
Bab 1: Kenapa Dia, Bukan Aku?
Rilkelah yang selama ini memendam asa untuk mencicipi sedikit kehidupan di kota impian sejuta umat, New York, tapi kenapa sosok lain yang bisa betulan ke sana?
Tentang Apa Tentang New York?
Rilke, seorang single mother dengan satu putri, sudah lama mengucapkan selamat tinggal pada impian New York yang sempat dirajutnya sejak usia muda karena, yah, . . . life happens, mulai dari masalah finansial, masalah studi, hingga masalah rumah tangga.
Kini, setahun setelah hidupnya...
BAB 1: Kenapa Dia, Bukan Aku?
HAI, Ke.
Begitu bunyi pesan teks WhatsApp yang barusan muncul di layar telepon selulernya. Rodi, mantan kekasihnya zaman pertengahan kuliah dulu. Walau satu kampus dan satu angkatan, mereka berasal dari program studi yang berbeda.
Kalau hidupnya ini adalah sebuah film layar lebar—yah, minimal sinetron lah, momen menerima pesan teks dari seorang mantan kekasih pasti sudah ditunjukkan secara dramatis—musik yang membuat penonton deg-degan juga penasaran, ditambah ekspresi wajah yang merasakan terkejut sekaligus berdebar setelah menerima pesan teks tersebut.
'Sayangnya' semua gambaran itu tidak terjadi dalam dunia nyata Rilke. Masa berpacaran mereka dahulu yang hanya selama satu pekan—iya, tujuh hari!—justru terasa sangat konyol bagi mereka yang sedari awal hanya dekat layaknya teman akrab biasa. Setiap bernostalgia tentang hubungan “sound check” mereka itu, keduanya pasti akan merasa geli sendiri—baik geli dalam konteks merasa lucu maupun dalam konteks merasa jijik.
Ah, iya, ucap Rilke dalam hati, nostalgia lagi. Apa lagi sekarang?
Rodi:
Gue tadi ketemu Dina. Si Claudina yang anak Sosiologi.
Rilke:
Lo enggak mau basa-basi nanyain kabar gue dulu, Di?
Rodi:
Lah, kata si Dina lo baik-baik aja, secara dia abis video call-an sama elo dua hari lalu katanya.
Rilke:
Lah, itu kan gue baik-baiknya dua hari lalu.
Rodi:
Lah, emang hari ini lo lagi enggak baik-baik, Ke?
Rilke:
Lah, kenapa kalo iya?
Lo khawatir ya, sama gue?
Rodi:
Lah, gue malah geli kali, Ke.
Rilke:
Payah lo.
Enggak peka.
Lo gitu juga ya, ke bini lo? Enggak peka gitu?
Rodi:
Sialan lo.
Rilke:
🤪
Rodi:
Eh, elo kok enggak ngabarin sih, pindah ke Pontianak?
Rilke:
Lah, buat apa?
Rodi:
Lah, pokoknya kabarin aja.
Gila ya, setahun ini gue clueless.
Padahal kan, kita masih WA-an, walau cuma sekali-dua kali.
Gue kan, temen lo, Ke.
Rilke:
Lah terus?
Rodi:
Udah ah, rese lo.
Rilke:
🤪
Rodi:
Eh, lo kok enggak nanyain sih, gue ketemu sama si Dina di mana?
Rilke:
Gue udah tahu.
Di Kuala Lumpur, kan?
Rodi:
Lah kok, tahu?
Rilke:
Lah kan, si Dina emang tinggal di sana sekarang.
Rodi:
Lah, terus kenapa lo enggak nanyain gue ngapain ada di Kuala Lumpur?
Rilke:
Lah buat apa?
Rodi:
🤦♂️
Ya udah, pokoknya gue maksa pengin ngasih tahu.
Gue mau pindah ke Malaka.
Gue dimutasi ke sana.
Sebenernya gue dikasih dua pilihan. Mau Chiang Mai atau Malaka.
Ya gue pilih Malaka lah.
Makanan halal lebih gampang dicarinya di sana.
Rilke:
Lah, hubungannya sama Kuala Lumpur apa?
Rodi:
Ya gue numpang lewat aja, ada urusan administrasi.
Argh, susah ah, ngomong sama elo.
Rilke:
🤪
Rodi:
Terus, Gatari apa kabar?
Rilke:
Yah, seperti biasa.
Selalu kelihatan dan terasa berusaha untuk sebisa mungkin enggak nyusahin ibunya ini.
Rodi:
Alhamdulillah.
Kalau Januar apa kabar?
Rilke:
Lah, mana gue tahu?
Rodi:
Lah kan, elo mantan istrinya?
Rilke:
Lah, terus kenapa?
Rodi:
Dia masih bayarin sekolah Gatari, kan?
Rilke:
Iya, masih.
Rodi:
Alhamdulillah.
Terus, lo kapan mau ke New York?
Rilke:
Hah?
Rodi:
Tabungan lo pasti udah banyak kan, setahunan ini?
Rilke:
Lah, apaan, sih?
Rodi:
Lah, cita-cita lo dulu itu, Ke.
Kan, mau ke New York.
Rilke:
Lah kan, berapa tahun lalu gue pernah bilang kalo gue nyerah.
Rodi:
Lah, berapa tahun lalu itu kan, lo lagi… apa ya, di masa terpuruk, gitu.
Setahunan ini kan, lo mulai bangkit lagi.
Iya, kan?
Kan?
Rilke:
Lah, hubungannya sama New York apa?
Rodi:
Lah, ya gue pikir lo jadi mempertimbangkan untuk memulai kembali.
Termasuk mimpi lo yang sempat tertunda.
Mencet tombol reset, gitu.
Rilke termenung membaca tulisan Rodi itu. Tombol reset? Memulai kembali? Dengan impian New York-nya?
Rilke:
Lah kan, gue emang udah mencet tombol reset?
Dua kali malah.
Waktu gue cerai sama waktu gue pindah ke Pontianak.
Rodi:
Tapi yang itu enggak ada hubungannya sama New York dream-nya elo.
Rilke:
Lah, emang enggak.
Bukannya emang udah lama juga kali gue mencet tombol off buat urusan New York.
Sejak tempat kerja bokap gue jatuh bangkrut, terus gue bantuin keuangan keluarga gue dengan nyambi sana-sini, termasuk bikin usaha jasa kaligrafi sendiri yang, jujur, kadang masih berasa konyol atau aneh atau apalah punya usaha jasa begituan (walaupun di jaman sekarang ternyata laku banget ya, Bok).
Sejak kuliah gue sempat berantakan setahunan.
Sejak gue gagal beberapa kali buat dapetin beasiswa ke luar.
Sejak gue jadi pegawai kantoran biasa selesai kuliah.
Sejak gue nikah, terus mutusin buat jadi ibu rumah tangga aja pas punya anak.
Mungkin emang dari awal sebenernya enggak ada tempat buat New York dalam hidup gue.
Rodi:
Jangan ngomong gitu, dong.
Gue kan, jadi sedih.
Rilke:
Lah, biasa aja kali.
Rodi:
Soalnya gue jadi keinget banget sama lo dulu yang sampe bikin timeline musti ngambil langkah apa-apa aja biar bisa kejadian ke New York.
Rilke:
Udah ah, enggak usah dibahas.
Rodi:
Lah, masa enggak boleh?
Rilke:
Lah, buat apaan juga?
Masa lalu.
Rodi:
Eh, eh, gue abis nonton film You've Got Mail dong, beberapa hari lalu.
Telat banget, ya 😅
Info aja.
Rilke:
Say what?
Seorang RODI nonton rom-com? 🤣
Rodi:
Woy, gue belom selesai ngejelasin!
Itu gue enggak sengaja juga kali nontonnya.
Pas kebetulan muncul di HBO.
Rilke:
Tapi nontonnya sampe abis, kan?
Rodi:
Ya iyalah.
Puas? Puas? Puas?
Rilke:
🤣
Rodi:
Terus gue keinget sama lo.
Gue sampe ngomong sendiri waktu itu, "Oh, jadi film kayak begini nih, yang bikin si Rilke jadi kepengin ke New York?"
Rilke:
🤣
Rodi:
Eh, kalo tabungan lo udah cukup, cus lah liburan ke New York aja, Bok.
Boleh lah jadi turis juga mah.
Mau ke New York enggak harus dapet beasiswa dulu atau dapet kerjaan dulu di sana, kan?
Rilke:
Gila lo. Mau nabung sampe tahun berapa gue biarpun cuma buat jadi turis ke New York?
Rodi:
Lah, kali sebentar lagi tabungan lo udah 1M.
Rilke:
Lah, mendingan gue beli rumah aja kali kalo ada 1M mah.
Rodi:
Lah, bukannya mendingan bisa ke New York dulu ketimbang beli rumah?
Rilke:
Lah, apaan sih lo, Di?
Maksa amat gue mesti ke New York?
Eh, tapi gue kok, sampe egois gini urusan mengkhayal doang, yak.
Harusnya kan, kalo ada 1M mah gue ngeberangkatin satu keluarga gue ke Arab buat naik haji.
Udah hampir dua puluh tahun berlalu semenjak ortu gue umroh berdua.
Rodi:
Lah ya gimana Bok, gue keinget binar-binar mata lo dulu tiap kali ngomong soal New York.
Rilke:
Lah, itu zaman dahulu kala kali.
Rodi:
Ya udah, ya udah.
Sori deh, Ke.
Rilke:
Lah, biasa aja kali, Di.
Rodi:
Ke.
Rilke:
Apa lagi?
Rodi:
Gue mau ke New York.
Rilke diam. Kalau percakapan dengan mantan-kekasih-selama-seminggu-nya ini adalah sebuah meme, mungkin akan terlihat berupa dua gambar yang bersanding—di sebelah kiri adalah foto dirinya sendiri sambil menunjukkan rencana-rencana menuju New York yang tertulis dengan detail di buku planner lamanya; di sebelah kanan adalah foto Rodi dengan senyum kemenangannya sambil kedua tangannya memamerkan tiket pesawatnya menuju New York. Mungkin takarirnya akan berbunyi, "Gue yang mimpi ke sana, eh, malah dia yang punya tiket pesawatnya."
Rodi:
Ke.
Rilke:
Lah, katanya lo pindah ke Malaka.
Rodi:
Iya, tapi maksud gue minggu depan itu gue ada urusan bisnis buat dua atau tiga hari gitu lah ke New York.
Rilke:
Bagus deh, Bok.
Rodi:
Lo mau gue kirimin oleh-oleh apaan, Ke?
Rilke:
Lah, kenapa gue?
Bini lo tuh, pikirin.
Rodi:
Lah, kalo bini gue mah otomatis lah, selalu, always, gue pikirin—
Rilke:
Nah, itu.
Rodi:
—dan gue sayangi dan gue cintai.
Rilke:
Lo segombal itu sama bini lo, Di?
Rodi:
Sialan lo! Gue emang beneran kali, sayang sama cinta sama bini gue.
Rilke:
Iya, iya.
Rodi:
Jadi?
Mau oleh-oleh apa?
Rilke:
Nanti si Nia mencak-mencak kalo dia tahu lo ngasih oleh-oleh buat gue.
Rodi:
Lah, lo kayak enggak kenal bini gue aja.
Sebelum sempat cemburu sama kisah lama kita, dia udah keburu geli duluan, secara kita sendiri dulu baru seminggu jalan bareng langsung jijik sama satu sama lain.
Rilke:
🤣
Rodi:
Eh, seriusan nih, mau dikirimin apaan lo dari New York?
Rilke:
Enggak ada.
Rodi:
Ah, elo mah.
Ya udah, pokoknya tungguin aja nanti gue kirimin sesuatu ke lo abis gue pulang dari sana.
Rilke:
Please deh, Di.
Rodi:
Please deh, Ke.
Udah ya, gue mau main golf dulu sama bos gue.
Rilke:
Oh, lo lagi mau jadi penjilat dulu di depan bos elo?
Rodi:
Lah, iya dong, Bok.
Demi naik gaji, apa sih yang enggak buat bos gue? 😜
Rilke:
Lah, dasar lo!
Rodi:
Ya udah, bye ya, Ke.
Baik-baik lo di Pontianak.
Jangan jadi warga pendatang yang nyusahin di sana.
Rilke:
Iya, nasihat yang sama buat elo, Di.
Thanks for checking up on me.
Salam buat Nia.
Rodi:
My pleasure.
👍
Seperti yang biasanya terjadi sejak masa kuliah, sereceh apa pun obrolannya dengan Rodi, selalu meninggalkan Rilke dengan hati yang terasa lebih hangat di akhir pembicaraan. Hal itulah yang membuatnya selalu bersyukur bahwa mereka berteman baik alih-alih berhubungan sebagai pasangan romansa.
Walau demikian, seperti tokoh gadis kecil, Nathalie, yang ada di komik dengan judul sama asal Perancis yang pernah merasa cemburu dan iri saat teman baiknya di kelas berkesempatan mengunjungi Amerika Serikat (padahal selama ini justru Nathalie-lah yang selalu bermimpi untuk bisa melihat dunia dan mengunjungi negara-negara di luar Perancis), sekarang pun Rilke sedang merasakan perasaan yang serupa. Iya, dia ikut merasa bahagia untuk Rodi, namun di saat yang sama pula hati dan pikirannya sekaligus seakan mempertanyakan, "Kenapa harus dia dan bukannya aku?"
Ah, teman baik macam apa aku ini? Pikirannya segera berusaha menghempas jauh-jauh sikap julid-nya tersebut. Ingat, jalan orang, nasib orang beda-beda, Ke. Mungkin Sang Pemberi dan Penunjuk Jalan memang penginnya menyediakan satu jatah New York untuk Rodi dan bukannya untukku. Mungkin memang tak pernah ada tempat yang disediakan untuk New York di jalan dan nasib hidupku.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
