Bab 15. Shuikan : Bakti Yang Tidak Pernah Cukup

1
0
Deskripsi

Narashima akan melakukan apa pun untuk memuluskan niatnya sendiri. Dia kejam, keji, dan manipulatif. Di antara semua pejabat, ketenangannya adalah ketakutan bagi takhta. Dia seperti serigala yang mengintai dalam kegelapan. Dulu, aku menganggapnya sebagai orang yang paling mampu menyeimbangkan kekuatan dalam pemerintahan, sekarang... bila ada kesempatan, aku ingin menyingkirkannya.

Bab 15. Shuikan : Bakti Yang Tak Pernah Cukup

 

Shui merasa sangat letih. Dengan masalah yang datang beruntun serta kondisi kesehatan yang belum pulih, dia merasakan beban yang bertumpuk. Penyerangan yang terjadi di desa Shamasinai tidak akan menjadi serangan yang terakhir. Dia tahu, sang paman maupun musuh-musuhnya akan melakukan beragam cara untuk menyingkirkannya dengan segera. Walau selama ini dia terkesan mendiamkan tindakan mereka, bukan berarti Shui tidak merasakan kemarahan terhadap mereka. Setiap kali rencana pembunuhan mereka gagal, setiap itu pula kemarahan Shui bertambah.

“Kau masih membutuhkan banyak istirahat,” ucapan itu datang dari Shorya yang duduk di dekat tempat tidurnya. “Lebih baik kau memulihkan diri di sini untuk sementara sebelum kembali ke Shasenka.”

Shui tersenyum getir, “Semakin aku menunda pulang, semakin mereka memikirkan langkah baru untuk menikamku dari jauh.”

Shui ingin sekali mengakhiri semua permainan pamannya. Dia lelah. Apa belum cukup bukti yang dia berikan sebagai tanda kesetiaan pada Kaisar hingga mereka terus-menerus mencurigainya?

Lelaki berambut emas itu mendesah pelan sambil menatap peta Shenouka yang terbentang di atas meja kerjanya. Sehari setelah kembali ke markas yang ada di perbatasan, dia langsung mengadakan pertemuan singkat dengan para komandan. Pasukan yang telah disusun akan diatur ulang dan ditempatkan pada pos-pos tertentu, termasuk di area Shamasinai.

Desa itu bisa menjadi sasaran amukan sang paman, karena mereka berani menolongnya. Seperti yang telah terjadi, orang-orang yang menolongnya akan disingkirkan, sehingga keberadaannya seperti membawa kesialan bagi rakyat jelata yang membantunya.

“Dari waktu ke waktu, tindakan mereka semakin agresif.” Shui meletakkan beberapa pion di atas peta. 

Dia kembali diam, mengamati bidak-bidak tersebut sambil memikirkan langkah-langkah apa yang akan digunakan nanti. Sinar lilin yang temaram sesekali goyah karena diembus angin malam yang terkadang masuk melalui celah-celah jendela kamar.

“Adikmu terlalu lemah,” komentar Shorya. “Seorang Kaisar yang dihantui oleh ketakutan dan amarah, hanya akan mengambil keputusan secara serampangan dan membiarkan orang lain mengambil keputusan untuknya.”

Mata biru Shui melirik Shorya. 

Penguasa Shoryaken itu sepertinya tahu banyak mengenai kondisi politik Shenouka.

“Kalau ada orang lain yang mendengar, pasti aku akan dikira sedang mempersiapkan makar,” tukas Shui perlahan. Walau dia bisa melihat Shorya, bukan berarti yang lain pun bisa. Orang-orang yang berjaga di luar kamarnya hanya mengetahui, bila dia sendirian di dalam. “Seorang pemimpin memang perlu menjaga pikiran dan emosi supaya tetap stabil, tapi pemimpin juga manusia.”

Shorya tertawa ringan mendengar pembelaan Shui pada sang adik. “Seorang pemimpin memang manusia biasa, yang mana kekurangan manusia pun melekat padanya. Namun, itu bukan alasan untuk terus-terusan berbuat salah dan menimpakan kesalahan pada orang tak berdosa,” timpalnya ketus. “Jangan berlindung di balik kelemahan manusia, apabila sesungguhnya adikmu sendiri yang tidak punya kompetensi sebagai seorang pemimpin sebuah kekaisaran.”

Shui kehilangan kata-kata mendengar pernyataan Shorya yang memojokkannya.

“Betapa setianya kau padanya, tapi dia tak bisa melihat kesetiaanmu,” cibir Shorya. “Ironis sekali. Kenapa kau masih bertahan untuk menyokongnya? Bila aku jadi kau, pasti sudah sejak lama aku meninggalkannya.”

Shui bukannya tidak merasakan keinginan itu. Sudah lama sekali dia ingin kembali pada kehidupan lamanya––menjelajah, hidup berbaur bersama rakyat jelata tanpa harus mengkhawatirkan upaya pembunuhan. Meski hidup seperti itu sulit dan penuh perjuangan, setidaknya dia merasakan kedamaian. Tidak seperti sekarang, kehidupannya selalu dibayang-bayangi kecemasan.

“Jika bisa meninggalkannya, aku akan meninggalkannya.” Air muka Shui terlihat suram. “Namun, aku sudah berjanji pada ayahku, untuk menjaga adik-adikku. Tidak mungkin aku meninggalkan mereka dalam lingkungan orang-orang tamak.”

“Kau butuh kepercayaan adikmu, jika ingin bertahan,” komentar Shorya.

“Aku tahu.”

Sejujurnya, Shui sudah kehabisan akal untuk mendapatkan kepercayaan adiknya. Semua baktinya dianggap angin lalu, pun... bentuk netralitasnya dalam perpolitikan kerajaan dipandang sebagai kemunafikan.

Sebuah ketukan terdengar, kemudian disusul suara seorang wanita yang menyebutkan namanya, “Shonja, ini saya, Efrani.”

Shui dan Shorya saling bertatapan sejenak. Kemudian Jugook penguasa Shoryaken itu mengangguk pelan.

“Masuk,” Shui mempersilakannya masuk.

Efrani memasuki kamar setelah penjaga membukakannya. 

Pandangan Shoryatertuju pada wanita berjubah kelabu lembut yang kini membungkuk ke arah Shui. Dalam sekali lihat saja Shorya tahu, bahwa wanita ini berasal dari tanah yang sama dengan ibunda Shui. Kulitnya begitu putih, menyerupai awan-awan yang menggantung di langit. Rambutnya sewarna kayu muda dengan ikal yang mengingatkannya pada gelombang laut. Matanya hijau cerah, mirip seperti kilauan zamrud yang telah diasah. Walaupun cantik, tetapi wanita itu seperti cangkang yang kehilangan roh. Tatapannya kosong, tanpa riak maupun gairah kehidupan.

“Ini sudah masuk waktu berdoa,” ujar Efrani tanpa menaikkan pandangannya ke arah Shui. “Bolehkah saya memulai ritualnya, Shonja?”

“Silakan,” Shui mengangguk tanpa terlihat terganggu dengan kehadirannya. Dia kembali menatap peta, sedangkan Efrani bergerak ke salah satu sudut kamar dan membakar bubuk wangi di dalam mangkuk berisi arang yang membara.

Bunyi desisan disertai asap harum menguar dari mangkuk tersebut. Efrani kemudian mundur dan berlutut ke arah timur. Dia mengatupkan kedua tangannya dan mulai merapalkan beragam doa dalam bahasa yang sulit dimengerti oleh orang awam.

Sementara Shui sibuk berpikir, Shorya mengamati Efrani dengan penuh ketertarikan. Wanita ini adalah pendoa yang dikirimkan adik perempuan Shui untuk menjaga Shui dari serangan gaib, tetapi pada kenyataannya pendoa ini gagal melaksanakan tugasnya. Rapalannya memang mengandung doa-doa yang kuat. Namun, apalah arti sebuah doa bila hati tak yakin terhadapNya? 

Shorya kira, adik perempuan Shui mengambil pendoa yang salah. Bahkan Inarha tidak perlu menggunakan rapalan yang begini panjang untuk memohon bantuan Tadakhua.

“Kau yakin pada pendoa ini?” Pertanyaan Shoryaterdengar dalam benak Shui.

Pria bersetelan gelap itu melirik ke arah Efrani yang masih tenggelam dalam doa-doanya, sebelum menatap Shorya yang balas memandangnya penuh tanya.

“Dia dikirim oleh Nayu, jadi aku percaya padanya.” Shui kembali memusatkan perhatian pada beberapa bidak yang telah terkumpul di Shasenka.

Terdengar dengkusan geli di dalam kepalanya, membuat Shui menatap Shorya penuh tanya. “Benarkah dia membantumu? Atau mencelakakanmu?”

Pertanyaannya membuat Shui tertegun. Pertanyaan Shorya memiliki banyak arti, salah satunya... mengenai ketulusan adik perempuannya yang mengirimkan pendoa ini padanya. Apakah ini berarti, adik perempuannya berniat menyingkirkannya juga?

“Jangan membuatku berpikir yang tidak-tidak, Shorya,” Shui memberinya peringatan.

“Wanita ini kosong,” tukas sang Jugook. “Doa-doanya sama sekali tidak berguna.”

Shui mengernyit, tak begitu mengerti maksud Shorya. Perhatiannya kini terpancang pada Efrani yang masih menggumamkan bait-bait doa. Sehati dengannya, Efrani yang merasa tengah diperhatikan pun menghentikan rapalan doanya dan membuka mata. Dia menoleh dan mendapati Shui tengah memandangnya serius.

“Apakah saya melakukan kesalahan, Shonja?” tanyanya heran.

“Berapa lama kau ikut denganku?” Shui balik menanyainya.

“Mungkin sekitar tiga tahun,” jawabnya.

“Tiga tahun ya...,” Shui diam sejenak, lalu berkata, “Kalau tidak salah, kau mulai mengikutiku setelah aku pulang dari utara, kan? Waktu itu aku sangat kelelahan sampai jatuh sakit selama beberapa minggu. Ramma Shenka dan Yundarin mengkhawatirkan keselamatanku sampai mencari-cari tabib terbaik ke seluruh pelosok Shenouka agar aku lekas sembuh. Kemudian Renayuun datang bersamamu dan dengan beberapa ritual serta ramuan tertentu, akhirnya aku bisa sehat kembali.”

“Semua itu karena berkat Tadakhua, Shonja,” Efrani merendah, kembali menurunkan pandangannya ke lantai.

Shui tersenyum tipis. “Berkat Tadakhua tidak akan sampai saat itu, bila bukan kau yang mengantarkannya.”

Efrani mengerjap sesaat, pipinya bersemu merah.

“Di antara semua orang yang kukenal, kau satu-satu yang berasal dari tanah yang sama dengan ibu kandungku, Karkashiam. Pernahkah kau berpikir ingin kembali ke kerajaan itu lagi?” tanyanya.

Sebelumnya, Efrani hanyalah budak belian. Wanita ini dibawa dari Karkashiam bertahun-tahun lalu ketika umurnya masih sangat muda. Karena kecantikannya, seorang mucikari di Shasenka membelinya. Namun, karena satu dan lain hal, mucikari tersebut akhirnya menyerahkan Efrani ke kuil. Di sanalah Efrani menghabiskan sebagian besar waktunya dan tumbuh hingga menjadi pendoa seperti ini.

Selama ini Shui tak acuh terhadap kehadirannya, tetapi dengan pernyataan-pernyataan Shorya yang berlawanan dengan apa yang yang dia ketahui, dia jadi penasaran terhadap pendoa ini. 

Efrani menemaninya selama bertahun-tahun tanpa mengeluh. Setiap hari, dia selalu datang ke kamarnya dan melakukan ritual doa yang sama dalam tiga waktu yang berbeda yaitu, subuh, siang, dan malam. Bila Shui tak ada di kamar, biasanya penjaga kamarnya akan membukakan pintu lebar-lebar dan mempersilakan Efrani menjalankan ritualnya.

“Apa kau tidak bosan dengan rutinitasmu, Efra?” Shui bertanya lagi sebelum Efrani menjawab pertanyaannya yang tadi.

“Bagi saya, melayani Shonja adalah suatu penghargaan. Saya tidak pernah bosan melakukannya. Keselamatan Shonja merupakan hal terpenting untuk keselamatan kerajaan ini. Bila terjadi sesuatu pada Shonja, keamanan kerajaan ini akan goyah,” jawabnya tenang.

Nada suaranya begitu terkendali. Shui memiringkan kepalanya sedikit.

“Bila aku celaka, itu bukan masalah besar. Akan ada banyak letnan muda yang punya keterampilan dan kemampuan sepertiku, atau jauh di atasku. Mereka lebih layak menggantikan posisiku,” balasnya ringan. “Kau belum menjawab pertanyaan pertamaku tadi. Apa kau tak pernah berpikir ingin kembali ke Karkashiam?”

“Tapi mereka bukan Anda,” Efrani menaikkan pandangannya, menatap lelaki berambut keemasan dan memiliki mata sebiru langit itu. “Mungkin mereka bisa menggantikan tempat Shonja, tetapi mereka bukan putra sulung Kaisar Riyushi. Shonja adalah Shonja, karena hal itulah yang penting.”

Shui terdiam, bisa menangkap maksud Efrani.

“Saya... sama sekali tidak berpikir ingin kembali ke Karkashiam,” jawab Efrani. “Di sini adalah rumah saya, karena saya hidup di sini.”

Pemikiran yang sederhana. Shui tersenyum tipis. Dengan kata lain, Efrani mengatakan bahwa apa pun yang terjadi padanya di sini, Shenouka adalah rumahnya, karena Karkashiam telah membuangnya. Entah apa yang terjadi pada wanita ini sampai dijual sebagai budak, tetapi sepertinya dia menyimpan kebencian yang dalam terhadap tanah kelahirannya.

Shonja,” suara tegas dari luar meghentikan percakapan mereka. “Ini saya, Kokhan.”

“Masuk,” Shui menjawabnya tanpa melihat ke arah Shorya.

Seorang lelaki bersetelan putih dan mengenakan baju besi lengkap tanpa helm kepala, memasuki kamar. Dia berjengit sesaat ketika pandangannya terarah pada tempat Shorya duduk, tetapi tidak berkomentar apa-apa. Shui melihat itu dan menatap Shorya yang tersenyum lebar.

“Dia bisa melihatku,” ujar Shorya dalam benak Shui.

Shonja,” Lelaki berambut hitam pendek itu menekuk salah satu kakinya dan menjadikan kaki lainnya sebagai tumpuan saat memberi hormat pada Shui. “Baru saja ada kurir elang yang dikirim. Nona Sheya sudah sadar dan keadaannya membaik.”

“Itu melegakan,” Shui tersenyum mendengarnya. Setelah penyerangan hari itu, Sheya tidak sadarkan diri dan mengalami demam yang cukup tinggi. Ketika ajudannya sampai di Shamasinai, Shui merasa was-was meninggalkan desa, karena kondisi Sheya yang kurang baik. Namun mendengar gadis itu sudah sadar, ini membuatnya lega. Gadis itu dan keluarganya sudah banyak membantunya, dan dia tidak akan pernah melupakan utang nyawa ini. “Bagaimana dengan perbaikan rumahnya?”

“Junuran tidak menuliskannya, Shonja,” jawab Kokhan.

“Kau boleh pergi,” ujar Shui.

Kokhan berdiri, lantas membungkuk ke arah Shui sebelum keluar dari kamarnya.

“Apa kau sudah selesai dengan doa-doamu, Efra?” Shui mengalihkan perhatiannya pada Efrani yang diam sambil menatapnya.

“Belum. Namun, bila Shonja ingin saya pergi, saya akan keluar.”

“Tidak. Selesaikan dulu tugasmu,” komentar Shui.

“Baik,” Efrani kembali pada ritualnya tadi dan melanjutkan bait-bait doanya.

Shui kemudian beranjak menuju salah satu rak buku yang ada di dalam kamarnya. Dia mengambil sebuah buku tebal bersampul kulit yang sudah mengelupas. Ketika membukanya, Shui menemukan tulisan yang akrab pada kesehariannya dulu. Tulisan tangan beliau begitu rapi dan indah, dengan setiap goresan yang mirip seperti gelombang teratur.

Ini adalah buku catatan mendiang ayahnya. Salah satu benda yang diwariskan ayahnya sebelum beliau wafat. Shui membuka catatan-catatan tersebut sampai tengah buku. Di sana, dia mendapati tulisan ayahnya mengenai kakak Permaisuri terdahulu, Narashima Unjarha Shasenki. Mata Shui tertuju pada sebaris paragraf di sana.

Narashima akan melakukan apa pun untuk memuluskan niatnya sendiri. Dia kejam, keji, dan manipulatif. Di antara semua pejabat, ketenangannya adalah ketakutan bagi takhta. Dia seperti serigala yang mengintai dalam kegelapan. Dulu, aku menganggapnya sebagai orang yang paling mampu menyeimbangkan kekuatan dalam pemerintahan, sekarang... bila ada kesempatan, aku ingin menyingkirkannya.

Shonja, saya sudah selesai,” pernyataan Efrani membuat perhatian Shui pada buku tersebut teralih. “Saya akan pergi.”

Shui tak mengatakan apa pun, dan kembali menatap bukunya. Namun, ketika pintu terbuka, Efrani bertanya, “Bolehkah saya tahu, sampai kapan kita berada di sini?”

“Apa kau bosan berada di sini?” Shui tersenyum ke arahnya.

“Bukan begitu,” Efrani tampak salah tingkah. “Namun, Miri Nayunira menanyakan kepulangan Shonja.”

“Katakan padanya, setelah urusanku di sini selesai, aku akan kembali ke Shanseka,” jawabnya.

“Baik, Shonja,” dia kemudian pamit dan menutup pintu kamar Shui dari luar.

“Apa yang kau tunggu di sini, Shui?” sang Jugook memandangnya heran. “Apa kau menunda kepulanganmu karena Sheya?”

Salah satunya karena itu, tetapi Shui tidak menjawabnya demikian. “Menurutmu, apa aku akan pulang ke Shasenka tanpa membawa hadiah apa pun, setelah apa yang mereka lakukan terhadapku?” Shui menoleh ke arah Shorya.

“Aku akan sedikit mengganggu kesenangan mereka,” Shui menutup buku dan mengembalikannya ke rak. “Dan itu dimulai dari jalur perdagangan mereka yang ada di sini.”

(Sabtu, 5 April 2025)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Bab 16. Sheyana : Harga Nyawa
1
0
“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kaum ningrat,” kataku pelan. “Begitu mudahnya mereka memberi, tetapi... mudah pula bagi mereka untuk menghukum.”Iksook Inarha mengernyit, lantas menatapku dengan heran. “Menghukum? Apa maksudmu?”“Inaike memberitahu saya mengenai latar belakang Tuan Shui, maupun konsekuensi yang akan kita terima karena telah menolongnya,” jawabku pelan. Bayang-bayang akan hukuman yang akan kami dapat karena telah menyelamatkan Tuan Shui masih menghantuiku hingga saat ini. Aku benar-benar takut, kalau suatu malam nanti, prajurit Istana akan datang kemari dan membunuh semua yang tinggal di desa.“Anak kecil tidak perlu memikirkan masalah orang tua,” komentar Iksook Inarha.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan