Bab 3 - Detektif Sekolah: Mengacak Jejak Perisak

0
0
Deskripsi

BAB 3: DATANG JUGA

Pak Margo terkekeh setelah menerima video lucu cenderung tak senonoh dari grup WhatsApp bapak-bapak kompleks tempat tinggalnya. Tak ingin berbahagia sendirian, pria ceking empat puluh lima tahun itu hampir meneruskan video tersebut ke beberapa grup lain sebelum kedatangan Tessa, Bams, dan Momon membuyarkan niatnya. Segera Pak Margo memasukkan gadget ke dalam kantong celana dan mempersilakan tiga muridnya itu duduk.

“Maaf Pak Margo, kalau Bapak mencari pelaku yang menggantung alat peraga kerangka manusia di dalam toilet guru, itu bukan saya lho,” ucap Bams was-was.

“Bukan Momon juga, Pak. Kalau yang ngumpetin sepatu Kepala Sekolah ke semak-semak, itu baru Momon.”

Bams dan Tessa refleks menatap Momon. Salut akan keberaniannya.

“Bapak suka perhatian kalian akan isu-isu terkini di sekolah, tapi bukan itu alasan Bapak memanggil kalian.”

Pak Margo lalu mengeluarkan selembar kertas lecek dari lacinya. Sekilas, itu tampak seperti brosur murahan. Namun, makin tiga remaja itu melihatnya, brosur itu makin tak asing.

“Ini bungkus nasi uduk yang Bapak makan pagi tadi. Semula Bapak kira ini adalah brosur pinjaman cepat dengan jaminan BPKB. Mana desainnya bikin sakit mata lagi. Tapi setelah Bapak cermati kembali, ternyata ini adalah bentuk promosi sebuah klub detektif.”

Tiga murid Pak Margo itu menyeringai. Benda itu adalah kreasi mereka. Terkait desain, Tessa sempat memprotes Bams setelah melihat tampilan selebaran yang betul-betul memancing caci maki. Tabrak-tabrak warna. Namun, gadis itu menurut setelah mendengar argumen Bams bahwa untuk memicu perhatian massa akan kehadiran klub detektif mereka, diperlukan desain yang super cantik atau super jelek sekalian. Tidak boleh nanggung! Dan, karena membuat desain buruk dirasa jauh lebih mudah, remaja berambut cepak itu melakukannya.

“Awalnya Bapak menyangka ini kelakuan orang yang jidatnya habis kejedot tiang bendera. Sampai akhirnya Bapak menemukan nama kamu, Tess. Kalau itu kamu, sepertinya tidak mungkin ini main-main.”

“Benar, Pak. Klub kami adalah klub serius. Kami serius ingin menolong orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Kami sudah berhasil memecahkan tiga kasus penting,” jawab Tessa.

“Kasus apa saja?”

“Misteri surat cinta Mila, petualangan mencari Jessie, dan misteri hilangnya kotak amal masjid.” Begitu menggilai cerita detektif, Tessa memberi judul kasus-kasus yang berhasil ditangani dan meminta Momon menuliskannya ke dalam jurnal.

Pak Margo mengangguk. Kaca matanya melorot ke ujung hidung. “Kasusnya receh tapi Bapak cukup salut. Pernah mengerjakan kasus lain yang lebih menantang?”

“Belum, Pak. Tapi saya kepikiran untuk menyelidiki dugaan korupsi Kepala Sekolah,” timpal Bams.

“Bambang, tolong bedakan antara menantang dan mencari penyakit. Selain itu, Bapak jamin Kepala Sekolah adalah orang yang jujur.”

Terjadi sedikit perselisihan antara Pak Margo dan Bams. Remaja itu meminta Pak Margo memanggilnya Bams saja karena selain nama itu telah familier di kalangan warga sekolah, nama Bambang terdengar tua dan kuno. Pak Margo menolak dan menasihatinya bahwa nama adalah doa orang tua. Terlebih, Bambang berarti ksatria dalam bahasa Jawa, makna yang bagus. Bams akhirnya berhenti mendebat setelah menerima ancaman pengurangan nilai.

“Di luar itu, Bapak sedikit kecewa kalian kurang memperhatikan dampak lingkungan dengan menyebarkan selebaran begitu. Kenapa tidak lewat media sosial saja sih?”

“Momon sudah promosi lewat instagram Momon, Pak. Tapi kurang nendang.”

“Berapa followers kamu, Mon?”

“Dua puluh.”

“Ya sampai Firaun bangkit lagi lalu mati kembali, nggak bakal nendang kalau followers kamu segitu,” tukas Pak Margo tanpa memikirkan perasaan Momon yang pilu. “Lalu, berapa total anggota kalian?”

“Cuma kami bertiga, Pak,” ucap Bams.

“Wah, kalau cuma bertiga sih lebih mirip grup vokal ya daripada klub. Tak ingin ganti istilah?”

“Pak Margo, tanpa mengurangi rasa hormat, bagaimana kalau Bapak tunda sejenak mengkritisi klub kami, dan langsung pada intinya mengapa Bapak memanggil kami?” pinta Bams sesopan mungkin sambil menahan panasnya kuping.

Pak Margo lalu menyesap kopi hitam yang ada di depannya. Begitu kental hingga meninggalkan ampas di gigi. Bams jadi geli.

“Baiklah. Kalian kenal Agus?” tanya Pak Margo melupakan betapa pasarannya nama Agus.

“Maaf, Pak. Di sekolah ini ada sekitar, hmm… 20 Agus. Bisa lebih spesifik?”

“Agus Mahendra, anak kelas 10 C. Ada yang kenal?”

Mata Tessa sedikit membesar kala mendengar namanya. Menangkap respon gadis itu, Pak Margo mengonfirmasi kembali apakah Tessa mengenalnya. Tessa mengangguk. Ia mengenal adik kelasnya itu walau tak terlalu dekat. Agus seorang siswa potensial secara akademik, khususnya matematika. Tessa berjumpa beberapa kali saat persiapan olimpiade, di klub matematika.

“Saat ini Bapak menjadi wali kelasnya. Dan, Bapak ingin kalian menyelidiki anak itu.”

“Memangnya, Agus kenapa, Pak?”

“Jadi begini, setelah mengikuti persami, Bapak menemukan keanehan dalam diri Agus. Teman-temannya juga mengamini. Ia terlihat murung dan stres. Sekarang, sudah seminggu lebih ia tidak masuk sekolah.”

Bams mulai tertarik dengan cerita Pak Margo. Ia berusaha meningkatkan konsentrasi sembari mengesampingkan hasrat mengkritisi keputusan pihak sekolah yang tetap menggunakan akronim persami padahal nyatanya diadakan pada hari Jumat hingga Minggu. “Bapak sudah coba menemuinnya?”

“Sudah tetapi tidak ada hasilnya. Di rumah, ia mengurung diri di kamar. Orang tuanya pun dibuat bingung, baru kali ini Agus bersikap seperti itu. Aneh sekali…” Pak Margo menggaruk kepala botaknya yang menyisakan rambut tipis melingkar di samping. Mirip kappa, makhluk penguasa air dalam mitologi Jepang.

Di lain sisi, Momon merasa kegiatan perkemahan memang memungkinkan berdampak pada kejiawaan pesertanya. Pendapat ini bukan tak berdasar, Momon sendiri yang mengalami. Dulu, ia berani memegang bekicot yang sering menempel di dinding rumahnya sehabis hujan. Namun, setelah mengikuti persami, ia menjadi fobia bekicot gara-gara saat tidur ada induk bekicot yang menggerayangi kakinya. Momon mencoba menjelaskan pengalaman itu kepada Pak Margo dan secara ngawur menduga ada bekicot yang mengganggu Agus.

“Bapak turut prihatin dengan fobia kamu, Mon. Tapi, Bapak belum bisa membayangkan bagaimana caranya seekor bekicot bisa membuat seorang siswa pintar menjadi murung dan menutup diri. Memangnya, menurut kamu bagaimana?”

“Justru itu yang Momon mau tanyakan kepada Bapak.”

“Lah?”

Setelah menginjak kaki Momon karena melantur, Tessa mengambil kendali. “Bapak sudah coba mencari informasi dari siswa lain?”

“Sudah juga dan mereka tak ada yang tahu. Entah mereka benar-benar tidak tahu atau ada yang mereka sembunyikan.”

Trio detektif itu saling pandang. Ada garis ketertarikan yang sama terpancar di mata mereka.

“Sebagai wali kelas 10C, Bapak memiliki tanggung jawab untuk mendampingi para murid baik dari aspek akademis maupun non akademis. Sayangnya, Bapak punya keterbatasan dalam mengakses informasi, mungkin salah satunya karena ada gap sikap antara guru-murid. Selain itu, Bapak lagi banyak pekerjaan.”

“Memangnya lagi sibuk apa, Pak?”

“Ngajar dong. Namanya juga guru. Gimana sih, Mon?” balas Pak Margo ketus.

 

Logis.

 

Pak Margo lalu melanjutkan, “Nah, sebagai sesama murid, kalian punya fleksibilitas lebih dalam mencari informasi ketimbang Bapak. Untuk itulah, Bapak meminta bantuan kalian. Apalagi kalian sudah memproklamasikan diri sebagai anggota klub detektif yang isinya cuma tiga orang itu.”

Bams, Tessa, dan Momon ngilu mendengar ujung kalimat Pak Margo.

“Bagaimana? Kalian mau kan?”

Setelah melewati dua minggu penuh kehampaan tanpa adanya kasus, tak ada alasan bagi mereka untuk menolak. Dalam hati, Bams mengucap selamat tinggal pada ekskul band yang diskriminatif itu. Momon juga demikian, menyingkirkan kemungkinan untuk kembali ke kelas ikebana. Dan, Tessa bernapas lega karena tak perlu lagi melakukan penelitian tidak penting tentang keripik pedas sialan. Dengan serentak mereka menjawab,

“Siap, Pak!”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BAB 4 - Detektif Sekolah: Mengacak Jejak Perisak
0
0
BAB 4: STRATEGI PENYELIDIKAN
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan