
Setelah mendapatkan cara untuk mendekati Kia, Ikram dan Kia menjadi lebih dekat. Suatu hari Kia mengajak Ikram makan malam di apartemennya. Di tengah obrolan yang seru, tiba-tiba tanpa sengaja Kia mengungkapkan tentang kebenaran yang menyakitkan pada Ikram. Tetapi, seketika itu juga Kia lansung menutup diri, bahkan menutup akses agar Ikram tak bisa lagi mendekatinya.
Tapi, Ikram kan maunya sama Kia. Maka, Ikram pun harus kembali memutar otak untuk bisa mendapatkan kembali akses dirinya kepada Kia.
PART 6 Numb
Satu lemparan bantal kursi mendarat di kepala Kia. Sontak kakak-beradik itu tertawa terbahak mengingat cerita yang baru saja disampaikan Kia. Kak Tara bahkan sempat meneteskan air matanya mendengar cerita Kia.
“Kamu nggak ngarang cerita kan soal cowok ini?” tanya Kak Tara masih sangsi.
Kia terkekeh geli. “Buat apa Kia ngarang?”
“Tapi kasihan juga,” ucap Kak Tara prihatin.
“Memangnya Kakak mau adiknya ‘jadi’ sama cowok ini?” goda Kia.
Kak Tara melirik waspada pada Kia dengan kening mengerut tampak berpikir, tapi kemudian tertawa lagi. “Ya nggaklah.”
Mereka berdua kembali menertawakan hal yang sama.
Beberapa menit yang lalu Kak Tara benar-benar dibuat penasaran mengenai si pengirim pesan via WA tadi. Ketika meminta konfirmasi, Kia malah senyam-senyum sok misterius. Sampai gemas dibuatnya.
“Ayo dong, Dek, kasih tahu Kakak itu siapa?” desak Kak Tara beberapa menit yang lalu.
Sementara itu Kia terlihat menahan tawanya yang membuat mukanya seolah bisa menularkan tawa yang ditahannya. Kak Tara semakin curiga.
“Heh, gebetan kamu ya?” tebak Kak Tara.
Kia tertawa geli. Ia lalu menghabiskan buburnya lalu segera meminum obatnya bersamaan dengan mengunyah pisang.
“Jadi cowok ini tuh namanya ....” ujar Kia tiba-tiba, “Pak Abdulah.”
Kak Tara menoleh dengan kening mengernyit. “Kok manggil ‘Pak’ sih?”
“Ya karena beliau bapak-bapaklah.”
“Aku pikir dia nggak mungkin setua itu sampai-sampai kamu yang rekan kerjanya aja harus manggil ‘Pak’. Atau dia semacam atasan kamu gitu ya?”
Kia menggeleng mantap. ‘Umur Pak Abdulah mungkin sekitar empat puluh lima tahun atau lebih.”
“Wow. Nggak kelihatan setua itu sih.”
“Masa Kia manggil dia ‘Mas’? Kegirangan entar dia."”
Kak Tara tertawa mendengarnya.
“Pak Abdulah ini hmm ... belum menikah, Kak,” lanjut Kia.
Kak Tara terkejut.
“Masih perjaka ting-ting. Eh nggak tahu, ding, masih perjaka atau nggak. Nggak minat ngecek.”
“Gimana ngeceknya, coba!” Jitakan pelan mendarat di kepala Kia. Cengiran terbit lagi di bibir Kia.
“Jadi setiap ada karyawan baru yang masih fresh, sudah pasti dia dekati. Dulu aja pas Kia baru masuk kerja di sana sempat juga didekati Pak Abdulah. Waktu itu Kia terlalu polos. Dia pernah ngajakin Kia makan siang beberapa kali. Terus pernah ngajakin jalan juga. Hmm ...” Pandangan Kia sedikit menerawang mengingat-ingat kejadian waktu dulu. “Dia juga pernah nanya alamat rumah Bunda.”
“Buat apa?” tanya Kak Tara ngeri.
“Buat datang ngelamar, Kak!”
“Seriusan?”
Kia mengangguk. “Tapi kemudian Kia mulai ngeh kalau dia lagi nyari calon istri dan mengira Kia belum menikah waktu itu.”
“Terus pas dia ngajakin kamu makan siang, jalan dan sebagainya itu, kamu iyain?”
“Nggaklah. Waktu itu karena alasannya males aja pergi makan siang berdua gitu. Kalau ajakan jalan tentu aja Kia tolak. Mau bikin si Nando ngamuk, apa? Kia baru ngeh ketika dia tanya alamat rumah Bunda dan bilang ‘Kia, nggak apa-apa kalau hari Minggu nanti saya datang ke rumah orang tua kamu sama orang tua saya?’ Dari situ Kia langsung curiga. Terus Kia jelasin aja kalau Kia sebenarnya sudah menikah. Dia langsung syok dan besoknya jadi canggung gitu kalau ketemu Kia.”
Kak Tara terkekeh geli. “Patah hati itu.”
Kia mengangkat bahunya kemudian melanjutkan. “Dulu pas Kia sama Nando lagi ngurusin perceraian, Pak Abdulah sering nyamperin Kia. Apalagi pas Kia lagi ngopi di pantri, hampir setiap hari mungkin dia ada. Sampai-sampai Kia mikir ‘Gila nih orang, setelah tahu gue lagi ngurus cerai—yang mana gue juga nggak tahu dia tahu dari mana—sekarang jadi rajin nyamperin pas lagi di pantri’. Hapal lagi jadwalnya. Nggak ngerti lagi.”
“Niat banget sampai ngapalin jadwal kamu ngopi di pantri,” sela Kak Tara geli.
“Setiap hari dia menghibur Kia, bilang bahwa ini adalah ujian, belum jodoh sama suami yang sekarang, Allah pasti ganti dengan yang lebih baik; tentunya bilang begitu sambil menyiratkan menunjuk dirinya sendiri.”
Kia jadi teringat kejadian-kejadian itu. Pak Abdulah yang tinggi tegap mungkin akan kelihatan gagah dan ganteng jika saja beliau tidak nyinyir dan jutek. Rambutnya yang selalu kelimis menandakan bahwa ia peduli pada penampilannya meskipun wajahnya biasa-biasa saja. Selalu berbicara dengan nada yang lembut pada Kia, namun selalu ketus jika berbicara dengan orang lain. Selalu memaklumi jika Kia membuat kesalahan di dalam pekerjaan. Tapi, selalu marah-marah kalau yang berbuat salah orang lain.
Hal-hal tentang Pak Abdulah yang dijabarkan Kia barusan mengingatkannya satu hal. Di satu sisi ada laki-laki yang dengan senang hati berperilaku lembut dan menganggapnya istimewa, di sisi lain laki-laki yang dimilikinya sendiri malah ‘membuangnya’. Dada Kia langsung nyeri mengingatnya.
“Kia menghargai niat baik Pak Abdulah untuk menghibur Kia. Tapi lama-lama risi juga dibegituin mulu. Terlebih lagi Kia tahu ada niat lainnya di balik itu semua.”
“Dia masih naksir kamu. Mau nyoba usaha lagi.”
Kia tersenyum getir. “Kelihatan, sih. Kemarin aja pas tahu Kia lagi sakit masa mau langsung nganterin Kia ke rumah sakit. Kan cuma flu doang. Lebay. Udah gitu sebal aja karena kayaknya semua cewek single di kantor dia deketin. Apalagi yang masih baru-baru, jangan harap bisa lepas dari Pak Abdulah, deh. Dikuntit terus!”
“Hihihi. Terus kenapa kamu nggak nyimpen nomornya di ponsel?” tanya Kak Tara.
“Males aja sih. Agak-agak nggak penting gitu.”
“Jahat.”
Kia tergelak. “Kia pernah lebih jahat lagi, lho.”
“Oh ya? Gimana tuh?”
“Dulu sempat mau jodohin Pak Abdulah sama Kak Tara.” Tawa Kia menyembur.
“Apa? Jahat kamu!”
Lalu mendaratlah bantal kursi di kepala Kia. Tetapi mereka masih terbahak.
“Eh, nggak jadi karena waktu itu Kakak tiba-tiba aja udah punya calon suami.”
Dulu Kak Tara dilangkahi nikah oleh Kia. Sehingga membuat Kia merasa harus “menebusnya” dengan memberikan Kak Tara calon suami.
“Jodoh kan nggak ada yang tahu, Dek. Jodoh, kematian, rezeki, semuanya misteri. Kamu yang lebih dulu menikah aja ternyata tidak membuat kamu memiliki anak lebih dulu dibandingkan Kakak, kan?”
“Yeah, right. Tidak berarti juga bahwa pernikahannya lebih langgeng dibanding kakak yang dilangkahinya.”
Kak Tara melihat mata adiknya itu meredup.
“Jujur sama Kakak, kamu masih suka inget sama Nando?”
Binar di mata adiknya lenyap seketika, membuat dia sempat menyesal mempertanyakan hal yang mungkin dibenci oleh adiknya itu. Kia sempat terdiam, tampak berusaha merangkai kata di dalam benaknya untuk menjawab pertanyaan Kak Tara. Beberapa kali mata Kia mengerjap dengan cepat. Kak Tara tahu, itu cara Kia untuk menghalau tangis ketika berada berhadapan dengan orang lain. Tapi kemudian Kia mengangguk lantas tersenyum getir.
“Kadang-kadang,” jawabnya pelan. “Banyak yang bilang bahwa Kia ini bodoh karena masih suka inget sama Nando. Tapi Kia tahu bahwa Kakak bukanlah orang yang judgemental.”
“Kamu tahu kan bahwa Kakak akan selalu ada di pihak kamu.”
“Sesalah apa pun Kia?”
“Everything always happens for a reason. Kakak yakin adik Kakak ini bukan orang yang suka mengambil keputusan tanpa alasan.”
Kia tersenyum lega mendengarnya. Lalu ia sandarkan kepalanya ke bahu Kak Tara seraya memejamkan mata ketika tangan kakaknya mengusap lembut pipi Kia penuh kasih.
“Kamu cuma butuh distraksi aja, Dek, supaya fokusmu nggak ke sana terus.”
“Tapi susah, Kak. Masa Kia harus kuliah lagi supaya nggak kepikiran Nando?”
“Mungkin bisa dimulai dengan ... dating sama Pak Abdulah?”
Kia menegakkan kepalanya, melihat ngeri ke arah Kak Tara yang tengah memamerkan gigi putihnya melalui cengiran lebar. Dua detik kemudian keduanya terbahak berbarengan.
***
Dua belas digit nomor di layar ponsel di hadapannya hanya bisa ia pelototi. Itu nomor ponsel Kia yang sedari tadi ia diamkan. Beberapa jam yang lalu ia sudah hampir mengirim pesan ke WA Kia, tapi tiba-tiba saja ia jadi supersibuk. Website kantornya ada yang meretas. Bosnya, Pak Danil, yang memang selalu panik, menjadi semakin heboh akibat kejadian ini. Padahal jika menghadapi masalah dengan panik, bukankah membuat suasana menjadi lebih tak terkendali? Untungnya Ikram adalah orang yang selalu bisa mengontrol suasana hati dan pikiran. Tentu saja ia tidak ikutan panik seperti bosnya. Dion sampai menggerutu karena Pak Danil dengan heboh menyuruh semua anak buah turun tangan menyelesaikan masalah ini.
“Berisik banget deh bos lo. Kan si Nadine juga lagi ngecek ke server. Kalau kayak gini tuh gue suka pengin nyumpal mulut si bos pake hardisk eksternal!” sungut Dion.
“Nggak muatlah. Hardisk kan kegedean,” timpal Ikram dengan muka datar.
“Iya sih. Tapi kan konteks pembicaraan kita bukan itu!” Dion mendelik tambah sebal.
“Hmm ... iya ya,” ucap Ikram tanpa merasa bersalah. “Nah, gue udah ubah tampilan website jadi maintenance nih. Gue tracing bugs dulu, ya." Ikram langsung melakukan penelusuran kodingan yang bolong, yang membuat hacker bisa menanamkan kodingan tambahan di website.
Setelah semua selesai, Pak Danil memanggil timnya untuk kemudian di-briefing mengenai kejadian yang menurutnya memalukan tersebut. Pak Danil bilang ia sempat kena teguran dari Chief Officer dan berpesan agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Briefing cukup lama karena Pak Danil sambil bercerita ngalor ngidul mengenai divisi mereka yang sangat diandalkan di kantor ini.
Terlihat dengan sudut matanya, di seberangnya Nadine tengah mengulum senyum sambil tangannya mengusap-usap layar ponsel. Pasti diam-diam sambil main ponsel. Sesekali pura-pura memerhatikan Pak Danil berbicara di depan. Kemudian kepalanya kembali menunduk, memerhatikan layar ponsel. Ikram jadi iri dibuatnya. Masalahnya ponsel Ikram terletak nun jauh di mejanya sana dan tak sempat ia genggam ketika Pak Danil mengajak briefing tadi. Dia jadi menyesal tidak membawa serta ponselnya ke mana-mana. Kalau ia memegang ponsel, setidaknya ketika Pak Danil mengomel dan sedikit bercerita, kebosanan yang melanda bisa ia bunuh dengan memainkan ponselnya. Misalnya, mengirim pesan pada Kia, menanyakan kondisi kesehatan perempuan itu.
Tiba-tiba saja fokus Pak Danil beralih ke suasana sekitar kantor. Orang-orang sudah mulai membereskan tempat kerja masing-masing.
“Wah, sudah jam lima ternyata!” serunya.
Ikram, Dion, Rachmat, dan Nadine seakan tersadar dari efek hipnotis. Berbarengan mereka melihat ke sekitar.
“Pokoknya saya titip ya, pantau terus website jangan sampai ada lagi ‘serangan-serangan’. Setidaknya bisa diminimalisir. Saya balik dulu ke ruangan ya. Selamat sore, teman-teman,” pungkas Pak Danil.
Kumpulan lingkaran di tengah-tengah itu bubar seketika, sibuk dengan kegiatan masing-masing yang sempat tertunda tadi. Tak terkecuali Ikram yang kini sibuk membereskan barang-barang dan meja kerjanya. Ia harus pergi sekarang juga, sebelum hari bertambah sore dan kemacetan Jakarta semakin menggila. Ia memutuskan mencari tahu sendiri kondisi Kia langsung ke “TKP”. Ah, persetan dengan nomor ponsel Kia yang sedari tadi menari-nari dalam benaknya! Ia ingin langsung mendatangi Kia agar lepas semua rasa penasaran yang menggelayuti pikirannya. Ia janji tidak akan lama, jika itu bisa membuat Kia terganggu. Asal tahu kondisinya saja ia rasa sudah cukup.
“Gue duluan, guys!” teriak Ikram kemudian melenggang pergi begitu saja.
“Lah, kayak anak gadis ditungguin emak pulang,” ledek Dion.
***
Ikram mengucapkan terima kasih kepada seorang satpam yang membantunya mendapatkan akses lift ke apartemen Kia di lantai dua belas. Dia tidak mungkin menelepon Kia di lobi untuk kemudian minta dijemput supaya bisa masuk ke apartemennya. Kia kan sedang sakit. Lagipula Ikram sungkan, tidak mau membuat Kia terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba di lobi apartemennya kemudian minta dijemput pula. Meski bagaimanapun tindakan impulsifnya ini juga kemungkinan besar akan mengejutkan Kia.
Ketika akhirnya ia sampai di depan pintu apartemen Kia, ia lalu memencet lambang telepon pada nomor Kia di ponselnya. Tak butuh waktu lama untuk nada sambung berganti vokal lembut milik Kia.
“Halo?”
“Halo, Kia. Emm ... ini saya,” ucap Ikram terbata.
“Saya? Siapa?”
Ikram membodohkan dirinya sendiri. “Sa-saya ... Ikram, Ki.” Akhirnya Ikram bisa menyebutkan namanya sendiri.
“Oh, Mas Ikram. Ada yang bisa dibantu, Mas?”
Duh Kia ini, perempuan tapi kok tidak peka sama sekali sih? Gerutu Ikram dalam hati.
“Cuma pengin tahu kondisi kamu. Gimana flunya? Udah mendingan?”
Kia tertawa kecil di ujung sana. “Lumayanlah, Mas. Flunya udah berkurang.” Ada jeda sejenak sebelum Kia berkata, “Eh iya, sweater-nya Mas Ikram masih ada di Kia. Nanti Kia cuci dulu aja ya sebelum dibalikin.”
Ikram tertawa. “Kirain apaan. Hmm ... boleh bukain pintu apartemennya, Ki?”
“Maksudnya gimana?” Ikram menangkap keterkejutan dalam suara Kia. Ia pun terkekeh geli.
“Saya lagi di depan pintu apartemen kamu. Mau jenguk yang lagi sakit.”
Belum satu menit berselang pintu di depan Ikram terbuka. Tampak Kia dengan wajah pucat, rambut tergerai asal, serta kaos dan celana piyama melekat di tubuhnya. Entah kenapa melihat Kia dengan penampilan kacau balau seperti itu masih bisa membuat Ikram terpesona. Wajah yang polos tanpa riasan merepresentasikan kecantikan alami. Seketika Ikram merasa lega setelah melihat wajah itu. Wajah yang ia bayangkan seharian di kantor. Wajah yang selalu ingin ia lihat setiap hari. Wajah yang menjadi motivasinya untuk berangkat kerja ketika malas mendera. Wajah yang tidak ingin ia lihat ada kesedihan di dalamnya. Wajah Kia. Perempuannya.
Perempuannya? Ngarep!
Keduanya sama-sama mematikan sambungan telepon di ponsel.
“Hai. Ini saya bawain makanan.” Ikram mengangkat sebelah tangannya yang sibuk memegang kantung kresek bening berisi Pablo Cheese Tart dan parsel buah ... pisang?
Kia mengernyit, namun tidak bisa menyembunyikan kelucuan yang disodorkan Ikram.
“Banyak banget pisangnya. Makasih ya,” ujar Kia menahan tawa lalu mengambil makanan yang diberikan Ikram.
Sementara ia sibuk menyimpan makanan yang dibawa Ikram di dapur di dekat pintu di mana mereka berdiri, Ikram masih terdiam di luar apartemen Kia. Hal itu membuat Kia menepuk keningnya pelan.
“Ayo masuk, Mas.”
Ikram memamerkan giginya melalui cengiran lebar. Kemarin waktu pertama kali berkunjung ke sini saat mengantar Kia pulang juga begitu. Tuan rumah hampir lupa mempersilakan tamunya masuk. Hal itu membuat Ikram geli.
Ikram masuk. Tanpa sengaja matanya tertumpu pada pisang yang tergeletak di meja makan di dapur. Bukan pisang yang ia berikan barusan. Tapi pisang yang ia belikan kemarin malam. Pisangnya tinggal sisa tiga buah. Ikram takjub karena ia membelinya cukup banyak kemarin.
“Kamu ini emang doyan pisang atau minum satu tablet obat harus diiringi makan beberapa buah pisang?”
Kia sadar apa yang dibicarakan Ikram. Ia pun tertawa renyah. “Kalau nggak dihabisin nanti keburu busuk. Kasihan yang udah beliin. Kia nggak suka mengecewakan orang, itu perbuatan tercela soalnya.” Padahal sebagian pisangnya diminta oleh Kak Tara tadi siang sebelum kakaknya itu pulang. Sengaja disisakan hanya tiga buah untuk Kia minum obat.
Ikram terkekeh. “Berasa lagi pelajaran PKN ada kata ‘tercela.”
Kia tersenyum dan mempersilakan Ikram duduk sementara dirinya membuatkan teh untuk Ikram.
“Ini ceritanya kan saya yang jenguk orang sakit, malah jadi ngerepotin kamu begini. Nggak disuguhi minum juga nggak apa-apa kok,” ucap Ikram.
"Nggak bolehlah. Masa ada tamu tapi nggak dijamu. Durhaka sama tamunya.”
Setelah selesai membuat teh, Kia lalu memotong-motong Pablo Cheese Tart yang diberikan Ikram, dan menyuguhkannya juga untuk Ikram.
Ikram terkekeh geli. “Kunjungan ini berubah judulnya menjadi ‘Dari saya. Oleh saya. Dan untuk saya,’” canda Ikram menunjuk Pablo Cheese Tart di depannya.
“Jadi kayak tagline Pemilu deh. Maaf ya, Kia lupa ternyata stok cemilan di stoples udah abis dan belum sempat beli lagi. Nggak apa-apa kan disuguhin ini?” Kia beralasan, nyengir.
“Tuan rumah mah bebas!”
Kia tertawa, menertawakan dirinya sendiri yang merasa gagal menjamu tamu.
Ia kemudian membereskan barang-barang yang berserakan di sekitar meja seperti ponsel, laptop, earphone, novel, bahkan ada gitar terbaring di kursi di samping Ikram. Setelah itu baru ia duduk di kursi yang telah dibereskannya itu.
Satu seruput teh diselesaikan Ikram sebelum bertanya pada Kia, “Masih ngerasa nggak enak badannya?”
“Lemas aja sih. Sama batuknya masih ada, agak mengganggu. Jadi daripada ke kantor cuma bisa nularin ke yang lain, mending nggak masuk aja.”
“Kamu yang sakit kok jadi kamu yang empati sama orang lain?”
“Biar nggak egois aja sih, Mas. Meskipun dalam hal ini Kia yang seharusnya mendapat ‘simpati’ misalnya, tapi Kia juga harus peduli sama orang lain.”
Aduh, Ikram jadi pengin bawa Kia pulang kalau begini.
“Kenapa harus peduli?”
“Setiap orang memiliki hak yang sama kan, Mas? Seperti misalnya permasalahan asap rokok. Seharusnya perokok aktif punya rasa empati sama perokok pasif, karena setiap orang memiliki hak untuk menghirup udara bersih yang bebas dari asap rokok. Itu sih salah satu contohnya,” papar Kia sambil mengangkat bahunya.
“Nyindir saya nih. Saya kan merokok.”
Kia tertawa. “Aduh nggak, bukan gitu. Lagian karyawan di kantor kita udah tertib kok soal merokok. Kia yakin Mas Ikram kalau merokok suka pergi ke depan lobi itu kan?”
Ikram mengangguk. “Di luar, di depan lobi, di samping tempat sampah. Itu kan, smoking room. Meskipun namanya ‘room’ tapi nggak ada ruangannya, tuh.”
“Memang harus ada ruangannya? Biar apa?” tanya Kia.
“Supaya asapnya nggak ke mana-mana. Kalau di ruang terbuka begitu bukannya si asap berpotensi terbang ke mana-mana? Menjangkau perokok pasif lebih luas. Kan lebih kasihan.”
Kia mengangguk, membenarkan perkataan Ikram. “Bener juga. Seharusnya kalau para perokok sudah mau ngikutin aturan larangan merokok, kantor juga sekaligus mengakomodir mereka dengan menyediakan ruangan khusus untuk merokok, ya.”
Ikram tersenyum memerhatikan wajah serius Kia saat membahas permasalahan rokok. Entah kenapa ia merasa terhipnotis. Matanya sangat enggan ia palingkan. Masih betah menatap Kia.
Ditatap begitu oleh Ikram, Kia jadi salah tingkah dan dengan impulsif mengedarkan pandangannya ke arah lain. Ada hening yang mengganggu, membuat keduanya merasa canggung.
Orang bilang jeda itu penting agar orang lain dapat menangkap dengan jelas apa yang kita sampaikan. Tapi jeda yang tiba-tiba seperti ini bukannya membuat maksud masing-masing tersampaikan tapi malah menimbulkan perasaan tersiksa. Keduanya dilanda canggung dan seketika pikiran mereka kosong, tidak tahu apa lagi yang akan mereka bahas selanjutnya. Mendadak bodoh.
Sebenarnya kecanggungan Kia muncul ketika ia menyadari bahwa Ikram menatapnya dengan mata yang ramah dan senyum yang tidak bisa Kia prediksi itu jenis senyuman apa. Ia jadi cemas, jangan-jangan mukanya jelek sekali sore ini.
Sementara Ikram, kecanggungannya muncul ketika sedang asyik-asyiknya memerhatikan wajah Kia yang bikin betah ditatap itu tiba-tiba berhenti berbicara, memandang ke arah lain sambil sesekali meliriknya singkat. Saat itu juga ia langsung menunduk, malu.
“Hmm ....” Ikram menggumam tak jelas sambil menyisir area sekitar. “Kamu tinggal sendirian di sini?” tanyanya. Akhirnya ia mendapatkan kembali kemampuan bertanyanya.
“Iya.”
“Sama sekali nggak ada siapa gitu? Saudara misalnya.”
Kia menggeleng. “Nggak.”
Ikram mengangguk seolah mengerti yang diucapkan Kia. “Tapi aman kok.”
Kening Kia mengernyit tak mengerti. “Maksudnya?”
“Pasti di sini bebas dari nyamuk.”
“Ha?”
“Nyamuk juga males kali harus terbang 12 lantai untuk masuk ke sini. Keburu capek.”
Seketika tawa Kia menyembur. “Jayus abis, sih!”
“Jayus tapi ketawa,” bantah Ikram, ikut tertawa.
“Gimana kantor hari ini?” tanya Kia dengan sisa-sisa tawanya.
“Kantor masih buka. Masih bisa menghasilkan uang untuk menggaji karyawannya. Saya masih suka diteleponin orang untuk diminta benerin jaringan internet. Terus ... Lidya juga masih naksir berat sama Rachmat.”
Kia tertawa geli. "Yang terakhir itu ikon banget. Lucu."
Ah masih lebih lucu kamu, Kia.
“Dan Rachmat juga masih usaha aja untuk nolak Lidya. Yaaah ... kantor hari ini masih normal. Masih sama seperti terakhir kali kamu masuk kok.”
Kecuali hidupnya yang tidak akan sama lagi jika Kia tidak ada, batinnya.
Kia terkekeh geli.
Jeda menghantam lagi sebelum mata Ikram menyadari gitar yang tersandar di samping sofa yang ia duduki.
“Kamu bisa main gitar?” tanya Ikram takjub seraya mengambil gitar itu.
“Dikit. Kunci-kunci dasar aja. Abis dari siang bosen."
Alis Ikram terangkat, tertarik dengan ucapan Kia. Senar-senar gitar yang terpasang regang itu ia petik satu persatu. Kia memerhatikan dalam diam. Mendengarkan suara petikan gitar yang mengalun lembut, meskipun tidak tahu lagu apa yang dimainkan Ikram.
Suara petikan gitar itu terhenti di tengah-tengah. Ikram mengangkat tangan kirinya, memerhatikan jari-jarinya yang memerah akibat menekan senar gitar. Sudah lama sekali sejak ia memainkan gitar, sehingga jarinya masih harus menyesuaikan ketika bermain lagi.
“Kalau sudah lama nggak main, pas pertama kali main lagi, jarinya pasti sakit,” jelas Kia seolah Ikram tidak tahu.
Ikram menyentuh jari-jari tangan kirinya yang sakit dengan ibu jarinya. Ada bekas tapak senar di sana yang membuat jari itu perih.
Bak terhipnotis, Kia ikut memerhatikan jari-jari tangan kirinya. Tidak perih sama sekali. Tapak senarnya pun sudah hilang lama karena ia sering memainkan gitarnya. Sementara tapak senar yang membuat perih itu telah berganti menjadi kulit yang mengeras dan membuat jari-jarinya kini kebal terhadap rasa sakit.
“Pertama kali Kia main gitar lagi juga begitu. Luka, perih, sakit, sampai-sampai ingin mengelupaskan kulitnya.”
Ikram mengangguk, setuju dengan pendapat Kia. “Kulit yang luka itu nantinya akan mengeras untuk melindungi bagian yang terluka,” jelas Ikram.
Tapi Kia menggeleng. Ibu jari tangan kirinya menyentuh secara bergantian kulit jari-jari tangannya yang mengeras.
“Kulit yang mengeras itu bukan untuk melindungi bagian yang terluka. Namun, ketika kulit yang terluka ini sembuh ia akan menjadi keras dan mengurangi kepekaan si bagian tubuh bekas luka itu. Numb. Entah tidak merasakan lagi sakit atau menjadi tidak peka sama sekali terhadap apa pun.”
Ikram tertegun melihat Kia memandangi jari-jari tangannya dengan mata sendu. Lalu kenapa hatinya ikut pilu?
PART 7 Melihat Perkembangan Perasaan
Tangannya yang sedari tadi sibuk menggeser-geser mouse, kini bergeser menyeret mug merah berisi kopi di atas meja. Keningnya mengernyit ketika mulutnya hendak menyeruput kopi, namun yang ia seruput hanyalah angin belaka. Kopi di mugnya habis. Ia menghela napas lelah. Menumpukan sorotan matanya pada penunjuk waktu di bagian bawah kanan layar monitor komputernya. Pukul 11.30. Matanya letih, butuh pemandangan lain selain deretan angka dalam tabel-tabel pada Microsoft Excel di hadapannya. Kemudian ia memilih mengecek ponselnya ketimbang melanjutkan mengotak-atik tabel-tabel angka itu. Ada notifikasi WA yang dengan segera ia buka.
Dari Ikram.
Ikram Salman: Padang atau warung Cirebon?
Kia tersenyum membacanya. Pesan-pesan WA semacam itu sudah menjadi hal rutin yang ia terima beberapa hari terakhir ini. Hampir setiap hari Ikram mengajak makan siang di luar dan anehnya ia tidak pernah menolak satu pun dari ajakan-ajakan itu. Sampai-sampai ia khawatir pendapatan tambahan OB yang sering ia mintai tolong membelikan makan siang akan berkurang. Ia malah sempat merasa tidak enak ketika Sudin, OB di kantornya, menghampirinya di meja dan bertanya mau dibelikan apa lalu Kia hanya menjawab, “Sori ya, Din. Saya makan siang di luar hari ini.” Dan uang tip jatah Sudin pun melayang.
Kia Amanda: Mau ngajak liburan maksudnya?
Canda Kia membalas chat Ikram.
Ikram Salman: Emangnya mau?
Kia langsung mengernyit. Bingung ditodong begitu. Tadinya dia yang ingin mencandai Ikram, tapi malah dirinya sendiri yang dibuat bingung.
Ikram Salman: Eh tapi kejauhan ah. Saya ganti jadi, Tanah Abang atau Ancol? =D
Kia tertawa membacanya.
Kia Amanda: Nah kalau makan siang ke Tanah Abang atau Ancol malah lebih jauh =)
Ikram Salman: Ya udah kalau gitu ke warung Padang aja ya? Saya lagi pengin makan otak
Kia Amanda: Serem ih. Nanti jangan kepengin makan orok ya, Mas. Susah nyarinya =P
Ikram Salman: Orok ikan masih boleh kan, Ki? Pliiisss ....
Kia tertawa-tawa sendiri sambil geleng-geleng kepala.
Kia Amanda: >.<
Ikram Salman: Hahaha
Ikram Salman: Seperti biasa ya, Ki, jam 12 di lobby =)
Kia Amanda: Oke
Kia lalu mengambil mug merah yang telah tandas isinya itu lantas berjalan menuju pantri dan menyimpan mug bekas kopinya ke wastafel. Ketika akan membuka pintu untuk keluar dari sana, tiba-tiba saja pintunya terbuka lebih dulu. Muncul Pak Abdulah di baliknya, tersenyum mendapati Kia.
“Hai, Kia.”
“Eh Pak Abdulah.” Kia berusaha sopan, meskipun ia tahu bahwa jika Pak Abdulah sudah mengajaknya ngobrol pasti basa-basinya lama.
“Lho, Kia mau ke mana? Nggak makan siang?” tanya Pak Abdulah.
“Bapak mau makan siang ya, Pak?”
“Tadinya mau nemenin Kia makan siang di sini.”
“Kok tahu saya lagi di pantri, Pak?” tanya Kia ngeri.
“Saya kan lihatin Kia tadi masuk sini. Saya pikir pasti sudah mau makan siang. Makanya saya samperin.”
“Lihatin saya banget?”
“Iyalah!”
Stalker nih orang!
“Hayu atuh kita makan. Saya sudah beli nih.” Pak Abdulah mengacungkan plastik berisi nasi kotak.
Kia mengernyit. Dilirikkannya matanya pada plastik bening di tangan Pak Abdulah.
“Cuma satu, Pak?” Usahanya untuk membuat Pak Abdulah mengurungkan niatnya.
Pak Abdulah menggaruk-garuk kepalanya malu. “Iya.”
Kurang niat nih pedekate-nya.
“Tapi porsinya banyak kok. Jadi kita bisa makan satu kotak berdua.” Pak Abdulah menyeringai, membuat Kia merinding.
Kalau ini niatnya kebangetan!
“Makasih, Pak. Tapi takutnya nanti Bapak nggak kenyang kalau makanannya dibagi sama saya.”
Kia berhasil keluar dari pantri, tetapi masih tertahan oleh obrolan Pak Abdulah di ambang pintu.
“Nggak apa-apa. Saya ikhlas. Yuk!”
Tanpa terduga ada Ikram lewat sehabis dari toilet di samping pantri. Melihat Kia di sana, Ikram pun berhenti sebentar untuk menyapa. Sekonyong-konyong Pak Abdulah melotot padanya. Ikram hanya bisa menelan ludahnya.
Kia yang menyadari celah tersebut, langsung merangkul lengan Ikram. Baik Ikram maupun Pak Abdulah keduanya terkejut melihat hal itu.
“Maaf ya, Pak. Saya sudah janjian sama Mas Ikram dari seminggu yang lalu.” Kia melemparkan cengiran lebar pada Pak Abdulah. Alasannya sedikit ngaco. Sementara itu si bujang lapuk malah manyun.
“Kami duluan ya, Pak,” pamit Ikram sopan kemudian mereka berdua segera melesat meninggalkan Pak Abdulah yang sampai sekarang masih melemparkan tatapan benci pada Ikram.
“Pedekate-nya nyeremin,” gumam Kia lebih kepada dirinya sendiri, namun Ikram mendengarnya dan langsung tersadar pada tangannya yang masih dirangkul Kia. Kia pun dengan refleks melirik pada tangan mereka. Bagai tersengat listrik, Kia langsung melepaskan rangkulannya, pun Ikram yang sedikit menjauh. Seketika mereka berubah canggung.
Ingin rasanya Kia mengucapkan terima kasih atas bantuannya untuk menghindar dari Pak Abdulah barusan. Namun, ia ragu dan malu.
“Hmm ... mau langsung ke bawah?” tanya Ikram canggung.
Kia menoleh pada Ikram dengan alis terangkat, baru teringat bahwa mereka berniat makan siang bersama. “Oh? Mas tunggu di lift aja.”
“Oke.”
Mereka berdua berpisah untuk pergi ke meja masing-masing mengambil beberapa barang yang diperlukan seperti dompet dan ponsel. Tak berselang lama keduanya berkumpul di tempat yang telah dijanjikan tadi.
“Yang tadi itu ....” Ikram berusaha tidak kepo ketika akan membahas kejadian di pantri tadi.
“Makasih ya, Mas,” potong Kia tulus.
Ikram terkejut.
“Tapi, kamu nggak diapa-apain kan tadi?” tanya Ikram yang kini khawatir.
Kia tertawa kecil. “Nggak kok. Pak Abdulah baik. Cuma tadi ngeselin aja karena maksa makan siang bareng.”
Ikram mengangguk. Lift berbunyi menandakan mereka telah sampai di lobi. Keduanya pun keluar. Embusan dingin AC langsung berganti dengan hawa panas ketika kaki mereka menapak di aspal.
“Agak risi aja sih tadi. Mas Ikram ngerti mungkin, perempuan seperti Kia lebih berpotensi menimbulkan gunjingan di lingkungan sekitar jika terlihat melakukan hal-hal yang tabu.”
Kening Ikram mengernyit tak suka mendengar kata-kata “perempuan seperti Kia”.
“Bahkan ketika kamu lagi sama saya?” tanya Ikram.
“Hmm ... beda, Mas. Orang-orang biasanya lebih tertarik menggunjingkan hal ganjil dengan hal ganjil lainnya.”
“Misalnya?”
“Ya, Kia ‘bekas istri orang’ kemudian Pak Abdulah bujang lapuk,” ucap Kia mengangkat bahunya. “Orang-orang pasti lebih tertarik menyimpulkan sesuatu.”
“Jadi kamu takut digosipin?”
Kia tertawa. “Nggak. Cuma status yang Kia sandang sekarang ini konotasinya selalu negatif. Coba Mas bandingkan konotasi janda dengan duda. Janda itu maknanya lebih banyak ke negatif. Apa pelengkap kata yang cocok untuk bersanding dengan kata ‘Janda’? Paling juga janda kembang."
Tanpa diduga Ikram malah tertawa. Entah kenapa ia langsung teringat film-film horor Indonesia zaman dulu yang biasanya dibintangi oleh Suzana.
“Terus kalau dengar kata duda dengan mudah orang-orang mengistilahkan menjadi ‘Duren’. Duda keren. Jomplang banget!”
Mereka tertawa.
Tak terasa akhirnya mereka tiba di warung makan Padang di samping kantor. Warungnya masih belum ramai. Biasanya pukul dua belas lewat baru mulai ramai.
Ikram menghampiri bapak-bapak di dekat etalase untuk memesan.
“Bang, ada otak?” tanya Ikram.
Dengan cepat Kia menyela, “Selow aja kenapa?”
Ikram terkejut mendengarnya. Salahnya apa?
“Ha?” Alisnya terangkat, kebingungan.
Kia mengulum senyumnya, membiarkan Ikram berkutat dengan rasa bingungnya.
“Si Nengnya jahat deh. Masa Masnya dibecandain begitu. Kasihan sampe kaget gitu,” ucap Abang Padang sambil tertawa.
“Tuh kan gitu, deh,” gerutu Ikram.
Kia tertawa. “Habisnya, Mas nanya ada otak atau nggak, tapi nadanya ngegas. Kayak ngajak berantem, tahu nggak.”
Kia masih tertawa dengan wajah jahil. Hal itu membuat Ikram semakin gemas padanya. Ingin sekali mencubit pipi Kia.
“Awas lho, nanti kualat,” ucap Ikram pura-pura mengancam.
Kia membalas dengan berpura-pura takut. “Aduh. Ampun, Mas. Nggak lagi-lagi deh ngerjain orang tua.”
“Heh! Saya belum tua ya,” protes Ikram. Mereka berdua tergelak.
“Terus apa? Senior?”
“Matang.”
Gelak tawa menyeruak kembali dari mereka.
“Jadi nih, Mas, makan pake otak?” potong si Abang Padang meniru nada bicara Ikram tadi.
“Iyalah, Bang. Kalau nggak pake otak saya cuma bisa cengo doang nanti, kayak orang bego.”
“Hahaha. Ngambek!”
Mereka berdua kemudian menyelesaikan pesanan dan langsung duduk di meja paling pojok. Tak lama si Abang Padang mengantarkan pesanan mereka ke meja.
Sambil melahap makanan masing-masing, tak sengaja Ikram melihat sebuah pamflet iklan madu di dinding di samping meja mereka. Layaknya orang yang tak ada kerjaan, iseng ia baca iklan tersebut.
“Madu alami nih, Ki. Asli dari Perhutani katanya.” Ikram menunjuk pamflet di sampingnya.
“Oh ya? Tapi suka banyak yang palsu,” tanggap Kia.
“Mau tahu nggak cara bedain madu asli dan madu palsu?”
“Emang gimana?”
“Pertama, simpan madu dalam gelas, terus masukkan ke kulkas. Kalau beku, berarti madu palsu,” papar Ikram serius.
“Hmm. Terus?"
“Yang kedua, masukkan madu ke dalam cangkir lalu simpan di meja, kalau disemutin itu berarti madu palsu.”
“Oke. Lalu?”
“Yang ketiga, bawa madu ke rumah. Kalau ada parade piring terbang, itu berarti madu asli!”
“Hahaha. Dodol banget! Serius dong, Mas!” Kia terbahak lalu memukul lengan Ikram. “Kia udah menyimak, tahu.”
Entah kenapa Ikram sangat senang melihat Kia tertawa. Tawanya yang menggelegar diikuti gerakan refleks tangannya yang memukul lengan Ikram membuat Ikram tak bisa menghentikan letupan kembang api di dalam dadanya. Jarang sekali ia lihat Kia tertawa lepas seperti ini. Dan bisa menikmati hal langka ini adalah sebuah anugerah bagi Ikram. Mungkin Ikram hiperbolis, tapi setidaknya ia bahagia melihat perempuan yang disayanginya bahagia.
Iya, ia mulai menyayangi Kia entah apa alasannya. Perasaan itu muncul begitu saja. Malah sekarang timbul keinginan yang kuat untuk bisa melindungi Kia dari segala macam hal yang bisa membuat Kia sedih.
“Mas Ikram ini orangnya jayus. Berusaha ngelucu tapi hasilnya nggak pernah lucu.”
“Nggak lucu tapi ketawa itu maksudnya gimana, Ki?” sindir Ikram.
“Sebenarnya jokes-nya Mas itu sama sekali nggak lucu jika dibandingkan dengan jokes-nya stand up comedy. Ini sih Kianya aja yang menaruh standar rendah pada setiap joke," elak Kia menahan tawa.
Ikram mencibir. “Jangan lupa, kamu juga orangnya receh banget.”
“Hahaha.”
Dan Ikram melihat sebuah warna memancar dari wajah Kia. Warna keceriaan yang biasanya tenggelam dalam mata sendunya.
***
“Ehem!” Dinda, teman satu kubikelnya berdeham di belakang Kia. “Dari tadi ngaca terus, Ki. Untung tuh kaca nggak pecah."
Kia langsung menghentikan kegiatannya bercermin pada kaca ruangan Bu Ifa. Mereka berdua baru saja keluar dari ruangan atasannya itu, selesai briefing kecil-kecilan untuk membicarakan kegiatan outing kantor yang akan diselenggarakan sebentar lagi.
“Gue nggak lagi ngaca,” elak Kia.
“No wonder sih kalau lo jadi sering ngaca begitu. Gaya rambut baru.” Dinda terkekeh.
Kia manyun. Memang sih ia baru saja mengubah gaya rambutnya, tapi tidak signifikan. Hanya memberi poni dan memotong sedikit rambutnya.
“Tuh, ada yang lihatin,” seru Dinda menunjuk ke ujung lorong, di depan ruangan server.
Dengan refleks Kia mengalihkan pandangan pada arah yang ditunjuk Dinda. Ada Ikram sedang berdiri sambil tersenyum pada mereka berdua. Kia langsung salah tingkah. Mereka lalu berjalan menuju meja masing-masing.
Dinda terkekeh di sebelahnya. “Ada apa sih lo sama Mas Ikram?” tanya Dinda.
“Eh? Nggak ada apa-apa.”
“Nggak percaya. Akhir-akhir ini lo sering pergi berdua gitu sama dia.”
“Dih, kayak lambe turah aja lo, tahu segala-galanya.”
Dinda terkekeh. “Nggak apa-apa, lagi. Mas Ikram lumayan. Orangnya juga kalem dan nggak macam-macam. Embat aja, Ki, sebelum keduluan si Cindy.”
Mendengar nama Cindy disebut-sebut Kia malah tertawa. Juniornya yang superlebay itu memang kentara banget kalau sedang naksir Ikram. Namun, ia sama sekali tidak menganggap Cindy saingan. Karena ... entahlah. Iajuga masih abu-abu terhadap apa yang terjadi antara dirinya dan Ikram. Di satu sisi ia menganggap kedekatannya dengan Ikram adalah hal yang wajar sebagai teman satu kantor, tetapi di sisi lain kenapa hal itu justru membuat Kia selalu merasa senang sampai-sampai kemarin malam dengan impulsif dirinya tiba-tiba ingin mengubah gaya rambut setelah bertahun-tahun tidak pernah melakukan apa pun terhadap rambutnya itu.
Menjelang sore Kia mampir ke klinik untuk pura-pura berobat. Dan Febby merasa surprise Kia datang dengan wajah berseri-seri dan gaya rambut baru.
“Mau berobat kok semringah gini? Jadi curiga,” ujar Febby menghentikan kegiatannya mengetik sesuatu di komputer ketika melihat Kia melongokkan kepalanya setelah mengetuk pintu ruangan Febby.
“Terus itu lapangan sepak bola dikemanain?” tanya Febby menunjuk kening Kia yang biasa terekspos kini tertutup poni cantik.
Kia manyun ada orang yang menyinggung gaya rambutnya lagi.
“Ada keluhan apa kali ini, Mbak?” tanya Febby bergaya khas dokter yang sedang memeriksa pasiennya.
“Ehem. Begini, Dok.” Kia memulai seolah sebagai pasien. “Apakah perasaan senang yang terus menerus dirasakan, memiliki efek samping yang buruk bagi kesehatan?” tanya Kia dengan nada sok serius.
Febby pura-pura berpikir. Mengusap-usap pelan dagunya, bak profesor yang tengah merumuskan sebuah formula baru. “Tergantung. Yang menyebabkan perasaan senang ini apa? Duit? Jabatan? Atau apa?”
“Kalau subjek?”
Febby mengerutkan kening. “Subjeknya perempuan atau laki-laki?”
“Ya kali perempuan!” pekik Kia tak terima.
Febby tergelak. “So, who's that lucky guy?” tanya Febby sok tahu.
“Namanya Ikram, anak divisi IT.”
“Gue pernah dengar nama itu dari lo beberapa waktu lalu. Gue nggak tahu kalau ternyata hubungan kalian berlanjut.”
"Aduh, hubungan apa sih? Gue aja masih meraba-raba ini jadinya mau kayak gimana."
"Woah, udah main raba-raba segala."
"Sinting!"
Febby tertawa. "Kayaknya ini gejala meriang deh, Ki."
“Hah? Maksudnya?”
“Merindukan kasih sayang. Sudah lama kan lo jarang dibelai.” Febby kembali tergelak.
Refleks Kia ikut tertawa mendengar candaan erotis Febby.
“Najis banget istilah lo. Kayak gue janda macam tante-tante girang sosialita aja! Dan ingat ya, gue bukannya jarang dibelai, tapi jarang membelai!”
“Ya take and give, lah. Terus, gimana sama Mas Ikram ini?” tanya Febby mulai kepo.
Kia mengedikkan bahunya. “Gimana, ya? Dia baik banget sama gue. Pertamanya karena nggak enak dia udah banyak bantuin gue. Tapi lama kelamaan gue jadi kayak punya hidup baru, Feb. Hidup yang sudah lama nggak gue rasakan.”
“Hmm. Apakah menimbulkan perasaan berbeda? Lalu, apakah degup jantung selalu berdetak lebih cepat dari biasanya kalau sedang bersama dia?” tanya Febby tampak serius layaknya melakukan pemeriksaan pada pasien.
“Memangnya harus gini kalau curhat sama lo? Harus selalu anamnesis dulu?” tanya Kia sewot.
“Ih, sensitif banget, deh. Efek jatuh cinta apa?”
Kia termenung sejenak mendengar perkataan terakhir Febby. Salah nih, kayaknya.
“Seharusnya nggak, Feb. Ah, nggak ngerti! Gue bingung!”
“Tapi perasaan lo jadi lebih baik nggak setelah ada orang ini?”
Kia berpikir sejenak, mengingat-ingat lagi. “Gue jadi merasa punya tempat bersandar lagi, Feb. Bukan dalam artian yang lebih serius. Cuma, gimana sih rasanya, ketika lo sudah lama berlari, capek, kemudian nemu tembok yang bisa lo senderin buat rehat sebentar?”
“Terus habis itu lo lari lagi dan mengabaikan tembok yang udah bikin lo lebih baik itu?”
“Nah itu! Gue harus gimana?”
Febby menatap dalam mata Kia. “Dia kan sudah baik sama lo. Bikin hidup lo lebih baik juga. Mungkin lo bisa membalas jasanya dengan perlakuan yang baik sama dia? Gimana kalau lo ajak jalan berdua? Atau makan malam misalnya? Biar lebih intim juga untuk melihat perkembangan hubungan kalian. Terlebih lagi untuk melihat perkembangan perasaan lo. Dari situ mungkin lo bisa memutuskan langkah selanjutnya harus seperti apa.”
Kia tercenung. Tak lama kemudian lalu berdiri hendak pergi dari ruangan Febby.
“Eh, kok udahan? Ini mau gue tulisin resep sekalian nggak?” teriak Febby memanggil Kia yang hampir mencapai pintu. Padahal resep apaan? Sakit pun tidak si Kia itu, batin Febby.
Kia berbalik, tersenyum penuh arti. “Nggak usah, Dokter. Makasih ya!”
Febby tertawa melihat tingkah Kia. Ia senang Kia perlahan sudah mulai kembali pada dirinya yang dulu. Dan ia serius ketika berharap laki-laki bernama Ikram ini bisa membuat sahabatnya kembali merasakan cinta dan melupakan masa lalunya.
***
Beberapa menit yang lalu Kia sudah memutuskan untuk melupakan yang namanya urat malu ketika bertanya keberadaan Ikram pada teman satu kubikel laki-laki itu. Namun, ia berubah gugup saat menghampiri ruang server di ujung lorong. Padahal yang ia hampiri baru sebuah ruangan bukan orangnya langsung.
Dengan ragu ia berjalan perlahan menghampiri ruangan yang dinginnya bisa membuat orang masuk angin jika berlama-lama diam di dalamnya itu. Tampak sebagian tubuh Ikram terlihat sudut matanya di celah pintu ruangan server. Sebenarnya Kia malu setengah mati. Apalagi teman-teman Ikram yang bergerombol itu kompak sekali memerhatikan dirinya di area kubikel mereka di sana. Bertingkah seperti suporter militan klub sepak bola yang tengah menunggu dengan gemas klub idolanya mengegolkan bola ke gawang lawan.
Duh, Kia malu. Ia merasa canggung. Ketika ada bariton yang memanggilnya jantungnya berdegup semakin kencang.
“Kia? Ngapain kamu di situ?”
“Eh? Hmm....” jawab Kia terbata. Otaknya mendadak kosong.
Ikram berjalan menghampiri dan berhenti di ambang pintu. Kepalanya menunduk, mencari-cari mata Kia yang perempuan itu sembunyikan dengan mengalihkan penglihatannya ke segala arah.
“Kenapa, sih?” tanya Ikram bingung.
Kia masih sulit mengungkapkannya. Jantungnya malah berdebar hebat.
“Omong-omong, rambut barunya bagus,” ucap Ikram tulus.
Kia langsung menyentuh rambutnya, mencari-cari anak rambut yang mencuat keluar untuk ia selipkan di balik telinga. Otomatis aliran darah dalam tubuh Kia berdesir cepat. Mukanya serasa memanas.
Ikram tersenyum gemas. Ingin sekali bertanya, boleh nggak sih gue cubit pipi merah itu?
“Internet di komputer kamu eror?” tebak Ikram ketika Kia tak kunjung mengatakan maksudnya.
Dengan cepat Kia menggeleng.
“Akun kamu diblokir?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi Kia menggeleng.
“Hmm ... kayaknya Kia harus balik ke meja deh,” dan secepat kilat Kia berbalik untuk pergi menyerah.
Namun gerakan tangan Ikram lebih cepat menarik tangan Kia dan membuat perempuan itu berhenti.
“Ada apa sih, Ki?” tanya Ikram mungkin untuk yang ke seribu tujuh ratus delapan puluh sembilan kalinya.
Jantung Kia semakin berdebar hebat. Ingin rasanya Kia copot jantungnya itu biar tidak perlu lagi ia gugup-gugup begini.
Sementara itu, gelar Dewa Kalem sepertinya harus segera tanggal dari nama Ikram, karena jantungnya pun kini tengah berdebar riuh. Untuk yang ke berapa kalinya ya ia berhasil bersentuhan dengan tangan Kia? Ikram berpikir keras hingga membuat pangkal kedua alisnya hampir menyatu. Yang ke ... dua kali? Atau ke berapa ya? Tiga? Tapi nggak mungkin dong, yang ke seratus delapan puluh tujuh kalinya? Eh ngaco, dari tadi malah ngitungin hal yang nggak jelas.
“Cie ....”
“Ehem ... ehem ....”
“Co cuiiit!” Ini maksudnya so sweet.
“Sikat, Kram!”
Suara-suara yang mengganggu berhasil membuyarkan lamunan Ikram. Orang yang berlalu-lalang di lorong malah menggodai mereka.
Eh, sialan! Gue makin malu. Habis ini mungkin Kia nggak sudi lihat muka gue lagi, hiks.
Ikram memerhatikan arah pandangan Kia pada genggaman tangannya di tangan perempuan itu. Jangan harap gue mau lepasin tangan lo lagi ya, batin Ikram. Ia eratkan lagi genggaman tangannya.
“Ada apa, Kia?” tanyanya untuk yang ke seribu tujuh ratus sembi—
“Nggak apa-apa, Mas!” potong Kia supercepat.
Ikram tertawa, tapi gemas. “Tuh, gitu kan. Ngeselin banget, sih!” rengek Ikram.
Kini Kia yang tertawa kecil. “Hmm." Kia menggumam. “Nggak deh!” lanjut Kia.
Yaaah. Ini Kia minta dicium apa gimana, sih? batin Ikram. Kok ngeselin banget. Ngeselin gemas gitu!
“Kamu ini senang banget sih bikin orang bingung. Mau minta tolong? Bilang aja. Nggak usah malu. Kayak ke siapa aj—”
“Hari Sabtu mau nggak makan malam bareng Kia?” potong Kia secepat kilat, melebihi kecepatan cahaya.
Dengan mulut masih terbuka, Ikram tertegun. Waktu serasa berhenti.
Apa Kia bilang? Eh, kuping gue nggak mendadak punya kelainan, kan? Beneran nggak sih, itu tadi dia ngajakin gue makan malam? Heh? Makan malam? Berdua?
“Kalau nggak mau juga nggak apa-apa, sih,” ucap Kia pelan, melepaskan tangannya dari genggaman tangan Ikram perlahan-lahan.
Ikram malah panik. “Eh? Mau kok, Ki. Mau.”
Duh, sekarang malah Ikram yang malu. Ia menggaruk-garuk kepalanya meski tak gatal. Diliriknya Kia yang tersenyum manis masih dengan wajahnya yang berwarna merah jambu.
“Ya sudah kalau gitu. Kia balik ke meja dulu,” ujar Kia canggung. Perlahan-lahan mundur dan berbalik meninggalkan Ikram yang masih betah berdiri di ambang pintu.
Setelah punggung Kia menghilang dari penglihatannya, Ikram langsung mengepalkan tangannya ke atas untuk ia tarik ke bawah. Mulutnya mendesiskan kata, “Yes!”
PART 8 The Ugly Truth
Ikram membantu Kia memindahkan makanan-makanan yang telah selesai dibuat Kia dari dapur ke meja makan. Karena meja makannya pun bersebelahan dengan dapur jadi Ikram mengerjakannya dengan cepat. Sementara Kia masih menyiapkan piring, gelas, dan yang lainnya.
“Mas Ikram duduk manis aja sana,” suruh Kia, tak enak melihat Ikram ikutan sibuk.
Ikram tertawa. “Biarin aja, sih, Ki. Orang mau bantuin juga.”
Setelah selesai menyiapkan semuanya, keduanya lalu duduk berhadapan.
“Harumnya enak nih. Untung tadi saya nggak makan lagi setelah makan siang. Jadi bisa habisin masakan kamu nanti.” Ikram menghidu aroma masakan Kia dengan penuh ekspresi nikmat. Kia tertawa.
Di atas meja ada Garlic Bread yang Kia sajikan sebagai appetizer. Lalu untuk main course Kia lebih memilih makanan berat dengan nasi dan lauk yang tidak terlalu banyak, yaitu Tofu Balacan yang ditambahkan taoge dan Chicken Teriyaki. Untuk dessert, karena Kia sudah terlalu sibuk menyiapkan main course ia hanya membeli Haagen-Dazs Macadamia Nut saja.
Ikram memerhatikan dengan wajah senang yang tak bisa ia sembunyikan ketika Kia mulai menyiapkan makanan untuk dirinya.
“Makasih ya, Mas, sudah mau makan malam bareng Kia.”
“Saya dong yang makasih, kamu sudah rela repot-repot bikinin saya makan malam.”
Kia tersenyum. “Ayo berdoa dulu.”
Ikram terkejut mendengarnya. Karena Kia bilang itu seperti kepada anak kecil. Ikram jadi salah tingkah. “Hmm ... Allahumma barik—"
Tak disangka Kia tertawa geli. Ikram langsung terdiam menatap Kia heran.
“Maksudnya, berdoa dalam hati saja sih, Mas.”
“Oh. Kirain nyuruh saya mimpin doa makan. Hehehe.” Mimpin kamu salat juga saya mau, Kia!
“Sekitar dua minggu lagi bakalan ada outing ke Yogyakarta,” ujar Kia di tengah kunyahannya.
“Sudah tahu kok. Kamu ikut?”
“Semua karyawan wajib ikut, Mas. Tapi outing-nya ini lebih kayak wisata gitu aja, sih. Jalan-jalan dipandu tour guide, belanja, foto-foto. Yang Kia lihat di rundown acara sih begitu."
“Nggak pakai acara games gitu, Ki? Biasanya sambil kayak outbound gitu, diabur di lapangan terbuka terus dikasih soal yang harus dipecahkan bareng kelompok.”
“Kayaknya nggak deh. Lebih kayak employee gathering kali. Lumayan jadi kayak liburan.”
Ikram mengangguk-anggukan kepalanya. “Kalau kamu lebih suka liburan di dalam atau luar negeri?”
“Hmm ... jarang liburan,” jawab Kia lalu tertawa.
Ikram jadi ikutan tertawa. “Saking sibuk kerja kayaknya.”
“Dulu sering. Tapi sekarang kayak udah males aja gitu. Udah nggak tertarik. Pasti sama aja sih. Sight seeing terus belanja oleh-oleh. Udah males aja,” papar Kia mengangkat bahunya.
“Kok gitu? Pariwisata di Indonesia kan sudah banyak kemajuan. Memangnya nggak mau snorkeling di Raja Ampat? Lihat sunrise di Bromo? Atau kulineran di Medan?”
“Bingung juga sih mau liburan sama siapa. Kakak-kakak Kia kan pasti sibuk. Kalau ngajakin Ayah sama Bunda, kasihan udah pada berumur,” Kia beralasan.
“Tapi kan bisa bikin itinerary yang ramah orang tua. Eh tapi, omong-omong soal kakak, ayah sama bunda, kamu tuh berapa bersaudara sih?” tanya Ikram.
“Lima bersaudara dan Kia anak bungsu. Mas Kafka, Mas Krisna, Kak Nina, dan Kak Tara," jawab Kia menyebutkan kakak-kakaknya, menghitungnya dengan satu tangan.
“Wow. Keluarga besar. Apalagi kalau kakak-kakak kamu udah pada nikah.”
“Udah nikah semua, Mas. Mas Kafka anaknya udah dua, udah gede-gede juga. Terus Mas Krisna juga anaknya dua, yang satu udah sekolah SD dan yang kecil masih umur tiga tahunan. Kak Nina—namanya Karenina—anaknya baru satu, kelas dua SD. Yang terakhir Kak Tara, lagi hamil gede, bentar lagi berojol anak pertama.”
“Umur kalian terpaut jauh kayaknya.”
Kia membenarkan. “Perbedaan sama Kak Tara aja tujuh tahun. Kalau Mas Ikram gimana? Berapa bersaudara?”
“Saya tiga bersaudara dan semuanya laki-laki. Saya juga anak bungsu.”
“Duh, semoga ibunya Mas nggak stres deh.”
“Hahaha. Dulu keluarga saya sempat susah, Ki. Ayah cuma karyawan kantoran biasa yang gajinya nggak gede. Terus mama saya usaha buka warung kecil-kecilan gitu buat nambah-nambah.”
“Oh ya?”
“Waktu sekolah dulu saya sering bantuin Mama dengan bawa beberapa jajanan di warung untuk saya jualin di sekolah. Itu tiap hari jajanannya habis, Ki. Omsetnya lumayan. Hahaha.”
“Wow. Tipe laki-laki pekerja keras ya,” canda Kia dan mereka tertawa.
“Makanya setelah lulus kuliah sarjana saya udah kepengin langsung kerja aja biar bisa meringankan beban orang tua. Karena waktu itu juga kakak-kakak saya langsung bekerja setelah selesai kuliah dan ikut membantu ekonomi keluarga. Saya jadi ingin ikut berkontribusi. Dari situ kondisi ekonomi keluarga saya membaik.”
Kia tersenyum, serasa mendengarkan cerita motivasi. Dia jadi terharu. Jauh berbeda dengan kehidupannya yang serba ada. Dari kecil bahkan Kia selalu dimanja oleh keluarganya. Minta ini-itu selalu langsung dikasih. Kalau Ikram kecil ingin beli sesuatu mungkin harus bekerja membantu ibunya dulu baru bisa membeli barang tersebut. Tak heran melihat Ikram tampak mengemong dan dewasa.
“Sebenarnya niat saya ingin sekali lanjut kuliah saat itu. Tapi lebih tertarik kerja. Dasar sudah niat sih, tahun ketiga kerja, ada beasiswa untuk lanjut S2 dari kantor. Ya langsung saya ambil.” Ikram terkekeh
“Keren deh. Kia malah males kalau harus lanjut kuliah.”
Ikram tersenyum. Tidak pernah ia menceritakan kisah hidupnya pada orang lain. Ia tidak pernah mau. Namun, entah kenapa ia bisa menceritakan semuanya di depan Kia dengan lancar.
“Dari tadi kamu bilangnya males-males terus, sih? Liburan males. Kuliah males. Tapi kerja mau.”
Kia tertawa. “Ya gimana. Kia udah nggak mengharapkan apa-apa. Udah bosan berekspektasi. Inginnya menjalani hidup ini seperti air mengalir aja yang tahu-tahu sudah bermuara di lautan.”
Duh, kok Ikram miris mendengarnya?
Tak sengaja Kia melihat Ikram menghabiskan taoge di menu makanan mereka. Habis tak bersisa. Kia jadi teringat sesuatu.
“Hebat nih Mas Ikram, taogenya habis. Nggak kayak si Nando kalau disuruh makan taoge susahnya minta ampun.”
Kening Ikram mengerut. “Nando siapa, Ki?”
Seperti tersadar dari hipnotis, Kia langsung mengumpat. Ah, shit! Kenapa ia harus menyeret nama itu lagi bahkan ketika sedang bersama laki-laki lain?
Ikram masih menunggu Kia menjawab.
Dengan berat Kia menghela napasnya dalam-dalam. “Laki-laki yang pernah tinggal satu atap sama Kia,” jawabnya lirih.
Deg! Ikram mengerti maksudnya dan langsung merasa tidak enak. Tapi rasa penasaran sudah menumpuk di kepalanya. Ia ingin sekali tahu mengapa mereka berpisah. Ikram terdiam lama, menunggu Kia mengucapkan sesuatu lagi. Namun tak kunjung ia dengar sepatah kata pun dari mulut Kia.
“Boleh tahu kenapa kalian ... pisah?” tanya Ikram akhirnya dengan sangat hati-hati.
Kia tersenyum getir. “Nando itu workaholic, Mas. Tapi katanya Kia banyak menuntut. Dia kerja sebagai staf Protokol Pimpinan di Parlemen dengan jam kerja yang mungkin tujuh hari seminggu dua puluh empat jam sehari nggak cukup. Pekerjaannya yang menuntutnya harus selalu dalam kondisi stand by, membuat Kia capek”
Suara Kia memelan. Matanya mengerjap beberapa kali tampak menahan tangis.
“Maaf, Ki. Kalau kamu nggak mau lanjutin nggak apa-apa. Harusnya saya nggak nyinggung itu.”
Kia menggeleng. “Bagaimanapun pasti selalu ada yang tanya tentang hal ini, Mas. Kia hanya harus selalu siap jawab, kan?”
Ikram terdiam. Matanya menatap lurus sepasang mata sendu di depannya.
“Kami menikah di umur yang masih sangat muda. Dua puluh dua tahun dan Kia baru saja lulus kuliah.” Kia tertawa kecil mengingatnya.
Ikram ingat. Pertemuan pertamanya dengan Kia lima tahun lalu yang membuat Ikram langsung mundur teratur ketika tahu bahwa Kia sudah menikah. Memang masih sangat muda.
“Setiap kali Kia butuh, Nando nggak pernah ada. Mungkin karena latar belakang Kia yang selalu dimanja sejak kecil, ketika dihadapkan pada persoalan rumah tangga yang harusnya sepele, Kia tidak siap dan mengubah permasalahan itu jadi lebih rumit.”
“Kamu kenapa jadi nyalahin diri sendiri gitu? Saya yakin itu semua bukan salah kamu sepenuhnya,” ucap Ikram mencoba menghibur. Ingin rasanya ia mengalihkan pembicaraan untuk mengganti suasana. Tapi sulit sekali mencari celahnya.
“Tahu nggak sih, Mas, Kia sampai harus ngelangkahin Kak Tara untuk menikah dengan Nando?”
Ikram mengangkat alisnya, terkejut.
Lagi-lagi Kia tertawa getir. “Suatu hari Kak Tara akhirnya menikah. Kami sudah persiapkan itu dan mewanti-wanti Nando untuk bisa meluangkan waktu di hari H. Beberapa hari sebelum hari pernikahan digelar, Nando malah tiba-tiba bilang ia batal hadir di nikahan Kak Tara karena harus tugas mendadak ke Rusia. Bayangkan Mas, pernikahan Kak Tara, kakak yang Kia langkahi demi bisa menikah dengannya, tapi laki-laki itu malah pergi memilih tugas yang Kia pikir itu bisa diambil alih oleh orang lain. Apalagi sudah direncanakan beberapa bulan sebelumnya. Dia boleh membatalkan janji-janji yang lain, tapi tidak dengan pernikahan Kak Tara. Meskipun akhirnya dia membatalkan tugasnya itu, bukan berarti Kia nggak kesal." Kia menghela napasnya panjang. Penglihatannya mulai kabur terhalang air mata.
“Selang beberapa minggu dari situ, Nando memilih berpisah.” Tak tertahankan lagi, satu bulir air mata terjatuh membasahi pipinya.
Ikram menggenggam sebelah tangan Kia di atas meja.
“Dia bilang karena dia tidak akan pernah bisa memenuhi semua tuntutan yang Kia berikan. Padahal Kia hanya minta kehadirannya saat Kia butuh. Gimana sih perasaannya jika diri kamu sendiri tidak lebih penting dari hal lain?”
Kia menopang dahinya dengan sebelah tangan, menangis tanpa suara. Helaan napasnya terpatah-patah bercampur emosi yang ia pendam. Sudah lama ia tidak menangisi Nando seperti ini. Bahkan saat Nando mengucapkan kata pisah pun dulu ia tidak menangis. Lalu kenapa ia harus menangis sekarang?
“Kia tidak pernah jadi prioritas baginya. Tidak berguna. Makanya Nando lebih memilih kehilangan Kia,” lirihnya di tengah tangisan yang semakin menyesakkan dada.
“Duh. Maaf, Mas. Kia bukannya mau merusak suasana. Tapi … Maaf, Mas!” Kia berdiri dan langsung berlari masuk ke kamar mandi, meninggalkan Ikram yang hanya bisa terdiam mematung.
Ikram terpaku sejenak karena syok dengan apa yang baru saja terjadi. Lalu mengusap wajahnya lelah. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras, menahan gejolak emosi entah apa. Marah? Kesal? Kasihan? Apa Kram, apa?
Ikram lalu menyusul Kia. Mengetuk keras kamar mandi itu.
“Ki! Kamu nggak apa-apa?”
Tak ada jawaban dari dalam. Ikram tambah khawatir.
“Ki! Keluar dulu. Kita bicara, ya?”
Masih tak ada jawaban. Ikram gereget setengah mati. Inginnya ia dobrak saja pintu itu lalu menghambur masuk untuk segera memeluk Kia dan bilang bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia harus menahan dirinya. Ia tahu Kia rapuh dan menghadapi perempuan rapuh seperti Kia tidak bisa dengan sikap yang tergesa-gesa. Ibarat hiasan kaca tipis, haruslah dipegang dengan hati-hati, karena sekali kita genggam erat hiasan kaca itu malah akan retak atau bahkan hancur.
Diketuknya lagi pintu kamar mandi itu. “Ayo Ki, keluar dulu,” panggilnya melembut.
Cekrek!
Pintu terbuka perlahan. Kia berdiri menyandar di samping pintu dengan wajahnya yang basah. Bukan basah karena air mata, namun sepertinya Kia membasuh wajahnya untuk menghilangkan sisa-sisa tangisnya.
“Mas ... kamu lebih baik pulang aja, ya?” ucapnya lirih.
Ikram menggeleng. “Tidak sampai saya pastikan kamu baik-baik aja, Ki.”
“Please. This dinner is already ruined anyway. Kia yang mengacaukannya dan Kia minta maaf.”
Disentuhnya dengan lembut wajah sedih Kia. Hati Ikram ikut merasa tersayat kala air mata itu menetes lagi membasahi tangannya di pipi Kia. Demi Tuhan! Boleh nggak sih gue meluk lo?
Wajah Kia tertunduk lesu. Dengan suara bergetar Kia melirihkan, “Kia ingin sendiri.”
Bagai tersambar petir, Ikram kira itu semacam kode bahwa Ikram memang tidak punya kesempatan untuk bisa dekat dengannya. Atau mungkin malam ini Kia hanya ingin menyendiri. Entah yang mana maknanya, pikiran Ikram benar-benar kusut.
Ikram akhirnya mengalah. Ia lalu membereskan barang-barangnya. Sebelum pergi meninggalkan apartemen, ia berhenti sejenak di depan Kia yang masih saja menundukkan kepalanya dengan isakan perlahan yang masih bisa ia dengar.
Kalau kamu pikir saya mundur hari ini untuk berhenti berusaha dekat dengan kamu, kamu salah, Kia. Saya tidak peduli dengan semua masa lalu kamu. Karena saya punya masa depan untuk kamu. Untuk kita nanti.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Ikram keluar dari apartemen Kia. Saat itu juga Kia jatuh terduduk dengan isakan tangis yang semakin kuat.
***
Ia bangkit dari sujudnya yang lama selepas salam dan zikir. Sajadahnya basah tertetesi air matanya, sebasah luka di hatinya yang seharusnya telah mengering.
Mengapa ingatan tentang Nando itu harus muncul lagi? Padahal sebelumnya tidak pernah ia merasa sesedih ini mengingat laki-laki itu. Bukan karena laki-laki itu, namun bagaimana cara Nando membuang dirinya.
Nando adalah cinta pertamanya. Tak pernah ia temui laki-laki lain selain Nando. Tak pernah ia merasakan ciuman lain selain ciuman Nando. Tak pernah ia cintai laki-laki lain selain Nando. Tapi apa yang ia dapatkan setelah semuanya ia berikan pada Nando? Sebegitu tidak pentingkah dirinya sehingga laki-laki itu merasa harus menjauhkan diri?
Sekitar satu tahun yang lalu Nando pergi, namun serasa baru saja kemarin ia kehilangan laki-laki itu. Masih sangat hangat terasa ketika Nando bilang bahwa pekerjaannya itu adalah hidupnya. Lalu Kia apa?
Di tengah makan malam yang hening, dengan nada suaranya yang datar, Nando bilang bahwa ia harus pergi tugas ke Rusia dan batal hadir di pernikahan Kak Tara.
“Kamu udah janji dari berbulan-bulan yang lalu, Nan. Terus sekarang seenaknya bilang kamu lebih milih tugas yang entah apa pengaruhnya untuk hidup kita dibandingkan menepati janji kamu?”
“Aku harus pergi, Kia,” balas Nando dengan menekankan pada kata harus.
“Kamu juga harus datang ke nikahan Kak Tara," ucap Kia tak mau tahu.
Nando menghela napasnya kasar. Memejamkan matanya sejenak untuk mengontrol emosi. “Dengar, Ki. Presiden ikut terbang ke sana. Otomatis kantor butuh petugas tambahan untuk mengawal Pimpinan.”
Kia mendengus. “Lalu dengan begitu kamu jadi merasa punya jasa terhadap negara? Dan acara pernikahan ini cuma salah satu dari momen nggak penting karena standar kamu adalah pengabdian pada negara?”
“Kia! This is my life,” geram Nando.
“Then I'm not your life?” balas Kia cepat, tak percaya.
“Why are you so selfish?”
“Ini bukan sekali-dua kali kamu begini. Dan soal egois ...” Kia menghela napasnya lelah. “Maksud kamu yang egois di sini aku? Egois karena tepat empat tahun lalu aku harus melangkahi Kak Tara untuk bisa nikah sama kamu? Egois karena mungkin saja Kak Tara tidak terima lalu sakit hati?” Kia mendengus. “Sekarang aku ngerti kenapa adik seharusnya tidak pernah melangkahi kakaknya untuk menikah.” Kia tersenyum sinis.
Nando menggeleng tak percaya dengan kata-kata yang diucapkan Kia. “Tuntutan-tuntutan kamu kayak gini yang bikin aku mangkel sama kamu. Kapan sih kamu bisa dewasa? Kebiasaan manja kamu yang bikin masalah sepele jadi rumit.”
“Kenapa jadi bahas yang lain? Dan masalah pernikahan Kak Tara sama sekali bukan masalah sepele. Dia yang ngizinin kita menikah! Kamu harus ingat itu! Sekarang ketika akhirnya Kak Tara yang menikah, kita seenaknya bilang ‘Sori, Kak. Nando nggak bisa datang karena harus menyelamatkan negara’,” repet Kia menyindir.
Nando terdiam lama yang membuat Kia gemas ingin selalu mengumpat, namun itu hanya bisa ia lakukan di dalam hati.
“Aku kecewa sama kamu, Nando,” ucap Kia mengakhiri pertengkaran malam itu.
Tapi akhirnya Nando datang juga ke acara pernikahan Kak Tara meskipun terlambat dan dengan wajah kusut serta lingkaran hitam di bawah matanya. Selama tiga hari Kia menginap di rumah Bunda untuk ikut membantu persiapan acara ini, dan dia sama sekali tak peduli Nando mau datang atau tidak. Tapi melihat wajah kusut Nando pagi hari itu rasa iba selalu mengalahkan amarahnya. Mungkin saja suaminya itu habis dimarahi oleh atasannya di kantor karena berani menolak tugas penting demi bisa menepati janjinya pada Kia.
Berhari-hari mereka berdua menjalani rumah tangga tanpa komunikasi sama sekali. Tinggal dalam satu atap yang sama, tapi seperti orang asing. Tanpa sapa, apalagi obrolan hangat atau bahkan sentuhan-sentuhan mesra. Semuanya terasa dingin. Sampai suatu malam, di ruang tengah, Kia sedang menonton acara entah apa di TV, Nando tiba-tiba datang dan duduk di sebelahnya, terdiam cukup lama.
Ketika akhirnya laki-laki itu bersuara, malah mantra penoreh luka lainnya yang ia lontarkan.
“Aku nggak bisa memenuhi semua tuntutan kamu, Ki.”
Kia masih menatap lurus ke layar TV.
“Lebih baik kita berpisah saja.”
Ekspresi Kia masih datar, menatap lurus ke depan, namun bukan ke layar TV. Kata-kata Nando tadi terlalu berat untuk Kia balas. Hampir setengah jam mereka berdua saling diam. Tak ada tangisan atau umpatan. Hening. Sampai akhirnya Nando pergi entah ke mana. Dan Kia masih tetap bergeming tanpa setetes air mata mengalir.
Beberapa hari kemudian, di suatu malam, mereka berdua duduk di pinggir kasur, saling memunggungi. Nando di sisi yang satu dan Kia di sisi lainnya.
“Nando,” panggil Kia tanpa menoleh sedikit pun.
Nando langsung menajamkan pendengarannya karena enggan melihat Kia. Ia takut jika sedikit saja ia berbalik dan melihat perempuan itu, hatinya akan luluh. Maka ia bertekad untuk tak pernah berbalik lagi.
“Aku ingin pulang ....” Kia menggantung kalimatnya, membuat Nando menoleh sedikit, tapi tak sampai menatap punggung Kia. Jantungnya berdebar hebat. Ini keputusan yang ditunggu-tunggu Nando sejak ia mengutarakan ingin berpisah. Tetapi, jika Kia ingin pulang pada dirinya, ia dengan senang hati akan membukakan pintu hatinya lebar-lebar.
Namun yang Kia ucapkan adalah, “Ke rumah Bunda.”
Hati Nando mencelus. Tak terasa satu bulir air mata mengalir diam-diam. Lama tak terdengar balasan dari Nando. Laki-laki itu tengah menata hatinya, mengatur nada suaranya, membulatkan perasaannya.
Padahal, bukankah ini yang ia tawarkan pada Kia? Tapi, mengapa sakit sekali?
Helaan napas panjangnya mengawali perpisahan mereka. “Aku antar,” ucap Nando. Dingin menusuk hingga ke tulang.
Di seberangnya, Kia memejamkan mata berusaha menghentikan tangisan.
Dering telepon membuyarkan lamunannya. Ia biarkan dering itu sambil melipat mukena dan sajadahnya. Terlihat nama Ikram tercantum di layar. Lama ia tatap layar ponsel itu, sebelum akhirnya ia geser simbol telepon berwarna hijau ke atas.
“Halo.”
“Ya, Mas.”
“Belum tidur, Ki?"
“Belum.” Keduanya terdiam. Lalu, “Mas?" panggilnya.
“Ya?”
“Boleh nanti-nanti lagi teleponnya?”
Agak lama Ikram baru menjawab. “Iya, boleh. Tapi tunggu, Ki!”
Kia yang hampir menutup teleponnya, langsung urung.
“Saya selalu berharap kamu baik-baik aja. Kalau ada apa-apa, saya akan selalu ada, Ki.”
“Makasih, Mas.”
Klik. Kia menutup teleponnya duluan.
Kia berbaring di atas kasur, menutup matanya dengan sebelah lengan.
Kejadian tadi malam benar-benar memalukan. Kia tidak mengira itu akan terjadi. Tidak seharusnya ia memberitahu hal pribadi semacam itu pada Ikram. Laki-laki itu bukan siapa-siapanya. Entah mau berjalan ke mana hubungan mereka ia pun tak tahu. Tapi ia benar-benar malu.
Sejak perpisahannya dengan Nando, Kia tak pernah berharap apa-apa dalam hidup. Hanya ingin menjalani rutinitas monoton hingga tua. Menghindari konflik. Lari dari masalah. Pokoknya ia tidak ingin ada hal lain yang bisa mengganggu perasaannya. Karena ia sudah terlalu lelah. Dan ketika laki-laki bernama Ikram itu datang menghampiri seharusnya tak pernah ia hiraukan. Hatinya sudah terlanjur hancur. Ia tidak mungkin bisa memberikan janji apa pun pada Ikram. Atau menerima apa pun untuk ia masukkan ke dalam hati yang sebenarnya ia ragu masih ia miliki atau tidak.
Ikram terlalu baik. Dan ia tidak mau berutang apa-apa lagi padanya.
PART 9 Menghindar
Ikram baru sadar bahwa Kia mungkin menghindarinya ketika tak da satu pun chat WA-nya yang dibalas. Lalu saat ia menelepon ke nomor extension meja Kia, perempuan itu selalu membuat percakapan mereka menjadi sangat singkat.
“Udah beberapa hari saya chat kamu tapi nggak dibalas. Kamu sehat kan, Ki?”
“Sehat kok, Mas. Kirain ada apa,” jawab Kia biasa-biasa saja, tanpa harus menjelaskan alasan kenapa chat Ikram tidak ada yang ia balas.
“Serius, Ki. Saya khawatir sama kamu.”
Terdengar Kia menghela napasnya. “Mas nggak usah berlebihan. Kia nggak apa-apa.”
“Siang ini makan siang bareng?”
“Maaf, Mas, nggak bisa.”
“Kalau gitu, pulangnya saya antar ya?”
“Nggak usah. Kebetulan Kia lagi ada perlu dulu ke Superindo.”
“Ya udah, sekalian saya antar ke Superindo.”
“Kia pergi bareng Dinda kok.”
“Ki—”
“Udahan dulu ya, Mas. Kia banyak kerjaan.” Kia memotong omongan Ikram dengan cepat.
Klik.
Tanpa menunggu balasan Ikram, Kia menutup teleponnya. Akhir-akhir ini Kia selalu menutup telepon lebih dulu. Ikram jadi bingung. Kenapa Kia menghindarinya? Maunya apa?
Di suatu pagi Ikram menemukan sweater putih miliknya di atas mejanya. Ia ingat sweater putih itu pernah ia pinjamkan pada Kia ketika mengantar perempuan itu pulang malam-malam karena sedang sakit. Butuh penjelasan, Ikram pun mengirim chat WA pada Kia yang tumben-tumbenan Kia balas dengan cepat.
Ikram Salman: Kok kamu nggak ngasihin sweater saya langsung?
Kia Amanda: Maaf
Kia Amanda: Kia buru-buru
Kia Amanda: Makasih ya sweater nya
Ikram Salman: Sama-sama
Kia Amanda: Jadinya Kia nggak punya utang lagi sama Mas Ikram
Ikram Salman: Maksud kamu?
Dan chat terakhir itu pun tidak memiliki tanda-tanda akan dibalas oleh Kia setelah berjam-jam tandanya hanya “read” saja.
Belum sempat Ikram mengirim lagi chat kepada Kia, Dion berteriak membuat semua orang di area IT menoleh padanya.
“Data Monev[1] berpotensi bocor ke luar nih.”
“Kenapa, Yon?” tanya Nadine.
“Divisi P&E[2] nggak bilang-bilang kalau pakai aplikasi baru untuk input monev,” jawab Dion setengah kesal.
“Aplikasi dari siapa?” Kini Ikram yang bertanya.
“Katanya dari konsultan. Aplikasinya sih gratis dan sudah sesuai standar yang diminta Kementerian Keuangan. Tapi kan itu bisa diakses di mana aja dan oleh siapa aja. Berisiko tinggi untuk bocor ke orang yang nggak bertanggung jawab," tutur Dion.
“Kita bikin VPN aja di aplikasinya, Yon. Biar masih bisa ke-protect,” usul Ikram.
“Aku curiga nih, bentar lagi Pak Danil bakalan koar-koar panik karena masalah ini,” ujar Rachmat.
“Bener banget! Gue membayangkan dia teriak kayak orang kebakaran jenggot sambil lari-lari ke kita, ‘Cepat selamatkan data perusahaan! Jangan sampai bochooor!’” canda Nadine dengan kocak.
“Bochor ... bochor,” timpal Dion menirukan iklan sebuah cat tembok yang diperankan pasangan bule.
“Tiarap!” tambah Nadine.
“Semprul kabeh!” teriak Rachmat tertawa terpingkal-pingkal.
“Makanya, Nad, pake yang wings kalau nggak mau bochor,” ledek Dion.
“Idih, tahu-tahuan aja lo masalah begituan. Gue curiga kalau malam nama lo ganti jadi Dian. Hahaha,” balas Nadine tak mau kalah.
“Asal harga cucok, cyiiin,” balas Dion semakin menjadi dengan gerakan tangan melambai.
“Tapi siapa juga yang mau bayar coba? Kamu jadi laki-laki saja menyeramkan apa lagi jadi perempuan,” celetuk Rachmat.
Nadine tergelak. “Mampus lo, Yon!” teriak Nadine bahagia.
“Eh ... jangan salah! Ada, tahu!” Dion membela diri. “Biasanya pria-pria kesepian yang haus belaian.”
“Haus belaian? Mending sama cewek aslilah daripada sama cewek jadi-jadian!” protes Nadine.
“Ya ... yang udah bosen sama ceweklah, Nad,” timpal Dion lagi sambil berpikir kemudian nyengir.
Tawa Nadine menyembur. “Najis! Ini kenapa jadi bahas lo, bencong?” teriak Nadine ketika tersadar bahwa obrolan mereka sudah melenceng jauh dari pokok permasalahan.
“Hahaha. Habis, lo yang duluan sih.”
“Eh, mazque kok diem aja?” tanya Rachmat pada Ikram.
Biasanya jika teman-temannya sedang saling melempar ledekan, semua orang ikut tertawa tak terkecuali Ikram. Kali ini Ikram hanya memelototi layar laptop tanpa ekspresi sementara ketiga temannya tertawa terbahak-bahak.
Nadine dan Dion beralih memerhatikan Ikram. Lalu mereka bertiga saling berpandangan heran. Mata mereka seolah bicara “Kenapa nih?”
Tiba-tiba saja Ikram menoleh pada semua temannya.
“Ada e-mail dari Pak Danil. Kayaknya bentar lagi nyuruh meeting sama Divisi P&E." Lalu kembali menekuni entah apa di laptopnya.
Rachmat, Nadine, dan Dion kembali saling berpandangan. Kali ini dengan kening berkerut. Kemudian ketiganya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.
***
“Bu Ifa, pinjam Kia dulu ya sebentaaar,” teriak Febby dengan suara yang dibuat manja.
Kia hanya terkekeh mendengarnya. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya beberapa karyawan akan izin untuk salat Ashar sambil ngopi-ngopi dulu di warung kopi. Beberapa orang bilang untuk ngilangin kantuk. Kali ini sebenarnya Kia yang butuh ngobrol dengan Febby, tapi karena dokter itu sibuk sekali seharian tadi, akhirnya baru bisa free sore ini. Makanya Kia meminta tolong Febby untuk meminta izin pada Bu Ifa.
Bu Ifa menoleh ramah. “Memangnya mau dipinjam ke mana sih, Dok?”
“Biasa, Bu, butuh asupan kafein biar mata tetap melotot.”
“Serem, dong.”
“Justru butuh, Bu. Biar saya nggak salah kalau nyuntik pasien,” ujar Febby cengengesan.
“Oh, untuk kebutuhan suntik menyuntik.”
Kia mengernyitkan keningnya, menahan tawa. Geli sekali obrolan bosnya dan Febby ini.
“Iya, Bu. Hmm ... kalau Ibu, sukanya nyuntik atau disuntik?” tanya Febby ngaco.
“Jangan didengerin, Bu. Dokter cabul nyamar jadi dokter umum dia ini,” celetuk Kia tidak tahan.
“Hehehe. Iya boleh," ucap Bu Ifa tertawa kecil lebih tak tahan lagi.
“Yes!” Febby pura-pura girang. “Saya pastikan Kia siap disuntik lagi sehabis ini.”
“Hus!” protes Kia.
“Disuntik kerjaan, Ki,” ralat Febby.
“Hahaha. Iya, sana, sana!” Bu Ifa geleng-geleng kepala sambil berlalu masuk ke ruangannya.
Febby menggamit lengan Kia dan mereka berdua pun berjalan menuju lift untuk turun. Karena jarang ke lantai atas, hampir setiap orang yang dilewati mereka berdua menyapa Febby. Tak sedikit malah yang sekalian bertanya tentang obat. Malah ada beberapa anak HRD yang mencegat Febby untuk bertanya tentang medical check up beberapa karyawan yang diharuskan melakukannya untuk kepentingan perpanjangan kontrak kerja.
“Dok Feb sini dulu deh,” seru Andien memanggil Febby.
“Kenapa, Ndien?” tanya Febby.
“Hasil MCU minggu kemarin udah bisa ketahuan nggak sih?”
“Kan harus nunggu dua minggu. Kenapa memangnya? Ada masalah?” tanya Febby.
Kemudian Febby dan Andien sibuk membahas medical check up tersebut sampai-sampai Kia ditinggal sendirian karena Febby harus sedikit melipir ke meja Andien.
Selagi menunggu Febby selesai, Kia tak sengaja menangkap sosok Ikram yang baru saja keluar dari ruang meeting bersamaan dengan teman-temannya yang lain. Ada juga beberapa orang dari divisi yang berbeda yang keluar bersamaan dengan Ikram. Seketika Kia berniat mundur untuk menghindari gerombolan itu. Jangan sampai Ikram melihatnya, batinnya.
Terdengar riuh rendah suara orang-orang tersebut mengobrol. Yang paling terdengar tentu saja suara Ikram yang sangat familier di telinganya. Sampai-sampai ia lupa kalau ia seharusnya menghindari gerombolan tersebut karena dirinya hanya bisa mematung ketika bariton Ikram menangkapnya saat mengucapkan “Hai, Ki.”
Kia hanya membalas sapaan Ikram dengan senyum canggung. Meski kakinya tak bisa bergerak, ia tetap berusaha “kabur” dari Ikram dengan tak menatap langsung mata lelaki itu. Karena Ikram menyapanya sambil lalu, lelaki itu kembali kepada teman-temannya dan perlahan-lahan pergi menjauh meninggalkan Kia. Meskipun begitu masih dapat ia dengar bariton itu mengudara di sekitarnya.
“Makan yuk, bro!” teriak teman di sebelah Ikram.
“Nggak, deh. Gue ngopi aja kayaknya,” balas bariton milik Ikram.
“Dari siang belum makan nih. Gue laper,” seru suara perempuan yang Kia yakini adalah Nadine.
“Eh ingat ya itu e-mail kantor yang dipake untuk ngirim-ngirim file. Biar datanya aman. Kalau pake gmail atau yahoo takutnya nanti data kita gampang disalahgunakan. Makanya kita bikin e-mail kantor tuh begitu, bro. Biar ada proteksinya,” ujar Ikram panjang lebar entah kepada siapa. Kia tidak mengerti apa yang Ikram obrolkan dengan orang di sebelahnya.
Tapi Kia lebih tidak mengerti pada dirinya sendiri. Sudah jelas-jelas keinginan untuk menghindar dari Ikram besar sekali, tapi kenapa sekarang ia merasa merindukan suara lelaki itu? Sekarang saja yang seharusnya Kia bersyukur karena Ikram tak berlama-lama menyapanya malah ia tatap punggung lelaki itu dengan perasaan penuh rasa bersalah.
Ketika tengah anteng menatapi punggung Ikram yang semakin menjauh, tanpa terduga si pemilik punggung membalikkan setengah badannya dan menangkap Kia sekali lagi dengan tatapannya. Kia tersentak karena tatapan mereka bertemu. Langsung Kia tundukkan pandangannya. Rasa bersalahnya mencuat semakin besar.
“Yuk, Ki!” panggil Febby membuat Kia terkejut.
Dengan segera Kia menarik tangan Febby untuk masuk ke lift.
***
Febby kembali ke meja setelah mengambil kopi pesanan mereka berdua di konter pick up sebelah kasir coffee shop lobi kantor. Sesore ini coffee shop lumayan rame. Banyak teman-teman kantor mereka juga membeli kopi di sini. Tetapi kebanyakan mereka membawa kopinya untuk diminum di kantor. Tidak seperti Kia dan Febby yang memang sengaja keluar dari kantor karena ada hal yang ingin Kia bicarakan.
“Kayaknya gue nggak bisa nerusin entah-apa-namanya-ini sama Mas Ikram.” Kia mengawali obrolan mereka setelah memastikan Febby benar-benar sedang lengang dan tidak ditunggui pasien.
“Kenapa?” tanya Febby lembut.
Kia menggeleng pasrah. “Dari awal juga ini udah salah. Seharusnya gue nggak pernah menggubris dia.”
“Bukannya lo bilang bahwa dia bawa dampak positif dan bikin lo happy?”
“Waktu makan malam minggu lalu itu semuanya berubah kacau, Feb. Entah kenapa tiba-tiba obrolan kami sampai pada gue cerita tentang Nando sama dia.”
Febby terkejut. Dia hafal sekali Kia bukan orang yang bisa dengan mudah terbuka pada orang lain. Butuh waktu lama untuk Kia bisa memercayai seseorang. Apalagi orang baru di dalam lingkaran pertemanannya. Tidak akan semudah Kia menceritakan segala sesuatu seperti pada Febby.
“Jadi Mas Ikram ini sudah tahu semuanya?” tanya Febby.
Kia mengangguk enggan, tampak menyesal.
“Gue jadi malu kalau ketemu dia.”
“Malu kenapa?”
“Dengan membicarakan ‘kekalahan’ gue dulu, gue merasa menelanjangi diri sendiri di depan orang lain. Pada akhirnya gue malu dengan kondisi gue sekarang. Gue merasa nggak pantas, Feb. Janda,” Kia menertawakan dirinya sendiri. “Tidak becus mengurus rumah tangga. Tidak mampu membahagiakan suami. Menjadi orang dengan stigma buruk di masyarakat. Diwaspadai karena berpotensi ‘merebut’ suami orang.”
Kia menunduk, kedua tangannya memainkan ujung kemejanya.
“Tapi penilaian-penilaian itu lo yang buat sendiri, Ki. Kalau lo nggak aneh-aneh semuanya bakalan baik-baik aja, kok.”
“Naif banget sih, Feb.” Kia tertawa kecil. “Di mana-mana kalau perempuan udah punya ‘gelar’; entah itu janda, pelakor, perawan tua, ya citranya tetap buruk di masyarakat. Beda kalau gue jadi laki-laki. Udah cerai aja predikatnya meningkat jadi ‘duren’, duda keren. Gadis-gadis masih pada banyak yang mau.”
“Eh, lo juga masih diincar bujang, tahu,” sahut Febby merujuk pada Ikram.
“Gue nggak mau jadi orang naif. Menurut lo, aneh nggak sih, bujang keren macam Mas Ikram mau sama gue?”
“Tapi itu hak setiap orang, Ki. Kok lo jadi berpikiran negatif begini sih?”
“Gue cuma merasa nggak pantas aja, Feb. Seorang bujang yang good looking, karier mapan, santun dan segudang watak baik lainnya, bisa mendapatkan perempuan yang jauh lebih baik daripada gue. Dia bahkan masih bisa dapatin fresh graduate macam Cindy. Lah gue? Istilahnya gue ini ‘bekas’. Kalau dia masih bisa dapat yang ‘gres’ kenapa milih yang ‘bekas’?”
“Gue nggak suka sama argumen lo ini. Kalau lo menganggap diri lo rendah, gimana dengan orang lain? Terus setelah kejadian makan malam kemarin itu dia masih mau menghubungi lo?”
“Dia bahkan masih berusaha untuk bisa ngobrol sama gue.”
"Serius?" Febby terkejut.
Kia mengangguk.
“Tapi gue pikir, kayaknya cukup deh. Gue nggak mau menghancurkan hidupnya dengan kekacauan yang gue bawa. Masa depan dia cerah banget, Feb. Dia itu tipe lelaki pekerja keras yang sanggup memulai segala sesuatu dari nol. Kalau istilahnya tuh ‘from zero to hero’. Dibandingkan gue mah jauh. Apalagi dibandingkan dengan Nando, jauh banget,” Kia tertawa kecil, mengejek dirinya sendiri.
“Nando lagi dibawa-bawa. Ayo dong move on. Mas Ikram itu bukan Nando.”
“Memang bukan. Makanya gue merasa udah cukup dengan semua yang-entah-apa-namanya-ini. Sebelum semakin jauh dan akhirnya menyesal.”
“Gue yakin ini pasti gara-gara lo masih keingetan sama Nando. Ya, kan?" cetus Febby.
Dikira akan menampik perkataan Febby, alih-alih Kia hanya terdiam.
“Tuh kan,” ucap Febby.
“Gue cuma nggak ngerti aja kenapa dulu Nando sampai melakukan ini sama gue. Orang yang gue kira tidak akan pernah menyakiti gue malah orang itulah yang menorehkan luka paling sakit. Gue kecewa sama diri gue sendiri. Dan cukup satu orang itu saja yang menyakiti gue, jangan orang lain. Jangan Mas Ikram, karena gue nggak mau berubah benci sama dia.”
“Picik banget pikiran lo. Mas Ikram kan sudah baik gitu sama lo.”
“Justru itu. Gue nggak mau merasa punya utang sama dia. Tahu nggak, setiap kebaikan yang dia kasih ke gue, itu gue hitung sebagai utang yang suatu saat nanti wajib gue bayar. Gimana kalau misalnya di tengah jalan gue udah nggak sanggup menjalaninya dengan dia? Utang-utang itu malah akan semakin menumpuk tanpa bisa gue membayarnya. Kasihan,” cerita Kia, mulai bisa menjabarkan perasaannya.
“Dengan kata lain lo nggak mau jadi pemberi harapan palsu (PHP)?”
Kia mengangguk.
“Karena nggak ada jaminan gue bisa membayar semua kebaikan dia. Sesuatu yang sudah hancur, meskipun berusaha untuk diperbaiki, tetap tidak akan menjadi utuh. Gue nggak mau malah gue yang membuat dia hancur.”
***
Nadine meletakkan sebungkus nasi goreng di meja Ikram saat laki-laki itu tengah serius mengetik sesuatu di laptopnya. Ikram langsung mendongak, mendapati Nadine dan Dion sedang nyengir.
“Dari tadi gue nggak lihat lo makan, Kram,” ucap Nadine.
“Aman, kok. Nggak kita kasih racun tikus,” timpal Dion.
“Tapi nggak tahu deh kalau abangnya ngasih pelet ke nasinya.” Nadine terkekeh
Ikram tertawa sekaligus terharu mendengarnya. Ia sendiri bahkan tidak sadar bahwa dirinya belum makan sesuap nasi pun dari siang. Lambungnya itu hanya terisi cairan kafein. Memang itu berhasil membuat mata melek, tapi baru terasa bahwa perutnya sedikit perih. Ikram sudah melewatkan makan siang dan kini jam makan malam pun terlewat beberapa jam dari seharusnya.
Ikram dan teman-temannya harus lembur hari ini. Pukul sembilan malam area IT masih lengkap minus Rachmat yang harus pulang lebih dulu.
“Makasih ya, Nad, Yon.” Ikram membuka bungkus nasi goreng tersebut dan langsung melahapnya meskipun kurang nikmat karena perutnya malah terasa perih.
“Lagian kerja itu nggak usah ngoyo, Kram. Kalau sakit, kantor emang mau tanggung jawab?” ucap Dion.
“Biar cepet kelar aja kerjaannya, Yon,” balas Ikram di tengah kunyahannya.
“Kerjaan itu nggak bakal kelar-kelar. Kalau pun kelar, kantor ini bakalan tutup. Terus lo nggak kerja lagi di sini,” tutur Dion.
“Tahu, nih. Refreshing kecil-kecilan kek, daripada melototin laptop mulu. Biasanya juga flirting sama gebetan dulu terus lanjut kerja lagi,” kata Nadine. “Lama-lama mata lo jereng, lho.”
Ikram tertawa. “Sialan lo, Nad, malah doain mata gue jereng. Lagian gebetannya juga lagi nggak mau digodain.”
“Jadi keingetan. Tadi siang lo sempat ketemu Kia kan di depan ruang meeting. Padahal gue udah siap mau ledekin kalian. Eh, cuma begitu doang. Kok jadi balik ke level cupu lagi sih lo?" kata Dion.
“Ya itu tadi gue bilang, dia lagi nggak mau digodain.”
“Kenapa? Dia tahu kalau ternyata lo orangnya mesum?” seloroh Nadine.
“Wanjir. Makanya kalau punya kelainan tuh, mbok ya ditutupi dulu gitu lho.” ledek Dion.
“Sialan,” umpat Ikram tertawa keras.
“Padahal beberapa hari ke belakang tuh kita sempat lihat kalian ayang-ayangan di depan ruang server. Mana tuh ruangan dinginnya udah kayak minta ditabokin bolak-balik. Eh, kalian anteng-anteng aja bikin adegan yang membuat para jomlo berhalusinasi bisa pre-wedding di kutub utara,” tutur Dion.
“Anjrit dah ‘ayang-ayangan’. Gue nggak begitu, kali. Ngarang,” bantah Ikram. Tapi dia langsung tertawa ngakak.
“Terus kenapa, dong?” tanya Nadine penasaran.
Ikram menyelesaikan suapan terakhir nasi gorengnya. Meskipun perutnya malah terasa perih, tapi nasi gorengnya habis juga.
“Nggak tahu. Dia kayak berusaha menghindar gitu. Nggak ngerti. Cewek.” Ikram lalu menandaskan satu gelas air putih untuk membersihkan tenggorokannya.
“Tanya dong sama si Nadine. Dia kan cewek. Kalau gue sih sama nggak ngertinya. Habisnya cewek tuh kodenya banyak banget. Bikin otak gue kusut,” ujar Dion.
“Kapan kita nganggap si Nadine cewek, Yon?” Ikram dan Dion terkekeh.
Nadine langsung manyun. “Kelamaan bergaul sama kalian, hormon testosteron hampir mengkudeta estrogen gue. Lagian kalau nggak ngode banyak bukan cewek namanya.”
“Lah kami, cowok juga ngode kok. Tiap hari kita ngoding,” timpal Dion.
“Hahaha. Nasib IT. Sering ngoding tapi nangkap kode cewek aja nggak bisa,” ledek Nadine.
“Lama-lama gue pengin pensiun dini kalau begini,” canda Ikram.
“Tapi kalau lo gigih lama-lama si Kia luluh, Kram. Cewek itu cuma gaya-gayaan aja sok jual mahal, biar mereka tahu seberapa besar usaha lo untuk bisa mendapatkan mereka. Asal jangan pas udah dapat lo tinggalin aja. Brengsek itu namanya,” cerocos Nadine.
Dia bukan lelaki seperti itu, batin Ikram. Dia tidak pernah sebegini ngototnya untuk mendapatkan hati perempuan. Tapi kalau Kianya saja tidak mau, dia bisa apa? Ikram mendengus pasrah.
“Coba lagi aja, Kram. Ini tuh cuma trik pendekatan ala-ala burung merpati,” ucap Nadine.
“Gimana tuh?” tanya Ikram.
“Jinak-jinak merpati. Kayak gampang buat dideketin, tapi ketika udah dekat, eh dia malah menjauh. Kayak maen layangan jadinya, narik-ulur,” jelas Nadine.
“Apa bedanya sama PHP kalau begitu? Kalau ternyata dia memang ogah sama si Ikram gimana?” cetus Dion membuat Ikram ciut.
“Ya kalau lo tetap berkeras mau sama dia, kenapa nggak usaha lebih? Mungkin itu salah satu ujian buat lo biar tahu seberapa besar usaha lo untuk mendapatkan dia. Karena masih aja ada cewek yang berprinsip bahwa seseorang akan lebih menghargai sesuatu yang sulit ia dapatkan,” papar Nadine.
Penjelasan Nadine cukup masuk akal, pikir Ikram. Tapi dia sendiri tak yakin dengan hal itu. Setelah kejadian di acara makan malam minggu lalu, Ikram kira kasusnya ini sedikit berbeda dengan pemaparan Nadine. Ia pun tidak yakin apakah Kia masih mau ia perjuangkan. Ikram rasa Kia masih terbayang-bayangi masa lalunya. Bukan susah move on. Tetapi, tidak mau move on.
Ah, pusing. Sementara itu perutnya juga semakin perih.
“Balik yuk. Udah hampir jam sepuluh malam, nih. Haduh, nyampe rumah jam berapa kalau gini?” gerutu Nadine.
Ikram pun membereskan barang-barangnya. Keningnya sedikit mengernyit ketika perih di perutnya semakin terasa seperti diremas-remas. Ia harus istirahat kalau tak ingin besok pagi hanya bisa terkapar di kasur.
[1] Monev = Monitoring dan Evaluasi
[2] P&E = Planning & Evaluation
PART 10 Trying to Get Closer to You
Satu lembar boarding pass menuju Yogyakarta berhasil dikantongi Kia. Ketika sampai di Bandara Soekarno Hatta terminal 3, salah satu panitia outing langsung memanggilnya dan memberikan boarding pass atas namanya. Kia dan teman-teman sekantor lainnya masih menunggu teman yang lain di area check in. Meskipun sempat antusias akan outing keluar kota karena tidak melulu berkutat dengan pekerjaan, namun Kia kerap merasa risi ketika matanya tak bisa berhenti menangkap bayangan Ikram.
Entah ada apa dengan alam semesta, semakin kuat usahanya untuk menghindari Ikram, malah semakin sering lelaki itu muncul tertangkap sudut matanya. Jika bukan kedua matanya yang menangkap sosok itu, kedua telinganya yang melakukan hal tersebut. Suara lelaki itu seolah ada di mana-mana.
Tanpa sadar Dinda menarik lengannya untuk memintanya bergabung dengan teman-teman satu divisinya yang lain.
“Wefie kita, Ki!” ajak Dinda girang.
Kia ikut tersenyum girang kemudian menghampiri teman-temannya yang sudah bergerombol.
“Satu, dua, ti—” Cekrek!
“Lagi, lagi!” teriak yang lainnya.
Beberapa kali mereka mengambil gambar, tertawa cekikikan saat melihat hasilnya di ponsel. Cindy yang terlihat paling fashionable di antara yang lain mendapat banyak pujian. Ketika tersipu mendengar pujian teman-temannya, Cindy menoleh ke depan dan mendapati Ikram sedang memerhatikannya.
“Eh, Mas Ikram lihatin gue. Duh jadi grogi,” bisik Cindy tapi masih dapat terdengar oleh yang lain, dengan tangan yang tak mau diam merapikan rambutnya.
Tak terkecuali Kia yang langsung mencari sosok Ikram. Untuk apa? Memastikan perkataan Cindy benar atau tidak? Tapi tetap tak Kia hiraukan pertanyaan dalam benaknya itu. Beberapa detik kemudian Kia pun langsung mengutuk dirinya sendiri tatkala tatapannya bertabrakan dengan tatapan Ikram. Lama hal itu terjadi dan ketika Kia berpikir untuk membuang pandangannya, Ikram masih tetap menatapnya.
“Duh, Mas Ikram tuh, bikin gue deg-degan. Lihat deh dia pake baju flanel kotak-kotak gitu, lucu banget,” ucap Cindy pada teman-temannya, termasuk Kia yang masih ada dalam gerombolan divisinya.
“Lucu apa ganteng? Menurut gue sih ganteng tapi cute gitu. Gimana sih deskripsiinnya? Saking gemesnya jadi susah,” sahut Ina, teman Kia dan Cindy di Divisi Finance.
“Bukan dia doang lagi. Kayaknya semua orang di Divisi IT keren-keren deh. Nadine meskipun tomboy begitu tapi dia manis, berasa betah aja lihatinnya. Gue aja yang cewek mikir begitu, apalagi cowok ya? Terus lihat aja si Rachmat, ganteng abis,” timpal Dara.
“Tapi Rachmat udah ada yang nge-tag. Jangan diganggu. Entar lo digantung,” balas Ina.
Cindy dan Dara menghela napas pasrah. “Males deh kalo udah gitu. Lama-lama stok cowok ganteng dan single habis,” ucap Cindy penuh penyesalan.
“Yang single boleh habis, tapi kalau buat cuci mata doang, Mas Dion nggak kalah oke. Meskipun rada om-om, tapi lumayanlah. Masih ada sari-sari papah muda gitu. Ya, nggak?” ucap Dara diiringi gelak teman-temannya.
“Tapi gue tetap setia sama Mas Ikram. Pokoknya dia tuh the best-lah gantengnya. Gue bakalan susah berpaling,” aku Cindy terang-terangan.
Mendengar hal itu, Kia tak bisa bohong bahwa ia merasa terganggu. Ada sedikit perasaan tak rela mendengar hal itu diucapkan perempuan lain.
Ketika akan berpindah tempat ke samping papan penunjuk arah, Kia melihat Ikram berjalan menghampirinya. Oh, bukan. Mungkin menghampiri Cindy yang sedari tadi ribut mengoceh bahwa lelaki itu memerhatikannya. Ikram berjalan perlahan sambil menenteng botol air mineral.
Serasa mendengar genderang ditabuh di depan telinganya, Kia hanya bisa mematung ketika Ikram menyapa dirinya. “Hai, Kia.”
***
Ikram menutupi kertas yang tengah dilihat Lidya, berharap Lidya mau mengalihkan perhatian padanya.
“Ayo dong, Lid. Gue cuma minta ini doang sama lo,” rengek Ikram.
Lidya mendecak kesal lalu melotot pada Ikram. “Aduh! Kan udah gue bilang ini tuh udah nggak bisa. List-nya udah disebar pula sama semua orang.”
“Ya lo tinggal ngelobi satu orang dari kelompoknya dia supaya bisa tukar sama gue. Biasanya juga cingcai,” pinta Ikram.
“Ya cingcai sih. Masalahnya lo mintanya telat banget! Gue nggak bisa ngubah kelompok mendadak. Mau lihat gue dikeroyok sama orang satu kantor?”
Ikram mendengus sebal. Padahal ia hanya minta dipindahkan menjadi satu kelompok dengan Kia yang artinya ia bisa berada dalam satu bus dengan Kia selama perjalanan mereka di Yogya nanti. Dengan begitu ia bisa mendekati dan mengobrol dengan Kia lagi sepanjang perjalanan di Yogya nanti. Tetapi, Lidya yang menjadi salah seorang panitia acara outing ini, sangat sulit untuk dimintai pertolongan.
Kertas berisi rundown acara tiga hari ke depan dan nama-nama orang per kelompok ia lihat kembali. Seketika ia menyadari sesuatu. Ia seakan memiliki celah untuk mendesak Lidya.
“Gue yakin pasti lo yang ubah nama di kelompok ini,” tuduh Ikram menunjuk salah satu nama di sebuah kelompok. “Lo kok bisa satu kelompok sama Rachmat?”
Lidya menghela napas perlahan, memejamkan matanya sejenak. “Demi dewa ganteng yang entah siapa namanya, gue bikin list nama-nama kelompok itu jauh-jauh hari. Seharusnya kalau lo mau minta dijadiin satu kelompok sama Kia, lo minta dari jauh-jauh hari dong.”
“Ssst. Bisa nggak sih suara lo nggak kayak toa masjid begitu?” ucap Ikram semakin kesal.
“Abisnya lo ngeyel banget dibilangin,” ujar Lidya dengan suara memelan. Lidya lalu menarik Ikram ke pinggir, menjauhi kerumunan teman-temannya yang lain. “Gue ngerti, Mas, maksud lo gimana. Gue juga merasakan hal yang sama kok. Tapi jangan kerjaan gue lo acak-acak juga. Seharusnya kalau lo mau minta satu kelompok sama Kia, maksimal lo mintanya tiga hari yang lalu, sebelum gue nyebar rundown dan list kelompok sama yang lain. Kan jadi aneh kalau misalnya lo tiba-tiba tukeran sama satu orang di kelompok dia.”
Ikram menggaruk kepalanya. “Gue baru kepikiran. Tapi itu beneran lo sengaja bikin Rachmat satu kelompok sama lo?"
Dengan tersipu malu karena merasa terciduk, Lidya mengangguk. “Iya. Hehehe.”
Ikram mendengus sebal sekali lagi. “Curang, lo!”
“Namanya juga usaha, Mas.”
Dengan langkah lesu, Ikram kembali berjalan ke tengah kerumunan teman-temannya bersama Lidya.
“Lid!” panggil Ikram membuat Lidya menoleh. “Gue isiin saldo Go Pay lo deh. Atau lo mau minum apa? Air mineral? Teh botol? Fruity?” tawar Ikram di depan vending machine yang mereka lewati. Tanpa terduga teman-temannya yang lain mendengar hal itu dan keadaan jadi semakin tak terkendali.
“Wah, kok Lidya doang yang ditawarin?” teriak Dion tak terima.
“Saldo Go Pay gue juga udah abis nih, Mas. Lo nggak nawarin ngisiin punya gue juga?" teriak Airin, anak QC.
“Ya Allah, Kram, gue juga haus. Tega banget kalau teman satu divisi lo ini nggak lo tawarin,” sambar Nadine.
“Woooh. Gue juga haus, Kram,” teriak yang lain dan suasana pun menjadi rusuh.
“Aku mau Teh Botol dingin dong, Mazque!” pinta Rachmat seenaknya.
“Gue juga!”
“Gue air mineral aja!”
Teriak yang lain membuat Ikram tersudut, sementara itu di pojok sana Lidya cekikikan dengan puas. Sial, batinnya.
“Kenapa teman-teman gue mendadak jadi pengemis semua ya?” sindir Ikram kesal.
“Ah, perasaan Mas Ikram aja,” balas yang lain.
“Resek!” umpat Ikram.
Ikram semakin tersudut dan mau tak mau akhirnya ia keluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan untuk membeli minuman-minuman itu di vending machine supaya keadaan tidak menjadi semakin ribut. Padahal tadi itu kan cuma upaya Ikram menyogok Lidya agar perempuan itu bisa meloloskan permintaannya. Tapi malah begini. Kia tetap tidak satu kelompok dengannya, yang ada ia malah tekor.
Dengan berbotol-botol minuman di tangannya, ia memanggil temannya-temannya untuk mendekat. Ikram lalu membagikan botol-botol minuman itu seakan-seakan ia membagikan uang santunan ke anak-anak yatim. Atau seperti ia membagikan kupon pengambilan daging saat qurban di depan masjid di dekat rumahnya.
“Nih! Belajar yang rajin ya, kalian!”
“Si kampret! Dikira kita anak panti asuhan,” balas Dion.
“Hahaha. Thank you, Mas Ikram,” ucap Airin.
“Asik-asik jos!” Nadine menyambar botol dari tangan Ikram.
Meskipun agak kesal, namun tak disangka perasaan Ikram jadi senang. Memberi selalu membuat Ikram bahagia walau dia pura-pura memaki tak rela. Tetapi di dalam hati sebenarnya ia senang bisa berbagi dan membuat teman-temannya tersenyum.
Tak sengaja ia melihat kerumunan anak-anak Divisi Finance tengah berfoto beberapa meter di depannya. Cewek-cewek itu tampak geli sendiri ketika setiap kali berfoto dan melihat hasilnya di ponsel salah satu teman mereka. Lalu mereka mengulanginya hingga beberapa kali. Tanpa sadar Ikram tersenyum tatkala melihat Kia. Perempuan itu ikut tertawa geli bersama teman-temannya, berpose lucu-lucu juga. Ia kemudian berinisiatif untuk memberikan Kia minum juga. Masa teman-temannya yang lain ia belikan tapi Kia tidak, batinnya.
Ia pun memasukkan selembar uang sepuluh ribu dan membeli dua botol air mineral. Satu untuknya dan satu untuk Kia. Semoga berhasil, doanya dalam hati. Lalu ia hampiri Kia di tengah kerumunan teman-teman satu divisinya.
“Hai, Kia,” sapanya sopan yang hanya dibalas dengan senyuman dan anggukan dari Kia.
“Hai,” balas Kia singkat.
Ampun deh. Kia masih nggak mau ngomong sama gue.
“Minum, Ki? Buat di perjalanan nanti,” tawarnya dengan menyodorkan botol air mineral pada Kia.
Tetapi langsung Kia tolak tanpa basa-basi. “Nggak usah, Mas. Kia punya sendiri kok di tas.”
“Hai, Mas Iam. Aku juga haus lho,” ucap Cindy manja memotong pembicaraannya dengan Kia. Terpaksa ia ladeni Cindy dan tanpa sengaja telah mengabaikan Kia.
“Eh, iya. Ini buat kamu.”
“Beneran?” Mata Cindy berbinar bahagia.
Ikram mengangguk. Tanpa sadar Kia sudah berjalan menjauhi dirinya tanpa berkata apa pun padanya. Ia melihat Kia menghampiri Dokter Febby di depan taman.
“Makasih banyak ya, Mas Iam,” celoteh Cindy yang tidak ia hiraukan.
Melihat Dokter Febby, Ikram jadi teringat tiga hari lalu ketika perutnya terasa perih seperti diremas-remas. Akhirnya ia memutuskan pergi ke klinik untuk meminta obat. Saat itu ia yakin wajahnya sudah pucat pasi karena Dokter yang baru ia ketahui bernama Dokter Febby di klinik itu tampak khawatir melihat kondisinya.
“Sudah berapa lama sakitnya, Pak?” tanya dokter.
“Dari kemarin, Dok. Saya nggak makan siang dan malamnya saya makan telat banget.”
“Pernah sakit mag sebelumnya?”
Ikram menggeleng.
“Yang terasa apa? Kembung? Mual?”
“Iya. Kembung, mual, dan perih di ulu hati.”
“Pusing juga nggak?”
“Hmm ... nggak, sih.”
Kemudian mereka berpindah ke meja periksa pasien dan Ikram menidurkan dirinya setelah diinstruksikan dokter. Dokter Febby menekan ulu hati Ikram. Hal itu membuatnya meringis.
“Sakit?” tanya Dokter Febby.
“Iya.”
Mereka lalu berpindah lagi ke kursi semula dengan Ikram duduk menghadap dokter.
“Selain karena makan tidak teratur, ini juga dipicu oleh faktor psikis, Pak. Mungkin Bapak sedang stres. Terlalu banyak pikiran juga bisa memicu mag.”
Tanpa terduga Ikram tertawa kecil. Hal itu membuat Dokter Febby terkejut, namun ikut tertawa kecil juga.
“Kenapa? Kerjaan di kantor nggak pernah berhenti, ya?”
Ikram menggeleng. “Saya baru tahu kalau stres bisa memicu sakit mag. Agak nggak nyambung aja, Dok, dari pikiran tiba-tiba lari ke lambung.”
“Stres bisa berpengaruh terhadap kesehatan tubuh secara menyeluruh sebenarnya. Termasuk memengaruhi asam lambung. Produksi asam lambung bisa meningkat. Stres juga bisa merangsang area tertentu pada otak yang meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, termasuk nyeri pada ulu hati. Itulah makanya stres dapat memicu mag, Pak.”
Ikram mengangguk-angguk. “Oh.”
“Saya kasih resep obat, ya,” ucap Dokter Febby.
Saat Dokter Febby baru saja menuliskan nama Ikram di kertas resep, tangannya langsung berhenti. Seolah teringat sesuatu, ia lalu tatap wajah Ikram dengan menyelidik. Ikram jadi risi dibuatnya.
“Ini tuh, Mas Ikramnya Kia bukan sih?” tanya Dokter Febby tiba-tiba, membuat Ikram terkejut.
“Hah?”
Dokter Febby tertawa. “Maaf, maaf, kalau pertanyaan saya ngaco. Mas Ikram temannya Kia bukan ya?” tanyanya sekali lagi.
Dengan kening mengerut heran Ikram mengangguk ragu. “I-ya.”
“Oh ... jadi ini yang namanya Mas Ikram. Kenalkan, Mas, saya Febby.”
Masih dengan tatapan heran, Ikram mengangguk pelan. “Saya tahu. Ada papan nama besar di pintu masuk tadi,” tunjuk Ikram pada pintu di belakangnya.
Dokter Febby tertawa lagi. “Saya mengenalkan diri sebagai sahabatnya Kia, kok.”
“Oh.”
Namun Ikram masih belum bisa menemukan benang merah antara penyakitnya dan perkenalan Dokter Febby barusan.
“Kia sering cerita tentang Mas Ikram.”
Ikram tertegun. Takjub.
“Oh, ya?” tanyanya sangsi.
Dokter Febby tersenyum ramah lalu mengangguk. “Ya.”
“Kalau gitu, Dokter juga tahu apa yang terjadi—”
“Ya, saya tahu. Kia sudah cerita semuanya.”
Kemudian Dokter Febby kembali menuliskan resep obat di kertas.
“Hmm ... jangan bilang kalau sakit mag ini gara-gara mikirin Kia.” Ia tertawa kecil.
“Nggak juga sih.” Ikram ragu untuk mengakui dan agak defensif. Padahal sedikit banyak masalahnya dengan Kia memengaruhi pikirannya juga.
Setelah selesai menuliskan resep obat, Dokter Febby menumpahkan perhatian sepenuhnya pada Ikram dengan membuat kontak mata yang intens dengan lelaki itu.
“Kia perempuan yang sangat rapuh, Mas. Terlalu banyak kecemasan dan rasa frustrasi selepas perceraian dengan suaminya dan itu tidak bisa memulihkan kepercayaannya dalam waktu singkat. Saya harap Mas Ikram mengerti untuk tidak terlalu memaksakan diri,” papar Dokter Febby membuat Ikram bertanya-tanya.
“Saya memaksakan diri?”
“Kalau Mas berencana untuk tidak terlalu serius dengan Kia, lebih baik Mas lupakan semua rencana Mas itu.” Perkataan Dokter Febby malah lebih mirip ancaman bagi Ikram.
Ikram tertawa tak percaya dengan tuduhan perempuan di depannya ini. Siapa yang bilang dirinya tidak pernah serius dengan Kia? Kalau pun ada, sudah pasti itu tuduhan yang kejam menurutnya.
“Saya mengerti, sebagai orang terdekat dalam kehidupan Kia, Dokter pasti mencoba untuk melindungi. Tapi yang bilang saya tidak serius itu siapa? Kia?”
“Jangan salah paham. Dan jangan terlalu defensif juga, Mas. Jangan menganggap saya sebagai penghalang. Nggak, bukan itu tujuan saya. Saya hanya mencoba menempatkan diri sebagai pihak yang paling netral. Menurut Mas kenapa Kia bisa sampai menjauh?”
“Jadi benar ya kalau Kia sedang berusaha menghindari saya?” tanya Ikram sedih.
Melihat respons Ikram, Dokter Febby pun iba.
“Dia hanya masih sulit untuk percaya dan terus menerus menyalahkan diri sendiri. Dia cuma nggak mau membawa kekacauan yang dimilikinya pada kehidupan orang lain. Dia juga takut tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikan yang Mas berikan padanya.”
“Saya nggak minta Kia membalas setiap kebaikan yang saya berikan.”
“Dia tidak mau jadi seorang PHP untuk Mas Ikram. Sebaliknya, dia juga tidak mau menaruh harapan terlalu besar pada orang lain. Bisa dibilang Kia sudah tidak percaya pada harapan dan cinta. Tapi, Mas ….”
Ikram mendongak menatap lurus-lurus mata Dokter Febby.
“Kia merasakan kebahagiaan akan kehadiran Mas di hidupnya.”
“Saya nggak ngerti,” lirih Ikram.
“Saya masih ingat bagaimana senangnya saya ketika melihat pipinya merona saat membicarakan Mas Ikram. Dan itu adalah kejadian langka semenjak satu tahun terakhir ini.”
Ikram memutar otaknya untuk menerka apa maksud dan tujuan pembicaraan ini.
“Boleh saya minta sesuatu dari Mas?” tanya Dokter Febby serius.
Ikram masih bergeming. Ia tak mau menyetujui atau menolak sesuatu yang tak pasti seperti ini.
Apa yang Dokter Febby inginkan darinya? batinnya.
“Jika Mas benar-benar serius dengan Kia, saya mohon jangan tinggalkan dia hanya karena dia sedang merasa rendah diri. Sikap orang memang selalu dipermainkan psikologisnya. Tapi saya harap Mas bisa mengontrol psikologis Kia dan mengarahkannya menjadi perasaan nyaman.”
Ikram menggeleng pesimis. “Kia bahkan nggak mau ketemu sama saya.”
Tetapi, Dokter Febby tersenyum penuh arti. “Saya yakin kalau Mas serius dengan Kia.”
Tepukan keras di pundak Ikram menyadarkannya untuk kembali pada hari ini. Dion merangkul bahu Ikram dan menyeretnya untuk masuk bersama teman-teman yang lain.
“Diajakin Cindy kagak mau mulu lo,” celetuk Dion.
“Hah? Kapan dia ngajakin?” tanya Ikram linglung.
“Yaelah. Barusanlah.”
“Oh.”
Ia terlalu serius memikirkan bagaimana cara mendekati Kia kembali, sampai-sampai ia tak sadar apa yang terjadi di sekitarnya.
***
Antrean makan ala prasmanan di resto hotel tempat mereka menginap tengah mengular panjang. Ikram memerhatikan satu per satu orang yang datang untuk ikut mengantre. Dan ia sengaja menunggu Kia agar bisa mengantre sama-sama.
Sudah sekitar lima belas menit dari jadwal makan malam. Namun Kia tak kunjung ia temukan. Ia berkeras harus bertemu dengan Kia sekarang. Jika tidak, rencana yang sudah ia susun sedari siang tadi akan gagal.
Jadi sejak tadi siang, ketika pesawat baru saja landing di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, ia kerap melihat Kia bersama dengan Dokter Febby. Entah mengapa setiap kali ia melihat dokter itu, ia selalu teringat akan permintaannya tiga hari lalu yang menyatakan untuk tidak pernah meninggalkan Kia meskipun dalam kondisi Kia yang sedang merasa rendah diri. Meskipun tidak pernah mengamini permintaan itu di depan Dokter Febby, Ikram tahu bahwa ia akan melakukan hal tersebut dengan atau tanpa permintaan dari siapa pun. Jadi ia akan berusaha mendekati Kia kembali. Tapi harus ada cara-cara khusus agar Kia mau diajak bicara.
Saat itulah ia mendapat secercah ide. Langsung saja ia tarik Lidya yang sedang berjalan melewatinya.
“Lo masih mau saldo Go Pay lo gue isiin nggak?” tanya Ikram.
“Mau dong” pekik Lidya girang.
Ikram tersenyum penuh arti. “Oke. Tapi lo harus bantu gue.”
“Bantu apa? Nggak yang aneh-aneh kan?”
“Nggaklah.”
“Hmm. Oke! Tapi isiin saldonya gopek ya!” Lidya nyengir lebar.
“Anjir! Pemerasan ini namanya.”
Dengan enteng Lidya mengangkat bahunya. “Ya terserah sih mau dibantuin apa nggak.”
Mau tak mau Ikram mengiyakan permintaan Lidya meskipun sedikit misuh-misuh karena harus kehilangan uang lima ratus ribu. Sudah kehilangan uang sebanyak itu, rencananya haruslah berjalan lancar.
Tak berselang lama, perempuan yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Untungnya tidak sedang bersama Dokter Febby. Kia datang ke resto bersama Dinda. Langsung saja Ikram menyempil di antara mereka.
“Sori, Din. Ini kayaknya antrean gue deh,” sela Ikram di antara Dinda dan Kia.
“Yah, Mas. Antrean gue ih!” Dinda tak terima.
Namun, kemudian Ikram memberikan kode dengan kedipan mata pada Dinda. Untungnya Dinda cepat mengerti ketika Ikram melirikkan matanya ke arah Kia.
Giliran Kia yang merasa risi. “Lho, Din, kok lo—”
“Nggak pa-pa, Ki. Antrean gue emang di sini kok,” potong Dinda dengan cepat sambil mundur untuk mengambil antrean di belakang.
Ikram mengisyaratkan terima kasih pada Dinda dengan mulutnya yang dimonyongkan. Dinda membalasnya dengan pelototan mengancam pada Ikram.
Kia mulai mengambil makanan dalam antrean dengan Ikram di belakangnya.
“Kia,” sapa Ikram pelan.
“Mas,” balas Kia masih dengan sikap yang dingin.
“Kamu menghindari saya,”
Ucapan Ikram membuat Kia bergeming sepersekian detik karena terkejut. Kia kemudian tersenyum wajar untuk menutupi keterkejutannya.
“Perasaan Mas Ikram aja.”
“Kalau begitu saya mau bicara sama kamu.”
“Silakan,” restu Kia seolah Ikram akan mau saja bicara dengannya di tengah antrean panjang sambil menyendoki makan malam begini.
Ikram hanya bisa menghela napasnya panjang.
“Saya nggak yakin kita bisa bicara di tengah ‘antrean sembako’ begini.”
Tanpa diduga Kia malah tertawa, dan itu terdengar sangat renyah di telinga Ikram. Ikram jadi kangen mendengarnya.
“Sambil duduk aja nanti, Mas. Bukan sambil antre begini,” tawar Kia.
“Begini aja, karena saya nggak mau hanya bicara basa-basi sambil duduk makan dengan tenang, saya bisa carikan waktu dan tempat yang pantas untuk kita bicara."”
Kia membalik setengah badannya menghadap Ikram, menatap laki-laki itu dengan tatapan ragu. Hal itu membuat Ikram segera merapal doa, semoga Kia tidak membuat ini semakin sulit.
“Sebenarnya nggak ada yang harus kita bicarakan, Mas.”
Tuh kan!
“Kamu yakin setelah dua minggu lalu saya lihat kamu nangis di depan saya—”
“Mas, please,” potong Kia cepat, khawatir teman-teman di sekitarnya mendengar.
Mereka berdua akhirnya keluar dari antrean agar tidak mengganggu yang lain. Selain itu agar teman-teman mereka juga tidak ikut mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Kia kemudian menarik tangan Ikram ke sudut dinding yang agak tertutupi pilar.
“Silakan. Mas mau bicara apa?”
Ikram tertawa tak percaya. Sebegitu besarkah keinginan Kia untuk segera menjauh darinya?
“Bukan begini, Ki. Saya ingin kita bicara dengan pantas, bukan seperti ini.”
“Yang pantas menurut Mas itu yang bagaimana? Begini sama aja kan?”
“Gini aja deh, Ki. Kita taruhan.”
Kia mengernyit. “Serius? Kita taruhan cuma untuk ‘bicara’?”
“Eh, ini bukan bicara biasa ya,” Ikram memperingatkan. “Saya nggak akan kesusahan begini hanya untuk bisa bicara sama kamu kalau kamu nggak menghindari saya terus.”
Kia menghela napasnya, gemas. “Udah dibilangin itu perasaan Mas Ikram aja.”
"Pokoknya biar fair kita taruhan aja. Setelah makan malam ini ada sesi ice breaking. Siapa yang menang atau yang paling banyak menjawab dengan benar di situ, dia pemenangnya.”
Kia menggelang tak suka.
“Kalau saya menang, kamu harus mau saya ajak bicara,” lanjut Ikram mengabaikan penolakan Kia.
“Kia tetap nggak mau ikut taruhan ini.”
“Tapi kalau kamu yang menang, terserah kamu mau minta apa aja sama saya, termasuk meminta saya untuk berhenti ‘gangguin’ kamu.”
Kia terdiam, merasa tersinggung. Ia sama sekali tidak pernah menganggap Ikram mengganggunya. Ikram salah paham.
“Mas, kamu tahu kan Kia nggak pernah ngerasa kamu—”
Ikram mengangkat tangannya menyuruh Kia diam. “Ikuti aja taruhan ini, Ki. Cuma itu yang bisa saya lakukan sekarang. Jangan dibikin rumit lagi.”
Setelah menyelesaikan perkataannya itu Ikram langsung meninggalkan Kia sendirian dengan segudang rasa kesalnya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
