Mencari Bidadari Jelita [CERPEN]

4
2
Deskripsi

Wiguna, seorang fotografer majalah pria eksekutif, tiba-tiba menyadari adanya satu wajah seorang wanita berhijab yang cantik jelita bak bidadari di foto-foto karyanya. Tidak masuk akal, bagaimana ada suatu perasaan ‘berbeda’ tumbuh dalam hatinya terhadap sang bidadari jelita yang bahkan tidak pernah dikenalnya. Akhirnya, demi membunuh rasa penasarannya, sekaligus demi perasaannya yang kian hari kian bertumbuh subur, Wiguna pun bertekat mencari wanita itu.

MENCARI BIDADARI JELITA

oleh diarhafsari

 

RENTETAN batuk terdengar selama beberapa saat, seiring dengan sedikit kepulan asap dari hidung dan mulut Wiguna.

“Kenapa sih, kamu? Sudah kubilang, kamu nggak pernah ditakdirkan untuk menjadi seorang perokok, tapi masih saja nekat.” Safrul menarik sebatang rokok yang baru dihisap satu kali dari tangan Wiguna.

“Aku lagi pusing, Frul.”

Rokok tadi kini dihisap kuat oleh Safrul. Setelah kepulan asap tebal keluar dari mulutnya, “Lalu?”

“Kamu kalau lagi banyak pikiran kan, selalu merokok. Setelah itu, kamu langsung normal lagi.” Wiguna memutar tubuhnya menghadap jendela kantor Safrul. “Tapi, yah, mungkin kamu benar, rokok bukan jodohku.”

Jeda sesaat.

“Oke, ada apa, nih?” Safrul mematikan rokoknya di dalam asbak bening kecil di atas mejanya, kemudian melangkah mendekati teman semasa kuliah sekaligus pegawainya.

Jeda kembali.

“Aku jatuh cinta.”

Pandangan Safrul beralih dari pemandangan di luar jendela ruangannya ke wajah Wiguna. Dia mendengus, menahan tawa yang sudah mendesak keluar.

Wiguna menoleh. “Aku serius nih, Frul.”

“Iya, iya. Tapi jatuh cinta kan, bukan hal yang aneh lagi buat kita. Namanya juga manusia. Kenapa kamu harus sampai pusing? Sebelum-sebelumnya kamu nggak pernah sampai begini kok, Gun.”

Wiguna memandangi wajah temannya lekat-lekat selama beberapa detik, lalu dia mundur, meraih sesuatu dari dalam tas kerjanya. Sebuah map plastik biru tua. Dikeluarkannya isi map itu di meja kerja temannya. Sejumlah foto berukuran 4R jatuh berhamburan.

Safrul memandangi foto-foto itu, hampir secara sekilas. Dipandanginya Wiguna dengan tatapan bingung dan bertanya.

“Lihat dulu.”

Pandangan Safrul kembali menyelimuti seluruh foto tadi. Kemudian tatapan bingungnya berakhir di wajah temannya. “Apa, Gun?”

Wiguna berdecak tak sabar. “Masa kamu nggak ngerti?”

Safrul mendelik. “Yah, apa juga hubungannya kamu yang lagi jatuh cinta sama foto-foto kamu ini?”

“Kamu nggak lihat?”

Yang ditanya lalu memandangi sekali lagi foto-foto di permukaan meja. “Lihat apa? Yang aku tahu, semua foto ini sudah dimuat di rubrik Galeri Refleksi majalah kita. Betul, kan?”

Wiguna berdecak lagi. Diambilnya dua lembar foto dan dengan dua jari telunjuk kanan dan kiri, ditunjuknya satu sosok yang tampak sama persis di latar belakang foto.

Mata Safrul beralih dari kiri ke kanan, kemudian kanan ke kiri. Dipandanginya temannya sebentar, lalu seakan menyadari sesuatu, diperhatikannya sisa foto yang lain. Berakhir lagi matanya pada wajah temannya. “Dia? Kamu jatuh cinta sama perempuan di foto-foto ini?”

“Di semua fotoku,” ralat Wiguna. “Semua, Frul, semua! Di semua fotoku selama satu setengah tahun terakhir ini ternyata selalu ada dia, perempuan ini. 

"Parahnya, aku baru sadar seminggu yang lalu, waktu membenahi semua koleksi hasil jepretanku. Tapi yang lebih parah lagi, begitu menyadari ini semua, bisa-bisanya aku langsung jatuh cinta sama dia.

"Iya, aku tahu ini kedengarannya hiperbola, bahkan gila. Tapi—aku kayak merasa—apa, ya… berjodoh sama dia, mungkin?”

Safrul melongo.

“Aku masih serius nih, Frul.”

Terdengar tawa kecil. “Gun, Gun. Kembali ke dunia nyata, dong.”

Wiguna mengangkat beberapa helai fotonya ke hadapan Safrul. “Tapi ini juga nyata, Frul.”

“Oke, tapi kamu nggak kenal dia, kan? Apalagi dia, mungkin malah nggak akan pernah tahu bahwa ada seorang pria bernama Wiguna di dunia ini—dan jatuh cinta pula dengan dia.”

“Kamu juga sebelumnya nggak kenal sama istri kamu, tapi dulu kamu berkeras yakin kalau cuma dia jodoh kamu,” ujar Wiguna pelan, sambil membereskan kembali foto-fotonya ke dalam tas kerjanya. “Sudah malam, Frul. Aku duluan.”

“Hei, Gun,” suara Safrul terdengar lantang karena yang diajak bicara sudah mulai berjalan keluar ruang kerjanya. “Waktu itu aku memang nggak kenal sama istriku. Tapi kami kan, duduk bersebelahan di pesawat terbang yang sama. Jadi kami sama-sama tahu kalau kami ada di dunia nyata.”

~ ~ ~

Setiba di apartemennya, Wiguna melakukan ritual yang selalu dilakukannya setiap hari semenjak satu minggu terakhir ini, memandangi wajah wanita di latar belakang foto-fotonya.

Wiguna sudah lima tahun bekerja sebagai fotografer lapangan untuk majalah pria bagi eksekutif muda di Jakarta, Briefcase. Majalah ini memiliki beberapa orang fotografer, namun Wiguna tidak pernah memotret model di dalam studio.

Jatahnya adalah rubrik Galeri Refleksi, yang selalu berisi foto-foto aktivitas dan ekspresi orang-orang—termasuk para pesohor lokal dan nasional—di berbagai tempat dan situasi, foto-foto humaniora, dan sejenisnya. Karenanya, dia hampir selalu berada di luar kantor untuk bekerja, di dalam maupun luar kota.

Mungkin Safrul benar. Tapi mungkin juga dia salah, pikir Wiguna dalam hati. Ah, apa yang salah dari jatuh cinta pada wanita yang tidak kita kenal dan tidak kita sadari bahwa kita pernah berada dekat dengannya? Bahkan adikku, Widuri, pernah terobsesi pada seorang Nicholas Saputra!

Dipandanginya lagi foto-foto di hadapannya lekat-lekat. Hampir semua tempat di Jakarta dipenuhi oleh wajah perempuan itu.

Bahkan, secara mengejutkan, dia muncul pula dalam foto-fotonya di Solo, Yogya, dan Bali. Tapi karena kebanyakan ada dalam foto-fotonya di Jakarta, jadi kemungkinan besar dia tinggal di kota ini. Paling tidak itulah tebakan utama Wiguna.

Dia selalu berada di latar belakang subjek utama jepretan Wiguna, karenanya sosoknya kadang hanya terlihat samar-samar saja. Tapi di beberapa foto lain wajahnya terlihat sangat jelas, biarpun dengan ukuran yang kecil.

Di semua foto-fotonya selama satu setengah tahun terakhir ini, wanita berkerudung itu selalu terlihat tersenyum. Dan senyumnya sungguh-sungguh jelita, hingga kadang membuatnya ikut tersenyum pula. Dan warna kerudung yang menutup kepalanya tak pernah terlihat sama. Seakan dia memiliki koleksi kerudung dengan seluruh paduan warna dan motif yang ada di dunia ini.

Sehari setelah menyadari adanya sosok wanita itu di semua fotonya, Wiguna turun ke lapangan untuk memotret di beberapa lokasi yang sebelumnya pernah dia sambangi. Dia berharap kali ini akan dapat betul-betul bertemu dengan sosok yang sesungguhnya dari wanita tersebut. Tapi hasilnya nihil. Semakin banyak dia memotret dan semakin lama dia menunggu, justru semakin nol besar hasil yang didapat Wiguna. Seolah wanita itu tak ingin dicari maupun ditunggu.

~ ~ ~

“Kamu ingat Relfio Brams, model catwalk yang sekarang beralih profesi sebagai pengusaha toko online makanan organik itu?" Safrul menatap Wiguna dari tempat duduknya di ujung meja rapat. "Hari Minggu nanti dia menggelar resepsi pernikahannya. Ratusan model plus pengusaha online Indonesia maupun luar negeri kabarnya diundang. Tentunya majalah kita juga diundang. Aku mau kamu bareng Toto dan Merlin ke sana.

"Toto dan Merlin akan membahas tentang pengantin dan pernikahannya. Kamu membahas gerak-gerik plus ekspresi para tamu pesohor itu lewat jepretanmu.”

Wiguna sama sekali tidak tahu siapa itu Relfio Brams, tetapi dia diam dan menurut saja saat Safrul menugaskannya pada rapat redaksi siang itu. Dia hanya berharap dapat bertemu atau sekadar melihat sosok wanita yang telah membuatnya tak tenang sejak baru-baru ini.

Dia sudah berusaha kuat untuk mencoba tidak dengan sengaja mencari wanita itu, tapi tak bisa. Wiguna menyadari kemungkinannya untuk gagal bila masih saja terus sengaja mencari, tapi dia benar-benar tak tahan lagi.

Sebulan telah lewat, sebulan pula dia memotret sambil berharap-harap cemas akan sosok itu, dan sebulan pula hasil jepretannya tak lagi dihiasi senyum jelita si wanita. Dia merasa telah mencintai seorang bidadari yang tak akan pernah mampu dia pandang, apalagi menyentuhnya. Terlalu absurd.

Di resepsi pernikahan Relfio Brams, dengan kartu identitas sebagai fotografer terpasang di sisi luar kantung kemeja abu-abunya, Wiguna memotret para tamu dalam dan luar negeri sambil terus mencoba mengosongkan pikirannya agar tak selalu ingat dengan sosok jelita pujaannya. Dia mencoba memfokuskan mata dan pikirannya pada tamu-tamu yang hadir.

Tapi entah kenapa, sejak Toto memarkirkan mobil dinas Briefcase di area parkir bawah tanah gedung Hotel The Stay bersama dengan wartawan dan fotografer lainnya, Wiguna merasa hatinya sangat tak tenang namun tidak dapat menjelaskan hal tersebut bahkan pada dirinya sendiri.

“Mungkin aku sudah terlalu lelah berpikir,” pikirnya, menghalau ketidaktenangan hatinya itu.

~ ~ ~

Safrul hampir terlonjak dari kursinya begitu mendengar gebrakan tangan Wiguna di meja rapat. Saat itu dia, Wiguna, Toto, dan Merlin sedang mendiskusikan foto-foto dari resepsi pernikahan Relfio Brams yang akan masuk ke edisi terbaru Briefcase.

“Apa-apaan sih kamu, Gun?”

Toto dan Merlin terlihat agak takut.

Wiguna memegang kepalanya dengan kedua tangannya. “Maaf, maaf, cuma—si Relfio Brams ini. Dia ini siapa?”

“Lo, kan sudah pernah kubilang, dia itu mantan model catwalk yang sekarang berjualan makanan organik berkualitas tinggi secara online. Kukira kamu juga sudah tahu. Ada apa, sih?”

Kini Wiguna berjalan mondar-mandir di ruang rapat sambil menatap semua foto Relfio Brams hasil jepretan Toto.

“Jam terbang saya memang masih belum tinggi, Mas Gun. Tapi saya sudah berusaha sekuat tenaga untuk memotret dengan sebaik mungkin. Maafkan saya, Mas Gun,” ucap Toto dengan suara bergetar.

Wiguna melempar foto-foto dari tangannya ke atas meja, lalu bergerak mencengkeram kerah kaus Polo yang dikenakan Toto. “Di mana orang itu tinggal? Di mana?”

Safrul beranjak dari kursinya untuk menarik Wiguna, mungkin selain terkejut juga kasihan melihat wajah memelas Toto. “Kenapa sih, kamu ini, Gun? Lepasin dia! Lepas! Coba duduk, bicara baik-baik.”

“Tapi, Frul—“

“Duduk!”

Wiguna menyerah. Setelah beberapa saat, dia pun mampu menahan emosinya. “Si Relfio Brams itu.”

“Kenapa dia?”

“Wajahnya kok, mirip—mirip banget sama—“

Seakan mengerti arah perkataan Wiguna, Safrul mengisyaratkan agar Toto dan Merlin meninggalkan dia dan Wiguna berdua saja.

“Sama siapa?”

Hening.

Safrul mengambil satu helai foto buatan Toto. Tatapannya mengernyit. “Perempuan itu?”

Wiguna mengangguk lemah.

“Kamu tahu alamat dia kan, Frul?”

“Iya. Tapi apa sih sebenarnya yang ada dalam pikiran kamu sekarang, Gun? Kalau Relfio ada hubungan kerabat sama perempuan itu?”

“Ya pasti lah. Lihat saja wajah dia. Miripnya kebangetan, kan?”

“Bisa saja cuma kebetulan, Gun. Apa itu istilahnya—bahwa kita punya beberapa 'kembaran' di dunia ini?—doppelganger? Kamu sendiri tahu kan, orang-orang sering mengira aku punya hubungan keluarga sama Nadiem Makarim saking miripnya wajah kami, tapi ternyata mereka salah.”

“Tapi—“

“Coba perhatikan foto-foto jepretan Toto ini, Gun. Nggak ada satu pun terdapat perempuan itu. Kalau memang, misalnya nih, dia dan Relfio Brams itu bersaudara, harusnya dia ada dong, dalam foto-foto ini.”

“Mungkin Toto—“

“Gun, lihat,” Safrul menunjuk sejumlah foto dengan jari telunjuknya. “Semua yang pakaiannya sama ini, semuanya kerabat dan keluarga Relfio. Kamu lihat ada dia?”

Wiguna memperhatikan.

“Nggak ada, kan?”

“Frul, bisa saja waktu itu Toto cuma memotret sebagian keluarganya atau—“

“Cukup, Gun, cukup. Panggil Toto dan Merlin masuk ke sini, lalu kamu fokus sama diskusi kita.”

Diskusi itu berakhir pukul sembilan malam dan sepulangnya ke apartemen, Wiguna sudah sangat lelah.

Biar saja Safrul tak mau memberi tahu alamat mantan model itu. Aku bisa mengusahakannya sendiri, pikir Wiguna.

Keesokan paginya, sebelum berangkat ke kantornya, Wiguna menyusuri keterangan seputar Relfio Brams di mesin pencari.

Di situs toko makanan organiknya, Relfio, terdapat alamat dan nomor telepon toko sekaligus kantor milik Relfio Brams. Dicatatnya alamat dan nomor telepon itu di memori ponselnya, kemudian dia keluar apartemennya untuk segera berangkat kerja.

Waktu sudah menunjukkan lewat setengah jam dari jam kantornya dan sudah ada tujuh missed calls dari Safrul. Wiguna berniat untuk menelepon atau bahkan mendatangi  saja kantor Relfio saat jam istirahat siang nanti.

Sudah hampir satu pekan lift di apartemen Wiguna rusak dan masih sedang dalam tahap perbaikan, sehingga semua orang harus bersabar menggunakan tangga darurat. Tanpa terkecuali Wiguna yang harus menyiapkan tenaga untuk turun dari lantai delapan.

Safrul pasti bakal mencak-mencak nih, ucap Wiguna dalam hati sambil memperkirakan seberapa terlambatnya dirinya nanti tiba di tempat kerjanya.

Tiba-tiba terdengar suara berderak, hampir seperti guntur. Tapi seingatnya pagi ini cerah-cerah saja.

“Awas!” suara teriakan seorang wanita terdengar membahana.

Secara reflek Wiguna menoleh ke arah asal suara. Dari tangga satu lantai di atasnya, dia melihat sebuah koper coklat besar menggelinding di tangga, ke arahnya.

Dengan sigap, Wiguna naik ke beberapa anak tangga dan menangkap koper itu. Tapi koper itu terlalu besar dan berat, sehingga tubuhnya ikut menggelinding bersama si koper. Dia bersama koper sebesar gaban itu jatuh tepat di ujung tangga lantai enam.

“Auww!” teriak Wiguna. Dadanya tertimpa koper tadi dengan epiknya. Dengan sekuat tenaga, disingkirkannya koper itu dari atas badannya.

Si wanita, yang sepertinya pemilik koper, masih berlari menuruni sisa tangga lantai tujuh dan segera menghampiri Wiguna.

“Aduh, maaf, Mas. Maaf, maaf. Tadi kan sudah saya bilang, awas.”

Wiguna mencoba duduk sambil menyesali sikap sok Gatot Kacanya yang berbuah kesialan tadi.

“Mas baik-baik saja, kan?” Wanita itu berusaha meminggirkan kopernya untuk kemudian membungkuk menatap Wiguna yang duduk tersandar.

Dan saat itulah Wiguna terkesiap. Jantungnya berpacu cepat. Mulutnya hampir melongo. Matanya hampir tidak berkedip. Pikirannya serasa kusut. Dunianya tiba-tiba seolah berhenti mendadak.

Bagaimana tidak. Tepat di detik ini, dia sedang berada di hadapan wanita yang selama ini dia cari. Benar-benar wanita itu. Sang bidadari jelita.

Si wanita merasa jengah dengan tatapan pria di depannya, sehingga mengalihkan pandangannya ke kopernya. “Tadi saya minta tolong sama sopir taksi yang jemput saya untuk bantu bawa koper ini turun, tapi ternyata dia nggak mau. Berhubung kesal, saya suruh dia pergi. Dan karena kesal juga, tadi saya tendang koper ini ke bawah. Saya pikir saya jadi nggak harus angkat-angkat lagi.”

“Eee—biar saya bantu.”

“Oh, nggak apa-apa kok, Mas. Gampang, tinggal saya gelindingkan lagi.”

Wiguna tertawa. “Saya panggilkan taksi lain lagi saja, ya. Tunggu di sini, nanti saya minta dia untuk bawa koper Mbak.”

"Biar saya sendiri yang panggil, Mas. Kesal saya sudah mulai hilang, kok. Saya siap menerima sopir taksi baru."

Wiguna tertawa lagi sementara wanita itu tersenyum. Sungguh jelita.

"Saya temani di sini sampai sopirnya datang, boleh?"

Sang wanita mengangguk, masih dengan senyum jelitanya.

“Saya Wiguna. Saya tinggal di lantai delapan.” Dengan berdebar, dia duduk dan tetap menjaga jarak sekitar satu meter di sebelah sang wanita yang baru saja selesai menelepon.

Mereka berdua kini duduk di ujung tangga lantai enam, menunggu sopir taksi yang dipanggil wanita tersebut naik ke sana.

Wanita itu tersenyum. “Jelita. Panggil saja Lita. Saya tinggal di lantai sembilan.”

Wiguna hampir terperangah namun ditahannya untuk tetap tersenyum, mengingat pendapatnya sendiri tentang senyum wanita itu. Dan karena fakta bahwa wanita yang telah lama dia cari ternyata tinggal di gedung apartemen yang sama dengannya. 

“Mau ke mana?”

“Bali. Ada yang mau menikah di sana.”

Wiguna tertegun, bingung.

Tak lama terdengar tertawa renyah. “Saya bekerja untuk sebuah event organizer. Kebanyakan sih, untuk pernikahan para pesohor dan sosialita begitu lah.”

Wiguna ikut tertawa sambil mengangguk-angguk.

Lalu hening. Wiguna begitu gugup berada di dekat Jelita, jelmaan bidadari yang dia sangka tak akan pernah mampu dia pandang dan sentuh.

“Kalau boleh tahu, ada hubungan saudara dengan Relfio Brams?”

Yang ditanya tiba-tiba tertawa keras. “Mantan model itu? Mas bukan orang pertama lo, yang nanya hal itu. Wajah kami memang miripnya kebangetan, tapi nggak kok, kami nggak bersaudara.”

Wiguna tersenyum dan mengangguk-angguk lagi.

“Tapi EO saya yang bantu bikin resepsi pernikahan dia.”

Wiguna menoleh dengan tatapan tak percaya. “Kamu ada di resepsi pernikahan Relfio Brams?”

“Ya iya, dong, kan saya event organizer-nya.”

Itu menjelaskan kenapa saat berada di sana hati Wiguna terasa sangat tak karuan. Kini Wiguna tersenyum lebar, lega.

Beberapa saat kemudian, terdengar langkah menaiki tangga. Seorang sopir taksi berseragam biru tiba untuk membantu membawakan koper Jelita.

“Terima kasih ya—eee—Mas Wiguna.”

“Gun.”

“Oh. Gun. Terima kasih lagi.”

“Lama di Bali?” tanya Wiguna sambil bersama-sama Jelita menuruni tangga gedung apartemen.

“Cuma tiga hari. Kenapa?”

“Eee—nggak apa-apa. Eee—sukses untuk acaranya. Eee—“

“Ya?” Jelita tersenyum geli mendengar kegugupan tetangganya itu.

“Kalau kamu pulang nanti, mungkin boleh kalau saya ajak kamu minum kopi bareng? Minimal di kedai kopi di seberang gedung ini. Nggak lucu kan, selama ini kita bertetangga, tapi baru kenal sekarang.”

“Tentu boleh banget, terima kasih ajakannya. Tapi ngomong-ngomong, saya baru pindah kemarin, kok.” Wajah Jelita terlihat berseri-seri. “Saya ingat betul, waktu saya survei ke sini, hati saya merasa—apa ya, namanya—ada yang bikin berdebar-debar begitu, sudah kayak orang yang lagi jatuh cinta. Absurd sih, tapi justru saat itu juga saya jadi yakin kalau saya berjodoh dengan apartemen ini.”

Dan Wiguna tersenyum lagi, lebih lebar.

~ ~ ~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Cerpen
Sebelumnya Tentang New York (Bab 23 – 24) (TAMAT)
3
0
Bab 23: Cerita MagisBab 24: Pertemuan Tentang Apa Tentang New York?Rilke, seorang single mother dengan satu putri, sudah lama mengucapkan selamat tinggal pada impian New York yang sempat dirajutnya sejak usia muda karena, yah, . . . life happens, mulai dari masalah finansial, masalah studi, hingga masalah rumah tangga.Kini, setahun setelah hidupnya mulai stabil di kota yang baru, Rilke kembali diingatkan pada New York dream-nya lewat berbagai peristiwa, termasuk perkenalannya dengan seorang pria Jepang di Instagram, Ito-san. Rilke merasa terhubung dengan pria tersebut karena Ito-san pun memiliki impian New York yang berhenti di tengah jalan.Nekat, Rilke dan Ito-san berjanji untuk mencoba sekali lagi menggapai New York dalam rentang waktu tiga tahun ke depan, meski sebagai turis biasa semata. Namun, tepat saat New York sudah hampir di depan mata, sesuatu muncul yang membuat Rilke harus memilih antara mencapai mimpi atau mencapai kesempatan beribadah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan