
Bab 46 After Dinner (2)
Bab 47 Rumah yang Sesungguhnya
Bab 48 Another Level of Love
Ini bagian terakhir, ya. Terima kasih sudah membersamai Prahara dan Srikandi.
PRAHARA'S SECRET WIFE
263
45
17
Selesai
Didi bisa menerima kalau Laras, saudara kembarnya berpacaran dengan Kemal, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Sudah biasa jika ia mesti mengalah pada Laras yang fisiknya lebih lemah dibandingkan dengannya.Namun, bisakah dia menerima takdir bahwa ia mesti terjebak bersama Prahara, mantan calon tunangan Laras, yang belum lepas dari masa lalunya? Pun, ketika satu per satu rahasia maminya terkuak, bisakah ia bertahan? Kejutan demi kejutan memang tak pernah lepas dari dunia Didi. Dan seperti biasa, ia tetaplah orang yang tak pernah diakui eksistensinya. Bedanya, kali ini, tak ada bahagia yang membersamainya.
4,109 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
PRAHARA'S SECRET WIFE (EXTRA-CHAPTER) Yogyakarta, 10 Juni 2012
55
27
Malam melarut. Kupandang sosok yang kini tengah terbaring di sebelahku dengan rambut tergerai. Sedikit acak-acakan, sisa percintaan kami beberapa saat lalu. Meskipun demikian, kecantikannya tetap terpancar. Malah semakin seksi dengan perutnya yang mulai membesar. Sudah dua puluh satu minggu anak kami bersemayam di dalam rahimnya. Tidurnya, begitu damai. Seulas senyum terpampang di wajahnya. Sampai hari ini aku masih tak percaya bahwa perempuan yang telah mengisi hatiku selama sepuluh tahun terakhir ini akhirnya benar-benar bisa kembali berada di sisiku. Selamanya. Tanpa khawatir mesti terpisah lagi, kecuali oleh takdir bernama maut. Meskipun, jalan yang kami tempuh untuk bisa bersama tidaklah mudah. Wajahku pernah babak belur dihajar Wibisono, kakaknya. Namun, hatiku lebih luluh lantak lagi. Berminggu-minggu tak bisa memeluknya dengan leluasa adalah hukuman terberat bagiku. Apalagi dengan kondisinya yang sedang hamil. Kalau diminta untuk menghapus satu bagian dalam hidupku, maka aku memilih episode kelam itulah yang harus dihapuskan. Karena aku tak mau lagi jauh darinya setelah sekian lama menanti pertemuan dengannya. Banyak orang bilang kalau aku bodoh, meninggalkan Anin yang sempurna --dari segi fisik, sifat, maupun latar belakang keluarga-- hanya untuk Srikandi yang menurut orang-orang tidak se-excellent Anindita. Apalagi Anin telah memberiku seorang anak perempuan yang manis, Amira Tyas Wasista. Orang berpikir, Prahara dan Anindita adalah paduan yang sempurna. Sama-sama sukses. Sama-sama good looking. Kami mestinya mencoba rekonsiliasi hubungan demi Ami. Namun, mereka keliru. Srikandi yang sederhana tentu berbeda dengan Anindita yang sejak kecil sudah biasa makan dengan sendok emas. Keduanya cantik dengan cara mereka sendiri. Namun, ketulusan hati seorang Srikandi susah dicari bandingannya. Ketulusan yang sudah kurasakan sejak pertama kali bertemu. Ketika aku belum punya apa-apa. Ketika aku belum menjadi siapa-siapa. Ketika aku hanyalah seorang penjual mimpi yang nyaris putus asa. Tak banyak yang tahu, bahwa untuk menjadi tampan dan sukses seperti aku sekarang ini, aku pernah menjadi seorang pemuda dekil kumal berambut gondrong yang berjalan ke sana kemari hanya untuk menawarkan mimpi yang tercetak dalam sebuah buku tanpa ISBN. Bahkan, buku itu hanyalah buku yang kucetakkan di kios fotokopi dekat kampus dengan harga miring karena aku sering mengantarkan pesanan nasi bungkus kepada pegawai yang bekerja di sana. Aku masih ingat, pagi itu Ibu mendorongku untuk menawarkan bukuku di Malioboro. Kebetulan sedang akhir pekan. Malioboro pasti penuh dengan wisatawan. Siapa tahu ada di antara mereka yang suka membaca buku. Namun, sepanjang siang hingga petang menjelang, hasilnya nihil. Mereka lebih suka melirik daster batik dan kaos sablon yang harganya memang cukup murah. Juga memborong bakpia sebagai oleh-oleh untuk keluarga yang di rumah. Berjam-jam aku menawarkan daganganku, tak satu pun bukuku yang laku. Gerah dan lelah, setengah menyerah, aku duduk di emperan sebuah mal. Banyak orang yang sedang ngemper di sana juga, termasuk beberapa pedagang kaki lima. Aku duduk di tempat kosong di sebelah seorang gadis muda yang tengah membuka-buka galeri kameranya. Rupanya ia sedang memandangi hasil jepretannya hari ini. Kusandarkan tubuh di dinding seraya menghela napas panjang. Betapa beratnya menjual sebuah buku. Buku yang kutulis di sela kesibukanku membantu usaha katering Ibu yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian kami.Menulis sudah menjadi hobiku sejak SD. Agak langka memang, penulis laki-laki yang memulai debut sejak kecil. Tapi karyaku sudah dimuat di beberapa majalah anak waktu itu. Sayangnya, setelah Bapak meninggal saat usiaku lima belas tahun, hobi ini terpaksa kusingkirkan pelan-pelan. Ibu harus membanting tulang menghidupi keempat anaknya yang masih sekolah. Aku, sebagai anak sulung tentunya harus tahu kesusahan orang tuaku. Setiap pagi, aku bangun jam tiga subuh untuk melakukan apa pun yang bisa meringankan pekerjaan Ibu. Mulai dari menimba air, membersihkan rumah, hingga mengupas telur. Pun, membantu Ibu membungkus nasi yang akan dititipkan ke kantin-kantin sekolah. Pukul lima pagi, warung pecel Ibu harus sudah buka sehingga aku tak kaku pula menggoreng bakwan, lalu menatanya bersama dagangan lainnya di teras depan rumah. Pukul enam aku sudah berangkat ke sekolah dan sepanjang perjalanan, aku singgah di beberapa tempat untuk menitipkan nasi bungkus. Pulang sekolah, aku kembali melewati jalan tersebut untuk mengambil uang penjualan dan nasi yang tersisa, jika ada. Setelah itu, aku berbelanja ke pasar untuk membeli bahan yang akan diolah untuk dijual esok hari. Begitu seterusnya. Lelah tak kurasa, asal adikku bisa makan dan sekolah. Bisa berpakaian dengan layak sebagaimana teman-temannya yang lain. Mereka masih kecil, belum layak untuk ikut menanggung kerasnya hidup. Apalagi Mili yang masih balita ketika ditinggalkan Bapak. Lalu, hobi menulisku pun terlupakan. Lagi pula aku tak punya komputer untuk mulai menulis. Untuk membelinya, jangan ditanya. Cita-cita untuk menjadi seorang penulis lama-lama hilang karena tergerus pekerjaan sehari-hari.Lulus SMA, aku tidak melanjutkan kuliah. Ibu tak lagi menitipkan dagangannya di kantin sekolah, tapi membuka jasa katering dibantu Bu Min, ibunya Ariana. Aku, seperti biasa, membantu Ibu mengurus usahanya karena meskipun istilahnya keren, menerima jasa katering, tetapi sesungguhnya pesanan tidak selalu ada setiap hari. Memang, ada hari-hari di mana kami kewalahan melayani pesanan, tetapi tak jarang juga sepi sehingga tabungan kami tersedot untuk biaya hidup. Begitulah. Sampai kemudian Tika, adikku yang pertama, kuliah dan membutuhkan komputer untuk mengerjakan tugas, akhirnya di rumah terpasang sebuah PC. Dan saat malam, ketika semua orang sudah tertidur, aku mulai mengerjakan Kekasih Sang Pengacara yang draft-nya sudah tersimpan dalam otakku bertahun-tahun lamanya. Hingga hari ini aku harus menghadapi kenyataan bahwa idealisme terbentur pada realita yang pahit: tak banyak orang yang suka membeli buku. Mereka lebih memilih membeli barang untuk kebutuhan fisik mereka. Untuk kebutuhan batiniah semacam buku, hanya orang-orang di kalangan tertentu saja yang mau menyisihkan uang untuk membelinya. Lelah dan sedih. Helaan napasku yang panjang dan keras mungkin didengar oleh gadis yang duduk di sebelahku. Gadis manis yang memakai celana jeans dan t-shirt putih bergambar yin dan yang. “Laris, Mas?” tanyanya. Aku mengangkat bahu. Sedikit heran karena anak yang terkesan cuek itu mau mengajak bicara orang yang baru dikenalnya.“Begitulah. Minat baca di Indonesia masih memprihatinkan.”“Karya sendiri?” tanyanya. Aku mengangguk. Karya sendiri yang kubuat dengan penuh idealisme dan kucetak dengan menyisihkan sedikit demi sedikit keuntungan katering Ibu. Sayangnya, itu hanya terucap dalam hati. “Kenapa nggak dijual di toko buku?” tanyanya lagi. Rupanya gadis ini adalah tipe yang ingin tahu segalanya. “Nggak ada yang berminat dengan pengarang baru,” keluhku. Aku memang sudah menawarkan buku ini ke beberapa toko buku, tetapi belum saja satu pun yang mau menerima. Mungkin berpikir harganya terlalu mahal untuk seorang penulis baru sehingga tak layak untuk dipajang di toko mereka. “Lihat, Mas,” katanya mencoba melihat bukuku. Aku mengulurkan sebuah buku yang tidak bersegel. Memang buku itu kusediakan sebagai sampel bagi mereka yang ingin mengetahui isinya. Kulihat gadis itu dengan bersemangat membuka halaman depan buku, lalu mulai membacanya. Pada menit kedua ia menatapku dan berkata,”Bagus sekali ini.”Matanya, oh, matanya biru. Menatapku dengan pandangan kagum. Dan detik itu juga, jantungku berdenyut lebih kencang. Denyut asing yang baru kurasakan sepanjang usiaku yang sudah hampir seperempat abad ini. Saat itu juga, aku jatuh sejatuh-jatuhnya pada gadis bermata biru berambut ikal kecoklatan yang dikuncir kuda itu. Beberapa waktu berikutnya aku hanya duduk di sampingnya yang asyik membaca buku. Mengamati ekspresinya ketika sampai pada konflik. Ternyata ia begitu ekspresif ketika sedang membaca buku. Dan waktu berlalu begitu cepat. Sampai akhirnya kudengar suara aneh dari perutnya. Dia mendongak lalu tersenyum malu. “Belum makan?” tanyaku.Dia menunjukkan kotak bakpia yang isinya sudah berkurang lebih dari separuh.“Makan beginian mana kenyang. Kapan makan nasi terakhir kali?” tanyaku.“Mmm … tadi pagi kelihatannya,” jawabnya sambil meringis. Dan ini sudah hampir malam. Aku membuka tasku, mengambil kotak bekal yang dimasukkan Ibu ke tasku siang tadi, di atas tumpukan buku-buku yang harusnya kujual hari ini. “Makan dulu,” kataku sambil mengangsurkan kotak bekal itu. Dia menggeleng. “Aku tak boleh menerima makanan dari orang asing.”“Kamu sudah membaca bukuku dan masih menganggapku orang asing?” tanyaku sambil membuka kotak bekal itu. Di dalamnya terdapat nasi putih dengan lauk bebek goreng dan sambal ijo andalan Ibu. Dan Ibu adalah yang terbaik bagiku, selalu menyediakan daging terbaik untuk anak lelakinya yang sering dipandangnya diam-diam dengan mata menggenang. Jadi, ketika gadis itu kembali menekuri bacaannya, diam-diam kusuwir daging bebek yang empuk dan gurih itu. Kusendokkan dan kusuapkan ke mulutnya. Tanpa sambal karena aku belum tahu seleranya akan rasa pedas. Yang bisa kupastikan, lidahnya cocok dengan masakan Ibu. Karena pada kecapan kedua, dia memandangku dengan tatapan yang sama dengan ketika dia membaca Kekasih Sang Pengacara. Terpana. Lalu berkata,”Ini luar biasa.” Untuk kedua kalinya, aku jatuh sejatuh-jatuhnya pada gadis muda pemilik mata biru itu. “Siapa namamu?” tanyaku ketika dia sudah menghabiskan separuh porsi daging bebek buatan Ibu. Kali ini dia tak lagi kusuapi.“Sri. Namaku Sri,” katanya tanpa memandangku. Tangannya asyik menyiangi daging dan mencolek sambal itu lalu menyuapkannya bersama nasi ke mulutnya. “Sumpah, ini enak banget,” katanya tanpa memedulikan pertanyaanku.“Sri saja?”Dia mengangguk. “Ini nggak dijual di resto?” tanyanya.“Itu kateringan Ibu. Kebetulan tadi ada pesanan.”“Wow … Ini kalau dikemas dengan bagus harganya pasti mahal. Nggak usah jual buku, Mas. Coba tadi nawarin bebek gini seratus porsi, pasti ludes,” cerocosnya. Rupanya dia banyak diam tadi karena lapar. Begitu kenyang, bicaranya bisa disaingkan dengan Mili. Saking gemasnya, kutonyor dahinya ringan. “Niatku jual buku, bukan jual bebek goreng,” sahutku. Dia tertawa berderai. Tawanya renyah dan menular. Kami pun tertawa bersama-sama, lupa akan masalah yang membuat kami bisa bertemu di sini. Tak lama berselang, azan magrib berkumandang. Aku segera mengemasi barang bawaanku, termasuk kotak bekal yang isinya telah tandas. “Aku harus pulang,” kataku. “Bukunya bisa kamu bawa pulang.” Namun, sebelum pulang, kuambil buku itu lalu kucoretkan tanda tangan di halaman depannya. Tak lupa tulisan Untuk Sri. Dia mengangguk. “Semoga sukses,” katanya. Aku bangkit dan berlalu. Meninggalkannya di Malioboro. Dan menganggapnya sebagai orang asing kembali yang kebetulan bertemu dan selanjutnya tak akan bertemu lagi. Sepanjang perjalanan mengendarai sepeda motor butut peninggalan Bapak, yang terbayang di benakku hanyalah tatapannya. Mata biru yang polos dan ekspresif. Gadis muda yang tampak cuek tetapi ternyata sangat peduli. Tak terasa senyumku mengembang. Gadis yang lucu. Penuh semangat. Meskipun tadi sempat kulihat kesedihan membayang di matanya. Namun, ketika kami berpisah, kesedihan itu hilang begitu saja. Pun ketika ia melambaikan tangan kanannya kepadaku, sedangkan tangan kirinya memeluk bukuku di dadanya. Namun, ada sesuatu yang menggelitik hatiku. Mengapa gadis semuda itu sendirian saja ngemper di Malioboro? Biasanya anak seusianya selalu bersama dengan teman atau keluarganya. Namun, mengapa dia sendirian? Sedangkan malam telah datang. Gelap telah tiba. Di mana dia menginap? Oh, mengingat kameranya yang mahal, aku yakin dia bisa menyewa hotel. Tapi mengapa perasaanku tidak enak?Mengabaikan waktu, aku memutar balik sepeda motor bututku. Kembali ke Maliboro, tempat semula kami bertemu. Dan, apa yang kulihat? Gadis itu masih duduk di sana sambil memeluk lututnya. Kepalanya dibenamkan di atasnya. “Dek,” kataku. “Kamu nggak pulang?”Dia mengangkat kepalanya, lalu menggeleng. “Mengapa? Kamu kabur dari rumah?”Dia diam. Lalu menjawab, “Aku mau menyusul kakakku, tapi tak tahu di mana.”“Kakakmu kuliah di sini? Tahu nama kosnya? Ingat nomor HP-nya?”Dia menggeleng. Aku bingung. Mencari seorang mahasiswa di kota ini tanpa alamat yang jelas, apa lagi sudah malam, ketika kampus sudah tutup, tentu saja bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Jadi, aku mengambil langkah nekad. Tentu saja, karena aku tak mungkin membiarkan gadis ini sendirian malam-malam tanpa tempat berteduh.“Ayo pulang ke rumahku. Besok kuantar sampai terminal.”Dan, matanya kembali memandangku dengan tatapan berbinar. Lebih berbinar dari ketika ia membaca Kekasih Sang Pengacara dan makan bebek goreng buatan Ibu. Ibu, tentu saja kaget ketika aku membawa seorang gadis ke rumah. Namun, setelah aku menceritakan kejadiannya, Ibu justru menyambut Sri dengan penuh keramahan. Dan gadis itu, menyambut perhatian Ibu dengan sama ramahnya. Ketika Ibu hanya menyajikan lauk orek tempe, dia bahkan makan lebih lahap ketimbang makan bebek goreng yang tadi kuberikan. Sambil bercerita kepada Ibu bahwa dia tinggal di Semarang. Baru lulus SMP dan ingin mencari kakaknya tetapi lupa membawa HP. Ketika waktu tidur tiba, dia meminta tidur dengan Ibu. Padahal kamar adik-adikku tengah kosong. Tika sedang KKN. Wulan dan Mili menginap di rumah Bulik Hesti. Namun, dia memilih tidur bersama Ibu. Yang sejak tadi dipandanginya dengan raut yang sulit kugambarkan. Mungkin rindu? Tapi mengapa mesti rindu kalau Ibu adalah orang yang baru dikenalnya? Oh, mungkin saja dia tengah rindu kepada ibunya di Semarang dan menganggap Ibu sebagai ibunya.Pagi harinya, sebelum aku mengantarkannya ke terminal, dia sempat membantu Ibu menyiapkan warung. Mengambil alih menggoreng bakwan yang biasanya kulakukan. Membantu melayani pembeli hingga jam delapan. Setelah itu, baru sarapan di ruang tamu. Dengan nasi pecel dan peyek kacang yang ditatanya sendiri. Pada saat yang sama, Bu Min lewat dengan membawa bebek goreng pesanan tetangga sebelah. Tanpa kuduga, Sri meminta Bu Min untuk berhenti sebentar. Kemudian ia mengambil daun pisang dan piring yang memang sudah tersedia di depan. “Buat apa, Mbak?” tanya Bu Min heran.“Sebentar, Bu, tak fotone. Ini bagus,” katanya sambil menyiapkan objek fotonya. “Bu Min nggak kesusu, to?”“Ndak, Mbak. Ini pesanan buat jam sembilan kok.”“Nah, oke,” kata Sri sambil mulai jeprat-jepret. Dari sisi kiri dan kanan. Depan dan belakang. Dari posisi berdiri hingga nungging dan jongkok. “Sudah, Bu Min. Maaf menganggu,” katanya ketika merasa cukup dan kemudian mengatur bawaan Bu Min seperti semula. “Ayo makan,” kataku,” nanti kesiangan sampai di rumah.”“Nggak sabaran mau ngusir aku, Mas,” sungutnya sambil mulai makan. “Itu pecel sudah dipotret juga apa belum?” tanyaku iseng.“Oh, sudah dong,” katanya. “Ngomong-ngomong, ini sebelah rumah Ibu masih ada tanah kosong. Kenapa nggak dibuat kos aja, sih. Kan sayang kalau dibiarkan kosong.”“Itu lahan milik keluarga besar. Nggak enak kalau mesti dimanfaatin. Nanti dikira mau ambil jatah warisan.”“Lho, justru ini pengembangan aset, Mas. Ayah sering bilang kalau kita nggak boleh menyia-nyiakan potensi yang ada. Coba ini ada kosnya, lalu warung Ibu dibuat yang lebih besar gitu. Jangan di teras, supaya kalau hujan nggak tempias. Tapi kalau di bawah pohon jambu itu dikasih kursi-kursi bambu asyik juga, sih.” “Modalnya dari mana, Dek?” tanyaku. “Utang bank? Harus pakai agunan, kan? Iya kalau bisa bayar. Kalau tidak, bisa-bisa rumah ini yang disita bank.”Dia manggut-manggut. “Iya juga, sih,” jawabnya.Ide seperti itu memang pernah singgah di otakku. Namun, kutepis karena lagi-lagi, aku perlu memperhitungkan modal yang harus dikeluarkan. Aku tak mau salah langkah karena di tanganku ada masa depan adik-adikku yang harus kupikirkan juga. Satu hal yang tak ingin kualami adalah terperosok dalam utang yang nantinya membuat kami harus gali lubang tutup lubang. Apalagi mesti terjerat riba. Biarlah hidup kami sederhana, asal tenang karena tak punya utang. Begitu prinsip yang kupegang sampai akhirnya Sri pulang kembali ke Semarang. Hingga seminggu kemudian, datanglah sebuah paket ke rumah kami. Isinya berupa kardus ukuran 15 x 15 dan 20 x 20 bergambar bebek goreng lengkap dengan sambal ijo dan lalapan. Masing-masing 100 eksemplar. Selain itu juga ada kertas bergambar pecel bertuliskan “Waroeng Emak”. Dicetak berwarna dalam bentuk stiker. Dan yang terpenting di dalamnya terdapat CD yang ketika kami buka berisi fail gambar yang bisa kami cetak dan perbanyak sendiri.Semenjak itu, bebek goreng kami dijual dalam kemasan yang lebih elit. Laris manis. Hingga kardusnya dicetak ulang entah berapa ribu kali. Sampai akhirnya warung pecel Ibu bisa beralih ke samping dalam bentuk bangunan permanen dan diberi nama Waroeng Emak. Dan di tanah kosong sebelah rumah bisa didirikan kos mahasiswa yang uangnya untuk kas keluarga besar. Kami memperoleh keuntungan dari banyaknya mahasiswa yang langganan makan di warung Ibu. Ketika akhirnya Om Moyo menemukan aku, warung Ibu sudah sepenuhnya mandiri sehingga bisa kutinggalkan. Ibu memiliki beberapa pegawai, tak hanya Bu Min. Tika membantu manajemennya. Dan aku, bisa fokus memulai kehidupanku sendiri sambil mencari Sri, gadis yang membuat kondisi keluarga kami benar-benar membaik dan stabil.Begitulah. Hidupku kini bisa dikatakan karena perempuan yang kini tengah lelap di sisiku. Meskipun ia mungkin tak tahu seberapa besar pengaruh yang ditimbulkannya terhadapku. Sepuluh tahun mencari, lalu kehilangan sekali. Cukup itu saja bagiku. Selanjutnya, aku akan menjaganya, setia menemaninya hingga maut memisahkan kami. Oh, iya, tentang Ibu, beliau tahu bahwa Didi yang kukenalkan ketika ulang tahunnya adalah Sri yang dulu pernah dikeloninya. Beliau tahu, tapi dengan bijaksana memilih diam hingga akhirnya Didi mau mengaku sendiri di hadapannya. Setelah kami mengaku di hadapannya, beliau memeluk Didi dan menciuminya dengan berurai air mata. Didi yang kutahu kurang mendapatkan pelukan maminya, dengan penuh semangat minta dikeloni lagi sama Ibu. Tentu saja setelah drama penuh air mata itu selesai.“Mas tidur sama Ami dulu, ya,” katanya sambil tersenyum manis. Senyum manis yang bagiku adalah senyum mengejek mengingat kami baru beberapa hari bersama kembali. Dan aku, memilih tidur di sofa karena Ami tidak lagi suka kutemani tidur. Dia hanya suka kalau ada Bidi-nya saja. Untunglah, tengah malam Ibu keluar lalu membangunkanku. “Sudah, sana gantian tidurnya. Didi hanya bisa tidur sambil memeluk jaketmu,” kata Ibu yang kusambut dengan perasaan girang luar biasa.Dan, inilah hidupku kini. Dikelilingi oleh perempuan-perempuan hebat yang menyayangiku dengan sepenuh hati. Setelah ini, apa lagi yang hendak kucari? Tak ada. Cukup bersyukur saja karena hidupku sudah begitu sempurna.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan