
Kegagalan pernikahan membuat KIA rapuh dan selalu tidak siap untuk menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Bukan karena trauma akan kegagalannya, tetapi bayang-bayang masa lalu masih saja terus menghantuinya. Ia adalah perempuan yang penuh luka karena masih terikat dengan masa lalu.
Sementara IKRAM, pernah menambatkan hatinya pada Kia lima tahun lalu. Namun ia harus mundur teratur karena tahu diri bahwa perempuan itu sudah dimiliki lelaki lain. Namun kini kesempatan untuk mendapatkan Kia terbuka...
PART 1 Jelang Siang
Kubikel putih yang membatasi Divisi Legal dan Divisi Finance itu sudah puluhan kali dilirik Ikram. Sepuluh detik dilihat, tiga detik kemudian ia hampiri, tapi baru dua langkah maju, kakinya malah balik kanan. Ikram tidak pernah sebimbang ini. Keinginan menghampiri seorang perempuan di balik kubikel Divisi Finance itu memang besar. Namun entah kenapa nyalinya selalu ciut.
Saat sedang bergumul dengan pikirannya sendiri, sebuah tepukan keras di pundaknya membuatnya terperanjat.
“Allahuakbar!” Ikram kaget.
“Mas Ikram ini lagi ngapain, toh, dari tadi?” tanya Rachmat, teman satu divisinya.
“Haduh, ngagetin aja, Mat!”
“Sudah ngajakin Kia?” Rachmat memberondong Ikram yang masih kaget.
Ditanya seperti itu Ikram malah menunduk, merasa bersalah. Kepalanya perlahan menggeleng.
“Aduh! Piye toh, Mas? Mas kan sudah janji sama aku,” keluh Rachmat dengan logat medok khas Bantulnya.
“Iya, Mat, lo tenang aja. Ini tuh cuma butuh waktu,” jawab Ikram.
“Waktu buat opo? Aku pikir Mas Ikram sudah ngajakin Kia makan siang dari satu jam yang lalu. Kalau ndak jadi ngajak Kia, mending makan siang bareng Lidyanya aku batalin aja ya?”
Ikram hanya bisa menggaruk kepalanya meski tak gatal.
Ini adalah satu dari seribu kesempatan yang ada untuk mendekati Kia. Perempuan yang disukai Ikram waktu lima tahun lalu. Jika tidak sekarang, Ikram tidak bisa menjamin akan ada lagi kesempatan-kesempatan lainnya.
Tapi, kenapa susah sekali sih memberanikan diri? Padahal cuma nanya “Kia mau nggak makan siang bareng?”, gumamnya dalam hati.
“Hah! Cuma begitu aja gue nggak berani? Cemen,” lirih Ikram, yang terdengar sayup oleh Rachmat.
“Mosok ndak berani mulu, padahal sudah bertahun-tahun,” sindir Rachmat.
“Gue juga nggak akan terlalu bingung begini kalau nggak dipaksa lo, Mat! Lo pake acara nggak mau makan berdua bareng Lidya segala,” gerutu Ikram.
“Ya bukan muhrim, toh, aku sama Lidya. Mosok jalan berduaan begitu. Ndak baik. Aku ndak mau, Mas.” Rachmat membela diri.
“Halah! Jangan lo kira gue nggak tahu ya, lo juga pernah jalan sekali-sekali sama Poppy, Renata, Lala, terus itu anak magang juga. Siapa, tuh, namanya?”
Rachmat nyengir. “Tapi Lidya ini kan beda, Mas. Dia lebih agresif. Aku takut.”
“Takut opo?” tanya Ikram meniru logat Rachmat.
“Takut khilaf,” jawab Rachmat sambil nyengir.
“Semprul!” Ikram meraup wajah Rachmat dengan kesal.
Rachmat memang tidak terlalu religius meskipun dia anak dari seorang ustaz di kampungnya di Bantul sana. Hanya saja dia agak berhati-hati ketika berurusan dengan makhluk ajaib bernama perempuan.
Rachmat tidak mau teperdaya tipu dan muslihat dari pesona perempuan-perempuan itu. Karena sekalinya seorang pria terpukau pesona mereka, maka dapat dipastikan hidupnya tidak akan nyaman. Contohnya saja, teman di depannya ini. Lima tahun yang lalu sempat memendam perasaan pada perempuan, sekarang perasaannya itu muncul lagi, dan sampai saat ini ia tak pernah bisa ngapa-ngapain.
Meskipun bicaranya medok dan kalau didengarkan serasa meledak-ledak, tampang Rachmat ini guantengnya bisa ngalahin Aliando. Makanya tidak heran perempuan secantik Lidya tidak malu-malu mengejar laki-laki medok ini.
Lidya pernah bilang, usahanya yang sangat membutuhkan pengorbanan psikis, tenaga, dan waktu ini tak akan berarti lagi jika dia bisa mendapatkan hati Kangmas Rachmat. Semua itu ibarat utang yang terbayar lunas.
Kesempatan tak datang dua kali, Lidya paham betul filosofi ini. Saat Rachmat tanpa sengaja kehilangan ID Card-nya, dewi fortuna sedang berpihak pada Lidya. Rachmat meminta bantuan Lidya untuk membuatkan ID Card-nya yang hilang. Serasa mendapat durian runtuh, Lidya yang bekerja di bagian HRD langsung memanfaatkan momen tersebut. Dia memberikan pilihan pada Rachmat, jika Rachmat ingin ID Card-nya lagi, maka Rachmat harus mau makan siang bareng Lidya.
“Itu sih bukan pilihan, tapi ngancam namanya!” Sore kemarin, Rachmat berkisah pada Ikram.
Singkatnya, daripada Rachmat tidak bisa bekerja—karena ID Card itu adalah akses untuk bisa memasuki area kantornya—Rachmat mengiakan ajakan makan siang dari Lidya. Dengan syarat, ia tidak mau makan berdua saja.
Ikram adalah teman akrabnya, apatah lagi kegunaan teman selain melindungi dari terkaman singa betina ini, pikir Rachmat.
Akhirnya Ikram dipaksa untuk menemani mereka berdua. Tapi tentu saja Ikram tidak mau.
“Gue nggak mau mengganggu momen romantis kalian!” Ikram ngeles.
Padahal alasan yang sebenarnya adalah Ikram tidak mau menjadi kambing congek. Obat nyamuk. Orang ketiga. Yang kalau kata ustaz, kala berduaan dengan lawan jenis, maka yang ketiganya adalah Setan.
“Kalau gitu, Mas Ikram ajak saja Kia. Jadi kita makannya berempat. Dan Mas Ikram nggak perlu repot-repot mengganggu keromantisan aku dan Mas Rachmat, karena kalian bisa bikin momen romantis sendiri,” celetuk Lidya memberi ide jahil pada sore itu.
Ikram sempat kaget ketika Lidya menyebut nama Kia. Sejelas itukah perasaannya tergambar sampai-sampai Lidya saja bisa tahu kalau Ikram menyukai Kia?
Tapi dipikir-pikir, ini adalah kesempatan langka. Bisa mengajak dan dekat dengan Kia? Itu adalah sebuah anugerah. Dan Ikram harus bisa mendapatkan momen itu.
***
Ikram menghela napas panjangnya berusaha menenangkan diri dari kegugupannya. Diliriknya lagi kubikel yang menghalangi perempuan idamannya itu. Dengan dukungan dari Rachmat yang menepuk pundaknya, seolah berpesan untuk berani.
Ikram berjalan perlahan namun yakin, menghampiri Kia yang berada sepuluh langkah darinya. Bismillah.
“Ehem. Kia ... emm ... lagi sibuk nggak?” tanya Ikram terbata-bata.
Agak terkejut, Kia menoleh dengan cepat ke arah Ikram. Dengan alis terangkat, Kia menjawab, “Hm? Nggak sibuk sih, Mas. Biasa aja. Kenapa?” tanya Kia balik dengan senyum manis nan ramah.
Aduh, ditanya begitu lembut oleh Kia, hati Ikram rasanya mencelus. Tentram sekali. Hampir saja Ikram melayang jika tidak ingat bahwa ia harus berhasil mengajak Kia makan siang.
“Makan siang bareng saya, mau?” tanyanya tanpa basa basi.
“Oh. Tapi, ini masih jam sepuluh, Mas,” jawab Kia polos.
Aduuuh ... imut banget Kia, batin Ikram. Dia jadi ingin masukin Kia ke sakunya deh. Lucu banget.
Dengan tawa geli tanpa suara, Ikram membalas, “Maksudnya nanti, pas jam makan siang. Gimana? Mau?”
Kia tampak ragu-ragu. Matanya melirik sekilas ke arah ponselnya.
Pertanda yang tidak baik nih, batin Ikram. Kayaknya gue bakalan ditolak. Siap-siap aja kena amuk si Rachmat.
“Perginya berempat, kok, nggak berdua.” Ikram memperjelas dengan cepat, membuat Kia malah jadi canggung. “Sama Lidya dan Rachmat. Rachmat ... tahu kan? Yang ngomongnya medok kayak bom lagi meledak,” gegas Ikram dengan wajah polos.
Kia tiba-tiba tertawa. Tapi akhirnya perempuan itu mengangguk. “Iya Mas, boleh.”
Demi apa Kia mau makan bareng gue? Jerit Ikram dalam hati.
Rasanya ia ingin melompat dari satu gedung ke gedung yang lain. Perasaan senangnya tak bisa tergambarkan sampai-sampai ia lupa bahwa ia harus menimpali kata-kata Kia.
"Kalau gitu, jam dua belas saya tunggu di lobi ya, Ki." Ikram lega.
Kia hanya mengangguk pelan dengan senyum ramah yang terus melekat di bibirnya.
***
Terdengar suara ribut entah apa di kubikel ujung, dekat pintu masuk. Membuat Kia tersadar bahwa sebentar lagi jam makan siang tiba. Ah, iya, dia punya janji makan siang dengan Ikram hari ini.
Sebelumnya tidak pernah ada laki-laki yang mengajaknya makan siang seperti itu. Maksudnya seperti Ikram mengajak dirinya secara personal tadi. Biasanya Kia makan siang bareng teman satu divisinya, atau bareng sahabatnya Febby, dokter umum di kantor Kia. Tapi yang paling sering sih Kia makan sendiri di pantri dengan memesan via delivery order atau menyuruh OB membelikannya. Tapi kali ini tidak ada salahnya kan mengiyakan ajakan Ikram? Makan siangnya juga ternyata rame-rame. Kia menganggap ini makan siang biasa.
Ketika membereskan berkas ke samping meja, Febby datang menghampiri.
“Heh, lo belum gue suntik ya. Nanti jangan kabur,” katanya tiba-tiba, dengan nada mengancam.
Di kantor Kia sedang ada program vaksin influenza yang harus diikuti oleh seluruh karyawan. Alih-alih menyuruh para karyawan pergi ke klinik kantor untuk disuntik, dokter memilih untuk mendatangi sendiri karyawan-karyawan itu dan menyuntiknya. Biar tidak ada yang terlewat katanya. Dan biar tidak ada yang kabur seperti yang sudah-sudah.
Mungkin suara ribut-ribut tadi adalah suara cewek-cewek menjerit ketika disuntik oleh Dokter Febby, pikir Kia.
Kia tersenyum menanggapi ancaman Febby. “Suntik aja, Dokter. Sepuluh kali juga boleh. Biar kebal. Jadi bisa hujan-hujanan sepuasnya,” canda Kia.
Febby hanya mencibir menanggapinya. “Makan siang di mana kita hari ini?” tanya Febby.
Seketika Kia kebingungan. Bagaimana menjelaskannya?
Sebenarnya ketika Ikram mengajaknya makan siang tadi dan meminta jawaban dengan waktu yang mendesak, Kia ingin sekali menelepon Febby untuk meminta pendapatnya. Tapi mana sempat. Kia bukannya tidak suka sama Ikram. Bukan pula tidak mau makan siang bareng Ikram atau pun teman-teman yang lain di luar divisinya, tapi Kia kan memang begitu orangnya. Peragu. Apa-apa harus minta pendapat orang lain. Tapi tadi akhirnya Kia memutuskan untuk mengambil keputusan sendiri. Karena Kia pikir ia tidak punya alasan untuk “berburuk sangka” pada Ikram.
“Heh! Ditanya kok bengong? Makan di mana kita?”
“Emm, gue udah ada janji makan siang sih, Feb,” jawabnya dengan suara pelan.
Kening Febby mengernyit. “Sama siapa? Tumben.”
“Sama Mas Ikram.” Kia mengalihkan perhatiannya pada ponselnya untuk menghilangkan kecanggungannya. Dia merasa Febby sedang menginterogasinya.
“Mas Ikram siapa?”
“Itu lho anak IT. Masa nggak tahu?”
Kening Febby semakin mengernyit. “Siapa ya? Ah, mungkin jarang berobat ke klinik jadi gue nggak tahu. Tapi tumben, deh.”
“Ah biasa aja sih, Feb. Makannya juga rame-rame, nggak berdua.”
“Berdua juga nggak apa-apa, Darling,” goda Febby dengan mata mengerling.
Kia tertawa geli. “Apa, sih? Orang cuma makan siang bareng doang, kok.”
“Iya, iya. Makan siang doang. Tapi nanti lanjut makan malam, jalan-jalan, nonton ke bioskop, saling ngenalin ke orang tua—”
“Hahaha. Nggaklah, Feb!”
“Nggak apa-apa, Kia," balas Febby dengan suara melembut. “Kan sudah boleh nyari lagi.”
Mendengar kalimat terakhir Kia tertunduk lesu. Serasa ada yang menonjok hatinya. Sudah sering Febby mengingatkannya seperti itu.
Tapi Kia tidak pernah bisa. Kia tidak pernah mau “mencari lagi”. Atau lebih tepatnya “menggantikan” yang lama. Inilah kenapa ia ragu ketika ada orang lain di luar lingkungannya yang tiba-tiba masuk ke dalam lingkaran hidup Kia. Meskipun Ikram belum benar-benar masuk ke kehidupan Kia, tapi Kia merasa harus selalu waspada.
Perlahan Kia menggeleng dengan senyum getir. “Nggak, Feb. Beneran.”
Dan Febby sudah sering juga mendengar pernyataan itu dari Kia.
PART 2 Harus Tega Membuang
Suara detak jarum jam bernyanyi dalam kepala Ikram. Pukul sebelas malam, hening, dan Ikram tak henti-hentinya tersenyum. Jempolnya dengan lincah berlarian di layar ponsel yang menampilkan akun Instagram Kia.
Setelah makan siang bareng tadi, Ikram jadi semakin ingin tahu tentang Kia. Sebagai perempuan, Kia tergolong tipe yang tak banyak mengoceh. Ikram agak takjub, karena sebagian besar teman-teman perempuannya cerewet. Namun Kia, bisa dibilang misterius. Dan itu membuat Ikram penasaran.
Karena semakin penasaran, akhirnya Ikram iseng mencari akun Instagram Kia. Tidak begitu sulit karena ketika Ikram mengetikkan nama Kia Amanda ada beberapa nama serupa muncul dan Ikram langsung bisa menemukannya. Nama akun “@kiamanda” langsung menarik perhatian Ikram karena di foto profil akun tersebut terpampang jelas wajah Kia.
Satu persatu unggahan di feed Instagram Kia diperhatikan Ikram. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang lebih senang mengunggah foto selfie, unggahan Kia kebanyakan foto jalanan, pemandangan, foto perempuan itu bersama beberapa temannya, dan foto-foto yang Ikram yakini Kia bersama keluarganya tengah berlibur.
Lalu ada satu unggahan foto yang memperlihatkan seorang pria sedang memunggungi kamera, berdiri di trotoar jalanan entah di mana. Di caption hanya ada emoji tersenyum tanpa kata-kata. Dan itu adalah unggahan tiga tahun lalu.
Ikram ragu. Masihkah Kia memikirkan laki-laki itu? Laki-laki yang lima tahun lalu memaksanya mundur.
***
Lima tahun lalu
Teman-teman satu divisinya sedang dinas luar kota dan menyisakan dirinya sendiri di kantor. Sialnya, jaringan internet di kantornya sedang down. Ia abaikan telepon yang berdering berkali-kali. Ia tahu, telepon-telepon itu pasti dari karyawan yang komplain akibat internet mati.
Ikram mulai mengecek router yang ternyata masih bekerja normal. Ketika Ikram berpindah tempat untuk mengecek switch tiba-tiba kubikel ruangannya diketuk pelan. Tak lama muncul seorang perempuan yang tak pernah Ikram lihat.
“Emm ... Permisi, Mas,” sapa perempuan itu, tampak canggung dan kaku.
Ikram langsung membalikkan badan tanpa berdiri dari jongkoknya.
“Ya?”
“Tadi saya nelepon nggak ada yang ngangkat. Jadi saya ke sini aja.”
Oh, telepon yang berkali-kali itu dari dia, batin Ikram.
“Kenapa, ya? Sebelumnya maaf, karena nggak ada orang lagi di sini, jadi nggak sempat ngangkat telepon.” Ikram kembali sibuk mengotak-atik switch.
“Nggak pa-pa, Mas. Ehm ... Akun saya diblokir. Bisa minta tolong pulihkan?”
“Diblokir kenapa?” tanya Ikram tanpa menatap perempuan itu.
“Lupa password,” jawab gadis itu.
“Sebentar ya.”
Perempuan itu kemudian duduk di salah satu kursi di sana.
“Sorry ya, Mas, jadi ganggu.”
“Nggak pa-pa, kok.”
Setelah selesai dengan masalah jaringan internet, ia kemudian kembali ke mejanya untuk menyelesaikan permasalahan si mbak di depannya ini.
“Username-nya apa?” tanya Ikram masih tak menatap perempuan itu.
“Kyria Amanda,” jawabnya.
“K-I-R-I-A—”
“K-Y-R-I-A,” potong perempuan itu dengan cepat, membenarkan ejaan Ikram.
“Oh. Oke.”
Ikram tampak sibuk mengetik di laptopnya. Tangannya cekatan sekali seperti berdansa di atas keyboard laptopnya.
“Kamu karyawan baru?” tanya Ikram basa basi tanpa sedikit pun mengalihkan matanya dari layar laptop.
“Iya.”
“Di divisi apa?”
“Finance.”
Hening sejenak. Ikram masih fokus ke layar laptopnya.
“Kyria Amanda Kusmanto?” tanya Ikram membaca pemilik akun yang diketiknya tadi.
“Betul, Mas.”
Dari tadi perempuan ini hanya berbicara untuk menjawab pertanyaan Ikram saja. Tidak ada obrolan basa basi atau flirting pada Ikram.
Bukannya Ikram sombong atau sok ganteng, tapi biasanya tak jarang cewek-cewek suka menggodai atau genit-genitan sama Ikram, meskipun baru pertama bertemu. Pernah bahkan cewek-cewek anak magang yang baru bertemu sudah sok akrab dan berani bercanda dengan Ikram. Tapi maklum saja, Ikram kan salah satu karyawan yang cukup enak dipandang, kalem lagi. Sampai-sampai ada julukan spesial untuknya dari cewek-cewek di kantor, yaitu si Ganteng Kalem.
Namun tak berlaku bagi perempuan bernama Kyria ini yang terkesan tak tertarik padanya. Tapi ia tak ambil pusing. Mungkin karena masih anak baru. Nanti-nanti kalau sudah agak lama, pasti juga ikut-ikutan “mengganggu” Ikram.
“Nih, udah,” seru Ikram dan tanpa sengaja matanya bertabrakan dengan mata Kyria.
Ada binar bahagia yang terpancar dari mata sayu perempuan ini. Lengkungan senyum yang melekat di wajah ramah dan manis itu terasa menghangatkan dada Ikram. Bagaimana bisa seseorang berwajah sendu dan bahagia dalam waktu yang bersamaan? Tiba-tiba Ikram merasa tertarik. Dan ini tidak biasa.
“Err ... Saya tulis di kertas deh, ya,” ucap Ikram tersadar. Mendadak ada keinginan untuk berlama-lama dengan Kyria.
“Ini password barunya. Nanti setelah log in, kamu ganti aja password-nya. Samain dengan password salah satu akun kamu yang lain. Misalnya akun facebook, twitter, atau email yahoo. Biar nggak lupa lagi,” ucap Ikram sambil menyerahkan kertas yang ditulisinya.
“Makasih banyak ya, Mas,” balas Kyria girang.
Namun ketika Kyria hendak pamit, Ikram langsung mencegatnya dengan pertanyaan basa basi.
“Eh, di Finance di bawahnya siapa?” tanyanya cepat.
Pertanyaan ini biasa dilontarkan teman-temannya untuk menjahili. Sebenarnya ia sudah tahu jika di divisi Finance & Accounting itu pasti jadi bawahan Bu Ifa. Bu Ifa ini badannya gendut.
Ada joke yang selalu jadi bahan perploncoan bagi anak baru. Jadi kalau anak baru yang ditanya seperti itu, biasanya menjawab “Di bawahnya Bu Ifa”, maka teman-temannya akan langsung menimpali “Berat dong di bawahnya Bu Ifa mah!” tak ayal, semua yang mendengar akan tertawa, kecuali Bu Ifa tengah berada di sekitar mereka.
Tapi Ikram tidak begitu sekarang. Dia hanya ingin mencari obrolan agar bisa berlama-lama. Pertanyaan Ikram tersebut bukanlah joke, tapi memang ingin memperpanjang waktu bersama Kyria.
“Kia, Mas.”
“Hah?” Nah sekarang malah dirinya yang dibuat bingung oleh anak baru ini. Ditanya apa, jawabanya beda.
“Panggil aja Kia. Kasihan orang cadel kalau harus nyebut Kyria,” ucap Kyria dengan datar, memecah kebingungan Ikram.
Ikram malah tertawa mendengar pernyataan Kia. Dilihatnya Kia ini, perempuan itu malah menunduk malu.
“Kia di bawahnya Bu Ifa,” katanya sambil menyelipkan rambut ke belakang telinganya.
Dan Ikram sama sekali tidak tertarik melontarkan candaan “jayus” tadi.
“Oh,” gumam Ikram, meskipun ia sudah tahu Kia akan menjawab seperti itu.
“Kok tahu akunnya diblokir? Kan internet lagi eror,” tanya Ikram memperpanjang “kuota” pembicaraan.
“Diblokirnya dari kemarin sih. Tapi baru sempat bilang.”
Merasa tidak enak berlama-lama di ruangan orang lain dan karena takut dicari oleh atasannya, Kia akhirnya pamit.
“Kalau gitu Kia balik dulu ke meja ya. Makasih banyak Mas, bantuannya.”
“Eh iya. Saya Ikram. Kalau ada masalah soal komputer atau IT, ke saya aja.”
“Iya. Makasih Mas Ikram. Kia balik dulu ya.”
Ikram pun mengangguk meski enggan melepas momen ini.
Tanpa berpikir panjang lagi, Ikram langsung membuka data karyawan. Karena dia IT jadi lebih gampang menelusuri data-data di kantor karena punya akses untuk membuka data karyawan. Ikram bukannya berniat jahat dengan melihat-lihat data karyawan lain. Ikram hanya ingin tahu profil Kia saja.
Dilihatnya data pribadi Kia di laptop.
Nama: Kyria Amanda Kusmanto
Tanggal lahir: 3 Maret 1991
Hmm ... lebih muda tiga tahun darinya.
Pendidikan: Sarjana
Jurusan: Keuangan Perbankan
Divisi: Finance & Accounting
Status Pernikahan: Menikah
Dan Ikram langsung terdiam membaca profil terakhir. Dia merasa malu pada dirinya sendiri.
***
Perempuan itu membiarkan jendela apartemennya terbuka sejak setengah jam yang lalu. Tidak ada semilir angin yang menerpa wajahnya. Dilihatnya lampu-lampu gedung di hamparan kota Jakarta yang mengerling cantik membuai mata. Deretan mobil menyemut di jalanan, merayap melata menggilas aspal. Namun hatinya masih pilu. Sepilu ketika teringat masa lalu.
Kia berjalan perlahan kembali duduk menatap layar ponsel dalam genggamannya. Terpampang akun Instagramnya yang terbuka sejak dua jam yang lalu. Setengah jam lalu, pukul 22.30, ia akhirnya berhasil membuang semua kenangan yang masih ia rasa mengikat. Sesuai saran Febby, ia harus tega “membuang”.
Beberapa hari yang lalu Febby sempat menyinggung perubahan drastis yang dialami Kia. Membuat Kia bertanya-tanya, apa yang berubah dari dirinya?
“Lo berubah banyak, Ki,” sosor Febby.
“Apanya yang berubah?”
“Ya semuanya. Dulu lo itu orang paling happy sedunia. Selalu terlihat bahagia, segar, fit, bersemangat bahkan kadang suka resek. Sekarang lihat aja, lo tuh jadi orang paling membosankan, tahu nggak.”
“Membosankan gimana sih? Orang gue biasa-biasa aja.” Kia membela dirinya.
Febby mengembuskan napas kesal.
“Nih coba lo pilih antara Hazelnut sama coffee latte. Pilih mana?”
“Coffee latte,” jawab Kia cepat.
“Tuh, kan. Ngebosenin abis. Jangan coffee latte mululah. Coffee shop ini menjual berbagai macam kopi. Dari yang pahit, asam, sampai yang manis banget juga ada. Dari kopi asal Brasil sampai kopi asal Aceh lengkap di sini. Coffee latte itu pilihan yang ngebosenin apalagi setiap hari lo pilihnya itu mulu. Apa nggak mau nyobain rasa Hazelnut?”
“Ya gue milih yang gue udah tahu rasanya kayak gimana, dong. Udah bayar mahal-mahal ternyata rasanya nggak enak, gimana? Gue nggak mau kecewa.”
“Tapi ada kemungkinan rasanya lebih enak, kan? Lo nggak mau merasa surprise, gitu?”
“Ck. Ah! Gue nggak suka surprise, Feb. Gue ini orangnya less expression.”
“Bukannya lo orangnya eskpresif banget ya? Gue masih ingat waktu kita lolos tes kerja di kantor ini. Waktu itu kayaknya lo orang paling bahagia di antara peserta tes yang lain. Sampai-sampai lo menyalami beberapa panitia waktu itu. Padahal itu baru tes pertama. Di mana less expression-nya?"
Ya, Kia ingat itu. Betapa bahagianya ia begitu mengetahui bahwa dirinya lolos di tes awal penerimaan karyawan di kantor ini.
“Ini serius ngomongin ekspresi gue?” tanya Kia polos semakin membuat Febby geregetan.
“Ki, udah saatnya lo lupain Nando. Apa lagi memangnya yang masih lo harapkan dari dia?”
Sekarang Kia baru mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Kia langsung menyandarkan punggungnya ke sofa. Tatapannya menerawang. Matanya berubah sayu. Tubuhnya mendadak lemas. Seperti tidak ada lagi harapan hidup di ruang mata bundar itu.
“Ini bukan soal gue masih mengharapkan dia atau nggak, Feb. Tapi ini tuh susah banget. Betapa gue merasa dunia ini tiba-tiba runtuh. Dunia yang gue dan Nando bangun bertahun-tahun, runtuh dalam sekejap. Lo nggak akan ngerti, Feb. Menyakitkan rasanya ketika—” Tenggorokan Kia serasa tertahan. Kalimat itu tidak bisa ia selesaikan. Air mata menggenang memburamkan pandangannya.
“Gue merasa jadi orang paling nggak berguna di dunia ini.” Kia tertunduk. Terisak.
Febby menjulurkan tangannya meraih tangan Kia di atas meja. Meremasnya perlahan. Febby mengerti betapa Kia sangat rapuh.
“Sssh .... Udah, Sayang, udah. Nggak ada yang menganggap lo nggak berguna, Ki. Berhenti menyalahkan diri sendiri.”
“Nando menganggap gue begitu, Feb. Orang yang paling gue cinta menganggap gue begitu. Sakit rasanya.”
Kia masih menunduk terisak. Sakit di hatinya bagai parang yang tertancap dalam kemudian ditarik sekuat tenaga. Sakitnya hingga ke ujung jari. Itu yang terjadi jika ia kembali teringat masa lalunya. Tentang Nando. Renandonya yang sekarang entah ada di mana. Entah masih peduli padanya atau tidak. Bahkan jika ingin lebih jahat lagi, entah masih sudi mengingatnya atau tidak.
“Sorry. Seharusnya gue nggak membahas ini,” ucap Febby. “Tapi karena gue sayang sama lo, Ki, gue nggak mau lo terus menerus sedih. Gue harus mengatakan ini.”
Kia masih menunduk dan terisak. Menahan supaya tangisnya tidak terlalu pecah. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian di tempat umum. Setelah agak tenang, Febby kemudian melanjutkan.
“Lupain Nando, Ki,” ucap Febby perlahan dan lembut. “Kalau memang belum mau nyari gantinya, minimal lupain. Rasa sakit itu memang tidak bisa hilang hanya dengan sepenggal kata maaf. Tapi bisa terobati dengan cara melupakan.”
Kia mengangkat perlahan kepalanya. Menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.
“Melupakan gimana maksudnya?” tanya Kia putus asa.
“Gue pernah baca bukunya Marie Kondo yang berjudul The Life-Changing Magic of Tidying Up. Buku itu tentang bagaimana cara kita berbenah rumah supaya rumah atau kamar kita nggak berantakan mulu. Marie Kondo bilang tahap awal dari berbenah itu kuncinya ada dua, yaitu membuang dan menentukan di mana harus menyimpan barang. Ini bisa juga diterapkan untuk kasus lo. Dimulai dari ‘harus tega membuang’,” jelas Febby mulai bersemangat.
“Apa yang harus gue buang? Barang-barang dari dia? Sejak kami pisah, nggak ada satu pun barang pemberian dia yang gue bawa.”
“Bukan barang. Tapi kenangan lo sama dia.”
Kia mengerutkan keningnya. Sementara Febby masih berusaha tenang agar ucapannya dapat dicerna Kia dengan baik.
“Dimulai dari yang paling gampang. Hapus semua foto-foto yang ada Nandonya di semua akun medsos lo. Gampang kan?”
Setelah itu, Febby mengambil gelas kopi Kia di atas meja.
“Nih gelas masih ada sisa coffee latte-nya kan?” tanya Febby dengan paksa. Kia mengangguk.
“Ini kalau si coffee latte-nya nggak dibuang dan dibiarkan tetap bersisa di gelas ini, lo mau masukin air apa pun juga tetap aja coffee latte-nya masih terasa. Beda lagi kalau lo buang semua sisa coffee latte ini. Cuci sampai bersih gelasnya. Gelas yang kosong ini bisa lo isi kopi yang lain. Lo pada akhirnya bisa nyobain Hazelnut. Arabica Aceh Gayo. Black Coffee. Atau rasa apa pun yang lo pengin. Pasti lebih menyenangkan karena lo bisa merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru itu bagus ketika lo sudah penat dengan sesuatu yang itu-itu mulu.”
Kia tahu bahwa perkataan Febby adalah benar. Jika tidak ingin merasakan sakit lagi, maka ia harus melupakan. Dan ia sudah melakukan saran yang Febby lontarkan beberapa hari yang lalu itu. Dimulai dari menghapus foto-foto Nando dari Instagramnya, seperti yang tengah ia lakukan saat ini.
Namun jarinya membelot. Hatinya berkhianat. Karena ternyata dengan sengaja ia menyisakan satu foto Nando yang ia unggah tiga tahun lalu. Foto yang diambil Kia diam-diam ketika Nando berjalan di depannya. Di jalanan di kota Paris ketika mereka berdua mengikuti Eurotrip kala itu. Nando berjalan di depannya dan tanpa sepengetahuan Nando, Kia mengambil foto punggung laki-laki itu. Punggung yang sering ia peluk dari belakang itu.
Nando tidak pernah tahu. Febby juga tidak akan tahu bahwa ada “aturan” yang ia langgar. Dan Kia pun tak pernah mengerti mengapa ia sangat tidak rela untuk membuang semua hal tentang Nando.
Kia menyandar ke punggung sofa, menengadah lalu menutup matanya dengan satu lengannya. Mulai terisak. Kali ini lebih sesak dari biasanya.
PART 3 Pertemuan di Pantri
Kia baru saja kembali ke tempat duduknya setelah sarapan nasi uduk di pantri. Ketika menyalakan komputer dan log in ke akun aplikasi kantornya, muncul keterangan bahwa password harus diperbarui. Seperti sudah terbiasa, Kia langsung mengetikkan password baru, log in dan menge-klik setting untuk mengubah password-nya lagi dengan password lama. Password yang sama dengan salah satu akun media sosialnya. Ia pernah diberi saran seperti itu oleh orang IT dulu. Sampai sekarang ia masih melakukannya.
Terdengar Cindy, juniornya di divisi Finance, menggerutu karena password yang dia masukkan salah. Begitu terus sampai beberapa kali dan akhirnya akunnya diblokir.
“Duh! Kok diblokir sih?” gerutu Cindy kesal.
Merasa terganggu, Kia menanyakan masalahnya. “Kenapa, Cin?”
“Akun gue diblokir, Mbak. Ah resek, deh.”
“Kok bisa diblokir?”
“Lupa password baru. Padahal kemarin masih bisa.”
“Lo password-nya tulisan yang aneh-aneh kali, makanya lo lupa.”
“Engg ... Iya, sih. Tapi kan katanya bikin password itu harus yang susah biar nggak gampang di-hack.”
“Yang susah tapi lo juga harus ingat. Lo telepon bagian IT aja buat pulihin.”
Cindy lalu membuka-buka buku telepon kecil di mejanya. Buku telepon yang isinya nomor-nomor telepon semua bagian di kantornya.
“Eh bagian IT? Bagian Mas Ikram bukan ya?” tanya Cindy lebih kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba air muka perempuan itu langsung berubah cerah. Seperti orang yang hilang akal ia senyum-senyum sendiri sambil memencet tombol telepon.
“Halo? Dengan bagian IT? Emm ... Bisa bicara dengan Mas Ikram?” sahut Cindy dengan nada suara yang dicentil-centilkan. Mendengar nama Ikram disebut, Kia menoleh perlahan dengan kening penuh kerutan, sedikit kepo. Tapi dia membiarkan Cindy melanjutkan aksinya.
“Halo Mas Iam,” sapanya manja. Membuat Kia ingin memutar bola matanya. Tetapi urung.
“Ih nggak apa-apa, dong, aku manggil nama kecilnya Mas Iam. Kan jadi lebih imut gitu.”
Kia langsung membalik badan menghadap komputer. Tidak tega pada kupingnya jika ia harus mendengar suara cempreng Cindy lebih lama lagi.
“Akun aku diblokir nih, Mas. Minta tolong pulihkan, dong. Mas Iam kan baik, hihihi,” rengek Cindy lalu terkikik semakin manja.
Ingin sekali rasanya Kia menjebloskan perempuan centil satu ini ke sekolah TK! Bukan jadi gurunya, tapi jadi muridnya!
“Lagian ngapain sih password itu harus diperbarui-perbarui segala. Jadinya nambahin kerjaan Mas Iam aja kan. Kasihan, Mas Iam pasti sibuk sama kerjaan yang lain.” Manjanya Cindy semakin menjadi. Dan Kia semakin sebal.
“Eh tapi nggak apa-apa juga sih. Jadinya aku bisa ngobrol sama Mas. Hihihi. Mungkin ini takdir. Semacam skenario yang diatur Tuhan melalui akun aku yang diblokir. Ya, kan?”
Kia langsung menyumpal mulut Cindy, dalam bayangannya. Tapi yang bisa Kia lakukan hanya menyumpal kupingnya dengan earphone dan langsung menyalakan musik hingga suara Cindy tidak terdengar lagi.
Kalau suara cempreng itu masih saja bisa ia dengar, Kia bersumpah akan menyumpal mulut Cindy dengan sandal jepitnya. Camkan itu!
Bukannya Kia iri atau cemburu karena Cindy bermanja-manja dengan Ikram. Lagipula Ikram pun bukan siapa-siapanya, meski Kia sepertinya tahu kalau Ikram mungkin sedang berusaha mendekatinya. Eh, Kia bukan gede rasa, tapi cara Ikram mengajak dirinya makan siang kemarin terasa berbeda. Cara lelaki itu berbicara dengannya juga seolah ia adalah hal yang istimewa. Sebenarnya Cindy bebas mau genit-genitan sama siapa pun. Dan Ikram pun bebas mau digodain sama siapa saja. Hanya saja Kia merasa sebal setengah mati dengan perempuan yang manja.
Bukan tanpa alasan Kia seperti itu. Melihat Cindy ia seperti bercermin. Karena dulu dirinya begitu. Bundanya bahkan sering sekali mengingatkan bahwa kalau sudah dewasa Kia harus menghilangkan kebiasaan manjanya. Tapi namanya juga anak bungsu. Sejak kecil sudah kadung dituruti semua keinginannya tanpa membiarkan Kia berusaha terlebih dulu. Sampai Kia menikah pun sikap manjanya masih menempel kuat di dirinya. Tanpa sadar sifat manja itulah yang membuat rumah tangganya berantakan.
Kini Kia sama sekali tidak menyimpan respek terhadap perempuan-perempuan manja. Menurutnya itu membuat mereka terlihat lemah dan tak berdaya. Atau malah sebaliknya, tampak memiliki power tapi aslinya tidak bisa apa-apa.
“Eh, Mas. Nanti siang mau makan bareng nggak? Kebetulan aku tahu tempat makan yang enak buat nongkrong,” ajak Cindy melanjutkan serangan-serangannya pada Ikram sambil memilin-milin rambutnya.
Hening sebentar, Cindy mendengarkan Ikram berbicara.
“Ya bukannya mau nongkrong pas jam maksi[1], sih. Tapi tempat makannya tuh oke. Menunya banyak dan enak-enak. Dijamin nikmat dan kenyang. Mau ya? Ya? Ya?”
Hening lagi sebentar, lalu, “Yes! Nanti samperin aku di meja ya.”
Cindy terdiam lagi mendengar balasan Ikram. Lalu mulutnya berubah manyun. “Iya deh, nanti ketemu langsung aja di lobi.”
Sedetik dari itu senyum Cindy mengembang lagi. “Eh akunnya udah bisa? Wah cepet banget. Mas Iam keren!” Lalu Cindy menuliskan password baru yang disebutkan Ikram.
“Oke! Makasih banyak ya Mas Iam. Sampai ketemu nanti siang. Daaah.”
***
Sebelumnya Ikram cuek-cuek saja ketika makan siang bareng Cindy. Cindy memang agak merepotkan sih. Banyak maunya dan rata-rata sulit banget untuk ditolak. Sudah gitu manjanya keterlaluan. Suka gelendotan juga di lengan Ikram. Bikin Ikram risi.
Selain itu selama makan siang tadi Cindy terus memainkam ponselnya. Foto selfie-lah, foto-fotoin makananlah, fotoin minumanlah, bahkan foto-fotoin dirinya juga.
“Ini mau makan atau mau menggelar sesi pemotretan sih?” protes Ikram ketika akan menyendok makanannya tetapi langsung dicegah oleh Cindy karena makanannya mau Cindy foto dulu.
Seperti tidak sadar dengan sindirian Ikram, Cindy malah terkikik geli. “Lucu, deh, Mas Iam ini.”
“Memangnya kamu nggak takut kalau nanti makanannya tiba-tiba senyum kemudian muncul dua jari dan teriak 'cheese!'?”
“Hahaha. Aduh, Mas Iam ini lucu banget sih. Mana ada makanan yang begitu. Hihihi.”
“Ya kali aja, saking seringnya kamu fotoin makanan-makanan ini. Nanti mereka jadi gede rasa, lho. Merasa foto model,” ucap Ikram sebal.
“Hahaha. Aduh sampe keluar air mata nih ketawanya. Mas Iam bisa aja deh. Cindy suka.” Lalu perempuan itu cengar-cengir dan mulai memakan makanannya.
Ikram hanya manyun. Inginnya sih menasihati atau bahkan memarahi perempuan ini. Tapi Ikram tidak bisa memarahi Cindy begitu saja. Tidak tega.
Ketika balik ke kantor, tiba-tiba satu kubikelnya heboh. Menggodanya silih berganti.
“Cie-cie. Yang abis lunch date,” goda Nadine.
“Sebentar lagi masque yang gagah ini ndak lagi njomlo." Rachmat ikut berkomentar sambil merangkul Ikram.
“Apaan sih?” tanya Ikram risi.
“Bentar lagi lo bakal terkenal di kantor ini,” ucap Dion cengar-cengir tak jelas.
Ikram menggaruk-garuk kepalanya kasar. Duh. Ia benar-benar tidak mengerti. Ini ada apaan sih sebenarnya?
Nadine menghampiri Ikram lalu memperlihatkan ponselnya. Terpampang akun Instagram milik Cindy. Diputarnya Instasory Cindy saat itu juga. Muncullah wajah Ikram yang dipotret candid oleh Cindy dengan keterangan di layarnya “Lunch date with Mas Ganteng”.
Ikram kehilangan ekspresinya. Mukanya saat itu hanya datar saja. Tapi di dalam hatinya ingin sekali ia mengumpat dan menampik semua godaan teman-temannya itu.
Ucapan Dion memang benar. Kalau dibiarkan, sebentar lagi orang satu gedung ini bakalan menganggap dia pacaran sama Cindy. Cindy bukan sekadar karyawan di perusahaan multinasional ini. Entah sudah ngapain saja, followers Instagram Cindy itu hampir dua ribu. Pastilah karyawan di gedung ini termasuk ke dalam dua ribu followers-nya Cindy.
“Asyik nih. Bentar lagi bakal sukuran tujuh hari tujuh malam. Berapa tahun lo jomblo, Kram? Sepuluh tahun kali ya? Pecah telor ini mah!” Ledek Dion tanpa ampun lalu tertawa kencang.
“Gila masque, sepuluh tahun kering kerontang, dong?” Rachmat makin menjadi. Terbahak tak henti-henti.
“Enak aja!” balas Ikram. “Gue ini selektif ya. Nggak sembarang cewek digaet. Tapi nggak sepuluh tahun juga, cumi!”
“So, Cindy nih akhirnya? Nggak adore lagi sama Kia?” Goda Nadine.
“Nggak! Hih apaan sih?” elak Ikram tambah sebal pada teman-temannya.
“Cindy kan cantik. Fresh graduate. Masih imut-imut juga. Bening. Tinggi. Harum. Hmm ... Kalo gue jadi lo, udah gue gebet kali,” ucap Dion.
“Sudah gitu seksi, bahenol,” lanjut Rachmat.
“Heh kamu! Anak ustaz ngomong-ngomong bahenol segala. Tenggelamkan!” teriak Nadine meniru gaya Menteri Susi. Seketika itu tawa anak-anak IT ini pecah. Dion bahkan tertawa sambil memukul-mukul meja.
“Hahaha. Iya, ya. Montok.” Ikram mengisyaratkan tangannya di dada, membentuk buah dada.
Kebetulan ada bakpau di meja Nadine. Ikram lalu mengambil bakpau itu, lantas menempelkannya di dadanya, menyerupai buah dada perempuan. Tapi lucunya hanya sebelah, karena bakpaunya juga hanya ada satu. Kemudian mulai berlenggak-lenggok centil. Mengedipkan sebelah matanya pada Dion. Lalu tak lupa mengirim ciuman jarak jauh pada Rachmat. Rachmat pun langsung merinding.
“Anjir ya, kalian laki-laki macam apa sih? Hahaha .... Gue sebagai perempuan merasa tersinggung nih! Itu buah dada cuma sebelah, woi!” teriak Nadine melemparkan pulpen ke tubuh Ikram.
Semua orang di sana tertawa terbahak-bahak.
“Cindy the best, lah! Hahaha," teriak Dion di tengah tawa gelinya.
“Lo aja kalau gitu yang gaet, Yon. Gue lagi ogah,” kata Ikram.
“Digampar bini entar gue.” Dion sambil memegang pipinya menggeleng takut.
“Dia sih ketuaan. Jatuhnya jadi pedofil dia mah.” Nadine terbahak puas.
Selagi mereka saling meledek satu sama lain, Pak Abdulah lewat dan berdeham dengan sengaja. Tanpa sadar mereka telah membuat keributan, meskipun tidak heboh-heboh amat. Tapi karena tempat kerja mereka berupa ruangan luas yang hanya disekat oleh kubikel-kubikel antar bagian, jadi sedikit banyak bagian lain bisa mendengar candaan yang dibuat anak-anak IT ini tadi.
Pak Abdulah melotot dan seketika itu juga membungkam mulut semua anak IT. Satu per satu kemudian duduk di tempat masing-masing, berpura-pura serius memerhatikan laptop. Tapi setelah Pak Abdulah tidak terlihat, Dion mulai tertawa meskipun pelan.
“Pffft. Guru BP marah,” bisik Dion.
“Hihihi. Dia kepala sekolah kali, bukan guru BP” balas Nadine.
“Benar itu,” timpal Rachmat. “Guru BP itu kan bosnya Lidya.”
“Cie. Udah mulai nembus nih peletnya Lidya. Asik-asik, jos!” celetuk Ikram.
“Hahaha. Akhirnya Kangmas Rachmat luluh juga sama Dik Lidya,” goda Nadine.
Rachmat menjulurkan lidahnya tapi kemudian mesam-mesem penuh arti.
Pak Abdulah kembali lewat ke area IT, seketika itu juga mereka tiba-tiba serius memelototi laptop. Tidak ada cekikikan lagi. Yang ada hanya hening. Mirip di kuburan. Sampai-sampai Ikram membayangkan ada suara jangkrik di benaknya.
***
Menjelang sore, ketika matanya sudah mulai lelah, Ikram melihat bahwa kopi yang diseduhnya tadi pagi sudah tandas. Ia butuh asupan kafein untuk menjaga matanya agar tetap terbuka. Ikram pun berdiri, menggeliat sebentar, lalu berjalan santai ke pantri. Ikram sempat terdiam sesaat ketika pintu pantri dibuka dan mendapati perempuan dambaannya ada di sana tengah mengaduk kopinya.
Kia menoleh untuk melihat siapa yang datang dan langsung melempar senyum ramah pada Ikram.
“Sendirian aja, Ki?” sapa Ikram.
“Iya, Mas,” jawab Kia singkat dan langsung bergeser untuk memberikan ruang pada Ikram.
Aduh, Kia ini tidak pernah basa-basi ya orangnya? Masa tiap Ikram sapa balasannya selalu pendek-pendek begitu. Kapan dekatnya kalau begini terus? batin Ikram.
Ikram mulai mengambil kopi sachet miliknya dari laci. Suasana pantri hening. Tidak ada yang memulai percakapan. Hanya terdengar suara Kia menyeruput kopinya sambil berdiri, menyender pada top table. Perempuan itu tampak menikmati kopinya sambil melamun. Tidak merasa terganggu dengan keributan yang ditimbulkan Ikram dan aktivitasnya membuat kopi.
“Kia tadi nggak makan siang?” tanya Ikram memecah keheningan. Meskipun terdengar konyol, tapi sudahlah. Yang penting bisa ngobrol sama Kia.
“Makan siang kok, Mas.” Terlalu singkat jawaban Kia bagi Ikram.
“Oh ya? Makan di mana?”
“Di sini. Di pantri maksudnya.”
“Memangnya masih belum kepengin makan makanan Manado ya?” tanya Ikram hati-hati. Ia memancing ingatan Kia tempo hari pada saat ia mengajak Kia makan siang, bareng dengan Rachmat dan Lidya juga, yang bilang bahwa ingin sesekali makan di warung Manado di seberang kantor.
Kia tertawa pelan. “Emm ... mungkin nanti-nanti kepenginnya.”
“Saya pernah bilang mau nemenin, kan?” tanya Ikram tidak penting. Setidaknya untuk Kia.
“Iya Mas, makasih.”
Saking fokusnya konsentrasi Ikram pada obrolannya dengan Kia, dia baru tersadar bahwa gula di stoples habis. Momen ini membuat Ikram kebingungan. Akhirnya ia menyendoki sudut-sudut stoples gula, berharap ada cukup gula untuk kopinya sore ini.
“Eh gulanya habis ya, Mas?” tanya Kia, sadar akan kerepotan Ikram.
“Hm? Eh iya nih, ternyata habis.”
“Punya Kia aja. Tapi gula tropicana slim. Mau?”
“Mau, Ki. Mau,” jawab Ikram terlalu cepat. Ia kegirangan. “Ehem ... maksudnya, boleh. Makasih ya," ralatnya dengan suara yang lebih bulat agar terdengar biasa-biasa saja.
Kia berjalan menghampiri Ikram untuk mengambil gulanya di laci.
“Mau satu atau berapa?”
“Dua kalau boleh,” jawab Ikram.
Tanpa diminta, dengan cekatan Kia menyobek plastik gula dan menuangkannya di gelas milik Ikram. Lalu mengaduk kopinya. Padahal Ikram tidak meminta Kia melakukannya. Ikram pikir tadi Kia akan memberikan gula sachet-nya itu pada Ikram. Ikram jadi gede rasa.
“Kayak udah terbiasa ngelayanin orang ya, Ki,” ucap Ikram sambil tersenyum.
Kia tertawa. “Setidaknya setiap hari ngelayanin diri sendiri.”
Kia mengaduk kopi Ikram sebentar lalu menyodorkannya kepada Ikram.
“Makasih ya.”
“Sama-sama.”
“Akun Kia nggak diblokir, kan?” tanya Ikram random kemudian menyeruput kopinya. Meski random ini lebih baik daripada tidak ada bahan obrolan sama sekali, pikir Ikram.
“Nggak. Kia udah nggak pernah lupa password lagi. Dulu kalau nggak salah Mas Ikram yang nyaranin soal ngasih password yang gampang biar nggak lupa.”
Saat itu juga Ikram tertegun. Ternyata Kia masih mengingatnya. Pertemuan pertamanya dengan Kia lima tahun lalu. Ikram pikir di antara mereka berdua yang selalu ingat pertemuan itu cuma Ikram seorang. Tapi ternyata Kia juga mengingatnya.
Ikram tersenyum lebar.
“Ampuh, kan?” tanya Ikram bangga.
Kia tertawa. “Ampuh banget. Kia sih nurut apa kata expert aja.”
“Jadi kamu ini orangnya gampang nurut ya?”
“Hmm ... sebenarnya keras kepala sih.” Kemudian tertawa lagi.
“Masa?”
Kia mengangguk cepat.
Mereka berdua akhirnya duduk sambil menyeruput kopi masing-masing.
“Dulu Bunda selalu bilang kalau Kia ini manja. Apa-apa harus diturutin. Jadi mungkin karena terbiasa selalu diturutin maunya apa, Kia jadi lupa bagaimana caranya nurut sama orang,” papar Kia panjang lebar tanpa sadar.
“Tapi memangnya di sekolah nggak nurut sama guru?”
“Ya nurut sih. Tapi kalau Kia udah keras kepala, keukeuh dengan pendapat Kia sendiri, aturan di sekolah pun kadang bisa Kia langgar.”
“Badung juga ya kamu.”
Kia terkekeh. “Nggak kok. Kalau di sekolah Kia kebanyakan nurut. Cuma kalau di rumah kadang memang suka susah dibilangin.”
“Kok sama saya bisa nurut? Buktinya kamu ngikutin saran saya,” godanya.
“Ya kan Mas Ikram bisa dibilang ahli di bidangnya. Masa nggak nurutin sarannya. Takabur dong namanya.”
Kali ini gantian Ikram yang tertawa. “Bisa aja. Eh tapi enak kali ya jadi anak manja? Apa-apa diturutin. Apa-apa dikasih. Kalau ngambek, dikit-dikit dibujuk.”
Kia tiba-tiba menunduk. Air mukanya tidak seceria tadi. Lalu tersenyum getir.
“Justru karena itu Nando memilih menjauh dari Kia,” lirih Kia.
Ikram langsung mengerutkan kening, heran. Apa tadi Kia bilang?
“Apa? Gimana, Ki, gimana maksudnya?” tanya Ikram.
“Eh? Enggak, kok. Duh ngelantur nih.” Kia mengusap wajahnya cepat. “Padahal udah minum kopi. Hahaha.”
Ikram hanya tersenyum sekenanya.
“Emm ... Mas, Kia balik ke meja duluan ya.”
Ikram mengangguk pasrah. Ia merasa Kia seperti melarikan diri darinya. Ia kemudian menggaruk kepalanya kesal. Baru juga mulai dapat momennya udah ditinggal aja.
[1] Maksi = Makan siang
PART 4 Kenangan
Lagu That's What You Get milik Paramore berdentum pelan di speaker kecil komputer Kia. Nando ikut bernyanyi kecil sambil sibuk mengetik revisian skripsi milik Kia. Dua minggu lalu Kia baru saja selesai sidang skripsi. Jika bukan Nando yang terus memaksanya, perempuan itu tidak mungkin bisa menyelesaikan skripsinya dengan cepat. Itu saja sudah telat enam bulan dibandingkan skripsi Nando. Ketika Nando sibuk bekerja, Kia masih sibuk mengejar-ngejar dosen pembimbing.
“Gimana? Udah selesai?” Kia kemudian masuk ke kamar dan duduk bersila di lantai di samping Nando yang sedang sibuk menge-print revisian skripsi Kia.
“Kamu ini, kayak nanya apaan aja. Kan harus dicek lagi, dibenerin, dibaca ulang, baru di-print. Kebiasaan.” Nando menjawil hidung Kia.
Kia hanya terkekeh. “Ya udah cepetan dong. Katanya mau nonton ke bioskop.” Kia merajuk manja.
Nando pura-pura menghela napas lelah. Kia makin terkekeh geli. “Omong-omong ini skripsinya siapa ya? Yang punya malah santai-santai aja.”
Kia tertawa. “Nando, Sayang. Kamu tuh aura gantengnya semakin terpancar kalo bantuin ngerjain skripsi aku,” goda Kia sambil mengelus pipi Nando dengan kedua tangannya.
“Memangnya kapan aku nggak bantuin ngerjain skripsi kamu? Hm?”
Ketika Kia akan melepaskan tangannya dari pipi Nando, lelaki itu menangkap cepat tangan Kia. Lalu ia genggam tangannya, balik menggoda Kia dengan pura-pura mendekatkan wajahnya ke wajah perempuan itu sambil menyeringai. Seketika wajah Kia memerah.
“Di bawah ada Bunda, Nan,” lirih Kia mengalihkan penglihatannya ke arah lain selain wajah Nando.
Diperingatkan begitu, Nando bukannya menjauh malah menempelkan keningnya ke pelipis Kia. Mengusapkan hidungnya ke pipi Kia dengan lembut. Membuat keduanya memejam, menikmati sentuhan satu sama lain. Bulu kuduk Kia meremang tatkala wajahnya tertiup napas hangat Nando. Sekonyong-konyong jantung Kia berdebar hebat, sampai-sampai Kia takut degup jantungnya akan terdengar sampai lantai bawah. Gawat kalau Bunda sampai dengar, pikirnya.
Di sela-sela pejaman matanya, Nando bergumam. “Nikah sama aku ya, Ki?”
Kia langsung menarik kepalanya untuk menatap wajah Nando, terkejut. Alisnya terangkat, merasa tak percaya dengan ucapan yang didengarnya. Dicarinya raut canda di wajah Nando. Namun tak ia temukan. Hingga akhirnya ia terkekeh pelan. “Pffft. Bercanda kam—“
“Aku serius,” potong Nando cepat tanpa ekspresi bercanda.
Bola mata Kia masih bergerak-gerak, mencari ketidakseriusan di wajah Nando. Namun sekali lagi, ia tak menemukannya.
“Mau ya, Ki?” pinta lelaki itu sekali lagi.
Sekarang kening Kia berganti mengernyit. Ia bingung. “Tapi kapan? Dua tahun lagi? Tiga tahun lagi?” tanya Kia.
Nando menggeleng pelan. “Sekarang, Ki. Tahun ini.”
Kerutan di kening Kia semakin dalam. “Aku bahkan belum dapat kerja, Nando.”
“Setelah nikah kamu boleh kerja di mana aja. Mau nggak kerja juga nggak apa-apa. Terserah kamu.”
“Tapi ....” Kia memutar otak mencari alasan lain. “Tapi kita masih muda, Nando. Umur kita masih 22.”
“Justru mumpung kita masih muda.” Nando menjawab dengan senyum puas. Ia yakin Kia tidak bisa menemukan alasan lain lagi.
Kia tertawa. Tawa renyah yang selalu membuat Nando ingin terus mendengarnya dan menjadi tergila-gila.
“Hayo mau alasan apa lagi?” goda Nando, membuat Kia semakin tertawa.
Sedetik kemudian Kia memeluk Nando. Melingkarkan tangannya erat di leher lelaki itu. Senyum lebar masih tetap melekat di bibirnya. Entah bagaimana permintaan Nando itu bisa membuat hatinya bahagia melebihi perasaan bahagia yang pernah ia rasakan seumur hidupnya. Seperti ada kembang api meletup-letup di dadanya. Mengagetkan dengan suara dentumannya namun indah karena warna-warni percikannya.
“Mau, Ki?” tanya Nando sekali lagi.
Dan Kia hanya mengangguk dalam pelukan Nando.
***
Tuuut.
Matanya terbuka seketika. Namun masih ia rasakan degup jantung yang kencang seolah alat pemompa darah itu hendak keluar dari dadanya.
Kia terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba karena mendengar suara "tut" yang panjang dari TV yang menyala. Saluran TV tertentu jika sudah lewat tengah malam dan tidak lagi menayangkan acara biasanya hanya bergambar garis warna-warni dengan bunyi "tut" yang panjang.
Kia tak sengaja tertidur di ruang tengah, di atas sofa di depan TV. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. AC ruangan masih di-setting dengan suhu yang sangat rendah. Ia menegakkan tubuhnya dengan kedua tangan memegang sofa. Kepalanya terasa pening, pundaknya pun sakit disebabkan posisi kepala yang terlalu tinggi ketika tidur. Ditambah suhu ruangan yang dingin, membuat kepalanya semakin berat.
Ia lalu mematikan TV di depannya, mengambil remote AC dan mengatur suhunya agar tidak terlalu dingin. Kepalanya yang berat dan pening berusaha mengingat mimpi yang baru saja ia alami. Ia memimpikan Nando setelah sekian lama. Ini yang pertama kalinya semenjak mereka berpisah sekitar delapan bulan lalu. Bagi Kia, meskipun ia sangat merindukan Nando, di saat yang bersamaan hal itu pun justru menambah torehan luka di hatinya.
How can you miss someone and hurt by them at the same time?
Bayangan Nando memintanya untuk menikahi lelaki itu masih hangat dalam ingatan. Hal yang seharusnya ia lupakan itu malah semakin kuat ia ingat. Namun sebelum ia memikirkan bagaimana cara untuk melupakan kenangan-kenangan sialan itu, ia harus terlebih dahulu membereskan hidungnya yang gatal dan ....
“Hatsih!”
Oh my, this is a disaster.
***
Layar monitor di depannya mulai meredup lalu gelap sepenuhnya. Ditutupnya laptop dengan perlahan untuk kemudian dimasukkan ke tas. Sementara itu lampu di sebagian kantor sudah dimatikan. Hanya tinggal beberapa kubikel saja yang masih menyala karena orang-orang harus lembur.
Lembur hari ini sebenarnya pilihan. Ia bisa saja pulang tepat waktu tadi sore. Namun sedari sore hujan deras mengguyur Jakarta. Ia pun memilih tinggal dulu di dalam kantor setidaknya sampai agak malam. Bukan takut kehujanan, karena ia kebetulan membawa mobil ke kantor. Tapi, malas kena macet. Hujan deras begini jalanan pasti macet parah. Belum lagi jika banyak genangan di beberapa titik yang sejalur dengan arahnya pulang. Itu yang biasanya jadi penyebab macet. Stuck. Susah move on. Engg ... okay. Itu “kenangan” bukan genangan.
Omong-omong soal kenangan, ia baru ingat bahwa ia sempat melihat perempuan dambaannya keluar musala pukul setengah delapan malam tadi. Entah mengapa jika menyinggung tentang kenangan, ia akan langsung teringat Kia. Ia tahu bahwa Kianya itu seharian tadi mengikuti meeting internal divisi dan baru selesai menjelang magrib. Dikiranya sudah pulang, tapi ternyata pukul setengah delapan tadi ia masih melihatnya. Nah, apakah perempuan itu masih ada di kantor? Pukul sembilan malam begini?
Ikram berjalan menghampiri meja Kia yang kosong, tapi komputernya masih menyala. Ia berhenti sejenak di sana untuk mengamati barang-barang milik Kia. Kemungkinan besar orangnya masih ada di sekitaran kantor. Tapi di mana? Sementara itu satu per satu lampu di ruangan ini mulai padam. Orang-orang mulai saling berpamitan untuk pulang. Tapi ada satu ruangan yang masih terang, yaitu ruang kerja Bu Ifa, Kepala Divisi Finance & Accounting. Ruangan itu tampak terang benderang sendiri di tengah gelapnya ruangan-ruangan lain yang mengapitnya. Bu Ifa masih ada juga?
Dilihatnya isi ruangan Bu Ifa melalui celah kaca. Tapi karena celahnya terlalu kecil, Ikram tidak bisa melihat banyak. Tak sengaja ia dorong pintu itu dengan telunjuknya hingga terbuka. Suasana di dalam ruangan membuat alis Ikram terangkat.
Surprise!
Perempuan dambaannya ada di situ, meringkuk lemah di sofa panjang dengan blazer hitam yang menutupi bagian kaki.
“Lah, Kia?” gumamnya.
Diamatinya wajah Kia yang kuyu, anak rambut yang berantakan, dan mata sendunya yang terpejam. Tarikan dan helaan napas perempuan itu terdengar berat meskipun pelan. Ikram celingukan ke sudut ruangan, berharap mendapati Bu Ifa, si empunya ruangan. Namun nihil. Ditatapnya lagi perempuan lemah tak berdaya di hadapannya, pertanyaan-pertanyaan kerap muncul di kepalanya. Namun rasa iba lebih mendominasi.
“Ki? Kia?” panggilnya pelan. Tak ada respons, Kia masih tertidur meskipun terlihat tak nyaman.
“Kia,” panggilnya lagi dengan lembut, kali ini ia memberanikan diri sambil menyentuh lengan Kia. Ikram terkejut karena suhu badan Kia panas sekali. Wajah Ikram langsung panik.
Ia berjongkok dan menyentuh lengan Kia lembut. “Ki, bangun.”
Tubuh Kia bergerak dengan kening mengerut. Bibir kering perempuan itu terbuka perlahan meski matanya tetap tertutup. Suara serak mengeluarkan kata, “Nan?”
“Hei.” Ikram menyentuh pipi Kia yang hangat dan tampak pucat. Perlahan mata Kia terbuka.
“Mas Ikram?” ucap Kia terkejut.
Kia langsung menegakkan badannya dengan superpelan. Sampai-sampai Ikram khawatir tubuh Kia akan copot satu per satu jika perempuan itu bergerak dengan cepat. Dibantunya Kia agar bisa menyandar ke punggung sofa. Blazer yang melorot di kaki Kia ia pindahkan segera untuk menutupi tubuh Kia. Perempuan itu tampak kedinginan meskipun AC di ruangan ini tidak dingin sama sekali.
“Kok malah tidur di sini?” tanya Ikram khawatir.
Kia yang biasanya selalu tersenyum jika menjawab pertanyaan Ikram, kali ini ia hanya bisa meringis pelan. “Nggak sengaja ketiduran. Jam berapa ini?”
“Jam sembilan.”
“Astaga.” Kia lalu tertawa pelan tapi kemudian terbatuk. “Tadinya cuma numpang tiduran sebentar sekalian nunggu hujan. Eh, malah bablas. Kemalaman jadinya.”
“Kamu sakit, Ki?”
“Flu sama batuk aja, sih. Tapi kepala jadi ikutan berat gara-gara meeting seharian tadi.”
“Udah minum obat?” tanya Ikram.
Kia menggeleng. “Nggak bisa minumnya.”
“Maksudnya?”
“Nggak ada pisang, jadi belum minum obat.”
“Memangnya kalau nggak pake pisang nggak bisa?”
“Nggak bisa nelan. Kalau digerus, nggak kuat pahitnya.”
Ampun deh Kia ini, pikir Ikram. Kenapa nggak pulang aja sih dari tadi? Malah tiduran di ruangan Bu Ifa. Ikram jadi kesal sendiri. Gereget. Selain itu kasihan melihat Kia yang berantakan seperti ini. Tampak tak berdaya. Jadi pengin melukin, kan.
“Kenapa nggak pulang aja sih?” gerutu Ikram.
“Tadi hujannya deras banget, males macet. Eh, udah reda belum ya?”
“Udah, kok. Saya anterin pulang ya?”
“Nggak usah, Mas. Kia bisa naik taksi.” Kia bangkit sambil dipegangi Ikram. "Nanti malah ngerepotin Mas Ikram."
Mereka berdua berjalan ke meja Kia.
“Nanti kalau kenapa-kenapa di taksi gimana?”
“Udah agak baik kok setelah ditidurin.” Tapi kemudian Kia berhenti dan, “Hatsih!” Seketika itu juga kepalanya langsung pening luar biasa. Ia bersin terlalu kencang.
Ikram tambah khawatir. “Aduh. Agak baik gimana? Kamu malah tambah kelihatan kacau, tahu nggak.”
“Nggak apa-apa kok, beneran.”
“Saya nggak mau ambil risiko. Saya antar kamu pulang. Ini bukan tawaran tapi perintah,” ucap Ikram tegas.
“Udah malam, Mas. Kia bisa pulang sendiri, kok.”
“Justru karena udah malam, Ki, nggak bagus pulang sendirian. Apalagi dengan kondisi kamu kayak gini. Udah ya, nurut sama saya. Saya anterin kamu pulang. Kali ini aja jangan nolak.”
Kia akhirnya mengangguk.
Ikram membantu membereskan barang-barang Kia di meja. “Kamu bawa jaket?”
“Nggak.”
“Pake sweater saya aja, ya. Tunggu,” tawar Ikram kemudian berbalik dan berlari kecil ke arah mejanya untuk mengambil tas dan barang-barangnya.
Sementara itu Kia sibuk menyeka hidungnya yang berair dengan tisu, menenteng tasnya dan bersiap untuk pulang.
Ikram kembali sambil menyodorkan sweater putihnya pada Kia. “Nih, Ki. Kamu pake sweater-nya, ya. Biar nggak dingin-dingin amat.”
"Makasih ya, Mas."
Dipakainya sweater putih milik Ikram. Terasa hangat dan nyaman. Wangi pengharum pakaian, lagi. Pasti baru selesai dicuci nih, pikir Kia. Dia jadi nggak enak, baju baru dicuci udah dipinjemin ke orang lain.
“Kia, jangan makasih-makasih terus sama saya.”
Ikram terus menekan tombol buka di dalam lift sebelum Kia sampai di sampingnya.
“Gimana dong? Masa nggak makasih? Mas Ikram udah bantuin Kia banyak.”
“Ya ... misalnya, ‘Mas Ikram kok belum pulang malam-malam begini?’ atau ‘Mas Ikram ganteng deh kalau dilihat malam-malam gini, apalagi di dalam gelap’. Gitu.” Ikram mencontohkan dengan meniru suara perempuan, membuat Kia tergelak tapi kemudian terbatuk-batuk payah.
“Yaaah ... jangan ketawa-ketawa. Repot, lho. Nggak ada pisang soalnya.”
Kia menahan tawanya supaya tidak pecah.
“Nanti mampir beli pisang dulu di minimarket. Biar kamu bisa minum obatnya,” instruksi Ikram.
“Makas—” Kia langsung menghentikan omongannya. Teringat kata-kata Ikram tadi. “Maksudnya, Mas Ikram ganteng, deh,” ralatnya dengan nada suara yang terdengar geli dan sengau.
Ikram mengulum senyum. Senang mendengar ‘gombalan terpaksa’ Kia sekaligus kasihan melihat perempuan itu. Beneran, melihat Kia sekacau ini, Ikram ingin sekali memeluk perempuan itu untuk menghalau dingin yang menyerangnya. Tapi apa daya, Ikram kan cuma remahan rengginang di antara butiran debu. Bukan siapa-siapa Kia.
Mereka keluar dari lift, berjalan menuju mobil Ikram di parkiran basement yang sudah tinggal beberapa mobil saja yang terparkir di sana. Hujan sudah reda. Meninggalkan genangan-genangan di setiap sudut jalan.
Setelah masuk ke mobil, Ikram langsung mematikan AC mobilnya dan membuka kaca sampingnya sedikit. Ia tidak mau membuat Kia tambah menggigil. Masih mending kalau dia bisa memeluk perempuan itu, setidaknya transfer energi panas tubuhnya untuk Kia. Ini mah, menyentuh lengan Kia saja ia deg-degan minta ampun. Maksudnya deg-degan takut digampar Kia.
Tapi bisa berbagi udara dengan Kia dalam satu ruangan yang sama adalah suatu anugerah bagi Ikram. Hiperbolis memang, tapi Ikram benar-benar senang karena akhirnya sebelum berguna bagi nusa dan bangsa, minimal ia bisa berguna untuk Kia dulu. Apaan sih, Kram? Jayus abis! batinnya.
***
Kia memerhatikan punggung Ikram yang menjauh perlahan menuju minimarket di daerah dekat apartemennya. Katanya mau membelikan Kia pisang supaya dirinya bisa minum obat. Kia tertawa kecil mengingat hal itu. Ada orang yang sekhawatir itu dirinya tidak bisa minum obat. Orang itu bahkan tidak berpikir atau bertanya terlebih dulu padanya apakah di apartemen ia punya persediaan pisang atau tidak. Meskipun seingat Kia, ia tidak pernah menyetok pisang. Tapi Ikram bahkan tidak peduli itu dan lebih memilih membelikannya saja.
Ikram kembali dengan satu kantung kresek besar dan menyimpannya di kursi belakang. Kia pikir laki-laki itu hanya membeli pisang, tapi sepertinya lebih dari itu. Tanpa banyak pembicaraan, mobil pun melaju menuju apartemen Kia yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari sana. Jalanan yang lengang membuat perjalanan pulang mereka menjadi lebih mudah. Keputusannya untuk menunggu hujan reda memang tepat, meskipun sekarang badannya terasa lemah tak berdaya. Kia ingin sekali merebahkan punggungnya di atas kasur empuk, berselimut tebal yang hangat dan beralaskan bantal nyaman.
Dulu jika ia sakit begini, biasanya Nando tidak akan membiarkan Kia hanya tiduran saja. Nando selalu bilang, “Jangan manja, Kia. Kalau kamu nggak gerak, tubuh kamu justru akan semakin lemah.”
Padahal ia bukannya bermanja-manja, ia hanya ingin diperhatikan saja. Nando itu orang yang sibuk luar biasa. Bisa dikatakan istri pertamanya itu adalah pekerjaannya dan dia hanya bisa puas dengan gelar istri kedua. Double rugi kalau Kia sakit; tidak pernah mendapatkan perhatian berlebih dari Nando dan fisik yang sakit.
Tapi pernah dulu Nando khawatir ketika Kia demam tinggi. Padahal sakitnya itu sudah tiga hari, dan di hari pertama ketika Kia bilang bahwa ia benar-benar tidak bisa berbuat banyak karena demamnya itu, Nando malah menyuruhnya untuk kuat, memintanya untuk tidak manja, harus gerak, jangan ditidurin terus, dan bla bla bla. Sepulang dari dinas luar kota malam-malam dan melihat Kia hanya bisa meringkuk di kamar, pada akhirnya rasa iba Nando mengalahkan perasaan egonya.
“Maaf ya, Sayang. Aku baru bisa pulang malam ini,” ucap Nando memeluk Kia dari belakang, ikut tiduran di kasur. Dan Nando terkejut ketika jari-jarinya menyentuh badan Kia yang berbalut baju piyama. “Badan kamu panas banget.”
Ketika Nando membalik tubuh Kia, ia mendapati istrinya itu menangis. Tanpa suara tapi tampak menyesakkan. Sesakit itukah? batin Nando.
“Udah ke dokter?” tanya Nando dan Kia mengangguk.
“Udah minum obat?” tanya Nando lagi dan Kia hanya mengangguk.
“Terus sekarang apa yang sakit?” tanya Nando lagi.
Kia lalu memegang dadanya. Air mata pun tak bisa berhenti mengalir ke pipinya. Saat itu juga Nando memeluk Kia erat seolah tak ingin lepas. Diciuminya istrinya itu seolah esok tak akan bisa lagi ia ciumi wajah sendu itu.
“Aku kangen, Nan. Jangan pergi lagi, please,” lirih Kia dalam pelukan Nando.
Sebagai balasan, Nando memagut bibir pucat Kia. Menghujaninya dengan kecupan-kecupan lembut yang berubah menjadi ciuman brutal karena Kia membalas ciuman itu dengan penuh rasa nelangsa. Namun, Nando mengartikan ciuman itu sebagai kerinduan yang sudah merimbun dan meminta untuk hendak diranggaskan. Maka selanjutnya bukan lagi bibir mereka yang saling berpesan, namun tangan dengan punggung, bibir Nando dengan leher Kia, bibir Nando dengan dada penuh Kia, erangan Nando dan desahan pasrah Kia, hingga semuanya luruh tak bersisa. Nando memasuki Kia, memenuhi perempuannya dengan segunung perasaan yang tak terungkap. Keegoisannya, keangkuhannya, ketegasannya, ia telan semua bulat-bulat. Malam ini ia hanya ingin dimiliki Kia seutuhnya.
Di balik selimut tebal saksi menyatunya peluh dua insan penuh luka di hatinya itu, Nando merapalkan “mantra” penoreh luka lainnya di hati Kia.
“Kamu harus kuat, Ki. Aku nggak bisa selalu ada di samping kamu. Ingat, jangan manja.”
Rasa kecewa yang tadi telah luruh sepenuhnya bersama peluh-peluh yang membasahi alas tubuh mereka kini kembali meluap lewat lelehan bening di pipinya.
Derit pintu mengembalikan Kia seutuhnya ke masa kini. Masa di mana ada laki-laki yang lebih perhatian pada dirinya dan hanya berdiri mematung di luar apartemennya.
“Eh, masuk sini, Mas,” tawar Kia ketika sadar belum mempersilakan Ikram masuk.
Ikram kemudian masuk. “Asalamualaikum.”
Kia tersenyum, “Waalaikumsalam. Pisangnya tolong taruh di dapur, Mas.”
Ikram meletakkan sekantung kresek besar di meja makan tepat di samping dapur kecil Kia.
“Omong-omong ini kok banyak banget belanjaannya? Bukannya cuma beli pisang?” tanya Kia.
“Ini ada pisang, apel, jeruk sama beberapa biskuit,” jawab Ikram santai.
“Belanja bulanan Mas Ikram?” tanya Kia clueless.
“Buat kamu semuanya.”
“Eh? Kirain beli pisang aja.”
Ikram tertawa pelan. “Nggak apa-apa. Persediaan makanan buat kamu. Pasti repot kalau lagi sakit gini.”
Entah kenapa, rasanya Kia ingin sekali menangis. Bukan karena sedih, tapi terharu karena ada orang yang seperhatian ini padanya. Padahal ia hanya sakit flu dan batuk, bukan sakit parah yang bisa menyebabkan sesuatu yang fatal. Tapi Ikram ini .... Ah pokoknya Kia senang sekali bisa merasakan lagi bagaimana bahagianya diperhatikan.
“Makasih banyak ya, Mas. Maaf, Kia merepotkan,” lirihnya dengan suara bergetar menahan haru.
Ikram tersenyum ramah. “Sama-sama, Ki. Semoga kamu cepat sembuh. Dan jangan lupa diminum obatnya, kan sudah ada pisangnya,” tandas Ikram membuat Kia tertawa.
Ia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya diperhatikan. Dirinya terlalu giat belajar untuk bisa melakukan segala sesuatu sendiri tanpa merepotkan orang lain. Tapi apakah mendapat perhatian dari orang lain termasuk merepotkan?
Kia tidak yakin. Ia belum memahami semuanya. Tapi ia hanya ingin menikmati betapa senang rasanya mendapatkan perhatian dari orang lain. Sekali ini saja ia ingin bernostalgia dengan perasaan-perasaan itu.
PART 5 Dapat Cara Pedekate
Batang rokok yang diisapnya masih panjang, mengepulkan asap yang sudah terbiasa bertandang ke paru-parunya. Orang-orang silih berganti keluar-masuk gedung perkantoran 21 lantai di belakangnya, dan dia hanya memerhatikan mereka. Biasanya ia merokok di depan lobi gedung perkantoran ini rame-rame bersama teman-temannya yang lain yang tidak terbiasa bermulut asam jika tak tersentuh nikotin. Tapi kali ini ia hanya sendirian. Temannya si Medok Jawa itu belum muncul juga padahal ia yang membuat janji untuk merokok sepagi ini di depan lobi.
Ikram baru saja menempelkan jempolnya di mesin presensi pukul delapan pagi tadi ketika Rachmat meneleponnya via aplikasi WhatsApp (WA). Si medok itu memaksa Ikram untuk menemaninya di depan lobi gedung sambil merokok. Terpaksalah ia turun lagi ke lobi. Niat utamanya bukan merokok, tapi untuk mencegat Lidya di depan gedung kantornya. Rachmat ingin menagih janji perempuan agresif itu karena ID Card-nya tak kunjung ia terima. Padahal Rachmat sudah menepati janji untuk makan siang bersama beberapa hari lalu sebagai persyaratan jika ia menginginkan ID Card-nya lagi. Namun Lidya seperti amnesia. Malah semakin banyak modus perempuan itu untuk bisa berkali-kali bertemu Rachmat. Bodohnya mengapa ia mau saja dikerjai begitu. Jadi kesal sendiri.
Sambil menunggu kedatangan Rachmat, Ikram iseng membuka aplikasi Instagram (IG) dan melihat-lihat unggahan terbaru dari akun Kia. Tidak ada yang berubah. Kia memang jarang mengunggah foto-fotonya. Berbeda dengan Cindy yang sangat aktif di media sosial apalagi di Instagram. Kalau Cindy, hal-hal yang tidak penting saja ia unggah. Seperti pagi ini, ia sampai tahu kalau Cindy sedang makan bubur ayam di kantin belakang. Dan Ikram juga sampai tahu kalau Cindy termasuk tim bubur diaduk! Ih nggak penting juga buat dirinya. Tapi, ya terpaksa, orang saat membuka aplikasi itu yang muncul di timeline IG-nya foto dari bubur ayam yang diaduk milik Cindy, dengan caption “Aku tim bubur diaduk. Kalau kamu?”. Iya, ini sama sekali tidak penting. Ikram sampai geleng-geleng kepala.
Ketika ia beralih untuk membuka aplikasi Facebook dan berinisiatif mencari akun Kia di sana, Rachmat datang dengan sebatang rokok yang belum dibakar terapit di antara telunjuk dan jari manisnya. Ikram langsung menyimpan ponselnya ke saku kemejanya.
“Jadi gimana?” tanya Ikram.
Rachmat menyalakan rokoknya yang kini beralih diapit bibirnya. “Kita tunggu saja dia di sini, Mas. Malas aku kalau harus nyamperin dia di mejanya. Pasti diresekin sama teman-temannya,” jawab Rachmat.
“Emangnya nggak bisa sendirian aja ngelabraknya? Gue belum sarapan, Mat.”
“Biar Mas bantuin aku buat bikin Lidya tersudut,” ujar Rachmat sedikit merengek.
“Kan cuma minta doang.”
"Itu kalau yang aku hadapi perempuan normal. Lha ini, Lidya bukan perempuan normal, Mas. Nenek lampir ganjen!”
Ikram langsung tertawa. “Jangan benci-benci banget sama cewek. Entar malah jatuh cinta,” ledek Ikram.
“Jatuh cinta ndasmu! Pokoknya Mas bantuin aku biar setidaknya si Lidya takut.”
Ikram hanya mengangguk asal sambil sedikit berpikir mengenai kegigihan Lidya. Gigih dan tidak tahu malu memang beda tipis. Merasa salut juga sama usaha Lidya untuk mendapatkan Rachmat, meskipun caranya memang bikin kesal orang. Tapi jika dibandingkan dengan dirinya, ia malah merasa kalah jauh dari Lidya. Ia tidak pernah segigih Lidya dalam usaha mendapatkan perempuan. Bukannya ia tidak pernah suka sama perempuan sampai-sampai tidak pernah berusaha segigih Lidya. Dulu ia pernah beberapa kali pacaran. Tapi kebanyakan dirinya yang ditaksir bukan dirinya yang naksir. Lalu momen ini datang. Momen di mana sebenarnya ia bisa saja mendapatkan perhatian lebih dari Kia. Tapi usahanya ya hanya segitu saja. Ia bahkan merasa bahwa ia tidak berusaha sama sekali.
Rachmat menyikutnya, memberik kode. Lidya akhirnya muncul juga. Perempuan yang mereka tunggu-tunggu itu datang dengan diantar ojek online. Ketika motor ojek berhenti di depan lobi, Rachmat dan Ikram langsung menghampiri Lidya. Dengan wajah innocent-nya, Lidya tersenyum girang ke arah Rachmat. Setelah memberikan helm kepada driver ojek, Lidya membenarkan letak tas ransel kecilnya yang ia sampirkan ke depan badannya. Melihat hal itu Rachmat langsung melabrak Lidya. Sampai membuat Ikram melongo. Kirain nunggu beberapa waktu dulu sebelum si Rachmat ngamuk-ngamuk, pikir Ikram.
“Lho itu tasmu kenapa di simpan di depan begitu?” tanya Rachmat penuh emosi.
Lidya cengengesan. “Pagi juga, Mas Rachmat. Jadi enak diperhatiin gini.”
“Ndak gitu! Mas, kemarin Lidya nebeng motor aku tasnya ndak disimpan ke depan gitu kayak tadi.” Rachmat jadi seperti mengadu pada Ikram. Ikram jadi bingung.
“Ya terus masalahnya apa, Mat?” tanya Ikram bingung.
“Mas harus tahu, kemarin dia maksa-maksa aku untuk nebeng pulang pas malam-malam. Dan jika boncengan di motor kemudian tasnya digendong di belakang, Mas tahu kan, apa yang terjadi?” jelas Rachmat.
“Ya ... bagian depan tubuh Lidya nempel di punggung lo?” ucap Ikram masih bingung.
Sementara itu Lidya masih cengengesan. Malah terlihat bangga dengan obrolan mereka.
“Terus barusan Mas lihat sendiri kan tasnya dia simpan di depannya. Berarti kemarin juga seharusnya kamu bisa simpan tas kamu itu di antara punggungku dan itumu!"
“Bahaha!” Ikram terbahak. Jadi itu permasalahannya. Si Rachmat ini sok-sok nggak mau nyentuh Lidya segala, batinnya.
“Yah, Mas Rachmat ini gimana sih? Masa aku harus nempel sama Kang Ojek? Mendingan aku nempel sama Kangmas tersayang dong," ujar Lidya.
“Hadeuh, kamu itu ya! Errrgh.” Rachmat mengerang menahan amarah, sampai membuat Ikram tak bisa berhenti tertawa.
“Gemas deh lihat Mas Rachmat bersemangat gini. Jadi pengin ngelamar duluan, tahu nggak,” goda Lidya dan itu membuat Ikram semakin terbahak. Asli, gokil abis si Lidya ini. Untung cantik jadi nggak malu-maluin banget.
“Sudah, sudah! Kamu jangan mengalihkan isu. Sekarang aku tagih janji kamu,” ucap Rachmat.
“Ya ampun!” pekik Lidya. “Baru aja aku kepikiran untuk ngelamar, udah ditagih aja. Sabar Kangmas. Aku laporan dulu sama ibu bapakku. Nanti baru aku datang sama orang tuaku ke rumahmu. Dan biar hemat waktu, kita langsung tentuin tanggal nikah aja ya.”
“Sembarangan! Awas ya kalau kamu berani datang ke rumahku bawa ibu bapakmu. Tak lapor polisi sekalian!” ancam Rachmat tak masuk akal.
Ikram masih cekikikan melihat tingkah dua makhluk ajaib di depannya.
“Daripada lapor polisi, mending kita lapor ke KUA aja. Lebih berfaedah,” ujar Lidya semringah.
“Ya udah, yok! Gue anterin kalian sekarang. Gue jadi semangat gini, nih!” kata Ikram membuat Rachmat mendelik tak suka. Rachmat pikir seharusnya Ikram berada di pihaknya. Bukannya malah membuat Lidya semakin merasa menang.
“Mas, gimana sih?” tegur Rachmat. “Bantuin aku,” desisnya.
Ikram hanya nyengir. “Oh iya. Eh, Lid. Si Rachmat butuh ID Card-nya, tuh. Kasihan dia, nggak bisa bebas di kantor.”
Mereka bertiga mulai memasuki gedung dan berjalan menuju lift.
“Gampang.” Lidya mengibaskan tangannya.
Rachmat langsung mencibir tak suka. “Kalau gampang seharusnya sekarang aku sudah terima ID-Card itu.”
“Sabar dong, Kangmas. ID-Card kamu masih diproses. Ya ... kalau mau cepat ada syaratnya sih.”
“Halah! Ndak mau aku syarat-syarat begituan. Ndak ada yang bener."
“Suuzon aja deh. Beneran ini syaratnya, Mas.” Nada suara Lidya melembut, membuat bulu kuduk Rachmat meremang. Syarat yang diberikan Lidya tidak pernah ada yang benar. Kebanyakan itu hanya modus Lidya untuk mendekati Rachmat. Laki-laki medok itu sudah hapal. Kini dia tidak mau lagi masuk jebakan Lidya.
“Ndak! Aku ndak mau!” teriak Rachmat. Tepat saat itu juga pintu lift terbuka. Mereka bertiga masuk bersama dengan beberapa orang lainnya yang ikut mengantri. Selama di dalam lift mereka semua terdiam. Baru setelah sampai di lantai kantor mereka, Lidya dan Rachmat kembali sebagai kucing dan tikus.
“Kalau minggu ini aku ndak terima ID-Card itu, aku bakalan laporin kamu ke polisi!" ancam Rachmat.
“Aku juga bakalan laporin kamu ke orang tuaku!” ancam Lidya balik.
“Kalau gitu aku juga laporin kamu ke bapakku!” balas Rachmat.
“Kalau gitu aku laporin kamu ke—” ucapan Lidya terhenti lalu wajahnya berubah senang. “Woah. Jadi nanti orang tua kita ketemu dong!” teriak Lidya girang.
Rachmat tambah kesal. Berbicara seperti ini dengan Lidya tidak akan ada habisnya.
Sementara itu Ikram tak bisa berhenti tertawa.
“Cewek semprul!” umpat Rachmat. “Mas, aku titip urusan Lidya ke kamu, ya. Aku sudah ndak kuat. Pegel hati!"
Rachmat meninggalkan Lidya dan Ikram berdua begitu saja. Membuat Ikram melongo. Lha, masalah siapa yang suruh ngadepin siapa, batin Ikram.
“Jadi gimana nih, Lid? ID-Card si medok kapan jadinya?” todong Ikram.
Mereka berdua berjalan beriringan menuju meja Lidya setelah sebelumnya Lidya sempat sedih ditinggal begitu saja oleh Kangmas-nya.
“Mungkin seminggu lagilah, Mas.”
“Masalahnya si Rachmat jadi nggak bisa bebas ngakses semua area di kantor. Udah gitu jadi marah-marah mulu sama lo. Emang enak dimarahin gebetan?”
Lidya terkekeh. “Iya sih. Siapa yang suka dimarahin. Cuma karena gue benar-benar suka sama si Rachmat jadinya semua kemarahan dia tuh, kebal aja di gue. Nggak gue anggap. Gue malah senang.”
“Senang gimana? Lo itu udah jelas-jelas ditolak mentah-mentah sama si Rachmat. Emangnya nggak sakit hati apa?”
“Baru begitu doang. Senang aja gitu dia jadi mau ngobrol sama gue. Terus mau aja gue kasih syarat-syarat gitu, meskipun gue sebenarnya modus sih. Tapi kan namanya juga usaha." Penjelasan Lidya membuat Ikram sedikit takjub.
“Lo beneran suka sama si Rachmat? Serius gitu?”
Lidya mengangguk cepat, wajahnya ceria. “Gue nggak mau menyiakan kesempatan dan menyesal kalau misalnya di kemudian hari Rachmat nggak jadi sama gue karena gue nggak berusaha. Usaha apa punlah, yang gue bisa.”
Ikram tersenyum bangga tapi sedikit tersindir. “Salut gue sama kegigihan lo.”
“Ah iya! Yang membuat gue semakin semangat buat usaha adalah pas tadi ngobrol sama Kang Ojek.”
“Ngobrol apaan?”
“Pas gue tanya si kang ojeknya tahu nggak jalan ke kantor, dia bilang ‘Gampang, Mbak. Nanti kalau mentok, bisa nanya-nanya. Sekarang kita jalan aja dulu’. Ngerti nggak lo, Mas?”
Ikram tertegun.
“Maksudnya, kita usaha aja dulu. Kalau misalnya mentok, udah nggak bisa ngapa-ngapain, kita bisa minta pertolongan orang lain. Atau bisa jadi artinya kita bisa minta pertolongan Yang Maha Kuasa sekalian. Jadinya lebih baik ‘jalan’ aja dulu. Soal hasil, itu urusan belakangan,” tutur Lidya.
Ikram betul-betul menyerap perkataan Lidya dengan baik. Secara tidak langsung itu seperti nasihat untuk Ikram mendapatkan hati Kia.
“Nggak usah malu segala. Gue kadang menanamkan hal itu ke diri gue. Kalau gue malu, gue nggak akan mendapatkan apa-apa. Misalnya pada akhirnya Rachmat nolak gue, setidaknya gue sudah mengerahkan kemampuan yang gue punya. Dan itu nggak akan membuat gue menyesal.”
“Yeah, right. Lo memang sudah putus urat malu untuk urusan ngedapetin hatinya si Rachmat.”
Lidya tertawa. “Lagian Mas, dengan gue bertingkah agresif dan blak-blakan gini, orang-orang jadi tahu kalau si Rachmat sudah jadi sasaran gue. Secara nggak langsung memberi peringatan pada cewek-cewek lain yang juga punya niat yang sama untuk setidaknya berpikir ulang kalau mau maju. Jadi gue ini kesannya kayak udah ‘menandai’ si Rachmat gitu lho. Calon-calon pesaing gue berguguran tanpa harus kita memulai persaingan,” pungkas Lidya masih membuat Ikram takjub.
“Keren juga strategi lo. Gue doain semoga si Rachmat bisa lo luluhkan.”
“Hahaha. Amin, deh! Ya udah sana balik ke meja lo. Percaya sama gue itu ID-Card masih diproses. Ya, selama itu gue mau ngerjain si Rachmat lagilah, kecil-kecilan. Mumpung," ujar Lidya menaik-turunkan alisnya.
Ikram terkekeh. “Good luck deh. Gue balik dulu kalau gitu.”
Lidya mengibaskan kedua tangannya ke depan Ikram seolah mengusir Ikram seperti mengusir ayam. Alih-alih tersinggung, Ikram tertawa. Perempuan itu meskipun tambeng tapi gigih luar biasa dalam hal mendapatkan apa yang dia inginkan. Ikram jadi sedikit terinspirasi. Berniat untuk menambah usahanya dalam mendapatkan perhatian Kia.
Omong-omong soal Kia, barusan Ikram lewat area Finance dan ia tidak menemukan adanya tanda-tanda keberadaan perempuan itu. Jarum pendek di jam tangannya menunjukkan angka sembilan. Jam segini seharusnya karyawan sudah berada di tempat duduk masing-masing. Apa jangan-jangan kondisi Kia menurun dari semalam dan memutuskan tidak masuk kerja hari ini? Kemungkinan itu sih ada, batin Ikram. Bagaimana caranya ia bisa mengetahui kondisi Kia ya? Sementara itu nomor kontak Kia pun ia tidak punya. Masa tiba-tiba chat di DM IG Kia? Tambah aneh nanti Kia memandangnya.
“Mas, gimana kata Lidya?” todong Rachmat ketika Ikram baru saja duduk di kursinya.
“Tungguin aja. Lagi diproses, Mat.”
“Jangan-jangan sengaja dilama-lamain.”
Ikram tertawa. “Nggak. ID-Card lo emang lagi diproses. Eh Mat, sori kalau gue nanya random. Lo punya nomor HP Kia nggak?"
Rachmat mengerutkan keningnya bingung. “Seingatku ndak, Mas. Aku kira kamu sudah punya. Masa nomor HP gebetan sendiri ndak punya,” cibir Rachmat.
Ikram tertawa kecil. Di sudut hatinya membenarkan cibiran Rachmat.
“Nad,” panggil Ikram pada Nadine yang baru saja menyalakan laptopnya. “Lo punya nomor HP-nya Kia nggak? Kali aja kalau sesama cewek kalian punya.”
Nadine malah heran dengan pertanyaan Ikram. “Repot amat sih. Percuma, dong, lo kerja di bagian IT kalau nggak memanfaatkan ‘wewenang’ lo. Cari aja di data karyawan.”
Duh, bener juga! Kenapa Ikram jadi bego begini?
“Kalau nggak ngerti caranya, sini gue kasih tutorial mengakses data karyawan pada akun divisi HRD,” ledek Nadine.
Ikram tergelak. “Iya iyaaa ... gue tahu, kok. Gue cuma mengetes kalian aja.”
“Mengetes apaan? Mengetes seberapa besar kebodohan yang diakibatkan oleh cinta buta yang tak kunjung berbalas?” ledek Nadine lagi, kali ini tanpa ampun.
“Nadine, yang kamu lakukan ke Mas Ikram itu, jahad," celetuk Rachmat dan disusul oleh tawa mereka semua, termasuk Ikram.
Tanpa pikir panjang lagi, Ikram langsung mengakses data karyawan untuk menyalin nomor HP Kia. Tak perlu waktu lama, dalam beberapa menit saja Ikram sudah mengantongi nomor HP itu. Ia harus tahu kondisi Kia pagi ini. Tapi enaknya kirim pesan atau telepon langsung ya? batin Ikram. Hhhh ... beginilah nasib Ikram. Menghadapi Kia saja harus memutar otaknya melebihi ketika ia mengerjakan tes kraepelin saat melamar pekerjaan.
***
Mangkuk berisi sereal di depannya baru saja ia tandaskan isinya hingga tak bersisa. Meskipun perutnya butuh asupan yang lebih berat dari sekadar sereal dan susu, ia pasrah asalkan perutnya terisi sesuatu. Obatnya itu harus diminum setelah makan. Setidaknya setelah serealnya habis ia baru bisa meminum obatnya. Setelah semalam meminum obat dan kemudian tertidur hingga hampir melewatkan jadwal salat Subuh, ia kira kondisi badannya akan membaik. Flunya memang tidak separah semalam, tapi badannya kini jadi sangat lemah. Ia tidak tahu berapa suhu badannya pagi ini, tetapi yang pasti ia tidak bisa melakukan banyak hal.
Tubuhnya yang lemah tak berdaya itu ia hempaskan ke sofa empuk di depan TV. Sambil memindah-mindahkan saluran TV, ia berusaha menghibur diri. Ponselnya yang tergeletak begitu saja di meja ia ambil untuk kemudian mengabarkan atasannya bahwa ia tidak bisa masuk kerja hari ini. Pesannya tidak langsung berbalas. Tapi ia tak ambil pusing. Mungkin Bu Ifa masih di jalan menuju kantor. Yang terpenting ia sudah memberi kabar.
Ketika bosan dengan acara TV yang memang pagi-pagi seperti ini tidak ada yang seru selain berita yang isinya tentang politik melulu, pintu apartemennya tiba-tiba terbuka. Seorang perempuan masuk begitu saja dan melenggang santai melewati dapur dan kamar mandi seolah ini adalah apartemen miliknya. Perutnya yang buncit membuat langkahnya tidak sebebas jika Kia melangkah. Perempuan itu terkejut tatkala menyadari Kia duduk bersandar di sofa sambil memerhatikannya.
“Lho, kamu nggak ngantor?” tanya perempuan buncit itu. Perutnya yang buncit terlihat seperti akan meledak saking besarnya. Mungkin sekitar dua bulan lagi perut itu akan meledak dan mengeluarkan manusia lainnya bernama bayi.
Kia menegakkan tubuhnya tanpa sudi mengangkat pantatnya dari sofa. “Nggak enak badan, Kak,” jawab Kia. Hidungnya yang gatal membuatnya menggosok-gosok kasar hidung itu hingga kemerahan.
“Kok nggak nelepon Kakak aja kalau kamu sakit?” Kakaknya itu menghampiri Kia di sofa dan langsung menyentuh kening Kia. “Hmm ... anget," ujarnya.
“Kak Tara tumben ke sini.”
“Eh iya, seminggu lalu Kakak belanja online dan baru sadar kalau alamat yang dicantumkan masih alamat apartemen ini. Barangnya nyampe nggak, Dek?”
Kia mengangguk. Ia masih ingat beberapa hari yang lalu datang paket ke apartemennya atas nama Kintara Indria Kusmanto. Jelas sekali itu nama kakaknya. Jadi ia simpan di kamar yang tidak ia tempati yang khusus menyimpan barang-barang kakaknya itu. Maklum, apartemen ini adalah milik Kak Tara. Sebelumnya memang ditempati kakaknya itu. Sekarang Kak Tara sudah pindah ke rumah yang dibelinya bersama suaminya dan membiarkan Kia menempati apartemen itu daripada Kia harus bolak-balik setiap hari dari Bogor—rumah orang tuanya—ke kantornya di Jakarta.
“Kia simpan di kamar, tuh.”
“Terus ini kamu nggak periksa ke dokter aja?” tanya Kak Tara khawatir.
“Udah, kok, kemarin. Dikasih obat juga sama Doker Febby. Tapi pagi ini belum diminum sih. Baru selesai sarapan.”
Kak Tara melihat mangkuk kosong sisa sereal di meja di depan mereka lalu geleng-geleng kepala. “Makan nasi, ya?” tawar Kak Tara.
Kia menggeleng cepat.
“Kalau gitu Kakak bikinin bubur ya?”
“Nggak usah, Kak,” tolak Kia merasa tidak enak.
“Udah, Kakak bikinin aja. Kamu itu, kalau sakit bilang sama Kakak atau sama kakakmu yang lain. Biar ada yang ngontrol kamu. Tinggal sendirian begini pasti repot kalau lagi sakit. Coba kalau mas-masmu tahu kamu sakit begini, bisa ngomelin Kakak seharian. Kak Tara mulai menyiapkan peralatan dapur untuk membuat bubur.
Diceramahi begitu, Kia hanya terdiam.
“Kami semua tahu kamu mau mulai hidup mandiri, tapi jangan apa-apa kamu tanggung sendiri. Kalau sakitmu parah terus terjadi apa-apa sama kamu, siapa yang mau tanggung jawab? Bunda itu terus khawatir, tahu nggak? Tiap hari kirim SMS nanyain tentang kamu. ‘Kia sehat, kan?’, ‘Lagi ngapain ya kira-kira adikmu itu?’, ‘Weekend ini Kia pulang nggak, Tar?’. Minimal kabarin Bunda secara berkala dong, Dek,” rentet Kak Tara panjang lebar.
“Iya, iya. Kia sering kok ngabarin Bunda. Cuma ya, memang nggak tiap hari. Lagipula, Kia bisa kok sendiri.”
“Ya bisa. Kamu harus bisa. Tapi jangan bikin orang khawatir."
Kak Tara beralih mengecek isi kulkas selagi menunggu bubur buatannya jadi. Seperti sudah menduga, ia geleng-geleng kepala. Isi kulkas tidak banyak. Hanya beberapa buah-buahan—yang dibelikan Ikram semalam—dan susu kemudian biskuit. Lalu pandangannya menyapu seluruh ruangan apartemen yang tidak terlalu besar itu. Lumayan rapi dan bersih, batinnya. Hanya ada beberapa pakaian menumpuk di keranjang di samping mesin cuci.
“Nggak perlu sampai beresin apartemen ini, Kak. Nanti kalau Kia udah sehat Kia beresin, kok,” sindir Kia.
Kak Tara tertawa mendengar pernyataan adik bungsunya itu. “Sejujurnya Kakak agak takjub. Apartemen ini rapi dan bersih. Kakak sampai khawatir begitu masuk akan mendapati ruangan mirip kapal pecah. Tapi ternyata nggak.”
Kia mencibir tak suka Kakaknya sempat meragukan dirinya.
“Kami memang sempat meragukan kamu sih, Dek. Kalau misalnya kamu kerepotan ngurusin apartemen sendirian, kamu bisa manggil tukang bersih-bersih dan langganan laundry. Biar nggak kecapekan.” Kak Tara kembali memantau bubur buatannya dan mengaduk-aduknya di dalam panci.
“Nggak usah. Masih bisa Kia handle sendiri. Sebenarnya kalian percaya nggak sih bahwa Kia bisa hidup mandiri?” tanyanya mulai tersinggung.
“Ya percaya. Tapi tetep aja rasa khawatir itu ada. Kamu yang nggak pernah jauh dari Bunda sejak dulu tiba-tiba pengin tinggal sendiri. Gimana kami sekeluarga nggak kaget. Sejak kamu dan Nando pisah, kekhawatiran kami justru malah semakin bertambah. Siapa yang bakal jagain kamu? Tapi Kakak ngerti kok kalau kamu terus menerus menggantungkan hidup sama Bunda dan kakak-kakakmu, justru itu nggak baik buat kamu. Nggak selamanya Bunda dan kakak-kakakmu ada untuk kamu. Mereka punya masalah hidup masing-masing. Satu-satunya cara untuk memberikan perhatian pada adik bungsu adalah membiarkan si adik mengurus dirinya sendiri hingga mandiri. Cuma ya tetep, kalau ada apa-apa kamu harus bilang. Apalagi kalau lagi sakit begini.”
“Bisa nggak sih nggak usah nyebut Kia ‘adik bungsu’ melulu? Risi, tahu nggak.”
Kak Tara tertawa. “Masa mau dipanggil Tante Bungsu?”
“Ya nggak juga. Omong-omong Kakak nanti mau lahiran di mana?”
Bubur sudah jadi. Kak Tara menuangkan semangkuk untuk Kia. Dengan perut buncitnya yang seakan-seakan terlihat mau meledak, Kia malah khawatir jika kakaknya itu ngangkat-ngangkat panci meskipun cuma panci kecil. Ia pun menghampiri kakaknya di dapur dan mengambil alih tugas untuk menyiapkan buburnya sendiri.
“Rencananya pengin di rumah Bunda aja di Bogor.” Kak Tara beralih duduk di sofa, mengusap-usap perut buncitnya pelan.
Mangkuk bubur yang mengepul membuat Kia cepat-cepat memindahkan mangkuk itu dari tangannya ke meja. Panas. Kia pun duduk di samping kakaknya.
Kia menyuapkan buburnya sedikit demi sedikit. Sambil menonton acara random di TV, kakak-beradik itu menghentikan obrolan mereka. Di tengah keheningan itu ponsel Kia yang tergeletak di meja berbunyi. Pesan WA masuk. Kak Tara refleks mengambil ponsel itu, merasa bahwa privasi adiknya tidak berlaku untuk dirinya. Arogansi kakak terhadap adik, begitu Kia menyebutnya. Namun, Kia tak keberatan sama sekali.
“Eh, siapa nih nanyain kondisi kamu segala?” tanya Kak Tara masih memelototi layar ponsel Kia.
“Oh, Bu Ifa, atasan Kia.”
“Bukan. Nomornya nggak ada namanya kok.”
Kening Kia mengernyit lalu mengambil ponsel yang disodorkan Kak Tara dan membaca isi WA dengan saksama.
+628128826xxx: Halo, Ki
+628128826xxx: Sepanjang pengamatan saya, kelihatannya hari ini kamu nggak masuk kerja
+628128826xxx: Gimana kondisinya sekarang?
“Siapa, Dek? Coba lihat foto profilnya,” serbu Kak Tara tak sabar.
Kia menge-klik bagian foto profil dan muncullah foto seorang pria tinggi tegap dengan kulit kecoklatan dan wajah yang bersih. Senyum Kia tersungging begitu saja. Sekarang Kak Tara yang mengerutkan keningnya penuh tanya.
“Siapa, sih?” tanya Kak Tara penasaran. Namun pertanyaan kakaknya itu hanya dijawab dengan angin lalu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
