BAB 1 - Detektif Sekolah: Mengacak Jejak Perisak

0
0
Deskripsi

BAB 1: HARI-HARI TANPA KASUS

Bams dan band

 

“Pegangin yang bener, Bams!”

Mungkin ini rahasia terbesar yang bakal disimpan Bambang Sulistya alias Bams seumur hidup. Rahasia yang jauh lebih besar ketimbang tompel yang terdampar dengan jaya di ketiak.

“Kalo kabelnya nggak lo pegang dengan benar, suara gitar gue bakal timbul tenggelam kaya artis karbitan!” teriak Soni, pemimpin band, lagi.

Memegangi kabel, bagi Bams, jauh lebih memalukan daripada lari keliling Senayan dengan celana di kepala. Kini Bams terperosok dalam ekstrakurikuler band yang mewajibkan setiap anggota baru menjalani proses kaderisasi. Dan, memegangi kabel merupakan ritual wajib untuk itu.

“Kalian sadar nggak sih, model kaderisasi kayak gini nggak lebih dari pembodohan. Nggak ada korelasinya antara memegangi kabel dengan musikalitas seseorang. Harusnya kaderisasi diisi dengan sharing experience, mengkaji perkembangan musik terkini, atau kegiatan lain yang mampu meningkatkan kapasitas otak musisi dalam berkreasi,” kritik Bams.

“Berisik lo! Gue kasih tau esensinya ya, untuk menuju kesuksesan, lo harus belajar dari bawah banget. Lo tau kan Green Day? Dulu, mereka harus dibenci komunitasnya karena dealing dengan major label. Sekarang coba lihat, mereka menjadi band yang sangat besar!” bantah Soni nyembur ke mana-mana.

“Tapi dulu mereka nggak disuruh megangin kabel kan?” tampik Bams.

“Hmm…, iya siiih.”

Mengisi kekosongan, itu yang ada di benak Bams ketika mencoba ikut dalam band basi ini. Belakangan, hari-hari Bams berjalan hampa. Masih belum lekang dari ingatan Bams ketika bersama dua sahabatnya –Momon, dan Tessa– memproklamasikan klub Detektif Sekolah di taman belakang. Bams merindukan masa-masa itu, masa di mana menangani kasus menjadi rutinitas, masa di mana mencaci Momon adalah keharusan. Bams merindukanya. Sudah lama ia tidak menyelidiki urusan orang lain.

“Bams…”

“Ha?” Lamunan Bams buyar.

“KABEL!!”

 

****

 

Momon dan Ikebana

 

Ada peluh menetes di sebuah wajah tambun, wajah Momon. Sorot matanya begitu serius pada objek yang sedang ia belai. Tepatnya, aniaya.

“Kalo bagian ini Momon potong, kayanya bakal menambah nilai eksotisme dari bunga yang Momon rangkai.”

Banyak orang mempertanyakan keputusan Momon untuk aktif dalam klub merangkai bunga dari Jepang alias ikebana yang anggotanya didominasi oleh kaum hawa. Momon tak peduli karena percaya bahwa emansipasi tidak hanya berlaku bagi wanita melainkan juga pria.

“Ternyata Momon berbakat juga,” ucap Momon memuji diri. Ada satu maksud mengapa Momon berkutat dengan klub ikebana di sekolah, mengisi kekosongan. Alasan yang identik dengan punya Bams. Sebenarnya Momon bisa saja kembali aktif di klub basket, rumah yang dulu pernah ia singgahi. Namun, Momon cukup sadar skill basketnya yang setara ubur-ubur hanya bakal mengantarnya sebagai pembantu. Akhirnya, ia mencari petualangan baru dan ikebana menjadi klub yang ketiban sial.

Sensei lihat, Momon udah selesai nih. Cakep ya!” Momon menunjukkan hasil karyanya dengan lugas dan penuh percaya diri.

Sang Sensei yang telah memasuki usia senja beranjak mendekati Momon. Matanya mulai memicing memandangi benda yang dipegang muridnya itu. Dahinya mendadak berkerut, bibirnya bergumam tak jelas, kemudian ditutup gelengan pasti layaknya melihat anak SMA yang tidak bisa mengerjakan soal matematika satu ditambah satu.

“Momon, ada tiga elemen dasar dari ikebana, yaitu surga, manusia, dan bumi. Sejujurnya hasil karya kamu berhasil menciptakan elemen selanjutnya, neraka! Kenapa bunganya jadi bondol begitu?!” Belajar ikebana menahun, ia belum pernah melihat rangkaian bunga seburuk itu. Gejala darah tinggi mulai muncul.

“Menurut Momon ini bagus, Sensei. Filosofinya adalah tidak ada model rambut manusia yang sempurna. Ada yang bondol, setengah bondol, dan tidak bondol.”

Sensei memijit kepala. Kelakuan Momon merupakan penghinaan terbesar sepanjang kariernya. Sadar akan perilaku Momon yang bertendensi membuat gurunya berubah warna menjadi hijau, para murid menggiring Momon keluar dengan segera dan menyampaikan pesan singkat, “Mon, lo jangan pernah lagi balik ke klub. Jangan!”

Momon berlalu dengan gulana. Saat seperti ini, Momon merindukan taman belakang sekolah.

 

****

 

Tessa dan Laboratorium

 

Satu jam berlalu sejak bel pulang sekolah, Tessa masih berkubang di laboratorium. Uji zat makanan, itu yang sedang Tessa lakukan. Belakangan ini sebuah produk kripik pedas dengan level beragam menjadi tren di kalangan anak SMA. Bahkan, kripik tersebut dijadikan patokan dalam menilai tingkat kekerenan seseorang. Dengan rasa penasaran tingkat gorila, Tessa menguji unsur-unsur kimia di dalamnya.

Menjadi admin seluruh laboratorium di sekolah, Tessa diberkahi banyak privilese. Hal tersebut merupakan apresiasi pihak sekolah akan prestasi Tessa yang memang memukau. Peralatan kimia macam tabung reaksi, pipet tetes, pembakar bunsen, hingga beberapa cairan kimia membentuk formasi acak, seolah memvalidasi betapa Tessa berkonsentrasi penuh. Kegiatan tersebut Tessa lakukan di meja favoritnya, meja samping jendela. Jika otaknya buntu, perempuan berkacamata dan berambut sebahu itu tinggal menengok ke luar untuk menikmati pemandangan taman belakang sekolah yang sejuk.

Taman belakang sekolah. Ada semerbak kerinduan yang muncul di benak Tessa ketika menatapnya. Dan, kerinduan itu terjawab ketika Tessa mendapati Momon yang sedang duduk termangu seperti orang kalah judi. Hasrat melanjutkan praktikumnya bubar jalan dengan gemilang. Bergegas Tessa membereskan semua.

 

****

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Detektif Sekolah
Selanjutnya BAB 2 - Detektif Sekolah: Mengacak Jejak Perisak
0
0
BAB 2: KLUB DETEKTIF SEKOLAH
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan