
Saat hidup terasa sulit, kita justru dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang menuntut kita untuk mengambil keputusan yang juga sulit.
BAB 2 : Tak Ada Pilihan Lain
Beres. Baju-baju, peralatan sehari-hari mulai alat mandi, alat make up seadanya, sandal dan sepatu yang dibeli dari toko barang second sudah masuk ke dalam tas jinjing besar merk Alko itu. Dengan mata sembab menahan tangis, Isni mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Dia juga membawa satu kardus berisi kaleng roti Jhong Duan, tapi sebenarnya isinya bukan roti melainkan rempeyek kacang buatan Bibi Inah.
“Masukan ini juga, Is!” tanpa bertanya Bibi Inah memasukkan empat bungkus mie instan dan abon sapi yang dibungkus plastik seperempat kilogram-an. “Semua ini makanan awet yang bisa kamu makan kalau sudah sampai tujuanmu nanti.” Bibi Inah memaksa.
Isni menerima kardus pemberian Bibi Inah dengan sedikit terisak. “Makasih ya, mbak. Nggak usah bawain aku banyak-banyak. Uangnya disimpan aja, masih banyak keperluan lain.” Suara Isni terdengar parau. Hatinya pedih membayangkan dia yang dari kecil hidup berdekatan dengan kakak perempuannya harus pergi meninggalkan desa dalam keadaan getir. Apalagi dia juga harus meninggalkan anak-anak yang masih memerlukan perhatian orang tua. “Udah, nggak apa-apa, Is. Mbak masih ada. Kamu hati-hati di negeri orang. Pikiranmu harus tenang.”
Isni dan Bibi Inah adalah kakak beradik yang sudah menjadi yatim piatu sejak kecil. Ayah mereka meninggal karena sakit kanker kelenjar getah bening, namun tidak mendapat pengobatan dan perawatan yang memadai karena keterbatasan ekonomi.
Semasa hidup, ayah mereka bekerja sebagai buruh tani dan pekerja serabutan. Meski begitu, ayahnya beruntung karena diberi kepercayaan untuk menggarap sawah milik paman mereka yang kaya raya. Seorang perantauan sukses.
***
Waktu itu Bibi Inah masih kelas dua SMA dan Isni kelas dua SMP. Mereka kaget bukan main melihat Paman Ron dan Paman Jat datang ke sekolah. “ Nduk Inah, ayo pulang! Ada keperluan mendesak.” Ajak Paman Ron dengan wajah serius. “Ada ada paman, kok sepertinya penting sekali? Ayah nggak kenapa-kenapa kan?” Bibi Inah menebak dengan cemas. Begitu juga waktu menjemput Isni.
Hanya ada dua alasan mendesak yang membuat anak-anak yang sedang sekolah dijemput pulang saat jam belajar. Pertama, karena ada hajatan atau pernikahan keluarga dekat. Yang kedua karena kabar yang sangat buruk. Ada keluarga yang meninggal.
Bibi Inah sudah cukup dewasa untuk bisa memahami raut wajah Paman Ron. Sepanjang perjalanan pulang Paman Ron dan Paman Jat hanya diam. “Apakah ada yang meninggal? Jangan-jangan terjadi hal yang buruk pada ayah.” Bibi Inah bertanya dalam hati. Lalu buru-buru memukul kepalanya saat pikiran buruk itu terlintas.
Sesampainya di depan gang rumahnya, Bibi Inah dan Isni kebingungan. Kenapa banyak orang dihalaman? Bejubel. Memandang dengan wajah iba. Tak sedikit dari mereka yang menangis.
“Bapaaaak….” Terdengar suara tangisan ibu memanggil-manggil bapak. Mendengar ibunya menangis, mereka segera berlari kedalam melewati tetangga yang berkerumun hampir menutupi pintu. Betapa kagetnya Bibi Inah dan Isni melihat ayahnya sudah terbujur kaku. Sontak Bibi Inah dan Isni yang masih memakai seragam berlari menghambur ke ayahnya. Keluarga yang lain berusaha untuk menghalangi namun dua anak malang itu tetap memaksa.
“Bapak sudah ga ada, nduk.” Kata ibu mereka sambil menangis sesenggukan.
“Bapaaaak….” Bibi Inah dan Isni menangis bersamaan dengan ibunya.
“Bapak jangan pergi, Pak. Nanti Isni sama siapa?” tangis Isni memanggil ayahnya pilu.
Bibi Inah yang sangat sedih memegang pundak Isni dan tangan ibunya, berusaha menguatkan. Dia sadar bahwa dia adalah anak perempuan pertama, dia harus lebih kuat dibanding adiknya bahkan ibunya yang juga sering sakit. Bahunya harus lebih keras karena dia memikul tanggungjawab untuk menjaga keluarga sepeninggal ayahnya.
Hidup berubah. Bibi Inah dan Isni harus menelan pahitnya kehidupan. Ibunya juga meninggal tak lama setelah ayahnya meninggal. Kata tetangga, ibunya tidak bisa menerima kenyataan kalau suaminya telah tiada. Dia menjadi orang yang sering murung. Karena terlalu sedih, ibunya jatuh sakit, dan akhirnya meninggal juga.
Bibi Inah tidak dapat melanjutkan sekolah karena harus bekerja. Padahal hanya butuh waktu sebentar lagi untuk menamatkan SMA. Impiannya untuk menjadi Guru SD pun dikuburnya dalam-dalam. Tak ada pilihan lain. Agar asap dapur tetap mengebul, harus ada yang mengalah salah satu.
Bibi Inah memilih bekerja di pasar menjaga warung mie ayam “Mardi” yang ramai sekali. Pembelinya seperti tidak pernah berhenti dari pagi sampai malam. Orang-orang Desa Direjo sangat suka makan mie ayam.
Kalau orang-orang di kota besar suka sekali nongkrong di cafe sambil makan atau minum kopi, orang Desa Direjo juga suka nongkrong di warung mie ayam. Makan mie ayam atau bakso sambil minum es jeruk atau es teh adalah hal yang keren dan mewah.
Bibi Inah bekerja serabutan di warung mie ayam itu. Dia menjadi pelayan, kadang menjadi koki (menata mangkuk dan isian mie ayam) tapi resep dan bumbu tetap diolah sendiri oleh Mas Mardi sang ahli pembuat mie ayam yang super lezat yang juga adalah bos Bibi Inah. Kalau sudah menjelang tutup warung, Bibi Inah akan beralih tugas menjadi tukang cuci piring sekaligus bersih-bersih. Pekerjaan yang melelahkan setiap hari dilakukan Bibi Inah agar tetap bertahan hidup dan adiknya Isni bisa tetap sekolah.
***
Tinggal di desa, menjadi yatim piatu dengan hidup yang serba susah, membuat Isni yang baru lulus SMP menerima lamaran Mas Jaman, perjaka tua berusia hampir empat puluh dua tahun. Seorang peternak kambing dan petani yang cukup sukses di Desa Direjo. Juga putra mantan Lurah yang terpandang. Hidup berkecukupan membuat Mas Jaman menjadi orang yang pemilih dalam urusan jodoh. Namun dia justru jatuh hati pada Isni yang baru lulus SMP.
Pada awalnya Bibi Inah menentang keputusan Isni. Jarak usia mereka terlalu jauh. Isni berusaha meyakinkan kakaknya bahwa usia bukanlah penghalang. Mereka saling mencintai. Mas Jaman juga masih terlihat muda untuk pria berusia empat puluh dua tahun.
Bibi Inah tak bisa lagi menghalangi keinginan adiknya yang sudah bulat. Dia akhirnya setuju dan merestui. Pernikahan Mas Jaman dan Isni pun digelar dengan meriah. Tak lama berselang, setelah menikahkan adiknya, Bibi Inah juga menikah dengan Mas Luki, teman sepermainannya waktu kecil.
Roda kehidupan berputar. Tapi putarannya sungguh membuat Isni terseok-seok. Setelah hampir dua belas tahun Isni hidup dengan tentram dan berkecukupan, Mas Jaman meninggal akibat tumor otak yang dideritanya. Selama sakit, Mas jaman harus beberapa kali melakukan operasi yang biayanya tidak sedikit. Isni harus menjual hartanya, kambing, sawah bahkan rumah yang ditinggali juga ikut terjual untuk biaya berobat Mas Jaman. Tapi kesembuhan tak kunjung datang. Setelah operasi yang ketiga Mas Jaman terus tak sadarkan diri hingga akhirnya meninggal di ruang ICU rumah sakit kabupaten.
Kini Isni sendirian, janda dengan 2 anak dan tak memiliki harta benda lagi. Anak laki-lakinya Riyan berusia 10 tahun dan Agung berusia 12 tahun menjadi anak yatim. Isni sendiri tidak biasa bekerja. Mas Jaman lah tulang punggung keluarga mereka. Namun sekarang berbeda, Mas Jaman sudah tiada sedangkan anak-anak masih kecil, butuh banyak biaya. Berbagai usaha pun dicoba Isni. Mulai dari beternak kambing, jualan kue dan menjadi pekerja serabutan di pasar, tapi penghasilannya hanya cukup untuk makan dan keperluan sehari-sehari saja.
Suatu hari badan Riyan demam, panas sekali. Isni mengompres kepalanya dan memijat lembut badan dan kaki Riyan. “Astaga Le, kakimu dingin sekali” Isni mengecek suhu badan Riyan dengan punggung tangan. “Badanmu juga panas sekali.” Riyan yang tak menjawab mulai mengigil kedinginan. Isni mulai panik. Dia ingin pergi ke mantri desa tapi uangnya tinggal lima belas ribu saja. Sedangkan besok Agung harus membeli buku. Dengan terpaksa Isni meminjam uang pada kakaknya, Bibi Inah. Entah berapa kali dia sudah meminjam uang kakaknya untuk kebutuhan sehari-hari, dan belum satupun dikembalikan.
Badan Riyan yang menggigil tiba-tiba kejang-kejang. Isni takut sekali. “Riyan, bangun nak. Kamu kenapa?” Isni yang panik memanggil-manggil Riyan. Agung yang dari tadi berada disamping ibunya menangis dan berinisiatif lari memanggil Paman Ron.
Tak lama kemudian Paman Ron datang dengan membonceng Agung. “Ya Allah Is, kenapa anakmu?” Tanya Paman Ron sedikit berteriak. “Tidak tau paman, badan Riyan panas tiba-tiba kejang.” Isni menangis sejadi-jadinya. Paman Ron lalu mengangkat tubuh Riyan dan menggendongnya ke motor bersama Isni. Bibi Inah juga datang. Dia menemani Agung dirumah. Dipeluknya Agung sambil menangis. “Nggak apa-apa Le, adikmu biar dibawa Mbah Ron dan ibumu berobat.” Agung tertunduk sambil menangis.
Riyan dibawa ke puskesmas terdekat tapi puskesmas Desa Direjo tidak buka 24 jam. Mereka pun berputar ke Mantri Hendrawan yang membuka klinik dirumahnya. Sesampainya di klinik, Riyan langsung dibawa ke IGD dan ditangani oleh Mantri Hendrawan sendiri. Riyan diberi bantuan oksigen, dipasang selang infus dan disuntik.
“Kenapa putranya, Pak?” Mantri Hendrawan memeriksa kondisi Riyan. ”Saya kakeknya, Pak. ini ibunya. Isni, kesini ditanya dokter.” Panggil Paman Ron. “Badannya panas, Pak. Sudah dua hari ini saya kompres, saya minumi air hangat tiba-tiba kakinya dingin terus kejang-kejang.” Isni sesenggukkan. “Oh, tidak apa-apa ini, Bu. Mungkin karena kelelahan, nanti dirawat dua sampai tiga hari kondisinya sudah membaik boleh pulang.” Terang Mantri Hendrawan. “Iya pak dokter” jawab Paman Ron dan Isni hampir bersamaan.
Setelah 3 hari dirawat, akhirnya Riyan diperbolehkan pulang. Bibi Inah ikut menjemput dan melunasi biaya klinik. “Uang darimana, Mbak? Aku takut nggak sanggup melunasi hutang-hutangku.” Bibi Inah dengan cepat mengalihkan perhatian. “Mbak masih ada kalung emas, kita pakai dulu untuk berobat Riyan.” Sambil mengemasi barang bawaan klinik dan obat-obat Riyan. Mata Isni berkaca-kaca. Dia memeluk kakak perempuan satu-satunya. Keluarganya yang selalu ada untuknya disaat senang maupun susah.
Kondisi Riyan semakin baik. Dia bisa bermain bersama teman-temannya seperti biasa. Tapi Isni dirundung kebingungan. Darimana dia harus mengganti uang Bibi Inah? Bagaimana pun Isni sering meminjam uang kakaknya, dan kali ini kakaknya harus menggadaikan kalung emasnya. Isni sungguh merasa bersalah.
Isni duduk termenung di teras rumah reyot yang ditempati bersama kedua anaknya. Rumah itu adalah satu-satunya harta yang tersisa. Tangannya bertopang dagu sambil melihat Riyan asyik bermain dengan teman-temannya di halaman. Bagaimana cara melunasi hutang yang kian hari kian bertambah banyak? Dengan pekerjaannya yang sekarang, sampai kapanpun hutang itu takkan pernah lunas. Dia berpikir keras. Tapi Isni hanya lulusan SMP dan dia tidak terbiasa hidup susah. Jika dia berpikir terlalu keras, kepalanya akan pusing.
Ditengah lamunan dia teringat kawan SMP yang sekarang sudah sukses. Rahayu menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hongkong. Sawah dan sepeda motor berhasil dibelinya. Bahkan dia juga telah merenovasi rumah orang tuanya dalam waktu lima tahun saja. Sepertinya enak kerja di Hongkong.
Hongkong? Negara itu terdengar familiar tapi asing. Waktu Isni sekolah, kata-kata itu sering dipakai untuk mengejek orang lain. Kalau ada teman yang merasa cantik kemudian bertanya, “aku cantik nggak? Lalu temannya akan menjawab, “cantik dari Hongkong?” kemudian mereka bergelak bersama-sama. Dia juga tau pemain film kungfu Jackie Chan berasal dari Hongkong. Selain informasi itu, Isni sama sekali tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai Hongkong.
Setelah berpikir cukup lama, Isni bertekad. Mungkin ini jalannya, keputusan harus dibuat sebelum hutang-hutang semakin menggunung. Tak ada pilihan lain. Isni yang seperti mendapat ilham dari Tuhan segera kerumah Bibi Inah untuk memberi tahu kakaknya kalau dia ingin pergi merantau ke Negeri Hongkong.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
