#3.Bang Rei

7
1
Deskripsi

Udah ngeluh belum hari ini???? kalau udh jangan lupa ketawa hahahahahahahaha

Gentala sudah perhatikan selama seminggu ini. Banureksa itu gila! Bayangkan saja setiap hari dia harus bangun subuh untuk kelas paginya. Pulang sekolah pergi les dan dilanjut ke perusahaan. Belum lagi kakek tua itu senang sekali sepertinya mengoper Gentala sana sini. Kalau akan ada pertemuan dengan klien Gentala pasti disuruh ikut.

Gentala benar-benar sibuk dibuatnya. Pergi pagi pulang malam. Paling cepat jam 9 malam dia akan sampai di rumah. Kalau Banureksa sedang senewen. Gentala bisa ditahan sampai tengah malam. Dan hari minggu pun, dia disuruh ke rumah kakek tua itu untuk belajar dengannya.

Bisa-bisa Gentala mati muda kalau begini terus.

“Om,” panggil Gentala pada Rian di sebelahnya yang tengah sibuk menyetir. Mereka dalam perjalanan ke kediaman Banureksa sekarang. “Banureksa tuh pernah bunuh orang gak?”

Rian yang sudah cukup terbiasa dengan Gentala selama seminggu ini tidak kaget lagi ditanyai begitu, “Setau saya, tidak pernah.”

“Oh, bagus deh.”

“Memangnya kenapa?” Rian menaruh penasaran. Omongan Gentala kayaknya ada maksud tersembunyi deh.

“Aku mau bikin dia ngamuk soalnya.”

Rian gagal paham, “Hah???”

___.....___

BRAK!

“Dibilang aku gak ngerti!”

“Ya kan sudah saya jelaskan! Begitu saja kamu gak bisa!”

“Iya gak bisa! Aku gak bisa! Kakek mau apa?!”

Banureksa berdiri dengan wajah memerah karena amarah. Dia naik pitam karena Gentala terus-terusan mengeluh dari tadi dan bermalas-malasan. Banureksa merasa dirinya tengah diremehkan oleh bocah ini.

“Siapa yang mengajarkan kamu bertindak tak sopan begitu, hah?!”

Mendengar pria tua itu berteriak, Gentala balas berteriak juga, “Gak ada! Otodidak! Belajar membangkang sendiri!”

“Mau jadi seperti Aryo juga kamu?!”

Rian dan bodyguard disana menahan nafas melihat tangan Banureksa mengepal erat dengan urat-urat yang menonjol. Tatapannya seolah akan mengunyah habis Gentala saat itu juga.

“Mau membangkang? Membantah saya juga? Iya begitu?!”

Gentala mau balik membentak Banureksa tapi tenggorokannya terasa perih. Dia memilih duduk lagi dengan tenang.

“Udah kek, capek,” keluhnya menyandar di sofa dengan lesu. “Gak bantah lagi. Gak bantah-bantah lagi. Udah. Kakek serem.”

Kata-kata ngawur Gentala secara ajaib membuat Banureksa melunak. Dia pun heran dengan dirinya sendiri. Tidak biasanya ia gampang didinginkan kalau sudah tersulut begini. Tapi melihat wajah suram Gentala entah kenapa membuatnya tidak tega.

Sementara Rian menatap berbinar interaksi kakek dan cucu itu. Dia merasa menemukan harta karun. Banureksa baru saja dijinakkan! Rian jadi makin yakin untuk mengabdi seumur hidup pada Gentala. Dijamin gak bakal rugi dan tekanan batin. Pokoknya aman!

“Jangan tidur. Lanjutkan ini,” kata Banureksa dengan nada lebih halus.

Gentala malah mengambil bantal sofa lalu meringkuk memeluk benda tersebut, “Capek hihh…. Gak ada libur. Mati aku habis ini. Mati!”

Banureksa mengurut pelipisnya. Ternyata lebih susah menghadapi Gentala ketimbang Aryo. Kalau Aryo dia lebih banyak diam, memendam perasaannya sendiri sampai dia tak sanggup lagi dan pada akhirnya meledak. Sementara Gentala, dia patuh juga, tapi banyak ngeluhnya. Bocah itu juga suka sekali kalau sudah beradu argumen dengan Banureksa.

“Ya sudah, kamu maunya bagaimana?”

Gentala duduk dengan semangat. Ini yang dia tunggu-tunggu dari tadi, “Aku mau libur.”

Dengan berat hati, Banureksa menyanggupi, “Hari ini saja.”

Tapi Gentala ngelunjak. Dia menggeleng, “Tiap minggu. Aku mau tiap hari minggu libur. Hari minggu jadi milikku sepenuhnya dan kakek gak boleh ikut campur.”

“Saya tidak setuju!”

“Aku balik ke panti aja kalau gitu. Biarin kere, yatim piatu, asal gak dieksploitasi habis-habisan begini!”

“Ya sudah, iya-iya. Hanya hari minggu. Puas kamu?!”

Dan Gentala malah menggeleng. Dia masih belum puas pokoknya. Amarah Banureksa sudah sampai ubun-ubun dibuatnya. Tinggal tunggu meledak aja.

“Aku juga mau, kelas paginya cuman sekali dua hari, atau tiga kali dalam seminggu.”

“Tidak,” Banureksa menolak tegas. “Saya hanya menyetujui libur hari minggu. Itu saja.”

Gentala berdecak. Dia melempar bantal sofa ke sembarang arah dengan kesal.

“Kalau begitu aku pergi,” katanya lalu bangkit.

“Kemana kamu? Ini belum selesai.”

“Hari minggu milikku. Kakek jangan ikut campur.”

Banureksa jadi terdiam dibuatnya. Mau tak mau dia membiarkan anak itu pergi bersama Rian. Dia menghela nafas lalu mendengus pelan.

“Aku tertipu dengan tampang anak baik-baiknya itu. Nyatanya dia seorang pembuat onar yang merepotkan.”

____.....___

“Pfftt… Ahahahaha…..”

Gentala berwajah masam mendengar tawa Rei yang menggelegar. Dia pundung pokoknya. Gentala mengambil bantal dan meringkuk membelakangi partnernya itu. Partner apaan cuih! Orang kesusahan dia bahagia banget.

“Bisa-bisanya lo jadi babu Zeus…. Pfftt…” Rei mengusap sudut matanya yang berair. Mukanya sampai memerah karena tertawa. “Ini tuh karma karena lo ngeledekin gue mulu. Karma!”

“Gak tau. Pusing. Puyeng. Capek. Keliyengan. Gue sekarat. Mau matik aja!”

Rei berhenti tertawa. Dia beranjak ke sudut ruangan. Mengambil minuman kaleng dari kulkas mini disana.

“Nih, minum dulu biar seger.”

Masih memeluk bantal, Gentala menoleh ke belakang. Melihat minuman yang Rei berikan dia mencibir, “Ampas.”

Rei tergelak, “Lah kenapeee? Enak lho ini, seger.”

Gentala merengut dan makin meringkut memeluk bantal, “Dikasih adem sari, lu kira gue sariawan?”

“Bagus ini buat panas dalam, manjur,” kata Rei naik ke kasur tempat Gentala berbaring. Dia menempelkan kaleng dingin itu di pipi Gentala, “Seger kan? Minum dah, jangan pilih-pilih.”

“Mau colaaa….”

“Kagak ada.”

“Cih, miskin.”

Rei menyerah dan meminum sendiri minuman itu. Dia duduk di sofa, memeriksa laptopnya yang ia biarkan hidup sedari tadi. Jemarinya mulai mengetik dengan lincah. Entah sedang melakukan apa, tapi dia terlihat serius sekali.

Suara ketikan jemari Rei di atas keyboard cukup mendominasi. Sampai kemudian terdengar denting lift, seorang wanita dengan seragam abu-abu keluar membawa nampan makanan.

“Ada titipan dari Hades.”

Dila namanya wanita itu. Dia meletakkan nampan berisi makanan itu di meja tempat Rei tengah berkutik dengan laptopnya.

“Wow! Mie ayam. Sangat merakyat,” komentar Rei melihat dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teler.

Gentala melongok sebentar, “Diracun kagak tuh?”

“Mengingat dia yang masih butuh SDM kalian berdua. kayaknya enggak.”

Lalu Dila melenggang pergi.

“Hades gabut banget singgah kemari nganter mie ayam doang,” kata Rei namun tak urung mengambil salah satu dan mulai mengaduk-aduk agar sausnya tercampur rata. Ia mencicipi kuahnya lalu mendecap nikmat. “Enak! Gen, gak mau makan?”

Baunya menggoda sih. Dan es telernya juga sepertinya segar sekali. Tapi Gentala sedang sangat malas bergerak. Dia juga malas mengunyah. Malas juga menelan. Jangankan itu, bernafas sekarang saja dia juga malas. Sesekali malahan dia menahan nafasnya. Kayak niat banget mau mati kan?

“Oi, makan nih. Bunyi perut lo kedengeran sampe sini.”

Gentala malah menarik selimut. Meringkuk dengan nyaman, “Matiin lampunya, gue ngantuk.”

“Gue lagi makan ege.”

“Pake flash hape aja.”

“Ogah, repot.”

“Matiin lampunya, bang Rei.”

Rei memang lebih tua 4 tahun dari Gentala. Tapi Gentala menolak memperlakukannya sebagai yang lebih tua. Padahal Rei selalu menganggapnya kayak adik sendiri. Makanya kata ‘bang’ dari Gentala itu langka banget untuk Rei. Dia jadi gak bisa menolak dan akhirnya makan dalam gelap bertemankan cahaya radiasi dari laptop yang menyala.

“Hiks, sialan. Lemah banget gue timbang di-bang-in doang.”

Gentala peduli? Tentu saja tidak. Rasa nyeri dan merinding menjalar di punggungnya. Persendiannya terasa ngilu. Dan kepalanya sangat berat. Dia terlelap dengan mudah karena hal itu dan tak peduli sama sekali nasib Rei yang makan gelap-gelapan.

___.....___

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #4.Banureksa Dijinakkan!
7
0
Jinak gak tuh!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan