1. MEREBUT SELINGKUHAN IBUKU BAB 1

1
0
Deskripsi
  1. MEMERGOKI MAMA SELINGKUH

Mata yang penuh keangkuhan itu menatapku tanpa berkedip, betapa aku sangat membencinya tapi tak bisa berbuat apa-apa, ibu tiri yang selama ini aku sayangi, telah berani mengkhianati ayah kesayanganku. Isak tangis yang sebenarnya ingin keluar dari mulutku, terpaksa aku tahan agar tidak menimbulkan suara.

Hatiku hancur sekaligus kecewa. Pertunjukan di depan mataku membuatku lemas karena tak bisa mempercayainya, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Umurku baru 19 tahun, hal seperti itu baru pertama kali aku saksikan. Ada perasaan kecewa, sedih dan hancur-lebur bercampur menjadi satu. Tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata.

"Hei, apa yang kau lihat, Sayang?" tanya Ibu tiriku, pada pria yang saat ini tengah menatapku. Pertanyaan itu sekaligus mengagetkan aku dari lamunan.

"Sayang? Mama memanggilnya sayang! Keterlaluan!" batinku kesal.

"Sayang, kau kenapa?" ulang mama, membuat pria selingkuhannya itu kembali fokus menatap mama.

"Tidak apa-apa, Sayang. Tenanglah, nikmatilah," jawab seorang pria yang sama sekali tidak aku ketahui namanya. Dia semakin brutal menciumi mama, wanita yang bukan miliknya.

Pria itu terus menatapku semakin lekat. Aku bersembunyi di balik pintu toilet yang kebetulan sangat sepi.

"Tuhan, apa yang akan papa lakukan jika sampai tahu perselingkuhan mama dengan pria yang sama sekali tidak aku ketahui namanya. Menghabisi pria itu? Tidak mungkin! Papa sangat lembut hatinya. Sementara menceraikan mama? Itu lebih tidak mungkin lagi karna papa mencintai mama yang selama ini menjaga baik nama keluarga." Aku semakin kecewa dan putus asa bingung harus berbuat apa, tubuhku gemetar tidak karuan.

"Ayolah, Kekasih gelap ku. Lebih cepat lagi, Sayang. Aku sudah tidak tahan!" Mama tiriku mendesah penuh kenikmatan, pria itu terus mencumbu mama tanpa mau melepaskan pelukannya.

"Kau harus bersabar, Rose. Selingkuh itu memang sangat indah, bukan?" goda pria tanpa nama, menuntaskan hasratnya.

Karna tidak tahan dengan kebejatan mereka berdua, aku meraih ponselku dan berniat menghubungi papa.

"Ssssttt ... jangan keras-keras, Sayang. Kalau sampai suamiku tahu, dia bisa kecewa," protes mama tiriku, membuatku merasa jijik.

"Biarkan saja, palingan dia juga bakalan menceraikan mu," timpal sang lelaki tak tahu malu, membuatku kesal sekaligus ingin mencakar wajahnya.

"Bukan soal diceraikan, Dion. Tapi kalau sampai suamiku tahu, dia bisa kena serangan jantung, aku tidak mau itu terjadi." Mama tiriku rupanya masih ada hati mengkhawatirkan papa.

"Kau tidak mencintainya, Rose. Biarkan saja dia menderita!" Pria di pelukan mama sama sekali tidak perduli dengan tatapan benciku.

"Tetapi aku ingin bersamanya, Dion!" tegas mama, tak mau dibantah.

"Maksudmu? Heh!" Pria yang ternyata bernama Dion itu, kesetanan mencumbu mama.

"Aku memang tidak mencintai mas Burhan, Dion. Tapi aku sangat mencintai putrinya. Kalau sampai hubunganku dengan Mas Burhan kenapa-kenapa, otomatis aku pasti akan berpisah dengan putri kesayanganku Daisy. Meski anak tiri, aku sudah menganggapnya sama seperti anak kandungku sendiri, kuharap kau mengerti!" jelas Mama, membuatku semakin lemah dan tanpa sadar meneteskan air mata.

Aku berada dalam ambang dilema, di sisi lain tidak mau kehilangan mama, dan di sisi yang lainnya lagi ingin papa tahu bahwa istrinya tidak setia. Aku harus apa?

"Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? Mama mencintaiku tapi di sisi lain mengecewakanku. Haruskah aku mengadu pada papa? Tapi bagaimana kalau papa kena serangan jantung? Bukan hanya satu Aku akan kehilangan dua orang sekaligus. Dulu ibu kandungku, jangan sampai sekarang papa dan kemudian mama Rose." Lagi-lagi hanya air mata yang bisa aku keluarkan, batinku sangat terluka.

Ponsel yang tadinya aku pegang buat menghubungi papa, aku cengkeram kuat-kuat.

"Aku tidak peduli kau mencintainya atau tidak, Rose. Kau milikku! Lagipula dia juga bukan putri kandungmu! Dia putri dari mantan istri pertama suamimu, Risa. Jadi jangan terlalu menyayanginya." Dion tidak terima dan semakin keras mencium bibir mama.

"Jaga bicaramu, Dion. Aku sangat mencintai Daisy! Hanya karna dia saja aku setuju menikah dengan papanya. Lagipula ... almarhumah mamanya Daisy adalah sahabat baikku, aku tidak mungkin meninggalkan putrinya. Aku sangat mencintai Daisy sampai kapanpun juga. Mas Burhan pun bersikap baik padaku. Jadi stop membicarakan mereka berdua dan nikmati saja waktu kita berdua saat ini, mengerti?" jelas mama mengeraskan suaranya. Marah pada pria pemilik nama Dion.

"Lalu bagaimana denganku, Rose?" Dion memerah mukanya dan amarah mulai terlihat dari nada bicaranya.

"Biarlah hubungan kita tetap berjalan seperti ini saja, Dion. Meski bukan istrimu, kau bisa meminta kepuasan dariku. Lagipula ... ini yang diinginkan oleh semua pria, bukan?" Mama menatap datar wajah Dion, tak tahu lagi harus berkata seperti apa.

Sangat bimbang kelihatan dari raut muka Mama, di sisi lain mencintaiku tapi di sisi yang lainnya lagi mencintai selingkuhannya itu.

Alasan mama menikah dengan papa ternyata adalah supaya bisa hidup bersamaku. Haruskah aku bahagia? Atau kecewa? Aku sungguh tak bisa berpikir jernih.

"Tidak. Tak akan kubiarkan, Rose. Kalau pria itu tidak mau menceraikan mu! Maka aku yang akan membuatmu menceraikannya. Akan aku bawa kau ke tempat yang tak seorangpun tahu!" Mendengar Dion mengatakan hal itu, hatiku memanas. Tanpa sadar aku membanting pintu toilet dan berlari sekencang mungkin buat memberitahu papa.

Hatiku sakit ... benar-benar sakit.

Pria itu bisa membuat papa menderita. Andai punya kekuatan! Ingin ku-cekik lehernya dan ku-cabik badannya sampai binasa.

Namun, apalah daya? Aku tak sekuat orang dewasa. Bisaku hanya menangis dan pergi mengadu pada papa saja.

Ya ... hanya itulah yang aku bisa.

"Keterlaluan!" seruku marah tanpa sadar.

Saat di perjalanan, tanpa sengaja aku menabrak seseorang. Dia adalah pria setengah baya bersama istrinya. Mereka tampak khawatir melihatku menangis.

Terutama istrinya, wanita itu menyeka air mataku dan berusaha menenangkan aku yang saat ini seperti orang gila.

"Hei, kenapa menangis, Sayang? Di pesta semewah ini seharusnya kau bahagia, bukan? Kenapa malah bersedih? Apa yang membuatmu merasa tidak nyaman, Sayang?" tanya Ibu Riska, istri dari Dokter pribadi papa, bisa dibilang kerabat juga.

"Iya, Nak. Kenapa kau menangis, Sayang? Papa kamu tidak apa-apa, kan?" tanya pak Handoko, Dokter pribadi papa. Beliau sekaligus orangtua keduaku, juga pahlawanku, karna beliaulah papa bisa sembuh setelah kematian ibu kandungku.

"Memangnya kenapa dengan pak Burhan, Pa? Bukankah beliau sudah sembuh?" Ibu Riska mulai khawatir. Usapan tangannya di kepalaku sedikit menyejukkan hatiku.

"Tidak sepenuhnya sembuh, Ma. Pak Burhan pernah trauma saat istri pertamanya meninggal akibat kecelakaan. Dia tidak bisa berbicara selama satu tahun. Dia seperti orang linglung. Bahkan Daisy yang saat itu masih berusia empat tahun dia abaikan. Untunglah ada Rose, mama tirinya Daisy. Wanita itulah yang membuat semangat pak Burhan untuk kembali hidup bangkit. Sebelumnya pak Burhan pernah mencoba untuk bunuh diri beberapa kali, tapi karena Rose, pak Burhan mengurungkan niatnya. Wanita itu pula yang merawat Daisy hingga bisa remaja dan cantik seperti ini. Dia sangat beruntung, Ma," jelas Pak Handoko menatapku sambil tersenyum.

"Tapi ingatlah, Nak. Meski papamu tampak baik-baik saja, jika mendengar berita buruk atau hal yang membuatnya tidak senang, maka penyakit jantungnya benar-benar akan membuatnya menderita bahkan meninggal." Penjelasan Pak Handoko semakin membuat deras air mataku.

Kebimbangan mulai hinggap di pikiranku, kalau aku memberitahu papa tentang perselingkuhan mama, papa akan celaka.

Selama ini, hanya mama Rose saja yang bisa membangkitkan semangat hidup papa, mama Rose pula yang bisa membuat papa bicara lagi, dan yang terpenting, mama pula yang merawatku sejak usiaku masih empat tahun.

"Papa ... Daisy harus bagaimana?" batinku putus asa.

"Sayang, kenapa malah diam? Papa kamu baik-baik saja, kan?" selidik Ibu Riska, panik. Pak Handoko juga cemas dan membelai rambutku pelan.

"Ah! Tidak. Aku baik-baik saja, Ibu," jawabku sembari mengusap air mataku.

"Lalu kenapa kau menangis, Nak?" Pak Handoko, penasaran.

"Tadi ... tadi Daisy jatuh, Ayah, Ibu. Ya! Jatuh! Makanya menangis," isak ku berusaha menghentikan airmata yang terus saja keluar.

"Benarkah? Apa kau terluka?" Pak Handoko dan istrinya mulai khawatir dan memeriksa anggota tubuhku dengan teliti, seperti dugaanku, kedua orang ini memang mengganggap aku sama seperti putrinya sendiri.

"Tidak apa-apa, Ayah, Ibu. Tenanglah! Oh ya! Di mana Desi?" tanyaku berusaha mengalihkan perhatian.

Kebetulan kami semua sedang menghadiri pesta ulang tahun rekan kerja papa yang kebetulan adalah lelaki bejat tadi, Dion. Aku memang pernah melihatnya tapi tidak pernah tahu namanya, dia datang ke rumahku berkali-kali dan sayangnya, aku tidak peduli, kini dia menjerat cinta mama tiriku sendiri.

"Apa kau yakin tidak apa-apa, Nak?" Ibu Riska semakin cemas.

"Tidak apa-apa, Ibu. Percayalah," jawabku lemah.

"Syukurlah, Desi ada di belakangmu, Sayang," ucap Ibu Riska memutar badanku agar menghadap Desi, gadis berusia sembilan belas tahun itu berjalan mendekatiku.

"Daisy! Kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi! Dasar, Kau!" makinya, kesal. Memang dari tadi aku ada bersamanya, tapi karna ingin menghilangkan noda makanan di bajuku, aku meninggalkannya buat pergi ke toilet.

Namun siapa sangka di toilet aku malah memergoki mama sedang bermesraan dengan pria yang saat ini tengah berulang tahun.

Awalnya aku tidak mau ikut ke pestanya, selain tidak kenal, juga malas berurusan dengan pesta mewah seperti ini.

Aku lebih suka menyendiri, tapi karna mama memaksa, akhirnya mau tidak mau aku ikut.

"Ya sudah, ayah dan ibu pergi dulu ya! Jaga dirimu baik-baik, Daisy." Ibu Riska menepuk bahuku dan setelahnya, ganti menatap putrinya sendiri. "Desi! Jaga adikmu, ya!" ingat Ibu Riska, kemudian pergi meninggalkan kami berdua.

"Daisy, kamu kenapa? Wajahmu pucat," tanya Desi, menatap wajahku dari dekat.

"Tidak apa-apa, Desi. Ayo pergi," ajak ku malas membahas masalah mama dan Dion.

Kami mencari tempat buat makan dan minum agar terhindar dari keramaian orang. "Daisy, kamu coba ini deh! Sangat enak," antusias Desi, menyodorkan kue kecil ke arah bibirku.

Karna ingat ini adalah rumah Dion, aku malas memakan makanan apapun. Rasa lapar ku hilang berganti dengan rasa marah.

"Najis!" seruku kesal.

"Eh! Kok najis? Ini halal, Daisy. Makanlah!" pinta Desi, semakin mendekatkan kue itu ke arah mulutku.

"Tidak mau, Desi. Jangan memaksa! Najis bagiku memakan makanan dari rumah pria bernama Dion!" teriakku membuat beberapa tamu terdiam dan menoleh ke arah kami.

"Daisy, kamu kenapa? Baiklah. Ayo pergi kalau kamu tidak suka," ajak Desi, menarik tanganku. Makanan yang tadi kami pilih, kami biarkan di meja begitu saja.

"Desi, aku ingin menemui papa," lirihku melemah.

"Baiklah, kalau ada apa-apa, cari aku, ya! Aku akan pergi menemui kedua orangtuaku," ucap Desi, sedikit kecewa. Aku tahu dia kebingungan dengan sikapku. Tingkahku yang biasanya ceria berubah jadi muram karna Dion.

"Desi, maafkan, Aku," ucapku menyesal.

"Tidak apa-apa, Anak manis. Tenanglah," jawab Desi, tak lama kemudian pergi meninggalkan aku sendirian.

Dengan langkah gemetar, aku pergi mencari papa. Aku ingin jatuh ke dalam pelukannya. Hatiku benar-benar terluka karna kelakuan rekan kerjanya.

Andai mama tidak mengenalnya, pastilah mama tidak akan selingkuh dengannya. Tak akan kubiarkan pria itu membuat papa menderita. Apapun akan aku lakukan demi papa. Termasuk mengorbankan nyawa.

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Selanjutnya 2. MEREBUT SELINGKUHAN IBUKU BAB 2
0
0
2. BERMUKA DUA
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan