SEWU GENI returns Bab 6 - 10

4
6
Deskripsi

Daftar isi :

Bab 6. Mandor yang Arogan

Bab 7. Empati awal Pertikaian

Bab 8. Pertikaian di Sebuah Cafe

Bab 9. Ilmu Kebal Dewi Lanjar

Bab 10. Ancaman di Rumah Darsono

Bab 6. Mandor yang Arogan

Setelah Deva meninggalkan tambak bersama Dadung, Mandor langsung masuk ke dalam rumah kecil yang bagian depannya terbuka itu.

Suara sesuatu dihamparkan, tak sampai semenit langsung terdengar suara dengkuran yang cukup keras.

Semua kejadian di tempat itu, antara Deva dan Dadung dengan Mandor, tak luput dari dua pasang mata yang memperhatikan dari rimbunan semak.

"Kau lihat tingkah mandor itu, To, bahkan terhadap Mas Dadung yang jelas-jelas orang kepercayaannya Juragan saja berani semen-mena dan gak ada sopan-sopannya sama sekali.

"Entah kapan Mandor itu akan mendapatkan balasan dari sifat buruknya, jika saja bukan karena Juragan dan Mas Dadung yang sifatnya baik, aku pasti akan memilih keluar saja dari tambak ini.

"Merantau ke kota, meski tak tahu akan bekerja sebagai apa." Fadil berkata pada temannya Warto dengan suara berbisik.

"Ini bukan pertama kalinya aku melihat Mas Dadung dianggap sepele oleh Mandor, Dil. Sayangnya Mas Dadung selalu mengalah dan tak pernah melaporkan sikap Mandor keparat itu pada Juragan Diran.

"Padahal andai saja Mas Dadung mau untuk melaporkan, kurasa Juragan Diran pasti akan lebih mempercayai ucapannya Mas Dadung.

" Apalagi jika kita semua bersatu memberi kesaksian betapa Mandor selama ini selalu bersikap wewenang-wenang terhadap kita semua," jawab Warto.

"Tapi aku kok seperti baru lihat ya, To, orang yang bersama Mas Dadung itu?"

"Sama, Dil. Aku juga baru pertama kali melihatnya berkunjung ke sini, apalagi bersama dengan Mas Dadung. Apa dia masih saudaranya Juragan, ya?"

"Bisa jadi, To. Semoga saja dia mau melaporkan Mandor pada Juragan."

"Tapi nanti dulu ...." Warto berkata, tak tuntas.

"Kenapa?" Fadil penasaran.

"Apa kamu tak lihat tadi waktu Mandor memandang lelaki itu dengan pandangan meremehkan? Aku melihat dia sama sekali tak memalingkan pandangannya dari Mandor, wajahnya tak menyiratkan rasa takut. Kurasa dia pasti punya sesuatu," tebak Warto.

"Punya sesuatu? Maksud kamu apa, To?"

"Bukankah Mandor itu kabarnya jago Silat, apalagi dengan tubuhnya yang tinggi besar itu, semua yang bekerja di sini takut padanya. Padahal aku belum pernah melihat Mandor berkelahi dan mempertunjukkan ilmu silatnya."

"Terus?" kejar Fadil.

"Sikap lelaki yang bersama Mas Dadung itu. Seperti sikap seorang kesatria yang tak takut pada siapapun, tak peduli Mandor menatap dengan mata melotot dan merendahkan.

"Dia pasti juga punya kemampuan bela diri. Aku punya firasat kalau entah kapan lelaki itu akan bertarung dengan Mandor.

"Kalau kamu perhatikan sikap mandor tadi. Dia jelas tak senang dengan sikap pemuda itu yang tak menunjukkan rasa takut dan segan pada mandor, Dil."

"Aku tak sabar menunggu hari itu, To."

Mereka berdua bangkit dan hendak pergi meninggalkan tempat persembunyian mereka, namun alangkah terkejutnya mereka saat menyadari kalau di hadapan mereka tahu-tahu sudah berdiri Mandor yang tadi mereka gunjingkan.

Pastilah tanpa mereka sadari Mandor sudah sejak tadi berdiri di sana dan mendengarkan langsung pembicaraan mereka.

Mereka berbicara cukup keras dan terlalu serius, sehingga sama sekali tak menyadari kalau Mandor sudah bangun dari tidurnya dan berjalan mendekat ke arah mereka.

Bahkan langkah-langkah kakinya saja tak terdengar.

"Kalian berdua dari mana saja? Apa pekerjaan kalian sudah selesai? Kok malah enak-enakan nyantai di sini?" Suara Mandor terdengar menggelegar di telinga mereka.

Mereka jadi seperti mati kutu, tak tahu harus bersikap bagaimana. Warto dalam takutnya mencoba menjawab dengan terbata-bata. "Sudah, Kang. Kami sudah selesaikan semua pekerjaan kami. Kami baru selesai makan dan sekarang sedang istirahat."

"Lalu selama istirahat kalian memperbincangkan aku di belakangku. Begitu?"

Pucatlah wajah keduanya, tak menyangka kalau Mandor akan berkata demikian. Tamatlah sudah riwayat mereka berdua.

Mereka pasti akan kembali merasakan pukulan dan tendangan dari Mandor sampai mereka terkapar tak berdaya.

"Ampun, Kang. Kami tak bermaksud ...." Warto memelas.

Kata-kata Warto tak sempat selesai, sebuah tendangan mendarat di wajahnya. Yang seorang lagi yaitu Fadil langsung memhambur ke kaki Mandor. Mendekap kaki Mandor dan merengek meminta pengampunan.

Tapi dengan sekali kibasan kakinya, pemuda yang memegang erat kaki Mandor langsung terlempar. Tubuhnya melayang dan masuk ke dalam tambak.

Dia berusaha mencapai pinggiran untuk naik kembali ke atas daratan. Tubuhnya sudah basah kuyup.

"Ini pelajaran buat kalian. Lain kali, kalau aku dengar kalian kembali menggunjingkan aku lagi. Aku pastikan nyawa kalian akan melayang." Mandor mengancam.

"Iya, Kang. Maafkan kami. Kami takkan lagi-lagi melakukannya." Fadil berkata.

"Jangan kalian pikir aku takut pada lelaki kurus tinggi dan berkaca mata itu. Lihat saja, jika bertemu kembali aku akan menghajarnya, seperti aku menghajar kalian sekarang ini.

"Sekarang pergi dari sini, mumpung aku masih mau berbuat baik pada kalian. Jangan sampai aku berubah pikiran dan kembali menghajar kalian lebih keras." Mandor berteriak.

"Iya, iya, Kang. Sekali lagi maafkan kami." Mereka berdua langsung berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Mandor kembali ke rumah kecil dan langsung menuju motornya. Dia pun bergegas meninggalkan tambak.

===

Istri Darsono keluar dari dalam dengan membawa nampan berisi dua gelas kopi. Untuk disuguhkan pada tamunya, Deva dan Dadung.

"Sampaikan salamku pada Juragan. Katakan aku minta maaf. Nanti kalau aku sudah lebih baik kondisi fisikku, aku akan beli hape lagi dan langsung menghadap Juragan.

"Silakan diminum kopinya." Darsono mempersilakan tamu-tamunya menikmati apa yang disuguhkan istrinya.

Sebenarnya Deva ingin sekali menanyakan siapa yang telah membuat Darsono sampai terluka parah begitu. Tetapi mengingat sejak tadi Darsono tampaknya berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya, Deva pun urung untuk menanyakannya.

Deva teringat pada Mandor yang tadi menatapnya dengan pandangan menantang dan meremehkan. Apakah luka luka yang dialami oleh Darsono adalah akibat perbuatan dari Mandor?

Dadung pamit untuk ke kamar kecil sebentar. Setelah kembali dari kamar kecil mereka kembali mengobrol basa-basi sebentar.

Akhirnya Dadung yang merasa tidak enak pada Darsono lantas berpamitan.

"Baiklah, Mas. Nanti akan saya sampaikan pesan dari Mas Darsono o pada Juragan. Mas istirahat lagi saja biar lekas sembuh. Dan jangan pikirkan dulu soal pekerjaan. Toh di tambak masih ada Mandor dan beberapa pekerja yang lainnya." Dadung berkata.

Dadung dan Deva bangkit. Kopi yang tadi dihidangkan masih tersisa setengahnya.

"Aku berterima kasih, karena kamu dan Mas Budi mau berkunjung ke sini menengok keadaanku yang sedang sakit ini."

Dadung dan Deva berjalan keluar. Dadung segera naik ke motor dan meminta Deva untuk juga naik. Motor meninggalkan tempat itu, Darsono hanya melambaikan tangan melepas para tamunya pulang.

Batu saja Darsono hendak berbalik dan masuk ke dalam, dia terhenti karena telinganya menangkap suara sepeda motor yang mendekat.

Dia sangat mengenal suara motor itu, Darsono memilih menunggu. Dia berbalik menghadap ke jalanan.

Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumahnya, pemuda yang mengendarainya turun.

"Pak Darsono? Kenapa Bapak bisa luka-luka begini," tanya pemuda yang baru turun dari motornya. Dia hendak mencium tangan Darsono tetapi ditepis.

"Tak usah kamupura-pura bertanya!"

Pemuda itu memandang Darsono dengan wajah tak mengerti.

"Lebih baik, sekarang juga kamu tinggalkan rumahku, dan lupakan Prapti anakku!" teriak Darsono.

"Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak paham dengan semua kata-kata Bapak.

"Berhentilah bersikap polos, Nak. Semua luka yang kualami ini akibat hubunganmu dengan Prapti anakku. Mulai hari ini lupakanlah Prapti. Carilah gadis lain, yang memiliki kekayaan sepadan dengan orang tuamu."

Habis berkata begitu Darsono berbalik, dia menutup pintu dan menguncinya. Seakan tak peduli dengan sosok pemuda yang mengetuk-ngetuk pintu rumah dan memanggil-manggil namanya.

Setelah lama berdiri di depan pintu tetapi tak dibukakan, pemuda itu membalikkan badan dengan wajah lesu.

Dia memang tak tahu apa masalahnya, tapi dengan kata-kata Darsono itu sepertinya dia mulai mengerti maksudnya.

Dia kembali naik ke motornya, lalu pergi meninggalkan rumah Darsono dengan wajah muram.

 

Bab 7. Empati Awal Pertikaian

"Dung, kita kembali ke tambak dulu." punya Deva berkata di telinga kiri Dadung.

"Mau ngapain lagi Mas Budi?" Dadung tak mengerti tujuan Deva mengajak dirinya kembali ke tambak, bukankah tadi dia sudah bertemu dengan Mandor yang sikapnya tak bersahabat?

Betul bahwa Dadung sudah melihat sendiri betapa Deva rupanya seorang yang pandai ilmu bela diri, namun dia juga khawatir dengan sikap Mandor. Dia tak mau ada pertikaian antara Deva dengan Mandor. Mereka semua toh saat ini dalam satu majikan, Juragan Diran.

"Ayolah, sebentar saja Dung," pinta Deva sekali lagi. Dadung tak punya pilihan, hanya dengusan napas panjang yang bisa dia hembuskan, berat rasanya Dadung harus membawa Deva kembali ke tambak.

Sesampainya di tambak Mandor dan motornya sudah tak ada lagi, Dadung boleh merasa senang, mungkin Mandor sedang keluar dan kembali lagi entah kapan.

"Di mana tempat istirahat para pekerja, dung?"

"Mau ngapain Mas Budi tanyakan itu?" Dadung kian tambah bingung pada sikap Deva yang belum jelas alasan dari permintaannya.

Tetapi lagi-lagi Dadung menurut saja.

Sebuah rumah bedeng, ada beberapa rumah berjajar. Itu adalah semacam mess tempat para pekerja menginap, biasanya mereka akan pulang sebulan sekali. Ada yang tinggal dekat situ tapi juga ada yang datang dari jauh. Tetapi semua memilih tinggal di mess.

Deva memperhatikan seorang pemuda yang badannya basah kuyup, bertelanjang dada sedang berbincang dengan pemuda lain.

Deva menghampiri. "Kalian berdua pekerja di sini juga?"

Kedua pemuda itu, Warto dan Fadil. Yang tadi melihat kedatangan mereka, dan pemuda yang tampak bertelanjang dada itu adalah Fadil, yang tadi terkena tendangan Mandor hingga tercebur ke dalam tambak.

"I ... Iya, Mas."

Deva menangkap sikap ketakutan dari pancaran mata mereka berdua, dia mendekat dan duduk di dekat mereka berdua, Dadung mengikuti meski belum tahu tujuan Deva melakukan hal itu.

"Kamu seperti sedang kesakitan?" Deva bertanya pada pemuda tak berbaju itu.

Belum sempat pemuda itu menjawab Deva mengangkat tangannya yang sejak tadi didekapkan di perut.

Lingkaran memanjang berwarna merah kehitaman. Kontras dengan kulitnya yang kuning.

"Siapa yang melakukan ini?" Kembali Deva bertanya.

"Eh ... anu. Bukan ... bukan siapa-siapa," terbata Fadil berusaha menutupi kebenarannya.

Deva jelas tahu dia berdusta. Kemudian lanjut berkata, "Tak apa, jangan takut. Katakan saja, kalian berdua percaya pada saya kan?"

Percaya? Jelas! Mereka melihat sendiri tadi bagaimana Deva tetap bersikap tenang dan tidak bisa diintimidasi oleh Mandor. Kalau bukan seseorang yang punya kemampuan tinggi tak mungkin Deva akan bersikap seperti itu. Mereka juga bisa rasakan kalau sikap empati Deva adalah tulus.

Setelah saling pandang sejenak, Fadil memberi isyarat pada temannya Warto, Warto mengerti. Dia mulai bercerita apa yang sebenarnya terjadi.

Deva menyimak penjelasan Warto dengan tenang.

"Bahkan bukan pertama kali dia melakukan itu, Mas. Tiap kali salah dalam berbuat atau berkata, tak segan dia akan dengan ringannya menjatuhkan tangan pada kami. Semua pekerja di tambak ini yang lima orang bisa dibilang sudah pernah merasakan pukulan dan tendangan Mandor." Warto menutup ceritanya.

Dadung terperangah. Selama ini walau sikap Mandor terlihat angkuh tetapi belum pernah Dadung melihat sendiri perbuatan sang Mandor pada anak buahnya. Dia selalu bersikap baik pada anak buahnya saat ada Juragan berkunjung di tambak.

"Apa tidak ada di antara kalian yang coba melakukan perlawanan?" Deva bertanya.

Warto tersenyum lalu berkata, "Siapa di sini yang berani melawan Mandor yang badannya besar itu, Mas? Dia pun kabarnya jago bela diri juga.

"Kadang kalau sudah mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Mandor, kami cuma bisa mengeluh pendek, kadang mengumpat, kadang menyumpahi, semoga suatu ketika ada yang membalas sikap Mandor yang semena-mena itu dan membuatnya jera."

Benar yang dikatakan Warto, Harus ada yang memberi pelajaran pada Mandor. Agar Mandor itu bisa melek sedikit kalau sebenarnya di atas langit masih ada langit, bahwa dia bukan satu-satunya yang jago sehingga dia bisa bersikap semaunya, tanpa perhitungan, tanpa rasa kasih, tanpa berpikir perasaan orang yang disakitinya.

"Mas nggak janji, tapi Mas akan coba bicarakan hal ini pada Juragan Diran. Beliau adalah Bos kalian yang sebenarnya," kata Deva yang segera bangkit dari duduknya.

"Waduuh ... jangan Mas. Kami takut!" Fadil langsung ketakutan dan coba mencegah.

"Takutlah kalau kalian salah, tapi beranilah jika kalian di posisi yang benar. Apa yang kalian takutkan hanya ada dalam bayangan pikiran kalian saja. Percayalah, semua akan baik-baik saja."

Deva berpaling pada Dadung, mengajak Dadung untuk berangkat, kembali ke rumah Juragan Diran.

Jika Juragan ada di rumah, Deva tentu akan melaporkan apa yang baru ditemui padanya.

Sejak Deva bertemu Mandor dan merasakan kalau sikapnya tak bersahabat terhadap Dadung dan dirinya, Deva punya dugaan kuat kalau para pekerja yang ada di tambak pun jangan-jangan mengalami perlakuan yang justru lebih menyakitkan. Itulah alasannya sepulang dari rumah Darsono, Deva meminta Dadung untuk memutar sepeda motornya untuk kembali ke tambak.

Kecurigaan Deva benar, rupanya salah seorang pekerja di sana ada yang baru saja disakiti oleh Mandor hanya karena hal sepele.

Deva takkan membiarkan kezhaliman Mandor itu berlarut-larut. Bahkan sikap Mandor itu justru hanya akan merugikan usaha Juragan Diran jika dibiarkan saja.

Juragan Diran ternyata belum kembali ke rumah, Deva duduk di teras, Dadung masuk ke dalam untuk membuatkan dua gelas kopi bagi mereka.

Tetapi sekian lama Dadung tak kunjung datang juga, yang keluar dari dalam rumah adalah Mbok Weni. Wanita tua yang bekerja pada keluarga Juragan Diran.

"Dadung ke mana, Mbok? Bukannya dia yang tadi hendak membuat kopi?"

"Dia lagi di kamar mandi, Mas." Mbok Weni menjawab. Setelah memetakkan dua cangkir berisi kopi yang masih panas di meja teras, Mbok Weni kembali ke dalam rumah. Seperti biasa dia datang sore hari untuk melakukan tugas-tugasnya.

Sebuah sepeda motor memasuki halaman rumah, meski memakai helm Deva tahu kalau itu adalah Silvia, putri Juragan Diran yang baru pulang dari kuliahnya.

Gadis itu melepaskan helmnya.

Rambut panjangnya terurai, dia tersenyum pada Deva, sehingga wajahnya makin terlihat cantik. Silvia berjalan mendekat.

"Lagi ngapain, Mas Budi?" Silvia langsung duduk di kursi satunya.

"Nungguin Dadung, Vi." Deva menjawab sekedarnya saja.

Sengaja. Deva tak mau apa yang dialaminya dulu terulang kembali, terlibat cinlok. Sementara dia sendiri masih banyak urusan yang harus dia hadapi.

Kebersamaan antara Deva dan Silvia selama ini rupanya ditanggapi berbeda oleh Silvia. Celakanya Deva belum bercerita sama sekali tentang dirinya, tentang istri-istrinya. Deva memilih seperti orang yang amnesia.

Itu sebabnya dia meminta waktu pada Juragan Diran untuk sementara tinggal dan bekerja dengannya, dengan alasan sampai ingatannya pulih. Alasan yang sesungguhnya adalah sampai kesaktiannya kembali!

Setelah segalanya kembali seperti semula, Deva sudah berjanji akan mencari sendiri Jenderal Tigor, menuntut pertanggung jawabannya, sebab kematian keluarga besar Ariyanti istrinya adalah ulah pasukan Jenderal Tigor. Pasukan dalam bendera APRAS HITAM!

 

Bab 8. Pertikaian di Sebuah Cafe

"Mas Budi, nanti malam nggak ada acara kan?" tanya Silvia, dan dia berharap Deva akan menjawab tidak.

Pertanyaan yang aneh, pikir Deva.

Deva cepat menangkap maksud pertanyaan itu, Silvia hendak mengajaknya keluar malam ini. Celaka!

"Iya, sebenarnya nggak ada acara sih, cuma Mas Budi lelah aja setelah seharian bersama Dadung dari pantai, lalu kami berdua ke tambak dan ke rumahnya Darsono." Deva menjawab setengah hati.

"Kalau begitu bisa kan temani Silvia ke Kota? Ada buku yang mau Silvia beli di Gramedia soalnya. Kalau berangkat sendiri takut, ntar kalau ada begal bagaimana?"

Deva tersenyum, tak tahu harus menjawab apa.

"Tahu-tahu Dadung sudah berdiri di pintu dan berkata, "Siap, Non Silvia. Malam ini Mas Budi memang gak ada kegiatan apa-apa, pasti bisa buat menemani kamu ke Gramedia. Dan yakinlah kamu pasti akan aman kalau bersama dengan Mas Budi." Dadung ikutan berkata.

Mampuslah! Bukannya membantu dirinya untuk terhindar dari ajakan Silvia, justru Dadung malah seperti menjerumuskan Deva untuk semakin dekat dengan Silvia.

"Untunglah kalau memang Mas Budi bisa temani aku ke kota." Silvia terlihat ceria.

"Tapi nanti izin dulu sama Bapak," tambah Deva.

"Tenang aja, biasanya juga Bapak selalu mengizinkan kalau aku pergi dengan Mas Budi."

Dan akhirnya Deva cuma pasrah saja, berharap semuanya akan berlalu seperti biasa.

Bahkan tidak lama setelahnya Juragan Diran pulang, dan saat Silvia bertanya, apakah boleh Deva menemani dirinya malam nanti? Maka seperti biasa Juragan Diran mengizinkan Silvia untuk berangkat dengan Deva.

Desa yang kini Deva tinggali adalah Desa Gumelem Wetan, dengan penduduknya yang senantiasa ramah kepada dirinya.

Deva sendiri terkadang heran, kenapa dia bisa sampai terdampar di Desa ini. Sangat jauh dari tempatnya ketika dulu dia disekap di sebuah pulau asing.

Malamnya, usai menunaikan sholat maghrib, Deva berangkat menggunakan sepeda motor dan Silvia dibonceng di belakangnya.

Jarak yang harus mereka tempuh cukup jauh untuk mencapai Kota Purbalingga, menuju Gramedia Expo. Jika tak ada halangan sekitar setengah jam mereka baru tiba di Kota itu.

Deva memarkirkan motornya di depan halaman Gramedia, sepanjang jalan tadi dia lebih banyak diam dibandingkan menanggapi Silvia yang berusaha mengajaknya berbincang.

Silvia dapat merasakan sikap Deva yang seakan menjaga jarak. Dia pun mengerti dan akhirnya tak lagi banyak berkata-kata, bahkan sekalipun sudah tiba di Gramedia.

Deva hanya mengikuti saja Silvia dari belakang, dia sama sekali tak tertarik untuk melihat-lihat buku-buku yang ada di sana. Fikirannya justru sedang melanglang buana entah ke mana.

"Mas Budi nggak mau beli buku? Untuk dibaca di rumah." Silvia bertanya.

"Nggak, terima kasih, Vi. Gimana? Sudah?" tanya Deva.

Silvia mengangguk. Dia memperlihatkan beberapa buah buku tebal yang hendak dia beli. Lalu Silvia menuju meja kasir untuk membayar.

"Mas tunggu di luar, ya." kata Deva, tanpa menunggu respon Silvia.

Sikap Deva yang dingin membuat Silvia jadi sedikit kesal juga, nggak biasanya Deva akan bersikap begitu, entah apa alasannya.

Deva duduk di atas sepeda motor, mengenakan helm. Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya.

Deva menghitung waktu yang sudah dilaluinya di Desa Gumelem Wetan, dia di rumah Juragan Diran sudah sebulan lebih. Sudah lima puluh hari sejak pertama kali dia mendengar dari Kanjeng Ratu Nyai Dewi Lanjar bahwa dia akan kehilangan seluruh ilmu kesaktiannya sementara waktu, hingga seratus hari ke depan.

Jika Deva mengingat kembali kejadian itu, mau tak mau dia akan kembali teringat dengan istrinya, Ariyanti, yang baru dia nikahi, tetapi tak lama sudah berpisah.

Bagaimana nasib Nadila dan Ariyanti sekarang? Apakah mereka masih mendapat serangan dari Pasukan APRAS Hitam?

Tetapi dari berita di televisi yang selama ini dia lihat, bukankah APRAS Hitam sudah dibubarkan dan diberantas habis oleh TNI? Itu artinya dia sudah bisa menunjukkan jati dirinya, kembali ke Jakarta.

Atau ke Bandar Lampung menemui istri pertamanya.

Entah mengapa, dia merasa kalau ini semua belumlah berakhir, seperti ada yang menahannya untuk meninggalkan Desa Gumelem Wetan.

"Mas, kok melamun?" Silvia menepuk pundak Deva.

Deva sedikit tersentak kaget. "Yuk, kita pulang sekarang."

"Kok buru-buru banget sih, Mas?" kata Silvia yang langsung pasang wajah cemberut.

"Kalau kita ke sini sejak pagi atau siang hari sih nggak masalah. Jarak yang mau kita tempuh ini jauh loh." Deva berusaha menjelaskan.

"Paling gak minum dulu lah." Silvia berkata masih dengan tampang masamnya.

"Iya deh, memangnya kamu sekarang mau ke mana?" tanya Deva.

"Cafe. Terserah yang mana aja." Silvia langsung bersiap naik di belakang Deva yang memang sudah siap berangkat.

"Okey, siap, Non."

Sepeda motor yang membawa keduanya meninggalkan halaman parkir Gramedia.

Tak jauh setelah mereka melaju, terlihat sebuah Cafe yang tampaknya banyak dikunjungi pembeli.

Deva memang sengaja mencari yang ramai.

Mereka berdua duduk, mengambil meja paling sudut. Seorang pelayan yang usianya tampak sepantaran dengan Silvia datang dan menyodorkan menu.

Silvia memilih makanan dan minuman. Dia menanyakan pada Deva minuman apa yang mau dipesannya.

Deva meminta Latte. Sang pelayan mencatat lalu berlalu.

Silvia memandang Deva dengan tajam, Deva mengalihkan pandangannya menatap pada para pengunjung yang lain.

"Mas Budi, aku punya salah ya sama Mas?" tanya Silvia tanpa basa-basi lagi.

"Hah? Salah? Nggak lah." Deva menjawab dengan cuek.

"Mas banyak diem, kesannya kayak jaga jarak sama Silvia."

"Perasaan kamu aja. Mas lagi nggak fit sebenarnya." Deva harus berbohong untuk menutupi alasan sebenarnya.

Silvia hanya mendengus. Menarik napas panjang dan dihembuskan kembali.

Seorang pelayan berjalan mendekat, membawa pesanan yang dipesan oleh Silvia dan Deva.

Tetapi belum lagi pelayan itu sampai, sebuah meja terpental.

Pelayan itu terkejut, sampai-sampai makanan dan minuman yang dibawanya jatuh dan tumpah di lantai.

Deva menoleh ke arah suara meja yang terpental itu. Tampak seorang lelaki berkaca mata yang wajahnya begitu ketakutan, kerah bajunya sedang dicekal oleh seorang lelaki bertato.

"Berani-beraninya lo jalan sama pacar Bos gua! Mau cari mati, lo?" Lelaki bertato itu menunjukkan tampang angker yang mengintimidasi.

Deva yang jiwanya tak pernah senang melihat kezaliman ada di depan mata, darahnya langsung naik. Dia lupa kalau saat itu dia tak memiliki sedikitpun kesaktian.

Di hadapan Deva ada sebuah asbak, tanpa pikir panjang lagi Deva meraih asbak itu dan melemparkan tepat ke wajah lelaki bertato, asbak itu mengenai pipi kirinya.

Lelaki bertato itu melepaskan cekalan tangannya, pemuda kurus berkacamata langsung terjatuh, sedangkan lelaki bertato itu terhuyung ke kanan, tangan kirinya memegangi pipi kiri.

Kepalanya berpaling ke arah dari mana tadi datangnya asbak terbang itu.

"Asu! Jancuk! Sopo sing wani melok-melok?!" teriaknya dengan logat Jawa Timuran.

Dia tak perlu mencari-cari, pandangannya langsung mengarah pada Deva yang berdiri menghadap ke arahnya dengan tatapan tajam dan wajah yang menegang.

Bagaimana nasib Deva selanjutnya?

 

Bab 9. Ilmu Kebal Dewi Lanjar

Silvia hendak menarik tangan Deva dan berniat untuk pergi saja meninggalkan Cafe tersebut, akan tetapi Deva menepis tangan Silvia dengan pandangannya yang tetap menatap lurus ke arah sosok lelaki bertato.

Lelaki itu berjalan cepat mendekat ke arah Deva. Banyak para pengunjung Cafe yang menatap penuh rasa cemas membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Pastilah Deva akan dilukai, sebagaimana lelaki berkaca mata tadi dilukai oleh lelaki bertato itu

Tanpa basa-basi lelaki bertato itu melayangkan tinjunya mengarah pada wajah Deva, namun Deva yang memang sebenarnya sudah memasang kuda-kuda Silat Brajamusti dengan mudah mengelakkan pukulan tersebut, tubuh Deva bergerak ke arah kiri dan sedikit memutar ke samping.

Belum sempat lelaki bertato itu menyadari kalau serangan yang dia lancarkan telah meleset, tiba-tiba Deva sudah lebih dulu memutar tubuhnya ke arah kiri ... dan pukulan tangan kanannya tepat mengenai ke arah dada lawan!

Andai saja ... ya, seandainya saat itu Deva masih memiliki kesaktian Brajamusti, bisa dipastikan lelaki itu akan langsung terpental jatuh tak berkutik lagi.

Bisa mati, bisa pula hanya sekedar pingsan. Namun kini dia hanya mundur ke belakang sambil terhuyung akibat merasakan dadanya yang sesak karena pukulan tangan Deva yang tepat mengenai ulu hatinya.

Lelaki bertato itu tampaknya tidak terima dengan kekalahannya sehingga dia mencabut pisau yang rupanya dia selipkan di balik baju.

"Terimo iki, Jancuk! modar koen!" teriak lelaki bertato yang langsung menyabetkan pisaunya yang terlihat tajam dan berkilat ke arah tubuh Deva.

Para pengunjung Cafe berteriak histeris, bahkan ada beberapa yang langsung menutup mata karena tak sanggup untuk melihat kejadian selanjutnya. Terbayang oleh mereka, bagaimana tubuh Deva akan robek terkena sabetan pisau lawan!

Deva sebenarnya mau menghindar ke belakang, namun tubuhnya terhalang oleh meja sehingga dia tidak punya kesempatan untuk mengelak.

Deva sempat merasa cemas kalau-kalau serangan itu bakal benar-benar melukai dirinya.

Tiba-tiba dia teringat pesan yang disampaikan oleh Kanjeng Ratu Nyai Dewi Lanjar, bahwa dia akan menjadi kebal dari semua senjata yang terbuat dari besi, sebagai ganti dari hilangnya kesaktian yang dia miliki. Kekebalan yang Deva dapatkan setelah dia menelan sebuah pil yang berwarna merah pemberian Kanjeng Ratu Nyai Dewi Lanjar.

Mengingat hal itu Deva jadi sedikit tenang. Deva tidak berusaha untuk menghindar, bahkan dia sudah menyiapkan pukulan selanjutnya untuk dihantamkan ke wajah lawan.

Dan begitu pisau di tangan lawan mengenai tubuh Deva, terdengar suara berdentring seperti beradunya besi dengan besi.

Baju Deva robek, namun kulit tubuhnya tak terlihat luka sedikitpun!

Kali ini semua yang berada di Cafe itu menjerit melihat tubuh Deva terkena sabetan pisau lawan, jeritan itu lalu berubah menjadi kekaguman manakala mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa tubuh Deva sedikitpun tidak mengeluarkan darah.

Tetapi yang paling terkejut dengan hal itu adalah si lelaki bertato yang langsung terdiam melongo, mematung untuk sejenak.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Deva. Untuk kedua kalinya dia memukulkan tangan kanannya yang kali ini diarahkan ke wajah lawan.

Karena lelaki bertato itu masih terperangah tidak percaya dengan apa yang disaksikan oleh matanya, dia tidak sempat untuk mengelakkan pukulan tangan Deva.

Sudah barang tentu hidungnya menjadi sasaran empuk pukulan kepalan tangan Deva yang langsung membuatnya jadi pusing dan pandangannya mulai gelap.

Lelaki bertubuh besar dan memiliki tato di lengannya itu langsung ambruk, terjatuh. Tangan kanannya memegang hidungnya yang patah dan mengucurkan darah segar.

Hal itu rupanya bukanlah akhir dari pertarungan antara Deva dengan sosok lelaki bertato tersebut, karena rupanya di belakang lelaki itu ada sekitar lima orang yang langsung mengeluarkan pisau dari pinggang mereka masing-masing dan bersiap untuk menyerang Deva.

"Tunggu dulu, kalau kalian ingin mencari keributan jangan di sini! Jangan merusakkan tempat usaha orang lain, mari kita bertarung di luar sana," kata Deva tegas.

Orang-orang itu saling pandang, seakan-akan bertanya kepada temannya, apakah mereka akan menyetujui perkataan Deva barusan?

Rupanya mereka agak sedikit ragu juga untuk melanjutkan serangannya di dalam ruangan Cafe itu. Maka mereka pun langsung berjalan keluar. Menunggu Deva keluar juga.

"Mas Budi, sudah! Hentikan, Mas! Nanti Mas bisa celaka. Apa kata Bapak nanti kalau tahu Mas habis bertarung di sini dan terluka?"

Tetapi Silvia juga tidak yakin dengan apa yang dia katakan, karena dia juga menyaksikan tubuh Deva yang bajunya robek tetapi tidak mengeluarkan darah setetes pun!

"Sudah terlanjur aku turut campur, Silvia. Maka aku harus menuntaskan semua ini dan memberi pelajaran kepada mereka, agar tidak membuat keributan lagi di tempat umum."

Silvia tak menjawab, seakan dia kini malah memberikan restunya kepada Deva untuk melanjutkan pertarungan.

Deva berjalan melangkah di antara bangku-bangku berserakan di dalam Cafe, dia menuju ke arah pintu Cafe yang terbuka lebar.

Dia melihat di depan sana lima orang sudah menunggunya dan tampaknya sudah bersiap untuk menghabisi Deva saat itu juga.

"Nah sekarang melakukan apa yang kalian ingin lakukan ...."

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kelima orang itu langsung maju berbarengan.

Ada yang menikamkan pisaunya, ada juga yang menyabetkannya, namun yang terdengar adalah suara berdentringan.

Kembali baju Deva jadi tambah lebat koyaknya, akan tapi lagi-lagi tak ada setetes pun darah yang keluar!

Lima orang itu benar-benar bingung menyaksikan pisau-pisau mereka yang tajam tak mampu menembus tubuh Deva. Bahkan menggoreskan luka sedikitpun tidak.

Ketika mereka semua masih terbengong itulah Deva langsung mengerahkan Ilmu Silat Harimau Utara yang terkenal dengan kecepatan serangannya, dan dengan sekali serang saja lima orang itu langsung terpental ke belakang, dengan tubuhnya yang terkena hantaman berupa pukulan dan tendangan Deva yang begitu cepat.

Sebuah mobil menyala lampunya berkedip-kedip, dari dalam mobil keluar seorang lelaki yang mengenakan jas hitam.

Dia menarik sesuatu dari balik jasnya, dan ternyata itu adalah sebuah pistol yang langsung diarahkan kepada Deva.

Namun melihat dirinya diacungi pistol yang mengarah tepat ke arah kepalanya, Deva sama sekali tidak menjadi kecut hatinya.

Bahkan dia seperti menunggu lelaki yang mengarahkan pistol itu menarik picu pelatuknya!

Beberapa kali suara ledakan terdengar yang keluar dari pistol tersebut.

Semua pengunjung Cafe langsung tertunduk, dan beberapa orang bersembunyi takut terkena sasaran peluru nyasar.

Jelas peluru-peluru itu mengenai tubuh Deva, tetapi jangankan membuatnya terluka dan terjengkang ke belakang, bahkan untuk sekedar membuat Deva bergeser dari posisi berdirinya saja peluru-peluru panas itu tidak sanggup. Nyatanya semua peluru-peluru yang mengenai tubuh Deva berjatuhan dan menimbulkan suara berdentring ketika mengenai aspal jalan.

Deva melompat dengan cepat tanpa sempat disadari lawannya, tahu-tahu sebuah tendangan langsung menghantam ke dagu lawan.

Lelaki yang memakai jas hitam itu langsung terlempar mengenai mobilnya sendiri, menimbulkan suara berdebum keras.

Dia tak berkutik lagi, hanya bisa mengeluh kesakitan karena rahangnya langsung patah akibat terkena tendangan kaki Deva barusan.

Tak lama beberapa orang polisi datang dengan mengendarai motor dinas.

Deva kemudian menjelaskan keadaan yang sebenarnya.

Kelima orang itu langsung ditangkap dan diborgol, lelaki yang tadi menembakkan peluru ke arah Deva juga ditangkap bersama lelaki bertato yang tergeletak di dalam Cafe.

Polisi itu menanyakan identitas lelaki pertama yang tadi lebih dulu dilukai oelh lelaki bertato, juga menanyakan kartu identitas Devq, namun Deva mengatakan kalau KTP-nya tertinggal di rumah, tetapi akhirnya Silvialah yang kemudian menyodorkan KTP-nya kepada polisi itu yang langsung mencatat alamatnya. Mereka mengatakan bahwa besok Deva harus ke kantor polisi untuk menjadi saksi atas tindakan anarkis orang-orang itu.

Akhirnya Deva dan Silvia tidak jadi untuk minum dan makan di cafe tersebut, mereka memutuskan untuk pulang saja kembali ke Desa Gumelem Wetan.

Sepanjang perjalanan pulang Silvia tidak mengeluarkan kata-kata sedikitpun, rupanya dia masih merasakan trauma dengan kejadian brutal yang dilihatnya di Cafe tadi.

Silvia tak menduga, di balik sosok Deva yang terlihat ramah dan bersifat pendiam, ternyata bisa berubah menjadi sosok yang ganas dan menakutkan!

 

Bab 10. Ancaman di Rumah Darsono

Pukul 8.30 Deva dan Silvia sampai kembali di rumah, tetapi rumah dalam keadaan sepi. Baik Bapaknya maupun Dadung sepertinya sedang tidak berada di rumah.

Hal itu tentu saja membuat Deva jadi lebih leluasa untuk menyembunyikan apa yang baru saja terjadi dari Juragan Diran dan Dadung, sehingga mereka berdua tidak akan mengetahui kalau Deva telah terlibat pertarungan di sebuah Cafe sepulang mengantarkan Silvia membeli buku di Kota.

"Mas Budi, lekas ganti pakaian Mas, jangan sampai Bapak maupun Dadung melihat Mas dalam keadaan seperti ini, mereka pasti akan bertanya-tanya dan mengkhawatirkan Mas Budi."

Deva mengiyakan setelah memasukkan sepeda motornya ke dalam rumah, dia lalu masuk ke dalam kamar dan berganti pakaian.

Di luar tepatnya di ruangan tamu sudah ada Mbok Weni yang ternyata telah menyiapkan segelas kopi ketika dia mendengar suara sepeda motor yang sudah sangat dihafalnya, kalau itu adalah suara sepeda motor milik Juragan Diran.

Tapi tampaknya Mbok Weni tidak tahu bahwa Deva bajunya koyak-koyak akibat berkelahi, sebab ketika Deva keluar dari dalam kamar Mbok Weni sama sekali tidak menyinggung tentang pakaiannya. Dia hanya mempersilakan Deva untuk meminum kopi yang baru saja dibuatkan olehnya.

Tak lama Silvia kembali keluar dari dalam kamarnya,, dan saat itu juga Mbok Weni kemudian berpamitan kepada Silvia untuk kembali ke rumahnya.

Deva duduk, meraih gelas kopi dan meneguknya sedikit, Silvia duduk tak jauh dari Deva.

"Mas Budi, sebenarnya Mas ini siapa? Dan dari mana? Bagaimana bisa Mas memiliki ilmu silat yang begitu tinggi dan juga kebal dari serangan senjata tajam, seperti yang kulihat tadi di Cafe itu?" Silvia mencecar Deva dengan pertanyaan beruntun.

"Silvia, sudah kukatakan bahwa aku sama sekali tidak ingat siapa diriku, karena yang kuingat hanya namaku saja.

"Itulah sebabnya aku minta izin kepada Bapakmu untuk sementara tinggal di sini dan bekerja kepada Bapakmu. Sampai nanti aku bisa mengingat kembali siapa diriku sebenarnya.

Hanya itu jawaban yang bisa Deva berikan kepada Silvia. Jawaban yang dulu juga dia sampaikan kepada Juragan Diran dan Dadung. Sebuah jawaban yang jelas adalah sebuah kebohongan, namun semua itu Deva lakukan secara terpaksa sebab dia masih khawatir kalau dirinya ternyata masih diburu oleh Jenderal Tigor dan pasukannya.

Selama ini Deva menyimak berita-berita yang ada di televisi, dan dia sama sekali tidak mendapati berita tertangkapnya Jenderal Tigor yang saat ini sudah dijatuhi vonis sebagai buronan oleh Pemerintah.

Silvia juga sebenarnya sudah pernah mendengar alasan Deva seperti yang dia katakan tadi, namun Silvia merasa kalau apa yang Deva katakan itu bukanlah sebuah kebenaran. Maka kali ini Silvia kembali menanyakan ulang, namun lagi-lagi jawaban yang diterimanya adalah hal yang sama.

Silvia memang tidak bisa memaksa Deva untuk mengungkapkan kebenaran dirinya, tapi cepat atau lambat kebenaran itu pasti akan terungkap juga.

"Mas, sungguh, aku minta apa yang barusan terjadi jangan sampai Bapak dan Dadung tahu ya." Silvia berkata pelan.

"Insya Allah, Mas tidak bisa menjanjikan hal itu, tetapi Mas akan coba. Mas tahu apabila sampai Bapakmu dan Dadung mendengar tentang peristiwa itu, kamu mungkin khawatir kalau kamu akan disalahkan oleh Bapak. Iya kan?" tanya Deva.

Silvia hanya menggangguk lemah. Sekalipun Bapaknya selama ini adalah seorang bapak yang baik di mata Silvia, tapi sebenarnya jika Bapaknya marah Silvia akan menjadi sangat takut melihatnya, sebagaimana dulu dia pernah melihat Bapaknya memarahi anak buahnya yang telah melakukan sebuah kesalahan besar.

"Seandainya orang tuamu dan Dadung tahu tentang kejadian yang aku alami malam ini, maka akan kupastikan kamu tidak akan dimarahi oleh Bapakmu.

"Oh ya, besok aku harus ke kantor polisi di Kota untuk menjadi saksi atas kejadian tadi."

"Kalau begitu Mas lebih baik berangkat sendiri saja, tidak usah bersama Dadung."

Deva mengiyakan.

Silvia lalu berpamitan untuk kembali ke dalam kamarnya dan beristirahat, karena untuk ukuran di desa jam segini memang sudah waktunya untuk beristirahat, terkecuali jika ada sesuatu yang mengharuskan untuk tetap terjaga.

Tinggallah kini Deva di ruangan tengah itu, sendirian. Menikmati kopi berikut sebatang rokok yang baru saja dia nyalakan.

Deva membawa kopi itu ke teras karena dia merasa tubuhnya masih berkeringat dan panas, akibat pertarungan singkat namun cukup melelahkan tadi.

Di teras rumah anginnya cukup kencang sehingga terasa sejuk di tubuh Deva.

Di teras itu pula dia akan menunggu kedatangan Juragan Diran dan Dadung yang sepertinya mereka berdua sedang keluar bersama entah ke mana. Dadung pastilah sudah bercerita tentang kunjungan mereka berdua ke rumah Darsono.

===

Keesokan paginya Deva kembali meminjam sepeda motor dengan alasan ada keperluan ke Kota.

Juragan Diran sama sekali tidak curiga dan dia mengiyakan saja permintaan Deva.

Hari itu Deva memang sedang tidak berangkat ke laut juga, karena sepertinya dalam seminggu ini laut sedang dalam keadaan tidak baik untuk melakukan pekerjaan mencari ikan seperti biasanya.

Di kantor polisi Deva banyak ditanyai, dan tentu saja berita tentang kekebalan tubuh Deva dari serangan orang-orang itu langsung tersebar di kantor kepolisian.

Untuk kesekian kalinya ketika Deva ditanyakan identitas aslinya, Deva pun menjawab dengan jawaban yang sama, seperti yang dia sampaikan kepada Juragan Diran dan Dadung bahwa dia sedang mengalami amnesia.

Deva akhirnya dinyatakan tidak bersalah karena memang yang dia lakukan adalah sebagai pembelaan terhadap orang yang sedang dianiaya,

Dan lagi, tidak ada korban yang sampai meninggal di tangan Deva saat itu, kemudian Deva pun dibolehkan pulang kembali ke Desa Gumelem Wetan, akan tetapi di tengah jalan dia teringat kepada Darsono. Dia ingin melihat bagaimana kondisi Darsono saat itu.

Deva sampai di halaman rumah Darsono, akan tetapi dia melihat saat itu Darsono sedang berdiri di pintu dan seperti sedang terlibat cekcok mulut dengan dua orang lelaki yang bertubuh besar.

Deva memilih untuk diam sejenak di atas sepeda motornya dan menyaksikan saja pertengkaran tersebut, sebab dia ingin tahu lebih dahulu apa yang menyebabkan pertengkaran mereka saat itu sejelasnya.

"Sudah aku katakan kepadamu, bahwa anakmu jangan lagi mencoba mendekati putranya Juraganku, tapi rupanya kamu ini membandel. Karena buktinya putra Juraganku masih saja datang ke sini untuk menemui putrimu."  Salah seorang dari mereka berkata.

"Justru kalau kalian mau marah, maka marahlah kepada anak Juragan kalian itu, yang tidak tahu malu datang terus ke sini, sekalipun aku sudah mengusirnya dan memintanya untuk menjauhi Putriku." Darsono menjawab.

"Huh! Kamu pikir Putrimu itu siapa? Lagi pula kami sudah bilang pada Putra Majikanku untuk tidak datang-datang lagi ke sini untuk mengemis cinta dari Putrimu."

"Lebih baik kalian berdua pulang saja dan tanyakan langsung kepada Putra Juraganmu, putriku yang mengemis cintanya, atau dia mengemis cinta dari putriku?" Darsono mulai sulit berkata.

"Kurang ajar kamu Darsono. Dasar orang kecil tidak tahu diri! kamu memang pantas untuk diberi pelajaran!"

"Tunggu!" Deva mengangkat tangannya, mencegah pertarungan yang mungkin saja akan segera terjadi.

"Mas Budi ...." Darsono berucap lirih.

"Siapa dia?" kata dua orang tadi kepada Darsono.

"Dia salah seorang pekerja yang bekerja pada Juragan Diran juga."

"Oh, jadi? Kamu sudah meminta bantuannya, untuk menghadapi kami berdua? Bagus-bagus sekali!"

"Kalian berdua jangan salah paham, aku tidak mengundang dia datang ke sini. Dia sendiri yang datang, yang mana khusus diminta langsung oleh Juragan Diran menemuiku."

"Mohon maaf. Saya bukannya ingin turut campur, tapi alangkah lebih bagus jika ada masalah bisa kita bincangkan baik-baik. Kalau bisa tidak perlu sampai terjadi perkelahian, yang tentunya hanya akan sama-sama mengalami kerugian." Deva mengatakan itu pelan, tapi penuh tekanan.

Dua orang itu terdiam, sepasang mata mereka menatap tajam ke arah Deva. Deva balas menatap sambil menunggu apa yang akan mereka berdua katakan kepada dirinya.

Sementara itu, Darsono jadi tidak enak hati. Sebab keributan di rumahnya yang seharusnya menjadi masalah pribadinya, kini malah salah seorang pekerja yang bekerja dengan Juragan Diran ikut campur tangan dalam masalahnya.

Bisakah Deva melerai keributan yang terjadi antara dua orang tersebut dengan Darsono?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SEWU GENI returns - Bab 11-15
11
1
Daftar isi : Bab 11. Dilema Cinta DiniBab 12. Menjawab TantanganBab 13. Pertarungan SengitBab 14. Brajamusti Tingkat KetigaBab 15. Santet Keji itu Kembali
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan