Part 16-21 (Gratis)

1
0
Deskripsi

Hubungan Kia dan Ikram mengalami pasang surut nih, mirip air laut aja. 

Tapi ketika mereka berdua mulai merasakan ada peningkatan, eh tiba-tiba Nando, mantan suaminya Kia itu, muncul lagi di hadapan Kia.

Kia yang masih memiliki perasaan pada Nando, jadi bimbang. Lalu, gimana dengan Ikram?

PART 16 The Silent Treatment

Gelas dengan posisi miring itu akhirnya menumpahkan isinya. Cappucino Latte yang tak lagi hangat menggenangi meja. Semua tangan mengangkati barang-barang penting seperti ponsel, laptop, dan tentunya gelas kopi masing-masing. Dikira marah, alih-alih semua orang di meja tersebut tertawa konyol. Nadine, si penyiku gelas, malah orang yang paling terbahak di antara ke tiga temannya yang lain. Menertawakan kecerobohannya.

Sorry, sorry, guys!” seru Nadine dengan sisa tawanya.

Akhirnya ada juga waitress yang datang untuk membantu membersihkan meja mereka.

“Maafin temen saya ya, Mbak. Dia lagi sawan soalnya,” cetus Dion menyebalkan pada mbak-mbak waitress bertampang datar.

“Tadi sempat nginjek eek ayam dia, Mbak,” tambah Rachmat.

“Sama digigit kucing dan anjing berbarengan,” seru Ikram.

Plus diseruduk soang di depan masjid samping tower Telk*msel,” lanjut Dion lagi.

Nadine malah tertawa mendengar teman-temannya meledeknya. Perempuan itu sadar bahwa ia punya teman-teman ajaib dengan moncong tanpa penyaring. Tanpa terduga Mbak Waitress menahan senyumnya.

Setelah selesai membersihkan meja mereka, Mbak Waitress pun kembali ke tempatnya semula, di dalam coffee shop ini, di belakang tempat barista meracik kopi, atau di mana pun sesuka Mbaknya, Nadine dan teman-temannya tidak tahu.

Guys, gue pengin banget maki-maki kalian, tapi aduh, perut gue sakit banget ketawa mulu dari tadi,” ucap Nadine. Sudut matanya bahkan sampai mengeluarkan air mata.

Beberapa menit yang lalu mereka berempat tengah mengobrolkan film bertema superhero kesukaan masing-masing. Giliran Nadine yang mencerocos tanpa henti ketika membicarakan film superhero dari DC seperti Superman, Batman Begins, The Dark Knight, dan film-film sejenis yang tentunya ada Batman-nya. Karena superhero kesukaan Nadine ternyata adalah Batman.

“Kenapa lo malah suka Batman? Dia kan sebenarnya manusia biasa, bukan superhero asli kayak Superman gitu,” protes Dion.

“Gue suka karena dia humanis dan berusaha banget menegakkan keadilan gitu. Pemikirannya idealis banget,” papar Nadine.

“Dia jadi kayak gitu kan mau balas dendam karena orang tuanya dibunuh,” balas Ikram.

“Iya sih. Tapi kerennya tuh karena dia manusia biasa. Jadi superhero itu hanya dengan mengandalkan kemampuan intelegensi, keterampilan detektif, pemanfaatan teknologi, sama kekayaannya. Nggak ujug-ujug jadi super kayak si Clark Kent,” jelas Nadine.

“Itu mungkin alasan dibuatnya film Superman v Batman: Dawn of Justice, untuk membandingkan lebih hebat mana antara Superman sama Batman. Latar belakang mereka kan beda,” duga Dion.

“Nggaklah!” protes Rachmat. “Di film itu kan mereka berdua duel. Itu karena si Batman kesel sama si Superman.”

“Lah anjir kesel kenapa deh?” tanya Ikram.

“Karena setiap kali si Superman berantem sama musuhnya, dia suka ngerusak fasilitas umum di kota. Perhatikan saja, sekali pukul musuhnya mental ke tembok gedung, terus temboknya rusak parah bahkan nggak jarang langsung roboh. Terus suka ngerusak mobil-mobil warga. Aspal-aspal pada retak. Pokoknya kota jadi ancur deh kalo si Superman berantem. Aku saja kesel, apalagi si Batman,” papar Rachmat konyol.

Kontan semua teman-temannya terbahak.

“Anjir! Gue juga kesel banget dengerin lo ngomong!” pekik Nadine refleks menggaplok lengan Rachmat.

“Untung si Superman kagak tinggal di Indonesia,” balas Dion kemudian.

“Janganlah! Infrastruktur kita belum stabil. Jangan ditambah mereka berantem di sini. Nggak beres-beres pembangunan infrastruktur kita,” jawab Nadine dengan sisa-sisa tawanya.

“Kebayang nggak kalau mereka ada di Jakarta. Kalau kebetulan lagi berantem di Jalan Sudirman gimana? Macet parah pasti. Bukan macet karena gedung-gedung roboh, tapi orang-orang pada selfie di tengah batu dan kerikil yang saling terlempar. Tahu sendiri orang Indonesia. Ada teroris tembak-tembakan sama polisi aja bukannya pada lari, tapi malah foto-foto,” ucap Ikram.

“Terus Simpang Susun Semanggi kebelah dua!” balas Rachmat.

“Halte TransJakarta roboh semua!” tambah Dion.

Mereka berempat terbahak sampai memukul-mukul meja, menimbulkan keributan kecil.

“Terus ... terus pas si Batman sama Robin lagi ngejar musuh naik mobil, si Robin pasti geregetan mampus karena di depan mereka ada emak-emak naik motor jalannya lambat, udah gitu nyalain lampu sein kiri tapi belok ke kanan!” sambung Dion semakin menyebalkan.

Mereka berempat kembali terbahak. Apalagi Nadine membayangkan superhero kesayangannya ngomel-ngomel karena ulah emak-emak naik motor nggak pake aturan.

Saking hebohnya Nadine tertawa, perempuan itu tak menyadari ada gelas berisi Cappucino Latte di dekat lengannya dan ketika lengannya bergeser, ujung sikunya menyenggol keras gelas tersebut hingga isinya tumpah memenuhi meja.

Sore tadi mereka diajak ngopi sama Pak Danil. Ketika jam pulang tiba, Pak Danil pamit pulang duluan. Namun, kadung malas balik ke kantor, mereka akhirnya lanjut ngopi di coffee shop di lobi gedung lantai satu itu.

Sudah hampir Magrib dan coffee shop ini malah semakin ramai. Orang-orang yang datang sehabis pulang kantor silih berganti. Berbeda dengan keempat orang ini yang sebenarnya belum pulang dari kantor tapi malah sengaja menunggu hari hingga larut.

Sementara itu niat Ikram berlama-lama di kantor adalah untuk menunggu Kia yang sedang lembur. Ia sibuk memonitor ponselnya, menunggu Kia membalas pesan yang ia kirimkan siang tadi. Namun, ia hanya bisa menghela napas lelah ketika layarnya masih bersih dari notifikasi pesan.

Kia and her unpredictable emotions. Terlebih setelah kejadian di rumah Kia beberapa hari lalu. Ajaibnya, keesokan harinya Kia sama sekali tidak menghindari Ikram. Bisa dibilang sebuah prestasi?

Setiap hari, setiap siang, ia mengirimkan pesan WA pada Kia. Isinya sederhana, menawarkan diri mengantarkan Kia pulang. Jawaban Kia hanya berbunyi Oke atau Iya. Sangat singkat, padat, dan jelas. Ikram sampai curiga jangan-jangan Kia pemilik salah satu stasiun televisi ber-tagline serupa. Apakah kekhawatiran Ikram hanya sebatas itu? Ikram bahkan harus menahan untuk tidak meringis ketika di sepanjang perjalanan pulang mengantar Kia yang ia dapatkan hanya keheningan. Iyaaa, Kia mendiamkannya sepanjang perjalanan.

Tak jarang Kia bersikap seolah Ikram tidak ada. Misalnya, ketika sedang membuat kopi di pantri dan kebetulan mereka berdua bertemu. Kia tidak menyapanya sama sekali.

Atau saat mereka berpapasan ketika berjalan ke warung belakang kantor untuk makan siang. Seringnya ketika mereka berdua sedang bersama rombongan masing-masing. Ikram dengan Dion dan Rachmat, sementara Kia dengan beberapa orang teman di Divisi Finance. Ketika berpapasan, Kia tak sedikit pun melirik ke arah Ikram. Seperti tidak menganggapnya ada. Ikram sampai geregetan ingin berteriak, “Salah gue apa lagi?”

“Balik yuk! Magrib dulu kita!” ajak Dion, menepuk pundak Ikram.

Ikram beranjak dari duduknya sambil memantau ponsel dan sesekali melihat jam tangannya. Akhirnya Ikram memberanikan diri untuk menelepon perempuan itu.

“Halo, Ki? Kamu masih lembur atau udah mau pulang?” tanyanya.

Masih. Kalau Mas mau balik duluan nggak pa-pa, jawab Kia datar.

“Nggak kok. Saya tungguin kamu aja,” balas Ikram.

Okay!” Klik. Telepon ditutup.

Seperti biasa, selalu Kia yang menutup duluan tanpa meminta persetujuan Ikram.

Mereka berempat pun beranjak menaiki lift menuju ke lantai kantor mereka. Mengganti sepatu dengan sandal jepit untuk kemudian pergi ke musala dan salat Magrib. Saat Ikram selesai, berbarengan pula dengan Nadine, saat itulah Ikram berpapasan dengan Kia yang baru akan masuk ke musala. Ikram sengaja berhenti dari jalannya untuk berjaga-jaga kalau saja Kia menyapanya, atau minimal tersenyum seperti biasa kalau berpapasan dengan orang yang dikenal. Namun, Kia hanya melewatinya begitu saja, tanpa sapaan. Boro-boro nyapa, senyum saja tidak. Tampaknya tadi Ikram sudah menaruh ekspektasi terlalu tinggi pada Kia.

“Gue mau tanya, kali aja nih lo sebagai sesama perempuan tahu,” ucap Ikram.

“Sesama perempuan sama siapa?” tanya Nadine.

Ikram menolehkan kepalanya ke arah Musala, “Tuh, cewek yang barusan lewat gitu aja depan gue.”

Nadine tertawa. “Kia? Kenapa dia?”

“Kenapa cewek tuh senang banget diemin orang berhari-hari? Lo suka gituin orang juga nggak?” tanya Ikram.

“Gue nggak pernah diemin orang tanpa alasan. Kecuali orang itu sudah bikin salah, bisa aja gue diemin. Tapi kalau gue sih jarang gituin orang. Dan kayaknya bukan cewek aja deh yang kayak gitu. Cowok juga bisa begitu.”

“Tapi jadinya gue kayak nggak dianggap gitu. Nggak enak banget!”

“Bener sih didiemin itu nggak enak banget. Level tertinggi dari benci itu kan pengabaian. Kayaknya gue pernah baca tentang ini di sebuah artikel. Kalau nggak salah namanya tuh Silent Treatment. Dan memang berpengaruh buruk untuk kesehatan mental. Eh, mental lo masih baik-baik aja kan?”

Ikram tertawa. “Resek. Cuma bikin mikir aja, jadi kayak merasa ditolak dan bersalah banget.”

“Bahaya, tahu. Kalau pun misalnya memang ada masalah, nggak seharusnya didiemin kayak gini. Kalian selalu bisa obrolin masalahnya. Semua hal sebenarnya bisa diselesaikan dengan komunikasi. Waktu kuliah dulu kan belajar Ilmu Komunikasi! Gimana sih, lo!” papar Nadine.

“Ilmu komputer, bukan ilmu komunikasi!” ledek Ikram membuat Nadine terkekeh.

***

Mobil Ikram menepi di depan lobi apartemen Kia. Baru saja Kia mengucapkan terima kasih, Ikram kembali mengunci pintu mobil. Meskipun heran tapi Kia tetap duduk dengan tenang, menegakkan tubuhnya, kemudian mengempaskan punggungnya di kursi ketika Ikram bertanya, “Kamu kenapa sih, Ki?”

Akhirnya pertanyaan itu tercetus juga dari mulut Ikram setelah selama perjalanan tadi mereka saling diam satu sama lain. Terutama Kia yang masih memperlakukan Ikram seolah Ikram tidak ada.

“Nggak pa-pa,” jawab Kia tanpa harus tahu dengan detail apa yang ditanyakan Ikram.

Bunyi klakson dari mobil di belakang membuat Ikram terpaksa melajukan mobilnya masuk ke area parkir. Kia mengusap keningnya tampak lelah atau malas menanggapi apa pun yang akan Ikram bicarakan.

“Kenapa lagi sih, Ki?” tanya Ikram.

“Apanya, Mas? Kia nggak pa-pa,” jawab Kia.

“Kamu diemin saya berhari-hari.”

“Setidaknya Kia nggak menghindar. Itu maunya Mas, kan?”

“Ya bukan berarti kita ketemu setiap hari tapi kamu diemin saya gini.”

Kia menghela napas dalam dan membuangnya dengan cepat. Kentara sekali bahwa ia sangat lelah. Malas berargumen, ia pun memalingkan wajah ke kaca mobil di sebelah kirinya. Kenapa sih Ikram tidak membiarkannya begini saja? batin Kia.

“Saya udah minta maaf soal yang kemarin itu. Kalau kamu mau saya minta maaf lagi, saya bakal lakuin kok."

“Udahlah, Mas.”

“Iya, udah. Saya nggak akan bahas lagi sesuatu yang kamu nggak suka.”

Kia menoleh ke arah Ikram, melakukan kontak mata dengannya.

“Saya baru ngerti bahwa keingintahuan saya tentang itu mungkin sangat menyakiti perasaan kamu. Tapi saya juga punya perasaan, Ki. Dan didiemin begini tuh nggak enak. Saya bukan paranormal yang bisa tahu isi hati kamu kalau kamu nggak bilang apa yang kamu mau untuk saya lakukan.”

“Kia nggak berhak meminta Mas melakukan ini-itu kan.”

“Saya ngerti. Tapi dengan mengabaikan saya berhari-hari gini kamu sebenarnya sedang menghindari masalah. Padahal masalah itu ada bukan untuk dihindari, tapi diselesaikan.”

Ekspresi wajah Kia mulai melunak, gestur tubuhnya pun mulai melemas, tak lagi setegang tadi.

Suasana area parkir yang sangat hening di malam hari membuat atmosfer di dalam mobil tenang. Bahkan saking heningnya, Ikram seolah bisa mendengar pikirannya sendiri. Asal jangan suara perutnya saja yang terdengar. Bukannya Ikram malu, tapi ini kan kondisinya sedang di puncak negosiasi, jangan dikacaukan dengan hal-hal yang tidak substansial. Ibarat belanja di pasar, sedang tawar menawar dengan alot, ini tuh klimaksnya apakah si pedagang mau memberikan potongan harga atau malah melengos cuek karena mempertahankan harga awal.

“Ngobrol yuk, Ki. Jangan kabur-kaburan lagi,” pinta Ikram dengan sangat lembut.

Kia memiringkan tubuhnya menghadap Ikram. Ia anggap ini sesuatu yang bagus.

“Saya minta maaf,” ulang Ikram. “Saya nggak akan membahas hal itu lagi. Buat saya sekarang yang penting kamu sehat dan kita baik-baik aja.”

“Sebenarnya Kia udah maafin Mas.” Kia menghela napasnya panjang. “Ini kayaknya cuma kebiasaan buruk dari lama. Kia pikir dengan mendiamkan Mas, Mas akan ngerti kalau Kia pengin sendiri.”

“Kamu selalu bisa omongin itu semua sama saya. Kamu mau saya nggak ganggu dulu, silakan. Atau bahkan kamu mau marah-marah sama saya juga silakan. Tapi mendiamkan saya bukan tindakan yang baik, Ki.” Ikram memiringkan tubuhnya menghadap Kia. “Sekarang bilang aja apa yang kamu mau.”

Kia tertawa sendiri. “Padahal Kia sendiri udah tahu gimana rasanya didiamkan. Tapi Kia malah ngelakuin itu sama Mas. Maafin Kia, Mas.”

Ikram menghela napas lega lalu. “Nggak jadi marah-marahnya?”

“Kayaknya cuma Mas deh orang yang malah ngarep dimarahin.”

"Well, it's better than being ignored."

Kia mengubah posisi duduknya menghadap lurus ke depan, mengistirahatkan punggungnya di kursi mobil dengan kepala menengadah. Tersenyum menerawang.

“Kia ngerti banget sikap mendiamkan orang lain—apalagi orang terdekat—adalah sikap yang nggak dewasa. Sialnya, kenapa Kia bisa kecolongan? Mas, trust me, I don't want to be a bitch by doing a silent treatment to others.”

Wow, you do know what silent treatment is,” ucap Ikram takjub, teringat kata-kata Nadine tadi.

“Bertahun-tahun menjalani kondisi itu membuat Kia sulit mengubahnya. Silent treatment itu sendiri juga bentuk dari balas dendam untuk membuat orang lain itu merasakan sakit yang kita terima dari dia. Tapi Kia bersumpah, Kia nggak pernah berpikiran untuk menyakiti Mas, apalagi dengan cara seperti itu. Kayak yang Kia bilang tadi, itu udah jadi kebiasaan buruk.”

“Kenapa memang kamu nggak mau meng-silent treatment orang?”

“Karena setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan baik, Mas. Setiap orang punya hak untuk mendapatkan alasan.”

“Kamu dulu sering giniin ... dia?”

Kia menggeleng, “Nando yang sering giniin Kia.”

Ikram lalu meraih tangan Kia dan meremasnya lembut, bersimpati. “Artinya kamu orang yang kuat, Ki. Saya salut sama kamu. Di luar tindakan silent treatment kamu ke saya ya.”

Kia tertawa, tapi lalu tiba-tiba setetes air mata mengalir ke pipinya dengan cepat. Ia pun mengusapnya dengan segera.

“Kia pasti perempuan paling beruntung karena dipertemukan dengan laki-laki seperti Mas.”

“Kalau gitu jangan disia-siakan,” timpal Ikram penuh percaya diri tapi jadinya malah jenaka.

Kia tertawa yang kemudian disusul Ikram cengengesan.

“Norak deh, Mas.”

Ikram mencibir. “So, kita biasa lagi kan? Janji untuk selalu omongin setiap masalah? Janji untuk nggak diem-dieman lagi?”

Kia mengangguk.

“Oh iya, tunggu,” ucap Ikram lalu berbalik ke kursi belakang untuk mengambil sesuatu.

Ikram kemudian menyerahkan sebuah buket kecil bunga Gardenia berwarna putih pada Kia dan disambut tawa olehnya.

Selepas salat Magrib tadi Ikram jadi kepikiran untuk memberi Kia bunga sebagai tanda permintaan maaf. Ia ingat mamanya di rumah menanam bunga Gardenia. Ikram suka sekali dengan bunga itu karena wangi banget. Tak jarang di kala libur Ikram suka sekali menghampiri tanaman itu di belakang rumah hanya untuk mencium wanginya sampai puas. Akhirnya ia pesan bunga itu via delivery order  Magrib tadi.

“Mas, ini norak deh beneran,” ujar Kia di tengah-tengah tawanya.

“Norak-norak gini juga sayang sama kamu, Ki,” balas Ikram kocak tapi tersirat sekali bahwa ia mengucapkannya dengan tulus.

Kia hanya mengangguk-angguk sambil mengulum senyumnya. Ia perhatikan bunga itu, memutar-mutarnya, mengingat-ingat bunga jenis apa itu. “Bunga apa ini, Mas?”

“Ada deh.”

“Idih, mulai nyebelin. Soalnya bunganya nggak umum untuk dikasih cowok ke cewek.”

“Cium deh,” suruh Ikram.

Tapi Kia malah terkejut.

“Err ... maksudnya cium bunganya. Aduh, bukan saya minta cium,” ralat Ikram. Meskipun pengin banget sih dicium kamu, Ki.

Kia tertawa lagi lalu menghidu aroma bunganya hingga paru-parunya penuh oleh wangi bunga itu.

“Wangi banget,” ucap Kia senang. “Makasih, ya.”

Ikram mengangguk dengan senyuman paling lebar yang Ikram miliki.

Siapa yang bilang kalau hidup itu seperti roda berputar? Tolong bilang pada mereka bahwa Ikram tidak mau rodanya diputar lagi, cukup di sini saja karena Ikram tidak mau membalik lagi dunianya ke suatu kondisi yang bertolak belakang dengan kondisi menyenangkan ini.

***

Setelah keluar dari mobil Ikram dan naik ke apartemennya, Kia terus menghidu bunga pemberian Ikram yang dipegangnya. Ia jadi ketagihan dengan wangi bunga yang ia tidak tahu namanya ini. Bunga ini harus ia simpan sebaik mungkin.

Bunganya cantik sekali. Kia suka. Setelah diingat-ingat, sejak dulu ia tidak pernah mendapatkan bunga dari siapa pun. Nando? Tidak. Nando tidak pernah memberinya bunga. Laki-laki lain? Tidak. Kia tidak mengenal laki-laki lain selain Nando. Paling dulu ketika ia diwisuda, ayah dan mas-masnya yang memberi ia bunga.

Sebenarnya ia kurang suka diberi bunga. Menurutnya hal itu sia-sia karena bunga hanya akan berakhir menjadi sampah jika sudah layu dan kering. Namun, ketika ia mendapatkan bunga yang begitu cantik dan harum seperti ini, pandangannya sedikit berubah bahwa mendapatkan bunga dari orang yang menyayangi kita itu menyenangkan. Ah, lebih tepatnya mendapatkan sesuatu dari seseorang yang menyayangi kita itu menyenangkan.

Ia benar-benar harus bersyukur dipertemukan dengan laki-laki sebaik dan setulus Ikram. Bodohnya selama ini ia hanya fokus berkutat dengan dirinya sendiri tanpa memikirkan bahwa mungkin ada tingkah laku dan perkataannya yang menyakitkan hati Ikram. Jika ia masih bersama dengan Nando mungkin saja saat ini bukan kebahagiaan yang dirasakannya.

Ah ... Nando. Sepertiga tingkahnya memang imbas dari masa lalunya bersama Nando. Sepuluh tahun bersama, tidak mungkin bisa menghilangkan efek-efek itu dari dirinya. Silent treatment yang dilakukannya kepada Ikram adalah sikap yang selalu dilakukan oleh Nando padanya dulu.

Hal ini mengingatkannya pada tiga tahun lalu ketika sudah beberapa kali Nando membatalkan janjinya karena harus pergi bertugas dadakan. Terkadang Kia suka heran, kantor apa sih yang selalu memberi pegawainya tugas dadakan? Itu kantor atau pabrik tahu bulat, selalu dadakan?

Pada suatu hari, akhirnya Nando berjanji dengan sungguh-sungguh—sampai Kia pun percaya bahwa Nando tidak akan lagi membatalkannya—untuk dinner berdua di luar. Saat itu karena kesibukan Nando mereka cukup jarang bertemu. Tentu saja tawaran dinner dari Nando seolah oase di tengah gurun pasir bagi Kia.

Akhirnya Bunga Rampai mereka tentukan sebagai tempat dinner kali ini.

Kia datang mendahului. Ia bahkan menolak memesan terlebih dulu ketika setengah jam berlalu dan batang hidung Nando tak kunjung ia lihat. Ia telepon ke ponsel Nando, tapi tak pernah dijawab. Ia kirim pesan ke WA Nando, namun tak pernah dibalas. Pada akhirnya ia terpaksa memesan Iga Rawon Genjeran dan Es Kopyor Alpukat ketika satu setengah jam berlalu Nando tak kunjung datang dan pelayan yang sama sudah bolak balik menanyakannya akan memesan apa.

Kia kesal, tentu saja. Dinner yang ia tunggu-tunggu ini terpaksa harus ia lewati seorang diri. Dan Nando lebih baik punya alasan bagus yang membuat ia tampak menyedihkan dengan membuang waktu menunggui lelaki itu sendirian.

Ketika pulang, baru saja turun dari taksi, hampir membuka pintu rumah, pintu itu sudah terbuka lebih dulu dengan Nando di baliknya. Nando tampak tergesa-gesa dengan penampilan kusut dan berantakan.

“Aku baru mau berangkat ke Bunga Rampai, Yang.”

Wajah Nando memang tampak bersalah, tapi Kia tetap saja kesal. Ia terabas tubuh Nando lalu masuk ke rumah. Sementara itu Nando mengekor di belakangnya, kerepotan menghentikan langkah Kia yang gusar.

“Yang! Maaf aku lupa,” ucap Nando lagi.

Kia berhenti, menatap wajah Nando dengan tatapan marah. “Padahal kamu lho yang janji.”

“Iya, maaf. Namanya juga lupa, Ki. Puasa aja kalau lupa terus nggak sengaja makan masih bisa ditolerir,” ucap Nando beralasan.

Kia menggeleng tak percaya. “Terserah deh. Kalau nggak sanggup nepatin janji, lain kali nggak usah janjiin aku apa-apa.”

“Harusnya kamu maklum dong. Kerjaan aku lagi banyak banget. Belum lagi tugas-tugas dadakan. Biasa nggak sih kamu ngertiin aku?”

Nando selalu mengharapkan Kia untuk mengerti dirinya. Selalu saja berperan menjadi orang yang tak berdaya jika sudah dihadapakan pada persoalan pekerjaan. Dan ujung-ujungnya Kia yang harus mengalah.

Namun kala itu emosi Kia masih tersulut hingga tak sengaja ketika Nando mengusap bahunya dari belakang dan Kia malah mengedikkan bahu itu hingga lengan Nando terlepas. Sebuah penolakan yang tak Kia maksudkan pada Nando, tapi Nando menganggap sebaliknya. Tanpa sepatah kata terucap Nando pergi dari rumah. Tidak pulang. Tengah malam ia malah ditelepon oleh Priyo, kawan dekat mereka sedari SMA yang kebetulan bekerja di kantor yang sama dengan Nando, mengabarkan bahwa Nando ada di rumahnya dan memberitahu Kia bahwa ia tak usah menunggu Nando pulang.

Ketika keesokan harinya pulang, Nando malah mendiamkannya. Beberapa hari Kia biarkan hal itu terjadi. Namun, lama kelamaan kenapa jadi Nando yang bertingkah seolah ia adalah korban?

Pada suatu hari, Kia sampai meminta bantuan Priyo untuk menanyakan jam berapa Nando akan pulang. Kia berencana memasakkan makanan kesukaan Nando sebagai permintaan maaf.

Namun, saat Nando sampai rumah dan Kia sudah selesai menyiapkan makan malam itu, Nando mengabaikannya lagi.

“Nan, aku udah siapin makan malam—”

“Aku ngantuk banget!” potong Nando lalu melengos ke kamar tanpa sedikit pun menatap Kia. Saat itulah hati Kia patah sedikit demi sedikit. Perasaan ditolak, diabaikan, tak dianggap, dan tak diinginkan tumbuh semakin besar. Dan makan malam yang disiapkan Kia pada akhirnya hanya teronggok dingin tak tersentuh.

Seiring pertengkaran-pertengkaran yang kerap muncul di kemudian hari, Kia dan Nando menjadi mahir mendiamkan satu sama lain. Tidak ada yang berniat memutus perilaku tersebut, hingga menjadi sebuah kebiasaan buruk untuk Kia padahal Kia sangat mengerti bagaimana sakitnya diabaikan.

Namun jika ditanya apakah Kia membenci Nando? Tidak, Kia tidak membencinya. Bagaimanapun Nando pernah menjadi pilihannya sebagai teman menghabiskan waktunya di dunia. Ia menyayangi Nando.

Namun, jika ia ditanya apakah Nando menyayanginya juga? Kia tidak tahu. Mungkin perasaan sayang itu sudah hilang dari hati Nando ketika tawaran perpisahan tercetus dari mulut laki-laki itu. Kia akan selalu ingat yang pertama kali menginginkan perceraian adalah laki-laki itu. Mungkin karena dirinya sudah tak lagi diinginkan. Atau mungkin dirinya tak cukup berharga untuk dipertahankan.

Kia terisak tangisannya ketika mengingat hal itu. Air mata sudah mengaburkan pandangannya dan meleleh di pipi kala ia mengedipkan matanya. Namun ia kembali tersenyum ketika mengamati kembali bunga pemberian Ikram. Ada keinginan dirinya untuk merawat bunga tersebut hingga akhirnya layu dan kering.

 

PART 17 Awan Kegelisahan

Roda troli berputar pelan mengitari hampir seluruh permukaan lantai The FoodHall Senayan City. Sesekali berhenti untuk mengangkut barang belanjaan di rak-rak tertentu. Diiringi lagu Sparks milik Coldplay di seantero swalayan, roda troli semakin pelan berputar. Si pendorong troli ikut bernyanyi lirih.

My heart is yours. It's you that I hold on to. That's what I do,” lirihnya pelan.

Ikram tersenyum mendengarnya. “Suka Coldplay ternyata,” celetuknya.

Kia tersadar Ikram memerhatikannya, lalu tersenyum.

“Kebetulan Kia suka mainin chord gitarnya. Makanya pas dengar, refleks ikutan nyanyi.”

“Kamu kok bisa main gitar sih, Ki? Nggak kelihatan kayak anak yang bisa main musik gitu soalnya,” tanya Ikram.

“Ih, don't judge a book by its cover, dong!” protes Kia pura-pura ngambek.

Ikram tertawa. “Abisnya kamu tuh kelihatannya kayak anak rumahan banget. Manis, nurut sama orang tua, pintar di sekolah, yang gitu-gitu pokoknya.”

“Hayo, stereotyping Kia deh!”

“Nggak gitu. Cuma kamu nih bentukannya bukan kayak anak yang suka nge-band gitu. Maaf deh kalau udah stereotyping.

Kia tertawa. “Bercanda, kali!”

“Emang kalau main gitar suka mainin lagu apa?”

“Yang kuncinya gampang dan kebetulan Kia suka lagunya aja.”

“Terus gimana awalnya kok bisa mainin gitar?”

“Mas tahu film Dear John nggak?”

Ikram tampak berpikir. “Yang dari novelnya Nicholas Sparks bukan, sih? Yang main kalau nggak salah Channing Tatum ya?”

“Iya! Di situ ada adegan si John sama Savannah lagi main gitu di rumahnya si John.”

Kening Ikram mengernyit, setengah kaget karena berpikir yang bukan-bukan ketika Kia menyebut kata “main”.

“Main? Pakai tanda kutip nggak?”

Kia tertawa kencang, lalu memukul lengan Ikram. “Bukan! Main kayak main-mainnya anak kecil gitu, Mas.”

“Oh, kirain.” Ikram terkekeh.

“Tapi lucu. Jatuhnya jadi romantis menurut Kia. Kemudian ada adegan di mana si Savannah duduk di sofa di samping si John yang lagi rebahan, main gitar nyanyiin lagu yang dulu Kia nggak tahu lagunya apa, tapi Kia suka banget sama lagu itu. Saking sukanya sama adegan dan lagu itu, Kia sampai minta Nando buat cari tahu lagunya.”

“Terus, nemu?”

Kia mengangguk. “Judulnya Little House, yang nyanyi si Amanda Seyfried asli. Kia sempat bilang kalau Kia suka pas si Amanda main gitar sambil nyanyi lagu itu. Karena kayak damai banget. Sudah gitu nada-nadanya minor semua gitu. Eh tiba-tiba Nando ngulikin kunci gitarnya dan ngajarin Kia main gitar. Kata dia kuncinya gampang banget, jadi Kia pasti bisa. Dulu hampir setiap hari Kia nyanyi lagu itu sambil main gitar. Sampai sekarang masih suka iseng-iseng main gitar kalau lagi bosan sendirian di apartemen.”

Wah berat juga saingan imajiner gue. Orangnya nggak ada tapi tetap nyantol di pikiran Kia, Ikram membatin.

“Kalau film luar mah gitu ya, Ki, aktornya serba bisa. Ada adegan nari, nyanyi, bahkan broadway pun mereka bisa semua. Nggak pake stuntman.”

“Ya kali nari pake stuntman. Nggak kebayang Emma Stone sama Ryan Gosling kudu diganti dulu pas mereka nari-nari di La La Land.” Kia dan Ikram tertawa.

Kia dan Ikram terus mendorong troli belanjaan menyusuri chiller cabinet sayuran. Malam ini sepulang ngantor Kia tiba-tiba ingin mampir ke swalayan untuk belanja bulanan. Ikram sih senang-senang saja mengantar Kia ke mana-mana. Kia minta ia nemenin untuk menyelam di lautan juga Ikram jabanin. Apalagi cuma nganter Kia belanja bulanan begini.

Kia memlilih-milih sayuran sambil sesekali berpikir akan memasak apa.

Ketika Kia masih sibuk memilih sayuran dan Ikram yang jadi ikutan melihat-lihat sayuran, ada suara ramah perempuan memanggil nama kecil Ikram. Mereka refleks menoleh ke arah suara. Seorang wanita berumur pertengahan lima puluh tahun, berambut bob sebahu, dengan wajah yang ramah sekali, berhenti di belakang Kia dan Ikram.

“Lho, Iam?” teriak si perempuan.

“Eh, Mama,” balas Ikram pada wanita yang ternyata adalah mamanya.

Mama Ikram menghampiri mereka dengan wajah kaget campur semringah. Apalagi ketika menyadari ternyata Ikram bersama perempuan cantik di sebelahnya.

“Lagi ngapain, Yam?” tanya mamanya.

“Nemenin Kia belanja, Ma," jawab Ikram. “Oh iya, Ma. Kenalin ini Kia, teman kantor Iam. Kia, ini mama saya.”

Kia langsung menjabat tangan mamanya Ikram.

“Halo, Tante. Saya Kia,” ucap Kia tersenyum ramah.

“Wah, cantik sekali,” ujar Mama Ikram dengan sangat ramah.

“Makasih, Tante.” Kia tersenyum malu-malu.

“Mama sama siapa?” tanya Ikram

Tak berselang lama datang laki-laki dengan umur kira-kira di atas Ikram beberapa tahun. Wajahnya mirip Ikram dengan garis-garis wajah yang lebih tegas.

“Tuh, sama Isal.”

“Eh, ngapain lo di sini, Yam?” tanya laki-laki yang Kia tebak itu kakaknya Ikram.

“Nemenin belanja,” jawab Ikram sekenanya. “Kenalin, Ki, ini Faisal, abang saya. Sal, teman gue, Kia.”

Kia pun menjabat tangan Faisal.

“Kia, Mas.”

“Panggil saja Isal.”

“Mama kok banyak banget belanjaannya? Kayak mau hajatan aja,” canda Ikram ketika melirik pada troli yang Faisal dorong dengan isi yang penuh di dalamnya.

“Mama mau masak besar. Savira kan udah wisuda, selesai kuliah S2 di Jerman. Kata Akbar, Sabtu nanti mereka mau main ke rumah. Sekalian Mama pengin syukuran kecil-kecilan.”

Ikram mengangguk tanda mengerti.

“Eh, mumpung ketemu di sini. Nanti Kia datang ya hari Sabtu. Tante bakal masak banyak banget. Sekalian kenalan sama Akbar dan Savira,” undang Mama Ikram membuat Kia terlonjak kaget.

“Wah? Aduh, jadi malu, Tan,” ucap Kia, tersenyum canggung. Kia melirik Ikram untuk meminta pertolongan. Namun, Ikram malah membuang pandangannya sambil menahan senyum. Kia jadi gemas dibuatnya.

“Nggak usah malu-malu. Sambil main ke rumah Tante aja. Ya kan, Yam? Pokoknya Tante tunggu Kia Sabtu nanti."

Dengan anggukkan kecil dan senyum manis, Kia mengiakan ajakan Mama Ikram. “Iya, Tante. Makasih, udah repot-repot ngundang Kia juga.”

“Ya sudah. Silakan dilanjut acara belanjanya. Nanti minta tolong Iam aja untuk angkat-angkat belanjaan. Gadis cantik jangan ngangkat yang berat-berat,” canda Mama Ikram.

Kia tertawa. “Bisa aja, Tante.”

“Tante ke sana dulu ya.”

Kia mengangguk.

Mama Ikram beranjak. Disusul Faisal sambil menepuk pelan pundak Ikram. Gestur laki-laki untuk pamit.

“Duh, ternyata gini ya perasaan Mas Ikram waktu Bunda ngundang ke acara akikahan di rumah Kia,” tukas Kia dengan wajah sedikit memerah karena malu.

“Nah, kan! Karma does exist, Ki,” balas Ikram tertawa.

“Ih, jahat malah ngatain karma.” Kia cemberut.

“Kalau kamu nggak mau datang juga nggak apa-apa, Ki. Mama pasti cuma basa-basi tadi,” hibur Ikram.

Namun Kia akhirnya malah tersenyum. Tidak membantah pun mengiakan perkataan Ikram.

***

Malam-malam Ikram sedang memberi makan ikan-ikan kesayangannya di kolam samping ruang TV—spot favorit Ikram kalau lagi bengong. Tiba-tiba mamanya menghampiri, mengusap lembut punggung anak lelakinya itu.

“Yam, Kia itu siapa? Pacar? Kok nggak pernah dikenalin sama Mama?” tanya ibunya.

“Yaaa ... Iam sih ngarepnya gitu,” jawab Ikram cengengesan.

“Lho? Masih perjuangan toh?”

Terdengar Faisal tertawa meledek di ruang TV. Sekilas ingin ia lemparkan makanan ikan di tangannya pada Faisal. Meledek seharusnya lihat-lihat situasi dan kondisi, batin Ikram. Faisal saja masih menjomlo, berani-beraninya meledek dirinya.

“Menurut Mama, Kia anaknya gimana?” tanya Ikram.

“Anaknya manis, baik, cantik, ramah, terus sopan. Kayaknya nggak aneh-aneh juga. Mama sih suka, Yam.”

“Tapi ....”

“Tapi kenapa?”

“Mama tadi bilang Kia ‘gadis cantik’," lanjut Ikram tak jelas membuat ibunya heran.

“Ya memang cantik, gimana?”

“Bukan itu. Maksudnya, Kia ... bukan gadis, Ma.” Ikram tampak sangat rikuh ketika menjelaskan hal itu.

Ada jeda sejenak sebelum mamanya melanjutkan. “Coba jelasin deh. Maksudnya bukan gadis tuh gimana?”

“Kia pernah menikah, Ma. Tapi divorce. Iam belum cerita soal perempuan yang Iam suka karena masih bingung bilang ini sama Mama. Meskipun seharusnya sih, seharusnya, itu nggak jadi masalah.”

“Istigfar kamu, Yam. Pikiran kamu buruk banget sama Mama. Kamu pikir Mama ini orang tua yang seperti apa? Kamu nuduh itu namanya.”

“Maafin Iam, Ma. Iam kira orang tua pasti pengin yang terbaik buat anaknya. Pasti pengin calon menantu yang sempurna. Pasti nggak ingin dikecewakan sama anak-anaknya.”

“Yam, keluarga kita aja nggak sempurna, kamu berani-beraninya menuntut kesempurnaan dari orang lain. Bagi Mama yang terpenting kamu bahagia dengan pilihan kamu sendiri. Kalau nggak gitu, sudah dari lama Mama jodohin kalian sama anak-anaknya teman Mama.”

Ikram terdiam, merasa bersalah pada ibunya.

“Mama tanya sama kamu. Kamu suka nggak sama Kia?”

“Ya suka. Kalau nggak suka ngapain Iam deketin.”

“Sudah yakin kalau dia adalah satu-satunya?”

Ikram mengangguk pasti.

“Ingat, umur kamu tuh udah pantas untuk menikah. Kalau kamu yakin sama yang ini, jangan cuma dijadiin pacar.”

“Iam malah serius sama Kia, Ma,” ucap Ikram membela diri. “Tapi Kianya masih belum luluh, Ikram nggak bisa berbuat banyak.”

“Kadang Mama suka gereget sama kalian—Ikram dan Faisal. Kok bisa sih nggak dapet-dapet cewek? Heran. Kurang jurus apa lagi? Minta ilmunya, gih, sama Akbar."

“Kalau minta ilmu sama si Akbar, yang ada gebetan Iam nanti Isal yang embat, Ma!” serobot Faisal sarkastis di balik sofa.

Ibunya dan Ikram meringis berbarengan. Masalahnya, Savira dulunya adalah pacar Faisal. Eh, malah nyantol sama Akbar, kakak sulung mereka. Sekarang Akbar dan Savira sudah bertunangan.

“Kamu tuh ngomongnya jangan gitu sama abang sendiri. Pamali,” tegur Mama Ikram.

Faisal tak membalas.

“Perempuan kan banyak, Sal. Mending mulai cari satu daripada terus mikirin Vira, ngambek mulu sama Akbar, bikin Mama khawatir tiap hari karena kepikiran jangan-jangan kamu udah nggak suka sama perempuan."

“Mama! Pamali nuduh-nuduh anaknya gitu!” protes Faisal, semakin menenggelamkan tubuhnya di balik sofa.

“Makanya cari cewek,” timpal ibunya.

Ikram tertawa ngakak memerhatikan Faisal dan ibunya yang selalu sama-sama ngotot.

“Sekarang adik kamu yang lagi ada progres. Mama tadi seneng banget pas lihat Iam sama Kia berdua di supermarket. Mama bersyukur akhirnya Iam punya cewek juga. Tapi ternyata nggak semulus yang Mama bayangkan.”

“Tapi Mama kasih restu nggak kalau Iam sama Kia?” tanya Ikram.

“Pasti Mama restuin. Mama percaya sama kamu. Kamu sudah dewasa, sudah bisa menilai mana yang baik dan buruk. Mana yang bisa menguntungkan dan merugikan. Selera kamu juga bagus. Jika kekhawatiran anak adalah membuat orang tuanya kecewa, kekhawatiran orang tua adalah tidak bisa melihat anaknya bahagia di atas pilihannya sendiri."

***

Kia memasukkan macaroon warna-warni yang baru saja berhasil ia buat ke dalam dus. Di belakangnya, Ikram menyender pada meja makan sambil memerhatikan. Ikram juga sempat mencicipi macaroon buatan Kia tadi. Rasanya enak. Manis. Mirip rasa macaroon di toko-toko kue. Takjub juga ternyata selain pintar memasak, Kia juga bisa membuat kue. Meskipun tadi Kia cerita bahwa ia lihat tutorial bikin macaroon di Youtube. Gemas juga.

“Ki, kalau kamu nggak mau datang ke rumah juga nggak pa-pa,” cetus Ikram tiba-tiba.

Di sela-sela kesibukkannya memasukkan macaroon ke dus, Kia menggeleng. “Nggak enak sama mamanya Mas. Tempo hari Kia udah nyanggupin untuk datang.”

“Jadi cuma formalitas aja karena nggak enak sama Mama,” canda Ikram, meniru omongan Kia ketika dirinya datang ke akikahan di rumah Kia dulu.

Kia tertawa, karena merasa familier dengan kalimat itu. “Nih, Kia udah bikinin kue buat mamanya Mas.” Kia memamerkan macaroon warna-warni yang berderet rapi di dalam dus.

Ikram tersenyum. Melihat deretan warna-warni kue itu sangat menghibur mata. Seperti hatinya yang kian berwarna ketika ia bersama Kia. Namun sayangnya, warna hati Ikram hari ini kelabu. Seperti gelayut awan yang menampung air sebelum menurunkan hujan. Awan yang Ikram miliki kini menampung kegelisahan.

Kegelisahan Ikram lebih kepada Kia menganggap dirinya ini apa. Laki-laki dan perempuan saling mengenalkan dirinya kepada keluarga masing-masing, itu artinya apa coba? Sementara ini Kia tidak pernah memproklamasikan bahwa perempuan itu menerima Ikram sebagai seseorang yang Kia anggap lebih dari teman.

Namun, menanyakan hal itu pada Kia sama saja dengan aksi menembak mati dirinya sendiri. Terlalu berisiko. Ia tidak bisa memaksakan Kia untuk jatuh cinta pada dirinya. Cinta itu sebuah ketulusan. Ikram ingin Kia merasakan ketulusan itu tanpa paksaan. Tanpa sesuatu yang melatarbelakangi hal itu harus terjadi, seperti misalnya rasa kasihan, atau perasaan tidak enak.

 

PART 18 Pertunjukan Sirkus dan Gempa Bumi

Seperti yang sudah Ikram duga, mamanya senang sekali Kia datang. Apalagi mendapat bingkisan spesial, buah tangan hasil Kia sendiri.

“Ini kuenya bikin sendiri?” tanya Mama Ikram semringah.

“Iya, Tante. Iseng-iseng aja bikin sambil belajar,” jawab Kia.

“Pintar banget. Masuk yuk. Tante udah masak banyak. Tinggal nunggu Akbar sama Vira, katanya masih di tol.”

Ikram menyentuh punggung Kia untuk mengarahkannya masuk. Hari ini penampilan Kia berbeda dari biasanya. Biasanya yang Ikram maksud adalah penampilan Kia dengan setelan kantor. Siang ini Kia terlihat lebih manis dan cute dengan setelan dress vintage berwarna pastel. Sebagai makhluk visual, ia tentu merasa dimanjakan dengan penampilan itu. Jujur saja, Ikram jadi semakin suka pada Kia.

“Hai, Kia,” sapa Isal di sofa depan TV.

“Hai, Mas Isal,” balas Kia.

Berbeda dengan mamanya dan Ikram, Faisal masih terlihat lusuh. Kaus kedodoran, celana pendek, dan rambut kusut menandakan bahwa mungkin saja Faisal belum mandi.

“Kamu mandi sana! Bentar lagi Akbar sama Vira datang,” omel ibunya.

“Isal udah mandi! Nuduh mulu nih Mama,” gerutu Faisal.

“Ngelawan mulu ya, sama Mama. Awas lho Mama teror minta cucu, tahu rasa kamu!”

Tanpa terduga Kia malah tertawa. Nggak anaknya, nggak ibunya, pada senang bercanda semua. Ikram melirik pada Kia yang masih tertawa geli. Ia jadi ikut tertawa.

“Gini deh, Ki,” ucap Ikram menggaruk belakang kepalanya, malu. “Maaf ya harus lihat pertunjukan sirkus di kunjungan pertama kamu ke sini,” canda Ikram.

“Baru kali ini Kia dengar ancaman minta cucu,” ujar Kia dengan sisa tawanya.

Kia dan Ikram duduk di ruang tamu. Tak lama ART keluarga Ikram menyuguhi Kia minum dan beberapa camilan di meja. Disusul mamanya Ikram yang kemudian duduk bersama-sama mereka. Mengobrol sebentar seperti menanyakan Kia tinggal di mana, kerja di bagian apa, dan asli keturunan mana. Begitu Kia bilang bahwa ia asli dari Bogor, mamanya Ikram berseloroh.

“Wah, USA. Urang Sunda Asli,” seloroh mamanya Ikram.

Kia tertawa mendengarnya.

“Sekarang kamu tahu kan, kenapa saya norak? Ini asal muasal kenorakan saya. Faktor gen, susah dihilangkan,” kelakar Ikram.

“Tuh, gitu deh, Ki. Masa mamanya dikatain norak coba.”

Obrolan ringan pun terus mengalir. Sampai akhirnya mamanya Ikram teringat akan masakan yang tengah disiapkannya di dapur.

“Mumpung Akbar belum datang, Tante ke dapur dulu, nyiapin makan siang,” pamit mamanya Ikram.

Kia lalu ikut berdiri dan menawarkan diri untuk membantu di dapur.

“Nggak usah. Kamu di sini aja. Kasihan kalau harus ikut repot,” tolak mamanya Ikram halus.

“Nggak pa-pa, Tan. Kia bantu ya,” ucap Kia berkeras sambil mengikuti mamanya Ikram menuju dapur. Sementara itu Ikram yang ditinggalkan sendirian tersenyum mengangguk ketika Kia meminta izin untuk pergi ke dapur.

Di dapur Kia membantu menyiapkan makanan yang lumayan banyak. Ini kayak mau pesta aja, batin Kia. Padahal penghuni rumah ini sepertinya tidak banyak. Bisa dihitung jari malah.

“Tante pintar masak banget sih,” puji Kia melihat berbagai makanan rumit yang dimasak mamanya Ikram. Ada opor ayam, rendang, gulai sapi, tahu, tempe, dan beberapa tumisan sayuran hijau. Sudah kayak lebaran.

“Kamu juga pintar bikin kue,” puji mamanya Ikram.

“Masih belajar sih, Tan.”

“Kalau Kia suka masak nggak?”

“Suka. Apalagi kalau makanan kesukaan dan yang resepnya gampang.”

“Iam sama Isal itu sifatnya bertolak belakang. Malah lebih dewasa Iam ketimbang Isal. Tapi soal makanan, mereka sepakat untuk suka masakan rumahan. Terkadang manja-manja banget. Apalagi kalau habis pulang dinas luar kota, pasti minta dimasakin makanan kesukaan masing-masing. Tapi mereka sih suka semua makanan kayaknya. Disodorin apa aja pasti habis.”

Kia tersenyum. Lalu seperti merasakan kejanggalan setelah mengamati keluarga Ikram dengan singkat. “Kalau ... Om di mana, Tan?” tanya Kia meski sedikit canggung.

Mama Ikram meletakkan perlahan wadah berisi opor ayam di atas meja. Tatapan matanya tiba-tiba meredup.

“Papanya Iam sudah nggak ada, Kia,” jawabnya.

Kia terkejut. Merasa tidak enak karena sudah menanyakan hal itu. Jika Kia tahu tentu saja ia tidak akan menyinggungnya. Kenapa Ikram tidak pernah memberitahukannya tentang hal itu?

“Maaf, Tante. Kia nggak tahu,” ujarnya panik.

Mama Ikram lalu tersenyum maklum. “Tante ngerti kenapa Iam nggak cerita hal ini sama kamu.”

Kia memerhatikan dengan kening mengernyit. Raut wajah Mama Ikram mulai berubah sedikit muram.

“Keluarga Tante tidak seperti keluarga lain, Kia. Kamu nggak usah heran dengan semua keanehan yang kamu temui nanti.” Mama Ikram masih sempat bercanda.

Kia tertawa pelan.

Mama Ikram melanjutkan, “Kamu tahu, nggak? Iam dulu nggak bertegur sapa dengan papanya bahkan sampai di detik-detik terakhir Om meninggal.”

Napas Kia hampir tercekat mendengarnya. Sisi gelap Ikram yang tidak pernah Kia ketahui. Selama mengenal laki-laki itu, Kia menganggap bahwa Ikram selalu ceria. Tidak pernah menyangka ia akan mendengarkan sisi yang ini dari mamanya Ikram.

Lalu Mama Ikram tertawa kecil dengan tatapan menerawang. “Susahnya meluluhkan hati anak laki-laki. Apalagi yang keras kepala seperti Iam.”

Mereka kembali menyiapkan makanan di meja makan. Sambil terus menata meja, Mama Ikram kembali bercerita.

“Akbar dan Faisal, anak sulung dan anak tengah Tante, mencintai perempuan yang sama.”

Kia kembali terkejut. “Maksudnya gimana, Tante?”

“Akbar dan Faisal sama-sama mencintai Savira. Beberapa tahun lalu, Vira itu pacaran sama Isal. Entah bagaimana Tante kurang paham, mereka akhirnya putus. Nggak lama setelah itu malah Akbar yang pacaran sama Vira. Tante sebenarnya bingung. Tapi itu kan pilihan anak-anak Tante. Tante nggak mau ikut campur terlalu banyak, apalagi persoalan kehidupan asmara mereka. Sudah dewasalah mereka itu."

Kia tertegun. Secara refleks berhenti dari kegiatannya. Entah mau menanggapi apa obrolan mamanya Ikram ini.

“Kia ... speechless, Tante," ucap Kia jujur yang diikuti oleh tawa canggung.

Mama Ikram menanggapi dengan tawa yang lepas. “Ini memang persoalan yang tidak biasa. Kia jangan berubah ya setelah mendengar ini.”

Kia menggeleng. “Nggak, Tante. Kia dan keluarga Kia juga punya permasalahan. Dan Kia yakin setiap orang pasti punya masalah bahkan rahasia yang tidak ingin orang lain tahu demi bisa menjalani hidup dengan normal.”

Mama Ikram tiba-tiba meremas tangan Kia dengan lembut. “Tidak ada manusia yang sempurna. Semua orang punya masa lalu, tapi semua orang juga berhak diterima dengan baik,” tandas Mama Ikram beralih mengusap pelan lengan Kia penuh sayang.

Sayup-sayup terdengar keriuhan di ruang depan. Sepertinya yang ditunggu-tunggu sudah datang. Mama Ikram mengajak Kia ke depan untuk bertemu Akbar dan Savira yang sepertinya sudah datang.

Akbar dan Savira disambut mamanya Ikram, Ikram, dan Kia, minus Faisal. Mereka juga berkenalan singkat dengan Kia. Setelah menanyakan kabar dan memberi selamat atas kelulusan Savira, mereka semua menuju ruang makan. Tak lupa Savira memberikan oleh-oleh untuk mamanya Ikram. Sementara Faisal malah sudah berada di sana terlebih dulu, berdiri sambil memakan tempe goreng dengan cuek. Untungnya sudah berganti pakaian. Jika tidak mungkin dia akan kena omel lagi sama mamanya.

“Aduh, Tante. Jadinya ngerepotin Tante gini pakai masak-masak segala,” ujar Savira tak enak.

“Nggak tiap hari Tante masak banyak.”

“Selamat ya, Vir, untuk gelar MBA-nya,” ucap Faisal pada Savira dari kejauhan, tanpa jabat tangan. Tersenyum pun tipis sekali. Wajah Faisal lebih mirip jeruk nipis, kecut.

Savira menanggapi ucapan selamat Faisal dengan senyum ramah dan kontak mata yang tak dibalas oleh Faisal. “Thanks ya, Sal.”

“Ayo duduk,” suruh Mama Ikram mencairkan suasana.

Mereka semua kemudian duduk. Mama Ikram duduk di tengah-tengah, Akbar dan Savira duduk berdampingan, berseberangan dengan Ikram, Kia, dan Faisal yang duduk berjajar.

Mereka semua mulai menyendoki makanan. Dentingan suara sendok dan piring beradu menjadi latar suara obrolan-obrolan di meja makan. Obrolan masih seputar pengalaman sekolah Savira di Jerman dan pekerjaannya.

“Vira masih kerja di kantor yang lama?” tanya Mama Ikram.

“Masih dong, Tan. Sekolah S2 yang kemarin itu kan dapat beasiswa dari kantor. Masa udah kelar sekolahnya terus aku pindah kantor.”

Semua orang tertawa. Kecuali Faisal yang dengan tekun berkonsentrasi pada piring di depannya.

“Nanti kalau kalian sudah nikah, Vira ikut pindah ke Bandung? Atau Akbar yang pindah ke Jakarta lagi?”

Akbar dan Savira saling berpandangan.

“Kita belum ngomongin masalah itu sih, Ma,” jawab Akbar rikuh.

“Tapi kalau tanggal nikah udah diomongin kan?” tanya ibunya tak mau melepaskan hal ini. “Kalian tunangan udah setahun mungkin. Biasanya tunangan itu nggak lama-lama.”

Akbar dan Savira kembali berpandangan.

“Mungkin nanti Akbar sama Vira mau—”

Belum juga omongan Akbar selesai, Faisal langsung memotong, “Isal udahan dulu makannya, Ma. Mau nonton TV.” Faisal pun berdiri untuk beranjak dari meja makan.

Namun, sebelum Faisal berhasil meninggalkan meja makan, Savira langsung menyahut. “Sal, please, dong,” mohonnya.

“Udahlah, Vir. Nggak ada yang peduli juga sama gue. Mau gue makan atau nggak, nggak ngaruh juga sama tanggal nikahan kalian,” tuturnya sinis.

“Faisal!” Ibunya setengah berteriak, menegur anak tengahnya.

Faisal langsung terdiam, lalu menunduk. Begitu pun dengan Kia dan Ikram yang hanya bisa menatap piring masing-masing. Mereka berdua merasa terjebak dalam situasi yang serba tak mengenakkan. Jadi lebih baik mereka diam saja.

***

Suara gemericik air di kolam ikan rumah Ikram terdengar menenangkan. Setelah drama tak mengenakan tadi, menjelang sore ini suasana sudah kembali normal. Mereka semua sudah ngobrol-ngobrol panjang lagi. Faisal juga sudah mulai bisa mengobrol dengan Akbar meskipun tak seakrab abang-adik yang seharusnya.

Ikram membagi pakan ikan di tangannya pada Kia. Mereka berdua duduk di lantai di samping kolam ikan untuk memberi makan ikan. Sesekali Kia melemparkan pakan ikan ke kolam lalu melongokkan sedikit kepalanya ke permukaan air untuk melihat ikan-ikan yang menyembul melahap makanan yang dilemparnya. Ikram tertawa-tawa melihat kegemasan Kia pada ikan-ikannya di kolam.

“Kasihan banget kamu, kurang hiburan ya?” ledek Ikram.

“Nggak usah resek!” Kia mencubit keras lengan Ikram. Ikram malah tertawa semakin kencang.

Sekarang giliran Ikram yang melemparkan pakan ikannya ke dalam kolam.

“Kolam ini yang bikin Mas Ikram?” tanya Kia.

“Iya. Saya suka banget miara ikan gini. Sebelum ada kolam saya punyanya akuarium. Lumayan gede.”

“Kenapa suka miara ikan?”

“Nggak tahu kenapa tiap lihat ikan bawaannya relaks aja. Segar gitu.” Ikram mengangkat bahunya.

Kia tersenyum menanggapinya.

“Maaf lagi ya, Ki, karena kamu harus lihat banyak pertunjukan sirkus hari ini. Baru kunjungan pertama, sudah disuguhi dua pertunjukan akrobat.” Tak seperti biasanya, Ikram tampak muram.

Kia memerhatikan wajah mellow Ikram di sampingnya. Tidak seperti Ikram yang Kia tahu. Atau mungkin setiap orang memiliki beberapa sisi kehidupan yang berbeda? Dan yang diperlihatkan Ikram sekarang adalah sisi lain dari dirinya yang berseberangan dengan sisi yang satunya?

“Mas kok nggak pernah cerita kalau ayahnya Mas udah nggak ada?” tanya Kia lembut.

Ikram menoleh ke sebelahnya, menatap Kia dengan penuh kegundahan.

“Itu bukan sesuatu yang pengin saya ceritain ke orang lain, Ki.”

Kia mengerti, ia pun memiliki pemahaman yang sama. Ia lempar lagi pakan ikan ke dalam kolam. Kepala-kepala ikan langsung menyembul ke permukaan berbarengan dengan cipratan air yang mengenai tangan Kia.

“Waktu saya kelas dua SMA, saya nggak sengaja dengar papa dan mama saya berantem,” bukanya dengan suara serak. “Saya nggak ambil pusing karena belum mengerti banyak. Ketika itu seingat saya ekonomi keluarga tiba-tiba menurun drastis. Saya pernah cerita kan soal ini?”

Kia mengangguk.

“Nggak ngerti kok bisa begitu. Papa dan Mama nggak pernah cerita yang sebenarnya. Tapi saat Papa dan Mama berantem malam-malam saya dengar bahwa papa saya ternyata menikah lagi. Bahkan sudah sampai punya anak.”

Kia terkejut. Hal baru lagi untuk Kia.

“Sejak saat itu papa saya nggak pernah pulang. Lalu saat saya kelas tiga SMA, tiba-tiba dia pulang, Ki. Perasaan saya waktu itu marah. Apalagi saat dengar bahwa dulu papa memutuskan pergi meninggalkan mama dan anak-anaknya demi keluarga barunya. Saya merasa dikhianati. Merasa nggak dipilih. Merasa diabaikan. Dan merasa dibuang. Saya benci banget sama dia. Dan kesalnya saya, mama malah menerima papa begitu aja.” Suara Ikram sudah mulai lebih serak dari sebelumnya.

“Saya putuskan untuk nggak berkomunikasi dengan dia. Saya abaikan semampu saya setiap kali papa berusaha untuk mendekati anak-anaknya lagi. Seringkali saya marah, berkata kasar yang mungkin menyakiti hatinya. Sampai saat saya tahu bahwa papa sakit keras, saya tetap mengabaikannya. Tetap marah padanya. Dan—” Tenggorokan Ikram tercekat. Seperti ada yang mengganjal di sana, mungkin sebuah penyesalan.

“Nggak lama dari situ papa ... meninggal ... sebelum saya sempat meminta maaf atas perlakuan kasar saya padanya.” Setetes air mata menuruni pipi. Air mata yang sudah sekuat tenaga ia tahan. Namun, semakin kuat ia tahan, semakin deras air mata membasahi pipinya.

Ikram pun menunduk. Bahunya bergetar.

Kia langsung meraih tangan Ikram untuk ia genggam erat.

“Permintaan maaf saya nggak pernah tersampaikan, Ki. Papa bahkan nggak sempat mendengar bahwa sebenarnya saya sangat menyayangi dia. Saya ... menyesal.” Tangisnya tumpah dengan bahu yang ia tahan supaya tak bergetar, tapi gagal.

Kia lalu mengusap punggung Ikram untuk menguatkannya.

“Mas memang nggak sempat mengucapkannya. Tetapi ungkapan cinta dan sayang bisa mas berikan berupa doa,” lirih Kia.

Entah kenapa kata-kata yang Kia lontarkan menentramkan hati Ikram.

***

Pukul empat sore, Kia pamit pada keluarga Ikram untuk pulang.

Di dalam mobil di perjalanan pulang dari daerah Cilandak ke Kuningan, Kia dan Ikram sudah kembali mengobrol normal. Jalanan mulai padat di Sabtu sore. Mobil Ikram melaju tak secepat biasanya, berderet rapi dengan mobil-mobil lain di jalanan, merayap menyusuri aspal.

“Lanjut malam mingguan aja apa, Ki?” ucap Ikram menggoda Kia.

Kia tertawa mendengarnya. “Hari ini Kia ngerasa seperti gempa bumi. Banyak surprise-nya. Mas nggak capek?”

“Heh, gempa bumi itu bencana alam, bukan surprise. Atau ... main ke Bogor aja ke rumah Bunda kamu? Mampir ke rumah Bundanya sih sampingan aja, tujuan utamanya ke Puncak, nyari jagung bakar. Biar kayak orang-orang, Ki, malam mingguan.” Ikram nyengir.

“Jadi inget deh, beberapa minggu lalu Mas yang berkunjung ke rumah Kia di Bogor. Terus sekarang Kia yang berkunjung ke rumah Mas Ikram. Kalau kata Nando ini tuh kayak—”

Kia tiba-tiba menghentikan omongannya ketika sadar bahwa ia mengucapkan nama Nando. Entah sudah yang ke berapa kalinya ketika ia bersama Ikram dan ia membahas soal Nando. Meskipun Ikram pernah bilang bahwa ia tidak masalah jika Kia masih suka keceplosan membahas laki-laki satu itu. Namun, setelah mengenal sisi gelap Ikram tadi, perasaannya jadi tak enak. Sebisa mungkin untuk tidak lagi menyakiti hati Ikram dengan membahas laki-laki lain di depannya. Perasaan Ikram juga berhak untuk dijaga.

Ikram menoleh pada Kia, heran. “Kenapa? Dia bilang apa emang?” tanya Ikram polos, tak merasa terganggu.

Kia hanya tersenyum lalu menggeleng. “Nggak ada.”

“Nggak apa-apa, Kia, bilang aja.”

“ .... ”

“Dulu kamu pernah bilang bahwa saking terlalu lamanya kamu mengenal dia, akan sulit untuk menghindari hal-hal terkait dia. Saya nggak masalah, Ki. Saya ngerti kok perasaan semacam itu.”

Kia tersenyum lalu melanjutkan perkataannya. “Jadi kan Nando itu kerjanya di Parlemen, jadi Protokol atau apalah itu yang suka ngatur-ngatur mobilitas pejabat. Nando sering banget ngurusin kunjungan delegasi asing gitu. Baik menerima delegasi asing atau berkunjung ke negara-negara sahabat. Nah, jadi inget, kayak kita gini nih, saling berkunjung ke rumah masing-masing gini, nih,” ulang Kia, “Kia nganggep hari ini tuh sebagai Kunjungan Balasan,” ia lalu tertawa. “Ngerti nggak sih, Mas? Kunjungan Balasan?”

Ikram tertawa kecil mendengar tawa Kia. “Iya, Kia,” jawabnya dengan sabar. “Saya ngerti kok. Nanti-nanti bakal lebih banyak lagi frekuensi kunjungan balasan balasan balasan ... banyak deh!”

Mereka berdua tertawa berbarengan.

“Maaf ya, Mas, kalau Kia lagi-lagi bahas Nando. Emang sih kita nggak bahas dia secara penuh, tapi Kia jadi merasa berdosa sama Mas. Kia kan nggak tahu apa yang ada di dalam hati Mas. Perasaan semacam apa yang Mas rasakan juga Kia nggak tahu.”

“Kamu sering nggak sih mikirin dia?” tanya Ikram dengan pandangan lurus ke jalanan.

Kia mengangguk. “Kadang,” jawabnya jujur.

“Kamu kangen sama dia?” tanya Ikram pelan.

Tatapan Kia lurus ke depan. “Kangen.”

Jika pendengaran manusia bisa mendengar hati yang patah, Ikram dan Kia sudah dipastikan dapat mendengarnya dari balik dada Ikram sekarang.

“Pernah selalu sama-sama, kadang Kia kangen sama Nando. Tapi kangen bukan berarti bahwa Kia ingin kembali sama dia. Itu nggak mungkin. Ini cuma masalah kebiasaan aja. Dulu biasanya kami sering sama-sama ke mana-mana, ketemu setiap hari, ngobrol, senang, sedih, sama-sama. Sekarang paling yang berubah ya ... karena kami udah nggak sama-sama aja.”

“Mengubah kebiasaan itu sulit, Ki. Butuh proses.”

“Dulu ketika Kia akhirnya pisah sama Nando, Kia berusaha mencoba untuk melupakan semua hal tentang Nando. Apa pun. Sampai-sampai Kia impulsif ngabisin tabungan Kia untuk trip ke negara yang belum pernah Kia dan Nando kunjungi.”

“Oh ya? Ke mana?”

“Yunani. Karena pernah lihat di film Mama Mia dan Sisterhood of The Traveling Pants, Kia ngerasa tempatnya itu romantis banget. Terus karena Kia sama Nando belum pernah ke sana dan Yunani juga jadi destinasi impian Kia, ya udah, Kia akhirnya ke sana. Sendirian.”

“Sendirian?”

“Sama siapa lagi? Karena niat ke sana juga untuk ngelupain Nando. Ada sedikit perasaan ‘menang’ di hati kecil Kia ketika Kia berhasil mencapai impian tanpa bantuan Nando. Tapi di sana Kia malah stres. Karena Kia belum pernah liburan sendiri. Malah terus kepikiran Nando. Mengandai-andai jika Kia ke sana dengan Nando pasti bakalan senang banget. Sering bergumam dalam hati seandainya Nando ada di sana juga. Pada akhirnya Kia nggak menikmati trip itu. Malah sering nangis,” Kia tertawa tapi tanpa sadar setetes air mata jatuh ke pipi. Ia pun langsung menghapusnya.

“Pulang ke Jakarta Kia bertekad untuk berusaha lebih supaya bisa lupain Nando. Akhirnya Kia lampiaskan itu ke kerjaan. Setiap hari pulang-pergi Jakarta-Bogor. Setiap ada lembur Kia selalu ikut. Menerima setiap project baru yang disodorkan ke Kia. Pokoknya supaya nggak ada celah sedikit pun untuk memikirkan Nando. Tapi ternyata saking sibuknya, Kia malah sering insomnia. Badan udah capek banget tapi mata nggak mau nutup. Kebayang nggak kesiksanya kayak apa?”

Ikram menoleh kaget ke arah Kia. Ia ingat cerita ini dari Mas Kafka beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke rumah Kia. Sepertinya ceritanya akan relate.

“Saat itu Kia jadi rutin minum obat tidur. Waktu di mana insomnia itu datang lagi, entah bagaimana Kia lagi keingetan Nando. Dan ... tanpa berpikir panjang, Kia minum banyak-banyak obat tidurnya. Kia sama sekali nggak berpikiran efek buruk apa yang akan timbul dengan meminum hampir satu botol obat tidur. Yang Kia pikirkan saat itu adalah Kia bisa tidur cepat tanpa kepikiran Nando lagi.”

Ikram menepikan mobilnya di pinggir jalan. Menghadapkan tubuhnya ke arah Kia.

“Kia nggak tahu kalau ternyata waktu itu Kia ... apa dokter bilang? Apa yang Mas bilang dulu? Sleeping pills overdose?” Mata Kia sudah basah. “Kia menyesal sudah membuat Bunda sedih. Kia nggak bermaksud untuk ninggalin semuanya, Mas ... Kia—”

Ikram langsung memeluk Kia. Menenggelamkan wajah basah Kia di dadanya. Mencoba meredakan gemuruh dalam dada Kia. Sedu sedan yang terdengar cukup membuat hati Ikram terkoyak. Kia tak pernah bisa terlihat kuat di depan Ikram. Sedari dulu Kia memang tidak pernah bisa kuat.

Ikram mengelus kepala Kia dengan penuh sayang. Tanpa sadar mata Ikram kian mengabur, tertutup air matanya sendiri yang menggenang di pelupuk matanya.

***

Niat Ikram untuk mengantarkan Kia sampai lobi ia urungkan. Melihat kondisi Kia seperti tadi Ikram akhirnya mengantar Kia sampai ke dalam apartemennya. Segelas air putih hangat Kia sodorkan ke depan Ikram. Berdua, duduk saling berhadapan di meja makan.

"Kamu benar, Ki," ucap Ikram.

Kia menatap lurus pada Ikram. Menelisik ke dalam bola mata Ikram. Mencari-cari jawaban untuk segala kegundahan dalam dirinya.

“Hari ini seperti gempa bumi,” lanjut Ikram.

 “Maaf, Kia pernah bilang bahwa Mas nggak akan ngerti apa yang Kia rasakan karena Mas nggak pernah ditinggalkan,” Kia merujuk pada pertengkaran mereka setelah akikahan anaknya Kak Tara beberapa waktu lalu. “Mendengar cerita Mas tadi, Kia tahu bahwa Kia sudah menuduh.”

Sebelumnya Ikram tak pernah memberitahu rahasia terbesar miliknya pada orang lain. Dari dulu juga Ikram tidak pernah tahu pengakuan terbesar dan menyakitkan dari orang lain. Namun hari ini, semua menjadi yang pertama kali baginya.

Ia sudah berbagi kesedihannya pada Kia. Hanya pada Kia. Dan hanya Kia pula satu-satunya orang yang pernah melihatnya menangis.

Sementara Kia ... entah mengapa merasa lega setelah menceritakan semuanya pada Ikram. Tak pernah ia menemukan orang selain Nando, yang bisa membuatnya mengupas dirinya sendiri hingga habis seperti ini. Ikram sudah tahu semuanya. Dan anehnya, Kia tak keberatan.

Tangan Kia bergerak menuju tangan Ikram yang terkulai di atas meja. Perlahan ia sentuh tangan lelaki itu, menautkan jemarinya di sela-sela jemari Ikram. Ikram pun membalas dengan mengeratkan tautan jemari itu.

 

PART 19 Happiness and Sadness

Di suatu Jumat malam, dengan gerimis yang tak berhenti semenjak siang tadi, Ikram menyanggupi untuk mengantar Kia pulang ke Bogor. Ini tidak seperti biasanya. Biasanya Kia akan berusaha untuk ngotot pulang sendiri naik kereta ketika Ikram menawarkan diri mengantarnya pulang ke Bogor. Namun berbeda dengan hari ini. Ikram tidak tahu kenapa, tapi semoga saja Kia tak ketempelan atau kemasukan makhluk halus. Karena tiba-tiba sore tadi Kia yang meminta padanya dengan manja untuk mengantarkan perempuan itu ke Bogor.

Rezeki nomplok jangan ditolak. Apalagi Kia meminta padanya dengan manja seperti tadi, bikin Ikram ingin mencubiti pipi Kia, gemas. Ikram sangat suka mengantar Kia ke mana-mana. Bahkan ia sudah memasukkan hal tersebut ke dalam list hobinya.

Hujan gerimis berubah menjadi hujan deras saat mobil Ikram menepi di pinggir rumah Kia.

"Yah, saya nggak ada payung di mobil," keluh Ikram saat teringat payungnya kemarin-kemarin sempat dipinjam ibunya dan belum dikembalikan ke dalam mobil.

"Kia lari aja deh, Mas," ucap Kia.

"Sebentar, sebentar."

Ikram lalu membuka jaket denim yang dipakainya, keluar dari mobil, lalu berlari ke sisi pintu mobil penumpang dan membuka pintu itu. Diangkatnya jaket denimnya untuk menaungi kepala mereka, lalu mereka berdua pun berlarian ke dalam rumah. Sempat berhenti lama ketika pintu pagar sulit dibuka karena gelapnya area di sekitar situ. Ketika akhirnya pintu pagarnya terbuka, Kia dan Ikram kembali berlari mencapai teras. Mereka berdua tertawa-tawa. Dilihatnya tubuh masing-masing, tetap basah. Mereka pun kembali tertawa konyol. Merasa sia-sia usaha Ikram menaungi mereka dengan jaketnya.

"Tetap basah," ucap Kia.

"Maaf ya," balas Ikram dengan cengiran khas anak kecil.

"Mas mau mampir dulu nggak?" tawar Kia.

"Makasih, Ki. Tapi sudah malam juga. Takut kena macet parah pas pulang."

"Oh. Hmm... Makasih ya, Mas."

"Iya, sama-sama."

"Maksudnya... makasih sudah sebegininya sama Kia."

Ikram mengernyit, kebingungan. "Gimana?"

"Waktu itu, waktu dengan noraknya Mas ngasih bunga ke Kia... inget nggak?"

Pertanyaan yang penuh ke-absurd-an, batin Ikram.

"Inget. Kenapa?" balas Ikram clueless.

"Inget nggak setelah Kia ngatain Mas norak, Mas bilang apa?" tanya Kia semakin membuat Ikram bingung. Ini mau main tebak-tebakan ala Kuis Komunikata atau gimana?

"Hmm...."

"Masa lupa, sih?" rengeknya membuat Ikram gemas. "Yang Mas bilang bahwa 'norak-norak gini juga...' apa deh lanjutannya tuh?"

Iiih, Kiaaa! Apa sih? Nggak jelas tapi bikin gemas!

Eh Ikram malah menertawakannya. "Iyaaa.. saya inget. Terus?"

"Yaa ... Kia juga ... hmm ...." Ucapan menggantung Kia akhirnya dapat Ikram mengerti ketika perempuan itu menganggukkan kepalanya berulang kali, seperti memberi kode pada Ikram.

Saat itulah bola mata Ikram membesar.

"Maksud kamu ... kita ...." tunjuk Ikram pada dirinya dan Kia bergantian.

Kia mengangguk semakin kencang dengan mata terpejam dan kepala sedikit menunduk. Tampak malu-malu.

"Jadi sekarang kita ... paca—"

Kia langsung membekap mulut Ikram secepat kilat. Dengan wajah malu-malunya Kia berujar, "Jangan disebutin, ih!" Wajahnya memanas.

Meskipun cahaya di teras agak-agak redup, tapi Ikram bisa melihat rona merah di pipi Kia.

Ya Tuhan, dadanya meletup-letup.

"Kenapa nggak boleh disebutin? Kan biar jelas," goda Ikram.

Kia menggeleng. Wajahnya menggemaskan. "Malu."

Ikram tertawa melihatnya. Diambilnya sisa rambut yang menutupi pelipis Kia untuk ia selipkan di balik telinga perempuan itu. Kemudian ia sentuh pipi kemerahan Kia yang terasa hangat di jarinya yang dingin.

"Saya sayang sama kamu, Ki," lirihnya.

"Pelan-pelan, ya, Mas. Kita jalani aja dulu," tandas Kia dengan rekah senyumnya.

Ikram mengangguk, yakin bahwa cinta itu bisa dipupuk dan dirawat. Dan Ikram memercayakan itu pada Kia.

Laki-laki itu akhirnya pamit dengan perasaan bahagia. Ia sampai ingin berlari-lari mengelilingi komplek rumah Kia hujan-hujanan, merayakan letupan kembang api di dalam dadanya.

Sulit untuk Kia tidak tertawa melihat tingkah Ikram yang kocak.

Ketika masuk ke dalam rumah, Bunda dan Ayahnya langsung menghampiri dengan wajah yang menyiratkan kekhawatiran. Ayahnya bahkan sampai harus mengelus pelan punggungnya, seolah menenangkan Kia.

Ini kenapa? Kok perasaan Kia nggak enak?

"Dek, kamu yang sabar, ya," ucap Bunda. Kia tetap tak mengerti.

"Kenapa, Bun?" Sungguh, Kia sangat khawatir. Ini ada apa sebenarnya?

"Barusan ada telepon. Eyang Utinya Nando ... meninggal tadi sore," papar Bunda.

Kia langsung lemas. Jika ayahnya tidak merengkuh tubuh putri bungsunya itu, tubuh Kia sudah menghantam lantai sekarang.

Pikirannya langsung kalut. Eyang Uti ... orang yang paling dekat dengan Nando. Bahkan melebihi dekatnya Nando pada bapak dan ibunya. Secara otomatis otaknya langsung memikirkan kondisi Nando.

"Nando gimana, Bun?" tanyanya khawatir dengan mata berkaca-kaca.

"Besok pagi kita melayat, ya."

Dan semalaman itu Kia tidak bisa tidur. Sempat terpikirkan untuk menelepon Nando dan mengucapkan rasa prihatinnya serta memastikan keadaan Nando baik-baik saja. Namun, ia tak berani. Ia terlalu takut menerima penolakan Nando. Setidaknya skenario itu yang ada dalam benaknya sekarang.

 

PART 20 Pertemuan Pertama Setelah yang Terakhir

Dedaunan kering berjatuhan, menutupi permukaan kolam renang sehingga menjadikan kolam tampak kotor. Sepasang anak SMA duduk di pinggirannya, masih mengenakan seragam putih-abu, menenggelamkan kaki sampai lutut ke dalam kolam. Yang satu melamun, satunya lagi memerhatikan si pelamun. Riak air muncul kala dedaunan kering menyentuh permukaan air di kolam renang.

“Aku dimarahi Bapak,” celetuk si pelamun, laki-laki kurus jangkung yang warna kulitnya sepucat orang kena DBD.

“Kenapa?” tanggap yang satunya, perempuan manis berambut sebahu dengan mata sayu yang membuat orang yang melihatnya seolah terhipnotis dan merasa ingin mengiba padanya.

“Padahal aku cuma bilang kemungkinan kalau nggak lolos tes jadi TNI AU,” lanjut si kurus jangkung.

“Memang ... tesnya susah ya?” tanya si perempuan.

Si Kurus Jangkung mengangkat bahu.

“Aku mau kok nemenin kamu latihan lari setiap Jumat. Atau setiap hari juga aku mau. Ada tes larinya, kan?”

Si Kurus Jangkung tersenyum. “Kalau aku nggak lolos tes dan nggak jadi TNI AU, kamu masih mau nggak sama aku?”

Si Perempuan tertawa. “Justru aku yang mau tanya, kalau aku nggak lulus UN kamu malu nggak punya pacar aku?”

“Hus! Kamu pasti luluslah! Kita pasti lulus.”

“Tapi Eyang Uti bilang nggak apa-apa kalau kamu nggak jadi TNI juga. Uti malah pengin kamu jadi pegawai Bank. Atau Pegawai Negeri!”

Si Kurus Jangkung tertawa. Dicubitnya hidung Si Perempuan dengan gemas.

“Kamu aja yang jadi pegawai Bank. Akuntansi kamu kan bagus. Aku pengin lolos jadi TNI AU, biar Bapak nggak ngomelin aku terus.”

“Tapi aku nggak masalah kamu jadi apa aja. Asal sama kamu, aku mau.”

Dua pasang bola mata saling bertubrukkan, memantulkan bayangan rupa masing-masing.

Si Kurus Jangkung mendekatkan wajahnya pada Si Perempuan. Dikecupnya bibir ranum merah muda itu. Mungkin hanya tiga detik lamanya, tapi membekas selamanya.

Ciuman pertama mereka.

***

"Asholatu khairum minannaum...."

Kedua mata Kia membuka perlahan. Lama ia tatap langit-langit kamarnya, berusaha tetap menyimpan isi mimpinya barusan di dalam memori otaknya. Mimpinya tentang Nando. Namun, itu bukan hanya sekadar mimpi. Kejadian di mimpi tadi memang sungguh terjadi bertahun-tahun lalu. Dirinya dan Nando, serta ciuman pertama mereka.

Tangannya mengepal, menekan kuat dada kirinya, menyuruh gemuruh yang mengusik di dalam dadanya untuk diam.

Suara azan Subuh terdengar merdu di pengeras suara masjid dekat rumahnya. Ia pun bangkit, duduk tegak di pinggiran tempat tidur, mencoba mengatur napasnya yang sejak membuka mata tadi memburu ganas.

Semalaman ia tak bisa tidur setelah mendengar kabar bahwa Eyang Uti Nando meninggal dunia. Namun, sekalinya tidurr malah memimpikan Nando. Tidurnya tentu tak nyenyak. Sejak kapan mimpi yang ada Nandonya membuat ia tertidur nyenyak? Tidak pernah. Kini ia risau. Gelisah. Bagaimana kalau nanti, ketika melayat Eyang Uti, ia bertemu laki-laki itu? Bertemu di dalam mimpi saja dadanya bergemuruh, apalagi bertemu langsung.

Pintu kamar terbuka, kepala Bunda menyembul di celah pintu.

“Dek, salat dulu. Setelah itu kita siap-siap melayat.”

Kia mengusap wajahnya. “Iya, Bunda.”

Pukul enam pagi, Mas Kafka sudah muncul di rumah Bunda. Disuruh mengantar untuk melayat. Sekaligus diminta menemani Kia kalau ada apa-apa. Itu permintaan Ayah pribadi kepada anak sulungnya itu, tanpa sepengetahuan Kia dan Bunda.

Di dalam mobil Kia kerap meremas tangan Bunda. Kegelisahan semakin melanda ketika mobil berhenti di depan rumah orang tua Nando. Banyak orang berbaju serba hitam di sana. Ketika mereka masuk ke rumah, hampir setengah isi ruangan di sana menatap ke arah mereka, terutama pada Kia. Seorang wanita berusia sekitar pertengahan lima puluh dengan wajah kuyu, mata sembab, tapi tetap berusaha tersenyum, datang menghampiri. Ibunya Nando.

“Mas Kusmanto, Mbak Ratna, makasih sudah datang,” seru Ratih, ibunda Nando.

Bunda Kia lalu memeluk Ibu Nando, mengucapkan bela sungkawa.

“Kami turut berduka ya, Tih. Eyang Uti sakit apa?” tanya Bunda Kia.

“Diagnosis dokter serangan jantung. Sebelumnya Uti sempat bolak-balik dirawat di rumah sakit. Terakhir, Uti dirawat dua minggu, sampai akhirnya harus pergi.”

Sing sabar ya, Tih. Semoga Uti dapat tempat terbaik di sisi Gusti Allah,” ucap Bunda.

“Makasih, Mbak.” Ibu Nando baru sadar ketika Kia muncul di balik punggung Bunda.

“Ibu ... Kia turut berduka,” lirih Kia yang langsung disambut pelukan oleh Ibu Nando.

“Makasih, Sayang.” Ibu Nando mengusap sayang punggung Kia. Kentara sekali kalau ia kangen pada Kia yang sudah sedari lama ia anggap sebagai anak perempuannya sendiri.

“Kamu sehat, Ki?” tanya Ibu Nando ketika telah mengurai pelukannya.

“Sehat, Bu. Ibu juga harus sehat,” ujar Kia tulus saat melihat wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya itu tampak kuyu.

Ibu Nando hanya mengangguk. “Ibu kangen sama kamu," ucapnya sambil mengelus pipi Kia. Sementara Kia hanya tersenyum menanggapinya.

Tak lama ayah Nando datang. Menyalami Ayah Kia, Bunda Kia, Mas Kafka, dan terakhir memeluk Kia dengan penuh sayang pula.

“Bapak kangen sama Kia. Kia nggak pernah lagi mampir-mampir ke sini,” tutur ayah Nando.

Kia hanya tersenyum rikuh, dalam hatinya ia bergumam, Kia cuma nggak mau semakin menyakiti Bapak dan Ibu kalau sering-sering mampir ke sini. Lagipula, Nando pasti tidak suka dirinya datang.

Mereka berempat, dipandu ayah dan ibu Nando, masuk ke ruang tengah, tempat jenazah Eyang Uti berada. Ayah dan Mas Kafka bahkan langsung mengambil air wudhu untuk kemudian menyalatkan Eyang Uti. Kia dan Bunda hanya berdoa di depan jenazah Eyang Uti. Sesekali Kia meneteskan air matanya.

Di tengah-tengah doanya, Kia sapukan mata ke segala penjuru ruangan. Mencari satu laki-laki yang sebenarnya tidak ingin ia cari-cari. Namun, di luar kendalinya, ia malah berusaha menemukan sedikit saja bayangan laki-laki itu hanya untuk memastikan Nando baik-baik saja. Tapi, nihil. Ia tidak menemukannya.

Ketika selesai berdoa, dan Mas Kafka selesai salat jenazah, Kia berbisik kepada kakak sulungnya.

“Mas, Kia cari Nando, ya,” ucapnya meminta izin.

Mas Kafka tentu khawatir. “Kamu yakin?”

Kia hanya mengangguk. “Sebentar aja. Cuma mau bilang turut berduka.”

“Ya sudah.” Ketika Kia hendak beranjak, Mas Kafka menarik tangannya. “Eit! Kalau ada apa-apa, Mas di depan ya.”

Kia pun mengangguk lalu pergi menyusuri pinggiran rumah Nando yang luas. Di garasi, tidak ada. Ia lalu berjalan melewati taman belakang, tidak ada. Napasnya sempat sesak ketika melewati kolam renang. Otaknya memutar kembali mimpi malam tadi serta ciuman pertama yang dicuri Nando darinya.

Dengan cepat ia menggeleng untuk mengenyahkan bayangan itu, lalu berjalan kembali. Kemudian berhenti ketika mencapai pintu dapur yang terhubung ke area taman belakang. Seorang laki-laki berkaus polo hitam, celana jeans hitam, rambut kusut, wajah lesu, lingkaran mata hitam, dan tampak kurus—lebih kurus dari terakhir kali ia lihat—menyandar ke pintu kulkas di dapur belakang. Wajah Nando terlihat lebih tua dibandingkan Nando yang ia ingat terakhir kali. Laki-laki itu bahkan kini membiarkan kumis, janggut, dan cambang tumbuh liar di wajahnya. Semakin menunjukkan kekacauan lelaki itu. 

Nando pasti sedih ditinggal Eyang Uti.

Dadanya bergemuruh lagi. Laki-laki yang diimpikannya semalam kini berdiri beberapa langkah di depannya.

Ia pun memberanikan diri menghampiri.

“Nan ....” Panggilnya pelan.

Yang dipanggil mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk lesu. Matanya membulat kaget saat melihat siapa yang ada di depannya. Namun Nando hanya terdiam.

Tak tega melihat kondisi Nando yang memprihatinkan seperti ini, tanpa pikir panjang Kia langsung memeluknya penuh simpati.

“Aku turut berduka, Nan,” ucapnya, mengeratkan pelukkannya pada tubuh Nando yang lebih jangkung dari dirinya.

Nando hanya terdiam tanpa membalas pelukan Kia. Kedua tangannya terkulai lurus di samping tubuhnya.

Saat Kia merasakan tubuh Nando sedikit bergetar, saat itulah Nando mendorong tubuh Kia, mengurai pelukan dari tubuhnya.

Dengan raut wajah yang mirip orang linglung, Nando bergumam serak, “Makasih, Ki.”

Kia jelas-jelas melihat mata Nando memerah, rahangnya pun mengeras. Pandangan mata Nando tak tentu arah. Kadang tertunduk menatap lantai, kadang menoleh ke kiri dan ke kanan. Yang pasti Kia tak melihat kedua bola mata laki-laki itu berniat menatapnya. Hatinya hancur. Sebenci itukah Nando padanya?

Dengan tatapan mata yang kian mengabur, Kia mundur perlahan. Semoga ia masih memiliki kekuatan untuk berdiri dan berjalan dengan tenang meninggalkan dapur.

“Aku ....” Kia menelan ludahnya. “ ... balik dulu ke depan.”

Nando hanya menjawab dengan anggukkan yang cepat.

Tak tahan lagi, Kia pun membalik tubuhnya, berjalan setenang mungkin. Baru setelah berbelok ke taman belakang, tangannya berusaha menggapai dinding. Kakinya lemas. Matanya telah basah. Ia menyandar pasrah pada dinding di belakangnya. Tangisnya pecah. Punggung tangannya ia tekan ke mulutnya, berusaha menutupi isak, takut terdengar yang lain.

Ketika ia sudah lumayan tenang, ia hampiri Mas Kafka di depan dan langsung merengek.

“Kia pengin pulang, Mas.”

Dilihatnya adik bungsunya itu, matanya sembab. Pasti habis menangis setelah bertemu Nando, batin Mas Kafka. “Tapi kita harus ikut ke makam, Dek.”

Kia melemas.

“Habis dari pemakaman Mas janji kita langsung pulang. Ya?” bujuk Mas Kafka yang dibalas anggukkan terpaksa dari Kia.

***

Dengan hati yang dipaksa tegar, Nando ikut turun ke liang lahat, membantu mengantarkan Eyang Uti ke peristirahatan terakhirnya. Bermandikan peluh, serta tanah coklat yang mengotori pakaiannya, sekilas Nando melihat Kia yang sesekali menenggelamkan wajahnya di tubuh kakaknya. Mata perempuan itu sembab. 

Kenapa, Ki? Kamu nangis karena Uti pergi, atau karena sikap dinginku sama kamu tadi? batin Nando.

Nando berusaha sekuat tenaga mengabaikan Kia. Tidak, ia tidak membencinya. Ia hanya tidak ingin semakin menyakiti dirinya sendiri. Sudah cukup kepergian Uti sebagai sesuatu yang paling menyakitkan. Jangan ditambah lagi dengan masa lalu yang dengan seenaknya tiba-tiba datang lalu memberi kenyamanan berupa pelukan yang sangat ia butuhkan. Ia tidak mau menjadi selemah itu.

 

PART 21 Nando's Side

Kantor Parlemen, Jakarta

Satu lembar surat tengah dibacanya perlahan untuk memastikan tak ada lagi kesalahan penulisan. Sesekali mencoret dan mengoreksi saat menemukan tulisan dengan ejaan yang salah seperti penulisan pada kata “Courtessy Call” yang seharusnya huruf “s”-nya satu saja. Terkadang salah tik sesepele itu harus menjadi perhatian besar. Surat-surat seperti ini, yang menjadi jembatan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan negara lain, tak seharusnya ada cacat sedikit pun di dalamnya. Moto di tempatnya bekerja saja “Zero Mistake”. Malulah, kalau mistake-nya itu meskipun hanya berupa salah tik.

“Itu yang saya coret-coret dibenerin ya. Terus kalau udah ditanda tangan si Bos, kamu scan lalu e-mail ke KBRI di Georgia,” perintahnya sambil menyerahkan selembar surat pada salah satu anak magang.

Si cewek anak magang di depannya malah terkesiap saat Nando menyodorkannya surat itu. Kemudian wajahnya tersipu malu dan sedikit merona.

Hello?” Nando mengibaskan tangan di depan muka si anak magang. “Ngerti kan?”

“Eh? I ... iya, Kak! Ngerti!” jawab si anak magang terbata. Lalu mengambil surat yang disodorkan Nando tadi dan menghilang dari hadapannya.

Jarum jam menunjukkan tepat pukul empat sore. Ia mulai mengemasi barang-barangnya. Baru saja dirinya akan meraih tas Nike besar berisi perlengkapan olahraganya, Selbi, teman perempuannya di Bagian yang sama, duduk di sampingnya sambil menyerahkan selembar kertas.

“Nih, rekap presensi lo bulan lalu,” ucap Selbi.

Nando meraih kertas itu cuek, lalu menyimpannya begitu saja di atas meja.

“Heh! Nggak dicek dulu?” tanya Selbi.

“Nggak usahlah,” balas Nando tambah cuek.

Selbi lalu merebut kembali kertas rekap tersebut kemudian memperlihatkannya tepat ke depan muka Nando.

“‘Tanpa Keterangan’ lo banyak banget! Dan gue tahu banget ini tuh lo tugas luar semua. Lo nggak nyerahin Surat Tugas ke bagian rekap presensi ya?”

Nando hanya nyengir menanggapinya.

“Ah elah!”

“Udah biarin ajalah. Paling tunjangan gue dipotong,” ucap Nando santai. Pasrah dan santai beda-beda tipislah.

Selbi mendecak tak percaya. “Nggak gitu juga, kali. Lo tuh tugas, bukan bolos. Masa ujug-ujug tunjangan lo dipotong. Gue bikinin ajalah ya surat tugasnya.”

“Wah, nggak usah,” tolaknya tak enak.

“Udah, gue bikinin aja. Kasihan gue sama lo. Kesalahan satu huruf di surat aja lo concern banget, tapi giliran hal yang menyangkut hak-hak lo, sama sekali nggak lo perjuangkan.”

Nando tertawa kecil. “Thanks ya, Sel,” ucap Nando tulus.

Selbi hanya mengibaskan tangannya.

“Omong-omong, lo mau ke mana udah bawa tas gede gitu?” tunjuk Selbi pada tas Nike besar di kolong meja Nando.

“Mau fitness sama Priyo di gedung belakang.”

“Masih rajin fitness aja lo? Padahal badan lo udah lebih kurus.”

“Lemak-lemak gue yang dulu itu berubah jadi otot,” bela Nando.

“Entar makin kekar, itu anak-anak magang tambah nganga dan jerit-jerit lihatin lo.”

Nando tertawa mengingat seringnya anak-anak magang cewek jika dia sedang mengajari pekerjaan selalu menatapnya tanpa berkedip. Atau malah lebih agresif mengajaknya ngobrol dengan gaya yang dicentil-centilkan. Atau ada yang sok caper—cari perhatian—juga.

“Gue sering lihat postingan si Priyo di IG. Kayaknya asyik banget kalian ikut-ikut event lari gitu. Gue jadi pengin ikutan juga deh.”

“Ikutan aja, Sel. Seru, lagi.”

“Mau. Tapi nggak ada temen.” Selbi nyengir.

“Kalau mau, gue sama Priyo rutin lari di CFD[1] setiap hari Minggu. Kadang kalau kerjaan lagi agak santai kita suka lari di GBK malam-malam habis pulang ngantor.”

“Ih, seru banget! Gue mau dong ikutan.”

“Oke. Nanti gue kabarin kalau gue sama Priyo lari di GBK.”

Thank you, Nando.”

“Lo kenapa tiba-tiba pengin lari juga? Mau lari dari masalah ya? Atau mau berusaha melupakan kenangan masa lalu?” ledek Nando lalu tertawa.

Nando dan seluruh isi kantor ini tahu bahwa Selbi baru saja ditinggal kawin mantan pacarnya. Putus karena beda agama. Baru satu bulan, mantan pacarnya yang kebetulan satu kantor dengan mereka, malah menyebar undangan pernikahan.

“Sialan. Emangnya nggak boleh kalau gue pengin jadi keren kayak kalian?” elak Selbi.

Nando tertawa. “Harus ada screening test dululah," ucap Nando jumawa sambil beranjak dari tempat duduknya. “Udah ya, gue cabut dulu. Nanti kalau kita mau ke GBK gue kasih tahu."

“Oke. Bye!”

Nando sering sekali menghabiskan waktunya dengan berolahraga sebagai bentuk pelampiasan seluruh energinya. Tujuannya agar ketika dia pulang ke rumah, tenaganya sudah habis dan ia bisa tidur dengan cepat. Kalau pun mau pulang cepat, tidak ada yang menunggunya di rumah. Mau ikutan hang out bersama teman-temannya, ia orangnya mudah bosan.

Satu tahun belakangan ini ia menjadi sangat rajin bekerja. Semua kegiatan yang dibebankan kepadanya ia terima. Tugas dalam kota, tugas luar kota, tugas luar negeri, menyusun program kegiatan Biro untuk satu tahun, mengonsep pengacaraan kenegaraan, semua ia lakukan tanpa henti. Sampai atasannya khawatir melihat dedikasinya yang tinggi. Ya khawatir kalau-kalau si Nando malah sakit karena kurang istirahat.

Akhirnya, atasannya menyuruh dia untuk mengambil cuti beberapa hari. Mau istirahat atau liburan, terserah. Yang pasti kalau badan kerja melulu itu nggak bagus buat kesehatan, begitu atasannya bilang.

Karena dipaksa mengambil cuti akhirnya Nando menurut. Kemarin-kemarin ia mengambil cuti agak lama, yakni dua minggu. Supaya cutinya cepat habis ia bilang. Atasannya kembali geleng-geleng kepala.

Saat itu Eyang Utinya sakit-sakitan terus. Beberapa kali keluar-masuk rumah sakit. Akhirnya ia isi masa cuti dua minggunya itu untuk mengurus Eyang Uti. Beberapa hari sebelum Eyang Uti pergi, Uti sering sekali mengajaknya ngobrol ngalor ngidul. Segala menyuruhnya menikah lagilah, tentunya tak ia tanggapi dengan serius. Sampai satu hari sebelum Uti pergi, Uti tiba-tiba mengungkapkan bahwa Uti sangat rindu dengan Kia.

Kia, mantan istrinya yang kini entah di mana.

“Nando, Kia ke mana?” tanya Uti tiba-tiba saat terbangun di ranjang rumah sakit.

Nando bingung. Kenapa tiba-tiba bertanya tentang Kia?

“Nando nggak tahu, Uti,” jawabnya.

“Kok nggak tahu? Uti kangen sama dia. Kalau sudah pulang, kasih tahu Uti ya,” pintanya aneh.

Nando tidak menjawab. Ia malah berpikir Uti pasti mengigau karena tak ingat bahwa ia dan Kia sudah tidak bersama-sama.

“Memangnya kamu nggak kangen sama dia? Istri kamu itu kan paling nggak bisa jauh-jauh dari kamu,” lanjut Uti semakin ngaco.

“Uti,” panggilnya lembut. “Nando sama Kia kan sudah nggak sama-sama lagi,” tuturnya pelan-pelan supaya Utinya bisa mencerna omongannya.

“Lho, kenapa? Kasihan kamu.” Eyang Uti membelai rambutnya. “Kalau nggak sama Kia, kamu sama siapa?” iba Uti pada Nando.

Nando hanya menggeleng, menahan tangis. Karena katanya jika orang sudah mulai berbicara ngaco dan lupa-lupa, artinya umurnya tak akan lama lagi.

“Jangan kelamaan berantemnya. Uti sayaaang sekali sama kalian.”

Nando mendekatkan kepalanya saat ditarik oleh Eyang Uti. Sampai akhirnya tangisnya pecah ketika ia biarkan Uti mengusap hingga mengacak-acak rambutnya, menciumi wajahnya, dan mengistirahatkan kepala Nando di dada Uti.

Keesokan harinya, ketika ia melihat kondisi Eyang Uti tampak semakin membaik, pukul empat sore ia yang tengah berada di perjalanan dari rumah ke rumah sakit, malah mendapat kabar bahwa Eyang Uti sudah nggak ada.

Ia bahkan belum memenuhi permintaan Uti untuk bertemu Kia. Itu karena Nando menganggap Uti hanya meracau. Namun ketika ia lihat tubuh Uti yang disayanginya terbujur kaku ditutupi kain putih, ia malah merasa bersalah karena tak bisa mengabulkan permintaan terakhir Uti. Semalaman ia kerap menyalahkan dirinya sendiri, tapi jika pun ia kabulkan permintaan Uti untuk bertemu dengan Kia, ia yang tak yakin akan sanggup melihat perempuan itu.

Sabtu pagi hari, ketika ia sudah penat dengan semua orang yang berlalu-lalang mengucapkan bela sungkawa dan bertanya-tanya penyakit apa yang diderita Uti serta entah obrolan apa lagi, ia pergi menyendiri ke dapur belakang. Tangisnya sudah kering. Namun, luka di hatinya masih basah. Ketika itulah, orang yang dirindukan Uti di saat-saat terakhirnya muncul di depan matanya. Suaranya yang lembut memanggil namanya pelan.

Tidak. Jangan sekarang. Ia sedang rapuh. Jangan biarkan Kia melihatnya seperti ini.

Tanpa terduga Kia malah memeluknya. Pelukan yang sangat ia butuhkan untuk menopang kerapuhannya saat itu. Membuatnya nyaman. Padahal otaknya menyuruhnya untuk mendorong tubuh Kia saat itu juga. Namun, hatinya memberontak untuk membiarkan sebentar saja ia merasakan ketenangan di dalam pelukan perempuan yang pernah ia cintai itu. Selain itu, rasa rindunya seolah telah ranggas pada pelukan hangat itu.

Aku kangen, Ki. Eyang Uti juga kangen sama kamu. Ucapnya di suatu sudut di dalam hati kecilnya.

Lalu tubuhnya bergetar, tampak sebentar lagi tangisnya akan pecah.

Namun, ia takut akan menginginkan pelukan itu untuk seumur hidupnya. Maka otaknya mengambil alih semuanya. Tangannya ia angkat untuk mendorong cepat bahu Kia, menyuruh untuk menjauhinya. Dan sialnya, Kia memang benar-benar pergi. Tak akan kembali. Ia tak akan lagi melihat perempuan itu. Dan anehnya, itu sangat mengganggu. Ia tak suka akan pernyataan “Kia tak akan kembali lagi”.

Saat itu juga, ketika sosok Kia menghilang dari penglihatannya, tubuhnya ambruk ke lantai. Tangisnya pecah berserakan. Hatinya sakit, tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.

Sampai seminggu kemudian, sampai saat ini, sampai detik ini, Nando masih bisa merasakan hangatnya pelukan Kia yang membekas di hatinya. Ia menginginkan itu lagi untuk mengisi hatinya yang sudah terlalu lama dibiarkannya berlubang.

Ketika pikirannya penuh dengan wajah Kia beserta kenangan-kenangan mereka, kaki Nando yang bergerak di atas treadmill tiba-tiba melemas sehingga tubuhnya jadi tidak stabil. Lengah, ia pun mulai kerepotan menyeimbangkan kecepatan larinya. Namun sayang, tubuhnya tak bisa mengimbangi dan ia pun terjatuh dari treadmill.

“Woah!”

Gedebuk!

Ouch!”

“Astagfirullah! Kenapa lo, Bro?” teriak Priyo yang tengah mengangkat beban di sisi yang berlawanan dengan area treadmill. Priyo langsung lari menghampiri Nando yang kini tersungkur mencium lantai dan membantunya bangun.

Nando jatuh dengan posisi lutut menghantam lantai terlebih dahulu. Ia meringis.

“Kenapa lo?” ulang Priyo. “Untung tempat fitness lagi sepi. Kalau rame lo double rugi. Pertama sakit, kedua malu.”

Nando tertawa. Namun anehnya, matanya kabur tertutup air mata yang entah mengapa tiba-tiba muncul.

Priyo membantu Nando duduk di lantai, meluruskan kakinya.

“Kayaknya bakalan memar nih, Bro,” ucap Priyo setelah memeriksa lutut Nando. “Poliklinik jam segini udah tutup. Kita ke Puskesmas Palmerah aja yang deket.”

“Nggak usah, Yo. Gue nggak pa-pa,” tolak Nando.

Sudut mata Priyo menangkap gerakan tangan Nando mengusap matanya.

“Elah, lo nangis?” tanya Priyo tak percaya.

Nando tertawa, menutupi tebakan Priyo yang tepat. “Nggak.”

“Udah bilang aja kalau lo nangis. Sama gue ini. Kita kan udah kayak ayang-bebeb. Ke gue nggak usah maen rahasia-rahasiaan.”

“Jijik gue!”

“Eh ... cewek gue aja cemburunya sama lo dibanding sama temen cewek gue yang lain, saking deketnya lo sama gue. Lo bukan nangis gara-gara jatuh barusan kan?” Priyo masih membahasnya membuat Nando merasa terpojok.

“Gue tiba-tiba kepikiran Kia, Yo,” ucap Nando tanpa sadar.

Priyo terkejut. “Kenapa tiba-tiba? Tapi omong-omong, apa kabar ya dia? Udah lama banget gue lost contact sama dia.”

Nando menggeleng. “Minggu lalu dia datang ke pemakaman Eyang Uti, Yo.”

“Wah? Lo ... ketemu?”

Nando mengangguk.

“Udah sering diberengsekin sama lo, dia masih mau ketemu sama lo?”

Nando kaget Priyo mengatakan dirinya berengsek.

“Elah, emang lo berengsek.”

Nando diam.

“Terus gimana?” tanya Priyo.

“Dia cuma meluk gue, bilang turut berduka.”

“Terus lo berengsekin apa lagi dia?”

“Gue nyuruh dia pergi.”

“Tai, emang lo! Cewek paling baik kayak dia lo berengsekin.”

“Lo bisa berhenti bilang gue berengsek nggak, sih? Lo di pihak siapa sebenarnya?” Nando mulai risi.

“Gue nggak memihak siapa-siapa. Kalian sahabat gue dari SMA. Tapi kalau mau dibeberin, dari dulu gue selalu simpati sama Kia. Nggak tega gue lihat dia sedih mulu gara-gara lo. Inget nggak waktu kelas 3 SMA, beberapa bulan lagi mau UN, lo malah mutusin hubungan kalian secara sepihak? Habis lo putusin, dia datengin gue, nangis di depan gue, Bro. Lo mikir nggak sih waktu itu dia menghadapi ujian nasional dengan kondisi patah hati? Masih untung bisa lulus!” papar Priyo tanpa ampun.

Nando tercenung lama, mengingat-ingat peristiwa itu. Ia menarik kencang rambutnya hingga kusut. Ya, ia sangat ingat sekali yang dikatakan Priyo. Dirinya dengan egois memutuskan hubungannya dengan Kia hanya karena ingin fokus belajar untuk menghadapi tes penerimaan Tamtama TNI AU. Meskipun pada akhirnya, tesnya itu gagal.

“Kita udahan aja ya, Ki,” pinta Nando dengan suara yang pelan.

“Maksud kamu?” tanya Kia memastikan.

“Kita ... putus.”

“Kenapa, Nan? Aku ada salah?”

Nando menggeleng, menatap iba pada Kia yang kebingungan di depannya. “Aku cuma mau fokus belajar buat tes masuk jadi TNI AU.”

“Memangnya aku ganggu belajar kamu, Nan?” cecar Kia.

“Nggak, Kia, bukan begitu. Aku ... aku cuma ....”

Belum selesai omongannya itu, Kia sudah membalikkan badannya, hendak beranjak meninggalkan Nando. Namun, dengan cepat Nando menarik tangan Kia hingga perempuan itu berhenti.

“Ki ....”

“Putus, kan?” tanya Kia untuk yang terakhir kalinya. Wajahnya tampak kesal.

Nando ingin mengangguk tapi ragu. Ia masih sangat menyayangi Kia. Apalagi beberapa hari lalu Kia sempat bilang bahwa ia mau jika harus menemani dirinya latihan lari setiap hari untuk persiapan tes itu. Perempuan itu mau menemaninya dalam segala kondisi demi bisa mencapai cita-citanya. Namun, Nando yang tidak bisa. Pikirannya terlalu penuh untuk semua hal yang harus ia lakukan bersamaan. Nando merasa tak sanggup menjalankannya berbarengan. Dan karena Nando tahu bahwa Kia adalah orang paling baik sedunia, ia pikir tak apa melepaskan yang satu itu. Kia pasti akan mengerti dan akan bisa dengan mudah memaafkannya.

Namun, mata sayu itu membuat dada Nando menggaduh. Ia harus sedikit tega demi dirinya bisa mencapai tujuannya. Jika tujuannya itu sudah tercapai, ia janji akan kembali pada Kia untuk menebus semua dosa-dosanya.

“Maafin aku, Ki,” lirih Nando.

Tanpa sepatah kata terucap lagi, Kia benar-benar membalik badannya. Langkahnya kecil-kecil tapi cepat. Lambat laun kaki itu berlari semakin jauh meninggalkannya yang masih terdiam dengan setumpuk rasa bersalah.

Nando menelungkupkan kepalanya di antara dada dan lututnya yang ia tekuk. Sakit di lututnya itu tak seberapa dibandingkan sakit yang kini menghantam hatinya berkali-kali. Apalagi semenjak kemunculan Kia di hadapannya minggu lalu. Rasa rindu, perasaan bersalah, ungkapan sayang yang tertahan, semuanya campur aduk.

Ia tarik lagi rambutnya berkali-kali. Priyo yang melihatnya malah khawatir rambut-rambut itu akan rontok.

Bro,” panggil Priyo. “Udah, Bro. Udah. Sori kalau gue terlalu banyak menyalahkan lo.”

Nando mengangkat wajahnya. Matanya merah, pipinya basah. Tanpa sadar ia menangis.

“Satu hari sebelum Eyang Uti meninggal, beliau sempat bilang pengin ketemu Kia. Sama, Yo, gue juga pengin ketemu. Uti malah bilang pengin gue sama-sama lagi sama Kia. Tapi gue nggak sanggup kalau harus nyakitin dia lagi.”

“Sebenarnya lo masih sayang nggak sih sama dia? Kalau dari yang gue perhatiin selama ini, lo nggak pernah sekali pun berniat nyari cewek lagi.”

“Gue selalu sayang sama dia,” ucapnya jujur.

“Terus apa lagi yang lo tunggu?”

“Maksud lo?”

“Ya kejarlah! Dulu aja lo bisa ngejar dia lagi. Kenapa sekarang nggak?”

[1] CFD: Car Free Day atau Hari Bebas Kendaraan Bermotor

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Part 22-39 (Selesai)
1
0
Mulai dari kemunculan Nando di hadapan Kia lagi. Hingga Kia yang bimbang perasaannya harus berlabuh ke mana. Tetapi, semua itu ada alasannya.Jadi, akan berakhir dengan siapakah Kia? Ikram atau Nando? Atau malah tidak keduanya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan