'Tak Sejiwa

1
2
Deskripsi

Sore tadi, di meja ini, ada dua raga saling berhadapan namun jiwa mereka 'tak menyatu. Dua gelas kopi dan dua bungkus rokok di tengah mereka. Masing-masing menyimpan beban namun bungkam. Terlalu banyak cerita yang ditunda sehingga bingung harus darimana memulainya. 

Bersama menahun nyatanya 'tak selalu berirama, 'tak selalu sepaham. Ada banyak hal yang lebih baik menjadi beban daripada menjadi keributan. Padahal dulu, hal sepele pun dapat menjadi tertawaan. Dengan bahasa mereka sendiri. Padahal...

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Sempurna
0
0
Aku berpikir, mungkin tidak ada hidup yang sempurna. Disaat Tuhan memberikan kebahagiaan pada satu sisi, aku percaya ada kebahagiaan lain yang sudah Tuhan ambil dari suatu kehidupan. Hidupku, misalnya, aku mempunyai kakek dan nenek yang baik, juga ‘tak pernah kekurangan teman sejak kecil, namun keluargaku hancur. Ibu dan Ayah bercerai saat usiaku 5 tahun. Aku dipaksa untuk mengerti apa arti perpisahan. Aku dipaksa merelakan satu kebahagiaan terbesar dalam hidupku.  .  Aku ‘tak pernah benar-benar mengerti mengapa orang bisa jatuh cinta, lalu menikah, dan akhirnya bercerai. Seolah seluruh alasan yang membuat mereka yakin satu sama lain menjadi tabu lalu hilang, berganti segala caci lalu maki. Aku juga ‘tak pernah mengerti mengapa orang seperti Ibuku dapat bertahan menahun menjalani hubungan dengan rasa sakit dan pertengkaran hampir setiap hari. Yang aku lebih ‘tak mengerti, mengapa ada orang seperti ayahku yang sudah memiliki anak, istri, hidup yang baik, pekerjaan yang layak, lalu tergoda olah perempuan lain, berselingkuh secara terang-terangan, lalu menceraikan ibuku. Sorotan matanya dipenuhi cinta saat melihat perempuan itu, namun penuh amarah jika melihat ibuku, wanita yang pernah membuatnya jatuh cinta, wanita yang pernah membuatnya yakin untuk menikah, wanita yang mengandung, melahirkan, dan mengurus anak-anaknya.  Aku anggap itu semua hanya masa lalu, seperti kataku tadi, mungkin tidak ada hidup yang sempurna. Maka kuanggap masa laluku adalah satu kecacatan dalam kesempurnaan hidup yang sudah Tuhan berikan secara cuma-cuma ini.Kini aku hidup di Ibu Kota, bekerja dan berkuliah dengan biaya yang kucari semampuku disini. Ku kira, hidup di Kota Jakarta adalah harapan bagi setiap orang untuk merubah hidupnya, ternyata kehidupan disini jauh lebih sulit dari yang dibayangkanSore ini, di tempat yang kusuka, masih di Kota Jakarta, namun jauh dari hiruk pikuk kendaraan dan lalu lalang orang, di Kedai kopi daerah Palbatu-Tebet Jakarta Selatan. Sepulang kerja ‘tak ada yang ingin kupikirkan lagi selain kuliah dan mencari uang tambahan agar aku tetap bisa hidup juga membayar kuliahku, dan tentunya agar ibu di Semarang ‘tak khawatir bagaimana aku bisa bertahan hidup di Kota ini. Setidaknya, jika aku tahu ibu baik-baik saja, aku pun akan baik-baik saja.  Lamunanku dibuyarkan oleh suara ponselku. Di layar tertera nama “BOS”, Vice President di kantorku menelepon rupanya. Senyumanku merekah. Mungkin dia menelepon untuk menyuruhku lembur. Lumayan untuk pemasukan tambahan. “Halo, Sore Pak”. Jawabku.Terdengar suara pria setengah baya, “Halo sayangku Nadia, malam ini ada waktu? Istri dan anak-anak saya pergi ke Bandung nih, ngerayain tahun baru, saya kesepian, butuh teman, kamu tenang aja, lemburan kali ini saya kasih sesuatu yang istimewa buat kamu deh, ketemu di lobi hotel biasa ya! ”.  “Oh bisa dong Pak, dua jam lagi saya kesana ya Pak, tanggung nih lagi kerjain tugas kuliah”. Jawabku meminta waktu sebelum akhirnya melayani pria tua genit ini.  “Oke deh, sayangku!”,Pria tua itu pun mengakhiri sambungan teleponnya.  Aku menghela napas. Ah! Ini rasanya ternyata menjadi orang ketiga di rumah tangga orang lain. Merebut waktu dan perhatian seorang Ayah untuk anak dan istirnya, mengambil hak anak dan istrinya. Ironis, bukan?. Aku menganggap masa laluku adalah kecacatan, sekarang aku yang menggores kecacatan di kehidupan orang lain. Setidaknya aku tidak membuat mereka bercerai seperti yang dilakukan oleh wanita itu dulu. Ah! Selalu ada saja pembenaran dari setiap dosa yang dilakukan, pengecut sekali!.  Aku selalu mendengar keluh kesah si pria tua bangka itu tentang rumah tangganya, sebisa mungkin aku melarang pria itu untuk becerai dengan istrinya. Pria itu menganggapku bak ibu peri yang ‘tak mau merusak rumah tangganya dan pendengar yang baik untuknya. Kupikir, jika mereka bercerai, maka si pria tua bangka itu akan memaksaku untuk menikahinya, dan aku terikat padanya, tentu saja aku ‘tak mau. Ternyata pria tua itu begitu polos. Ku bermain peran sedikit saja, dia percaya bahwa aku tergila-gila padanya, bahwa aku mencintainya. Bodoh!.  Setibanya di lobi hotel ponselku berbunyi. Kukira si pria tua bangka itu, ternyata ibuku menelepon dari Semarang.  “Assalamualaikum, Bu”. Sahutku.“Waalaikumsalam nak, lagi apa nak, ibu kangen mau teleponan, ganggu enggak?”, tanya ibuku.  “Yah, bu, Nadia mau lembur dulu ya bu, besok Nadia janji telepon ibu deh”. Jawabku sambil mencari keberadaan si Pria tua Bangka itu di area lobi hotel.  “Yasudah nak, yang bener ya lemburnya, jaga kesehatan, jangan capek-capek lemburnya, besok ibu telepon lagi, Assalamualaikum!”.  “Waalaikumsalam bu!”. Aku pun menutup teleponnya.  Maafin Nadia ya, Bu!  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan