BAB 2 - Detektif Sekolah: Mengacak Jejak Perisak

0
0
Deskripsi

BAB 2: KLUB DETEKTIF SEKOLAH

“Momon!” panggil Tessa seraya berlari.

Momon menjawab dengan lambaian tangan. Setibanya, Tessa langsung memukul bahu pria subur berambut jamur sekaligus sohibnya itu. “Ke mana aja kamu, Mon?”

Remaja itu meringis kesakitan. “Momon paham. Selain pinter, Tessa sering nenteng sabuk hitam karate. Tapi, kurang-kuranginlah mukul pake kaki. Bahu Momon sakit tak terperi nih.”

 

Ya ampun, tak terperi.

 

“Sorry, Mon. Saya girang aja bisa ketemu kamu. Lagian, ini mukulnya pake tangan kok, cuma kekuatannya setara kaki.” Penjelasan Tessa membuat Momon lebih memilih ditendang dengan kekuatan setara tangan. “Eh, kita udah berapa lama ya nggak ketemu?”

“Hm…” Momon menerawang. “Dua minggu kayanya, Tess.”

“Wah, lama juga ya. Eh, tau nggak, Mon, kalau dalam kasus ibu hamil, minggu ke dua tuh udah terdapat embrio yang ukurannya kecil banget, sekitar 0.01 senti. Embrio sekecil itu udah punya dua lapisan sel yaitu ektoderm dan endoderm yang bakal menjadi dasar pembentukan organ,” beber Tessa khas pecinta ilmu pengetauhan yang lupa kadar kepintaran lawan bicaranya.

Momon melongo bego kemudian menyadari kehadiran seseorang.

 “Tessa, itu kan…” tunjuk Momon.

Pandangan dua remaja itu tertuju pada pria yang berjalan dengan irama penuh kekesalan jika menilik aksinya menendang kerikil ke arah abstrak. Mulutnya komat-kamit, diduga berbentuk caci maki. Pria itu berjalan mendekati Momon dan Tessa.

“Sial! Kaderisasi apaan!” Pria itu meledak sembari duduk di samping Tessa dan Momon. “Gue juga punya harga diri kali!”

“BAMS!” Panggil Tessa dan Momon berbarengan.

Bams sedikit terhenyak. “Lho? Kalian di sini?”

“Kamu kenapa kesal begitu? Nih, minum dulu. Tapi jangan kena mulut ya!” Tessa memang selalu membawa air putih.

Tak tahu diri, Bams langsung menghabiskannya. Tessa menggeleng heran.

“Sorry temans, kalian tau sendirilah kalo kesel gue jadi lupa lingkungan. Kemaren aja saking keselnya, tau-tau gue udah ada di ruang Kepsek. Yang bikin serba salah, gue masuk pas Kepsek lagi garuk-garuk ketek.”

“Gimana ceritanya, Bams. Kok bisa tau-tau ke ruangan Kepsek?”

“Nggak usah kamu lanjutin juga kali, Momon.”

Lama tak bertemu membuat mereka melalui lima detik hening. Bams yang sadar akan atmosfer canggung itu membuka percakapan dengan pertanyaan sederhana. “Lo bawa apa itu, Tess?” tunjuk Bams.

“Keripik meledak level sepuluh. Saya sedang meneliti ini di laboratorium.”

“Wow, gue pagi-pagi makan itu, siangnya langsung nguras jamban! Lo doyan?” sambut Bams dan Momon merasa tak asing dengan situasi itu.

“Sama, Bams! Momon juga abis makan itu langsung nyari WC. Eh, Bams nguras jambannya kapan? Jangan-jangan kita barengan?”

“Senin. Elo?

“HEI, bisa udahan nggak bahas jambannya?” potong Tessa memelotot. “Atau mau saya patahin tulang kalian?”

Dua vertebrata jantan itu menggeleng cepat. Tessa kemudian melanjutkan betapa penasarannya dirinya akan kandungan zat pada kripik pedas itu. Mengapa kripik sepedas itu bisa merong-rong kehidupan remaja seusianya.

“Kalau Momon belakangan aktif di klub ikebana.” Tanpa ditanya, Momon menjawab.

Ikebana? Klub motong-motong bunga itu? Lo lagi demam ya, Mon?”

“Enak aja, itu klub seni merangkai bunga, Bams.”

“Iya, Bams,” tambah Tessa. “Ikebana itu seni merangkai bunga asal Jepang. Asal mula ikebana berawal dari tradisi mempersembahkan bunga di kuil Budha, sehingga terus berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Budha sekitar abad ke 6. Mau saya kirim link referensinya? Biar kamu bisa baca juga.”

Bams menolak tegas. Bagi Tessa, membaca adalah surga. Bagi Bams, membaca adalah bentuk penyiksaan model baru. Perbedaan minat yang signifikan ini tergambar pula dari rangking mereka di kelas, Tessa juara umum dan Bams masuk zona ganjalan pintu.

“Mau lihat hasil karya Momon?”

“Uhm…” Perasaan Tessa dan Bams tidak enak.

“Taraaa… nih! Keren kan?” Momon menunjukkan hasil ikebana versi terzolimi.

“Definisi seni menurut lo apa sih, Mon? Kenapa bunganya jadi bondol gitu!?”

“Bams nggak ngerti seni,” jawab Momon sedatar tripleks.

Berusaha menahan emosi, Bams menelaskan bahwa bahkan Joe Biden bakal mengundurkan diri ketika melihat bunga yang teraniaya itu. Momon menjawab tidak ada korelasi antara presiden Amerika dengan ikebana, kecuali jika Joe Biden berasal dari Jepang. Namun, ia bingung sendiri ketika menyadari tidak mungkin ada warga Jepang bernama Joe Biden. Ingin rasanya Bams mengambil sekarung wortel untuk menyumpal mulut Momon. 

“Sudah, malah berantem.” Tessa menengahi. “Bagus kok, Mon. Tapi kamu butuh banyak latihan biar lebih bagus lagi.” Ujar Tessa berusaha bijak, padahal mual juga.

“Kalo kamu sibuk apa sekarang, Bams?” Tessa mengalihkan topik pembicaraan.

“Gue aktif di band sekarang.”

“Wow, pegang apa?”

“Tapi gue udah cabut,” kilah Bams cepat tanpa menjawab pertanyaan Tessa. Dua temannya ini tak boleh tau peran dan fungsinya di band. Itu adalah aib yang akan Bams simpan sampai mati. “Gue ngerasa visi bermusik gue berbeda dengan mereka.”

“Iya, Momon juga cabut dari klub ikebana. Nggak ada yang paham sama aliran seni Momon.”

“Bodo amat, Mon.”

“Sejujurnya, saya seneng banget kita ngumpul di sini lagi. Memang sih, selama ini saya sibuk ama kegiatan lab. Tapi tetap saja, ada yang hilang dari hari-hari saya.”

Ajaib, mereka bertiga merasakan hal yang sama.

“Kalian ingat? Di sini klub detektif kita terbentuk.” Tessa mulai mengajak dua lumba-lumba itu bernostalgia. Memori mereka melayang menuju masa di saat Tessa mencetuskan ide pembentukan Klub Detektif Sekolah sebagai wujud kecintaannya terhadap cerita-cerita detektif. “Saya inget banget gimana galaunya Momon waktu itu gara-gara nggak dianggep di tim basket. Saya inget juga gimana keselnya Bams karena dikecewakan OSIS. Dan, kegalauan itu yang menciptakan tim kita, di sini, di taman ini.”

“Ah, gue juga inget gara-gara Momon, bangku taman ini patah!”

Momon cemberut.

“Semenjak kasus terakhir, kita nggak pernah dapet job lagi.” Tessa menghela napas.

“Iya nih, Momon kangen pengin beraksi lagi.”

Tepat setelah Momon menyelesaikan kalimat, gawai Tessa berbunyi. Ada pesan masuk dari Pak Margo, guru fisikanya.

“Teman-teman, Pak Margo memanggil.”

“Pasti lo mau ikut olimpiade Fisika lagi ya?”

Tessa menggeleng. “Bukan hanya saya. Pak Margo manggil kita semua.”

Alis Momon dan Bams terangkat. Berlawanan dengan Tessa yang biasa dipanggil guru karena kepintarannya, dua makhluk itu biasa dipanggil guru akibat nilai dan kelakuannya. Bams berpikir, harusnya tak ada masalah lagi dengan ulangan fisikanya karena ia telah melakukan remedial. Di sebelahnya, Momon membaca kemungkinan sang guru ikebana melaporkan aksinya pada Pak Margo. Tapi untuk apa? Bukankah ikebana dan fisika tidak ada hubungannya? Dengan sejuta pertanyaan melingkar di kepala, mereka mengikuti langkah Tessa.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 3 - Detektif Sekolah: Mengacak Jejak Perisak
0
0
BAB 3: DATANG JUGA
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan