!" pintaku ketus, tanpa melihat wajahnya.
Sesaat hening. Aku telah kembali berdusta di bagian: kembali jatuh padanya. Faktanya, sampai detik ini aku memang masih jatuh padanya, sangat. Aku sama sekali tidak bisa melupakannya meski berbulan-bulan tidak bertemu. Tapi sekali lagi, masalah hatiku tidak penting baginya. Sama sekali tidak.
Bian menyingkirkan rambut dari bahuku yang mungkin menghalangi penglihatannya. Aku masih indifferent, berusaha terlihat tidak terpengaruh olehnya meskipun tadi dia sudah memagut bibirku habis-habisan.
"Aku tidak pernah mengatakan kalau aku tidak mencintaimu...," ucapnya pelan tapi sanggup membuatku menoleh padanya dengan mata melebar.
Pikiranku mendadak kosong.
"Aku hanya bilang, ini salah...."
Satu pengakuan yang secara brengsek meruntuhkan pertahananku yang selama berbulan-bulan ini berusaha menganggapnya jahat. Tanpa bisa ditahan lagi, aku memeluknya erat, sangat erat. Bian membalas pelukanku. Ia mengecup kepalaku, membenamkan wajahnya di antara helaian rambut dan telingaku.
Jangan katakan lebih jauh lagi, Bian-ssi....
"Aku tahu perasaan ini salah. Tapi biarkan seperti ini dulu," bisikku dengan perasaan tersayat.
"Aku pikir menghindarimu bisa membuatku tenang. Tapi aku salah besar."
Pengakuan menyedihkan itu semakin membuatku kalut. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Aku hanya ingin memeluknya, menumpahkan segala kerinduanku yang terpendam, kerinduan yang membuat dadaku sesak luar biasa.
"Andai aku bisa.... Maafkan aku, Jihyun. Tapi kau benar-benar tidak boleh mencintaiku. Cukup aku yang sakit karena mencintaimu dari jauh," ucapnya dengan suara yang sangat pelan tapi masih bisa aku dengar.
"Kau adalah kesalahan terindahku, Jihyun."
Ketegaranku runtuh.
Airmataku tumpah di pelukannya.
Miris.
Menyesakkan.
Dia, pria yang membuatku kembali percaya pada cinta. Pria yang setia, berjiwa hitam putih yang sulit dipahami. Tapi dia juga yang kembali membuat luka lamaku terbuka.
"Dan kau adalah kesalahan termanisku, Bian Lee...."
to be continued….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
