
“Tuanku,” Sebuah tangan keriput menyentuh lengan Shui, membuat lelaki itu menoleh ke arah Inarha. “Tidak ada yang disembunyikan dari Anda,” Dia tersenyum menenangkan. “Kami hanya ingin memberi kejutan, untuk membalas semua budi Anda pada desa ini. Karena itu, kami mohon, sabarlah. Dan berkenanlah untuk menginap malam ini.”
Kemarahan Shui mendadak lenyap mendengar kata-katanya dan berganti menjadi rasa heran. Kejutan apa yang sedang disiapkan oleh penduduk desa? Dan kenapa Sheya serta keluarganya...
Bab 19. Shuikan : Tirai Yang Menutupi Panggung Masalah
Perjalanan dari Umarish menuju Shamasinai membutuhkan waktu sekitar tiga per empat hari. Itu bila dilakukan dengan santai. Namun berkuda cepat sekalipun, tidak membuat waktu tempuhnya berkurang banyak. Setengah hari adalah waktu paling cepat untuk sampai ke sana.
Berhubung Shui membawa sedikit rombongan yang lebih besar ke sana, sekaligus dengan gerobak-gerobak berisi beberapa barang, alhasil perjalanan menjadi terlalu lambat. Mereka bahkan terpaksa bermalam di Namashi, kemudian pagi harinya melanjutkan perjalanan ke Shamasinai. Perbukitan yang berkelok-kelok, dengan jalur sempit yang menyusahkan untuk dilalui, menjadikan perjalanan mereka kurang menyenangkan. Beruntung mereka tidak bertemu binatang buas.
Sambil memperhatikan pemandangan di sekitar, Shui mengendalikan kudanya dengan santai. Pria itu mengenakan setelan berwarna biru gelap dengan luaran panjang berwarna senada yang dibordir benang perak. Jika biasanya dia mengenakan jubah gelap, kali ini Shui memakai jubah putih keabuan. Ekspresinya terlihat bagus, meski sudut-sudut matanya mewaspadai jalur yang sedang mereka lewati.
Pohon-pohon besar tumbuh di sisi kiri-kanan jalan. Meski daun-daunnya banyak yang meranggas dan sebagian besar hampir mati karena kekeringan, tetapi pohon-pohon tersebut yang memiliki batang selebar satu orang dewasa masih berdiri kokoh di pinggir jalan. Siapa pun yang pintar mengendap-endap bisa bersembunyi di sana, apalagi jarak antar satu pohon dengan pohon lain tidak jauh. Sisi kiri jalan merupakan lereng curam yang mengarah langsung ke anak sungai. Sedikit berbeda dengan pohon di sisi kanan jalan, pepohonan di sisi kiri jalan terlihat lebih hidup dengan dedaunan yang masih hijau.
“Akses jalan ke Shamasinai cukup menyulitkan,” komentar Shui. “Jika mereka membutuhkan sesuatu, tentu bantuan akan terlambat datang.”
Kokhan yang berkuda di belakang Shui memahami keinginan tersirat sang Jenderal. Dia menjawab, “Saya akan memberi arahan pada walikota Namashi untuk membuka jalan yang lebih lebar.”
Shui tak berkomentar, tetapi dia menambahkan, “Katakan juga untuk menambah beberapa pos jaga di antara Namashi dan Shamasinai. Area ini merupakan celah kosong yang bisa ditembus Jajinham sewaktu-waktu.”
Antara Shamasinai dan Namashi memang dipisahkan oleh wilayah perbukitan yang naik – turun. Orang-orang yang tidak ingin repot masuk melalui pos jaga perbatasan suka mengambil jalan pintas masuk Shenouka melalui area ini.
“Baik, akan saya sampaikan,” ujar Kokhan.
Efrani yang berkuda di samping Kokhan tidak memberi komentar apa-apa. Mata hijaunya hanya menatap sisi jalan dengan awas, seolah-olah bila dia melepas pandangannya dari sana, akan ada sesuatu yang terlewat dari pandangannya. Sebagai teman, Efrani membawa dua pendoa lain. Mereka bertiga mengenakan gaun sederhana berwarna putih dengan keliman hijau dan cokelat gelap. Jubah mereka berwarna kelabu dengan tudung lebar yang nyaris menyembunyikan wajah ketiganya dengan baik.
“Ada yang menarik perhatianmu, Efra?”
Pertanyaan Shui membuat Efrani menoleh ke arah sang Jenderal. Shui tengah menatapnya dengan pandangan penasaran.
“Saya hanya sedang berpikir, keadaan tempat ini sepertinya sedikit lebih baik dari beberapa tempat yang kita kunjungi. Pohon-pohon masih bisa bertahan hidup, meski sedikit,” jawabnya, menyembunyikan alasan sebenarnya mengenai pengamatannya yang serius pada tepian jalan.
Musim kemarau terjadi di seluruh kerajaan dan menimbulkan dampak yang mengerikan. Beberapa daerah mengalami musim paceklik akibat gagal panen, sehingga sebagian rakyat kelaparan. Meski gudang-gudang persediaan pemerintah telah dibuka, itu tidak banyak membantu mengatasi rasa lapar rakyat. Hal itu menjadikan kejahatan meningkat, sasaran yang paling utama adalah lumbung-lumbung penyimpanan makanan milik pedagang, bangsawan, ataupun pejabat. Selain kelaparan, penyakit pun bermunculan akibat cuaca yang terlalu panas serta keadaan yang kotor. Ketiadaan air menyebabkan banyak orang kesulitan untuk membersihkan diri maupun peralatan makan dan pakaian.
Pemerintah berusaha melakukan segala macam cara untuk mengatasi masalah ini. Kantong-kantong air dibangun untuk menampung air dari sungai Haryun maupun anak sungainya. Sawah, kebun, dan ladang diutamakan mendapat pasokan air tersebut supaya tidak terjadi gagal panen lagi. Namun, semua itu tidak cukup untuk meningkatkan hasil panen. Hal tersebut membuat pemerintah mengambil keputusan untuk membuka alokasi bahan makanan dari kerajaan-kerajaan lain, tetapi nyatanya harga makanan masih tak terjangkau untuk rakyat. Harga makanan masih terlalu tinggi, sehingga mulai membebani keuangan kerajaan secara keseluruhan.
“Hanya daerah-daerah yang dilewati sungai Haryun beserta anak sungainya yang masih selamat dari bencana kekeringan ini,” Shui kembali mengalihkan tatapannya ke jalan di depan mereka. “Sayangnya, kita tidak bisa mengandalkan pasokan air sungai Haryun. Debit airnya semakin lama semakin berkurang. Jika sungai Haryun kering, aku tidak bisa membayangkan bencana apalagi yang akan menimpa tanah ini.”
Ada nada sedih dalam pernyataannya. Kokhan dan Efrani tahu, apa yang paling dikhawatirkan Shui, yaitu sang adik—Kaisar Rheiraka. Semenjak Kaisar Rheiraka bertakhta, sejak itu pula langit berhenti mencurahkan air untuk tanah Shenouka. Banyak yang beranggapan, bahwa hal itu disebabkan langit tidak merestui Rheiraka menjadi Kaisar. Pembicaraan ini sudah berlangsung selama berbulan-bulan dan meski banyak pejabat yang tutup mulut, bukan berarti Kaisar tidak mengetahuinya.
Rheiraka tahu itu. Walau orang-orang tidak mengatakannya, sang Kaisar merasakan tekanan yang mencekik terhadap takhta. Itu menjadikan sikapnya semakin agresif dari waktu ke waktu. Bahkan kepercayaan terhadap Shui pun kian menipis. Baginya, Shui merupakan ancaman terbesar yang bisa merebut takhta.
Pertikaian antara Shui dan sang Kaisar dipandang sebagai bentuk pelemahan Shenouka. Kerajaan-kerajaan lain pun mengambil kesempatan untuk melakukan provokasi di perbatasan, seperti Jajinham.
“Tahun-tahun ke depan akan sulit,” gumam Shui, “Baik untuk kita maupun semuanya.”
Jika langit tidak segera menurunkan berkahnya, maka Shenouka akan dipenuhi oleh darah.
***
“Shonja!” seruan itu berasal dari seorang lelaki berseragam putih-hitam yang menunggu di bawah sepasang tiang kayu gelap bertuliskan ‘Li Inaike Antharahua’ bersama sekelompok prajurit berseragam serupa. Bedanya, lelaki itu mengenakan ikat kepala berwarna hitam dengan sulaman benang putih, yang menandakan dia mengepalai prajurit di belakangnya.
Ekspresi Junuran terlihat gembira ketika rombongan Shui akhirnya sampai di penanda desa, yang merupakan batas wilayah desa Shamasinai. Sudah jauh-jauh hari sebelumnya Shui memberitahu Junuran, bahwa ia akan datang ke Shamasinai setelah rumah Sheya selesai dibangun. Namun, Junuran menyarankan untuk menunda perjalanan tersebut, karena penduduk desa ingin menyiapkan jamuan untuknya. Demi menghormati keinginan penduduk desa, pada akhirnya Shui pun memundurkan keberangkatannya.
Shui tersenyum sambil turun dari atas kuda, diikuti Kokhan, Efrani, dan beberapa prajurit lain yang berkuda. Junuran lantas menekuk salah satu kakinya dan meletakkan tangan kanannnya yang terkepal ke dada kiri bersama prajurit-prajuritnya, ketika Shui menghampiri mereka.
“Selamat datang, Shonja!” seru mereka secara serempak.
Shui mendecakkan lidah, “Baru saja tadi kalian melambaikan tangan dengan akrab, sekarang bersikap resmi? Bukankah harusnya terbalik?” Pertanyaannya memang serius, tetapi nada suaranya terdengar main-main. “Bangun!”
Junuran dan prajurit-prajuritnya berdiri. Air muka mereka terlihat makin cerah.
“Kau terlihat sangat berbeda dari terakhir aku melihatmu, Jun,” Shui memperhatikan ekspresi anak buahnya. “Ketika aku menugaskanmu ke Shamasinai, kau terlihat muram dan terpaksa. Sekarang, kau tampak bersemangat dan ceria. Apa terjadi sesuatu yang menyenangkan di desa?”
Pipi Junuran merona, tetapi lelaki itu buru-buru mengubah ekspresinya. “Setelah lama tidak bertemu Shonja, bisa bertemu kembali dengan Shonja merupakan kebahagiaan!”
Shui memiringkan kepalanya sedikit, kemudian seulas senyum tipis muncul di wajahnya. “Antar kami ke desa.”
“Baik!” Junuran menjawab dengan bersemangat, kemudian menyingkir untuk memberi Shui jalan, begitupula prajurit-prajuritnya.
Sebelum mengikuti Shui, Junuran dan Kokhan sempat berpelukan sesaat serta saling bertukar candaan. Hubungan keduanya memang akrab seperti saudara, meski berbeda latar belakang dan kesatuan.
Kokhan berasal dari keluarga pejabat dan bangsawan, merupakan lulusan dari akademi militer, dan ditempatkan di kesatuan provinsi Naratala yang berada di bagian utara Shenouka. Sementara Junuran berasal dari keluarga sipil biasa dengan status keluarga yang biasa pula. Dia mendaftar sebagai prajurit ketika usianya tiga belas tahun dan ditempatkan dalam pasukan Shui. Karirnya menanjak cepat setelah terlibat peperangan di utara, yang mana dia berhasil menyelamatkan Shui dari serangan prajurit musuh. Atas jasanya, Junuran kemudian ditempatkan dalam pasukan inti milik Shui.
Melihat perkembangan Kokhan dan Junuran yang pesat, pada akhirnya Shui menempatkan mereka sebagai ajudannya dua tahun lalu. Keduanya sama-sama anak didik Shui, yang dipilih langsung oleh Shui berdasarkan bakat serta prestasi. Selama ini, mereka menghabiskan waktu bersama, saling bertukar pikiran, dan tak jarang juga bertengkar.
Rombongan Shui bergerak melewati jalanan yang menurun. Pepohonan yang tidak seberapa rimbun berganti menjadi bentangan kebun serta ladang. Tanaman-tanaman hijau terlihat tumbuh dengan susah payah di bawah terik matahari yang menyengat serta tanah yang keras dan mengerak. Dedaunan yang harusnya hijau segar, beberapa terlihat kekuningan. Namun, yang menarik perhatian Shui adalah beberapa sumur-sumur kayu yang terletak di beberapa titik.
Walau disebut sumur, Shui tahu, itu bukan sumur, tetapi semacam tong besar untuk menyimpan air. Sebagian dari tong tersebut dipendam di tanah dan bagian atasnya ditutup dengan papan kayu untuk menghambat penguapan. Mereka biasa membuat wadah-wadah penyimpanan itu di beberapa daerah yang dilewati sungai Haryun untuk memudahkan para petani menyiram kebun dan ladang.
“Apa kau yang mengusulkan pada mereka untuk membuat persediaan air, Jun?” Shui bertanya tanpa menoleh ke belakang.
“Ya, Shonja. Air dari sungai Amuryan tidak cukup kuat untuk mengairi kebun dan ladang yang letaknya jauh, sehingga saya menyarankan pada kepala desa untuk membuat titik-titik kantong air, supaya semua kebun dan ladang bisa teraliri,” jawabnya.
“Apa kau juga menganjurkan mereka untuk mulai menyimpan air dari sekarang?” tanya Shui lagi.
Sekali lagi Junuran menjawab ‘ya’ dan menjelaskan alasannya.
Shui merasa puas dengan tindakan dan keputusan yang Junuran buat. Tidak salah, dia mengirimkan Junuran sebagai perwakilannya di desa ini.
“Bagaimana keadaan Sheya dan keluarganya?” tanya Shui lagi.
“Mereka baik-baik saja, Shonja. Tangan She—Nona Sheya sudah pulih dan kondisi ibunya pun mulai membaik. Sekarang beliau tidak lagi menghabiskan hari-harinya dengan berbaring di tempat tidur. Beliau sudah kembali memasak, menjahit, dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.”
Shui merasa sedikit janggal dengan ucapan Junuran barusan, tetapi tidak terlalu mengindahkan. “Sheya pasti senang ibunya kembali sehat.”
“Ya, dia sangat senang, Shonja,” Seulas senyum lembut muncul di wajah Junuran. Meski Shui tak melihatnya, tetapi Kokhan yang berjalan di sisi Junuran melihatnya. Pemuda itu mengangkat salah satu alisnya, tetapi tidak berkomentar apa-apa.
Setelah melalui jalanan yang berkelok-kelok, bentangan kebun dan ladang tersebut akhirnya berubah kembali menjadi area pepohonan serta semak belukar. Jalanan yang tadinya datar kembali menanjak. Tak berapa lama, mereka akhirnya sampai di pintu masuk desa. Di belakang sepasang tiang panjang bertuliskan ‘Shamasinai haisansa e unahai-he’, penduduk desa Shamasinai telah berkumpul di sepanjang jalan masuk. Mereka mengenakan pakaian terbaik dengan beragam corak dan warna.
Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk menyambut kedatangan Shui. Keduanya mengenakan setelan yang sangat berbeda. Shamasinaike Ornuk mengenakan pakaian panjang putih semata kaki dengan luaran sederhana berwarna abu-abu lembut. Di pinggangnya terikat sabuk kain kaku berwarna hitam bersulam, sedangkan di kepalanya terdapat topi kain abu-abu bersulam sederhana.
“Selamat datang kembali di Shamasinai, Jenderal. Senang bertemu kembali dengan Anda,” ucapnya.
Shui tersenyum. “Senang bertemu kembali dengan Anda, Shamasinaike,” kemudian pandangannya beralih pada Inarha, “Iksook Inarha.”
Lelaki tua kecil bertubuh sedikit bungkuk itu balas tersenyum ke arah sang Jenderal. Ia melirik sekilas ke arah Efrani, sebelum mengantarkan Shui menuju ke lapangan desa. Dalam penyambutan ini Inarha mengenakan tunik putih dengan luaran panjang berwarna cokelat kayu. Seperti biasa, beliau memakai topi yang terbuat dari kain kaku dengan sulaman berwarna merah, hijau, oranye, dan kuning. Di lehernya tergantung dua kalung yang terbuat dari biji-bijian kering.
Entah kenapa, saat Inarha menatapnya, Efrani merasakan ketidaknyaman yang menusuk. Dia tidak mengenal lelaki tua itu, tetapi dengan gelar yang tadi disebutkan Shui, jelas Inarha adalah pemuka agama di sini. Mengapa lelaki tua itu menatapnya seperti itu? Seolah-olah tengah menilai dan mengamatinya.
“Bagaimana perjalanan Anda tadi, Shonja?” Ornuk memulai perbincangan. Beliau berjalan di sisi Shui, tetapi mengambil jarak dengan berjalan lebih lambat darinya.
“Perjalananku menyenangkan,” Shui menjawab basa-basi itu sambil melirik ke arah penduduk desa yang membungkuk ke arahnya ketika ia lewat. Walau tidak terlalu menyukai penyambutan semacam ini, Shui tetap memasang senyum dan menyapa mereka semua. “Aku tidak tahu, Shamasinaike dan Iksook menyiapkan penyambutan semacam ini—,” Shui melanjutkan, “Apa Junuran yang menyarankannya?”
Junuran nyaris tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar pertanyaan Shui. Kalau pun dia mengusulkan sesuatu atas penyambutan ini, dia tidak akan mengusulkan hal semacam ini! Junuran tahu persis watak Shonja-nya dan dia sudah menyampaikan keberatan atas rencana ini, tetapi penduduk sini keras kepala dan tetap menginginkan menyambut Shui dengan cara ini.
“Tuan Junuran tidak pernah menyarankan hal seperti ini,” Inarha membela Junuran. “Tuan Junuran menyampaikan untuk mengadakan sambutan sederhana, tetapi kami tidak tahu, sesederhana apa sambutan yang bisa kami lakukan. Kebaikan Shonja pada desa kami sangat banyak, sehingga apa pun yang kami lakukan sepertinya tidak sebanding dengan apa yang Tuan berikan.”
“Iksook terlalu merendah ....,” Shui terdiam ketika mereka sampai di lapangan desa.
Sebelum dia pergi, tempat ini hanyalah tanah lapang yang dipenuhi rumput kekuningan. Di bagian utara terdapat rumah Inarha serta beberapa tetua desa lainnya. Namun, kini lapangan itu berubah menjadi semacam balai yang atapnya ditutupi puluhan atau mungkin ratusan rumbai-rumbai daun yang kering serta disangga oleh puluhan tiang kayu. Tikar-tikar terbentang di atas tanah dan ujung-ujungnya saling bertumpuk dengan unik. Di atasnya terdapat beragam macam kudapan yang dibuat oleh para wanita semenjak dini hari tadi demi menyambut kedatangan sang Jenderal.
Melihat pemandangan ini, perasaan Shui tersentuh. Dia yakin, kehidupan di desa ini sama tidak baiknya seperti desa-desa lain yang kekurangan bahan makanan. Namun, mereka masih berani mengadakan jamuan sebesar ini untuk menyambutnya, seolah-olah kehadirannya adalah berkat. Ini membuat Shui merasa tak enak hati.
Inarha dan Ornuk mengarahkannya pada sebuah panggung pendek beralaskan permadani serta beberapa bantal besar bersarung manik-manik. Panggung itu tidak tinggi, tetapi cukup mengisyaratkan bahwa statusnya berbeda dari semua penduduk. Ornuk memintanya duduk di sana, sedangkan tetua desa yang lain duduk di bawah, di sekitar panggung. Melihat hal itu, membuat Shui terkesan seperti Raja di sini.
“Jika Iksook Inarha dan Shamasinaike Ornuk mau menemaniku di atas sana, aku tidak akan keberatan duduk di sana,” ujar Shui.
Ornuk dan Inarha saling bertatapan sesaat. Ketika Ornuk menoleh ke arah Junuran, lelaki muda itu mengangguk pelan, mengisyaratkan beliau untuk menyanggupi permintaan Shui. Beberapa wanita kemudian segera mengatur tempat duduk Ornuk dan Inarha, sehingga mereka bisa duduk di samping kiri dan kanan Shui. Setelah semua penduduk berkumpul di lapangan dan duduk bersama di dalam balai sederhana yang dibuat secara buru-buru ini, Ornuk pun memulai sambutannya.
Shui menyadari Sheya dan keluarganya tidak hadir di sini. Lelaki itu melirik ke arah Junuran yang duduk di dekat panggung dan lelaki muda itu justru memberikan ekspresi kikuk, seolah-olah tahu apa yang ada dalam pikirannya sekarang. Kedatangannya di desa ini untuk melihat keadaan Sheya dan keluarganya, bukan untuk acara seperti ini!
“Tuan Junuran dan para prajurit sering sekali membantu penduduk, bahkan membuatkan beberapa tempat penampungan air supaya kami lebih mudah mengambil air. Selain itu, desa ini pun menjadi lebih aman. Para perampok tidak berani lagi masuk ke kawasan Shamasinai untuk mencuri,” ujar Ornuk. “Maafkan kami, karena hanya bisa menyiapkan jamuan sederhana ini. Mohon Tuan bisa menerimanya.”
Lelaki itu menundukkan kepala di hadapan Shui.
“Saya menerimanya, Shamasinaike,” Shui menjawab cepat, supaya Ornuk tidak berlama-lama menundukkan kepala. “Saya pun berterima kasih pada penduduk Shamasinai karena menerima kehadiran para prajurit saya dengan tangan terbuka. Junuran bercerita, bahwa kalian memberikan lahan serta ikut membantu mendirikan markas untuk para prajurit. Hal itu membuat saya berpikir untuk sedikit memberikan hadiah bagi Shamasinai.”
Shui menyuruh Kokhan untuk mengambilkan beberapa barang yang mereka bawa dalam perjalanan tadi, beberapa peralatan bertani serta sekantung benih untuk ditanam. Seluruh orang yang ada di dalam balai terkesima melihatnya.
“Terima kasih atas kebaikan Shonja.” Ornuk hendak bersujud ke arah Shui, tetapi Shui menahan bahunya lebih dulu.
Akibat kekeringan, tanah menjadi lebih keras dan sulit diolah. Sebagian besar peralatan bertani milik warga pun rusak. Benih-benih tanaman hanya tersisa sedikit, karena orang-orang cenderung memakan dari pada menyimpannya akibat kekurangan bahan makanan. Tak disangka, Shui datang dan memberikan bantuan untuk kelangsungan hidup mereka.
“Shamasinaike, jangan bersikap seperti ini. Anda membuatku merasa tidak nyaman,” ujar Shui. “Sudah sewajarnya sebagai pejabat negara, saya memperhatikan kesejahteraan kalian.”
“Bantuan Shonja sungguh besar artinya bagi kami,” Ornuk kembali membenahi posisi duduknya seperti semula.
Shui hanya tersenyum, kemudian menanyakan hal lain, “Apakah semuanya sudah berkumpul di sini, Shamasinaike?”
Ornuk yang menyadari siapa yang dicari Shui kemudian berdeham pelan, “Hampir semuanya, Tuanku. Kami berencana ingin menjamu Anda sebelum menampilkan sedikit hiburan untuk Anda.”
Tapi Shui sedang tidak butuh hiburan.
“Apa ada sesuatu yang sedang disembunyikan dariku?” Nada suaranya perlahan dan penuh peringatan. Kesabarannya mulai habis karena Ornuk tidak menjawab secara terbuka pertanyaannya tadi. Sudut-sudut bibirnya tertarik lurus, membentuk senyuman tipis yang sedikit menakutkan untuk dilihat.
“Tuanku,” Sebuah tangan keriput menyentuh lengan Shui, membuat lelaki itu menoleh ke arah Inarha. “Tidak ada yang disembunyikan dari Anda,” Dia tersenyum menenangkan. “Kami hanya ingin memberi kejutan, untuk membalas semua budi Anda pada desa ini. Karena itu, kami mohon, sabarlah. Dan berkenanlah untuk menginap malam ini.”
Kemarahan Shui mendadak lenyap mendengar kata-katanya dan berganti menjadi rasa heran. Kejutan apa yang sedang disiapkan oleh penduduk desa? Dan kenapa Sheya serta keluarganya tidak hadir di sini? Shui hendak bertanya, tetapi Inarha sudah menyelanya.
“Makanlah dulu, Tuan. Anda sudah menempuh perjalanan jauh dan pasti merasa lelah serta lapar. Beristirahatlah sebentar. Anda masih memiliki banyak waktu di sini,” Inarha menunjuk hidangan-hidangan di depan Shui yang tampak menggiurkan untuk dicicipi.
Tahu bahwa kedua Tetua desa ini tidak akan mengatakan hal apa pun mengenai keluarga Sheya, Shui memilih menikmati hidangannya. Suara musik pun mengalun bersama kemunculan beberapa gadis bergaun menarik yang membawakan tari-tarian yang riang. Seorang wanita bernyanyi mengiringi tarian gadis-gadis muda tersebut, diikuti oleh tepuk tangan para penduduk desa serta gelak tawa mereka.
Shui tidak mengenal kelima gadis yang sedang menari itu, tetapi dia cukup menikmati apa yang mereka lakukan. Melihat keceriaan dan kegembiraan penduduk desa, lelaki itu hanya bisa tersenyum sambil menghabiskan makanan yang ada di piringnya.
Kokhan dan Junuran yang duduk di dekat panggung tampak berbincang akrab. Beberapa kali mereka tertawa sembari menikmati kudapan yang disiapkan. Shui hampir saja melewatkan sesuatu yang penting, ketika tatapannya secara tidak sengaja menangkap sebuah kotak kayu yang disodorkan Kokhan pada Junuran. Entah apa yang dikatakan pemuda itu pada Junuran, sampai membuat ekspresi Junuran merona. Shui mengangkat salah satu alisnya melihat salah satu ajudannya bersikap malu-malu.
“Jadi .... siapa gadis beruntung yang berhasil mendapatkan perasaanmu, Jun?” Kokhan menyeringai melihat Junuran yang sedikit salah tingkah. Sahabatnya tampak gugup dan kikuk, seakan-akan ada hal besar yang sedang dia sembunyikan dan takut bila seluruh dunia mengetahuinya.
“Seseorang yang sangat penting,” jawab Junuran tanpa memberi petunjuk apa pun pada Kokhan.
“Hmm,” Kokhan memutar mata. “Kau merepotkanku dengan menyuruhku mencari gelang yang bagus untuk melamar seorang gadis dan sekarang kau tidak mau memberitahuku siapa gadis itu? Terlalu.”
“Masalahnya, aku belum tahu dia akan menerimaku atau tidak,” Junuran menyembunyikan kotak kayu pemberian Kokhan di belakang tubuhnya. Saat mengirimkan surat pemberitahuan kepada Shui, Junuran sempat mengirimkan surat lain pada Kokhan yang berisi permintaan supaya lelaki itu mencarikannya gelang terbaik yang ada di Umarish. Dia mengatakan ingin melamar seorang gadis, tetapi tidak menyebutkan siapa namanya.
Mata Kokhan menyipit. “Coba kutebak, apa gadis ini adalah Nona Sheya?” Pertanyaannya membuat Junuran tersedak.
Lelaki itu menepuk-nepuk dadanya, lalu buru-buru meneguk air di dekatnya. Dia menoleh ke arah Kokhan dengan ekspresi pucat pasi. “Bagaimana kau tahu?”
Sekali lagi Kokhan menyeringai. Lelaki berambut hitam pendek dan bermata cokelat kayu itu menggeleng pelan sambil tertawa, “Demi Dewa, aku hanya menebak dan ternyata benar.” Dia melanjutkan, “Lihat tampangmu! Kau seperti tomat rebus. Ashen akan tertawa terpingkal-pingkal kalau melihat wajahmu seperti ini!”
Ashen adalah salah satu perwira yang mengepalai regu macan kumbang dan regu macan putih milik Shui. Dia ditinggal di Shasenka untuk menjaga keamanan ibukota. Hubungan mereka bertiga lumayan akrab, walau Ashen sering bertengkar dengan Kokhan.
Wajah Junuran semakin memerah. Pria berwajah lembut itu lantas mengambil satu lagi bola ketan dan melahapnya dalam satu suapan. Kegugupannya masih belum hilang dan justru jantungnya berdebar makin kencang. Memang dia mengepalai regu kijang dan rusa merah yang ditakuti akan ketangkasan serta kegesitannya, tetapi bagaimana pun dia cuma lelaki biasa. Berhadapan dengan musuh dan berhadapan dengan gadis yang dia cintai tentu menimbulkan efek yang berbeda untuk kepercayaan dirinya.
Kokhan menyodok rusuk Junuran, cengirannya makin lebar melihat sahabat karibnya yang bertingkah aneh. “Apa Nona Sheya ada di sini?” pandangan Kokhan mengedar ke sekitar lapangan. Walau dulu sempat melihat wajah Sheya, tetapi itu hanya sekilas, sehingga dia tidak mengingat jelas seperti apa wajah gadis yang menolong jenderalnya.
“Tidak. Dia tidak ada di sini,” jawabnya. “Shonja pun kelihatannya menyadari bahwa Sheya dan keluarganya tidak hadir di sini.”
“Ke mana mereka?” Kokhan mengerutkan dahi. “Shonja datang kemari untuk menemui mereka, kenapa mereka malah tidak hadir? Tidak sopan sekali.”
“Bukannya bermaksud tidak sopan, tetapi memang keadaan tidak memungkinkan mereka untuk menyambut Shonja bersama penduduk yang lain,” kilah Junuran.
Tatapan Kokhan menyipit. “Tidak memungkinkan bagaimana maksudnya? Apa terjadi sesuatu pada mereka?”
Junuran terdiam sesaat. Seharusnya ini menjadi rahasianya, tetapi menurutnya Kokhan mungkin perlu mengetahuinya juga. “Sheya masih membersihkan rumah.”
Hanya dengan satu kalimat itu saja sudah memancing kerutan yang lebih dalam di dahi Kokhan. “Bukankah rumah itu sudah jadi beberapa hari yang lalu? Kenapa sampai sekarang perlu dibersihkan? Katamu, mereka sudah pindah ke sana dua hari setelah rumah selesai.”
“Ada sedikit kejadian yang tidak menyenangkan semalam,” Junuran mendesah pelan. Sorot matanya terlihat resah, begitu pula air mukanya tampak agak cemas.
“Bicaralah yang jelas, supaya aku bisa mengerti,” Kokhan mengambil gelasnya dan meneguk air sampai tandas.
Junuran menghela napas, kemudian menuang air ke dalam gelasnya lagi. Dia menceritakan apa yang terjadi semalam hingga Kokhan ternganga mendengarnya.
“Kenapa hal sepenting ini tidak kau ceritakan pada Shonja tadi?” Kokhan mendesis sambil melirik ke arah Shui yang sedang berbincang-bincang dengan Shamasinaike Ornuk. “Seharusnya kau mengatakannya dari tadi!”
“Dan merusak suasana hati Shonja?” Junuran balas mendesis. “Kami berniat menceritakannya, tetapi setelah acara ini selesai.”
“Kau berhasil menangkap para penyerang itu?”
“Tidak,” Air muka Junuran terlihat muram. “Bahkan aku tidak yakin yang melakukannya adalah manusia.”
Kokhan mengerutkan dahi. “Maksudmu?”
“Kami semua mengira, itu dilakukan oleh Jugook,” Ekspresi Junuran bertambah rumit, tahu bahwa pernyataannya pasti terdengar tidak masuk akal.
Kokhan ternganga untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mendengus sambil memutar mata. “Berpikirlah memakai logika, Jun.”
“Kalau kau melihat apa yang kami lihat, pasti kau tidak akan berkomentar seperti itu,” desisnya.
“Memang apa?”
“Cakaran binatang buas. Apa menurutmu masuk akal ada binatang buas masuk ke sana dan merusak hampir sebagian besar barang? Bahkan bekas cakarannya hampir memenuhi dinding dan lantai rumah. Anehnya lagi, pintu maupun jendela dalam keadaan tertutup dan dalam kondisi baik. Penjelasan logis apa yang bisa disampaikan untuk masalah ini?”
Kokhan terdiam. Jugook memang makhluk tak kasat mata dan hidup di lain dimensi dari dunia manusia. Namun, beberapa dari mereka pun mampu untuk menyakiti atau pun merusak manusia, baik secara emosional maupun fisik. Dia sudah melihat dampak-dampak dari perbuatan Jugook yang ikut campur terhadap kehidupan manusia di provinsi Kashaki sana. Mulai dari yang gila, mati mengenaskan, bahkan yang paling buruk, bukan hanya seorang yang mengalami penderitaan akibat gangguan Jugook, melainkan satu desa!
Mendengar cerita Junuran, Kokhan punya firasat yang tidak menyenangkan terhadap pelaku perusakan tersebut. Sangat besar kemungkinan bila Jugook yang melakukannya, tetapi akal sehat harus tetap berjalan. Biar pun kecurigaannya mengarah pada mereka, dia tidak lantas mengiyakan tuduhan Jun dan lebih memilih diam sambil menyantap kudapannya lagi.
Berurusan dengan Jugook memang gampang-gampang susah. Makhluk-makhluk itu selalu meminta bayaran lebih terhadap bantuan yang mereka berikan pada manusia. Para Iksook atau pun Imam menyarankan untuk tidak berinteraksi dengan mereka, karena sebagian besar dari mereka berwatak jahat. Kalaupun ada yang tidak, sulit sekali untuk mengetahui kebenaran tersebut.
Sebagai manusia yang terlahir dengan kemampuan melihat mereka, terkadang Kokhan mengalami dilema yang sangat berat. Para Jugook sering menggoda, bahkan mengusilinya sejak dia kecil. Dia harus belajar tidak memedulikan mereka, bahkan pura-pura tidak melihat hanya demi tidak dianggap sebagai bocah gila yang bicara melantur. Ibunya pun melarang menceritakan hal tersebut pada siapa pun, termasuk sahabat karibnya.
Terkadang Kokhan bingung, untuk apa dia terlahir dapat ‘melihat’ kalau bakat ini dilarang dipakai? Seumur hidup, dia hanya melihat orang lain menderita akibat ulah Jugook dan tidak diijinkan melakukan apa pun untuk menolong mereka. Bahkan ketika Shonja-nya sendiri melakukan perjanjian terhadap Jugook.
Kokhan melirik ke arah Shui yang masih berbincang akrab dengan Shamasinaike Ornuk. Dia tidak terlihat terganggu dengan kehadiran harimau berbulu putih yang duduk di sisi kanannya. Makhluk itu menatap ke arah para penari dengan santai, seakan sudah terbiasa menyaksikan perayaan seperti ini dan ketika makhluk itu mengalihkan perhatian pada Kokhan, Kokhan langsung membuang pandangannya ke lain arah.
Ini bukan pertama kalinya mereka bersitatap.
Shorya menyeringai melihat pemuda itu menghindari tatapannya. Anak buah Shui yang satu itu memang unik. Dia selalu berpura-pura tidak melihat, padahal bisa melihat Jugook. Terkadang ketika pemuda itu menghadap Shui, dia suka menggodanya dengan duduk tepat di hadapannya. Dan seketika, pemuda itu langsung merasa tidak nyaman dan gugup. Bicaranya pun sedikit terpatah-patah, hingga Shui memintanya menjauh dari Kokhan.
“Aku tak melihat Inaike di sini,” Shorya berkomentar sambil menoleh ke arah Inarha yang sedang melahap kudapannya. “Di mana dia?”
“Sedang mengurus sesuatu yang penting,” jawab Inarha di dalam benaknya.
“Sesuatu yang penting?” Shorya mengulang jawaban Inarha. “Apa ini berkaitan dengan ketidakhadiran Sheya di sini?”
“Ya.”
“Dan apa itu?”
“Melacak sesuatu.”
Shorya tak lagi bertanya. Kalau Inaike sampai turun tangan sendiri, berarti sesuatu ini berbahaya. Perhatian Shorya teralih pada seorang prajurit yang mendekati Junuran. Dia membisikkan sesuatu hingga Junuran menganggguk. Kemudian lelaki itu pun beranjak ke sisi Shui.
“Shonja, apakah Anda ingin melihat rumah Nona Sheya yang sudah diperbaiki?”
“Dari tadi aku memang menantikan itu,” Shui menjawab setelah menelan dua teguk minuman dingin yang terbuat dari campuran rempah dan sari buah.
Junuran terlihat sedikit malu, tetapi dia melanjutkan. “Jika Shonja berkenan, Shonja bisa datang melihatnya.”
Mata biru Shui mengarah langsung pada Junuran yang menunduk di dekatnya. Saat pertama kali datang ke desa ini, dia memang ingin langsung melihat rumah Sheya yang selesai diperbaiki. Namun semua orang mengarahkannya kemari. Bukannya dia tidak sadar bahwa ada sesuatu yang coba ditutup-tutupi oleh warga desa, begitu juga ajudannya, tetapi Shui memilih diam daripada meributkannya.
“Baiklah. Antar aku ke sana,” Shui meletakkan gelasnya dan berdiri dari tempat ia duduk.
(Selasa, 8 April 2025)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
