MAAF IBU...

4
0
Deskripsi

Tidak banyak orang yang mau meluangkan waktu untuk mendengar keluh kesah kita, apalagi selalu ada saat kita senang maupun susah. Mereka adalah salah satu berlian langka yang dihadiahkan Tuhan. Sahabat.

BAB 3: SAHABATKU, SANTO

Dua bocah SD itu, Agung dan Riyan, tak dapat menyembunyikan kesedihan saat ibunya berpamitan untuk bekerja ke luar negeri.

“Jaga diri dirumah ya, nak. Sama Bibi Inah harus nurut. Nggak boleh nakal. Ibuk kerja dulu.” Berlinangan airmata Isni sambil memeluk Agung dan Riyan.

“Ibuk cepat pulang ya.” Agung memeluk erat ibunya sambil menangis. Riyan juga memeluk ibunya tapi tidak menangis, hanya matanya sedikit sembab dan wajahnya sedikit cemberut. Entah apa yang dipikirkan anak itu.

Segala persiapan sudah lengkap, Isni berangkat naik ojek menuju ke tempat penampungan calon tenaga kerja Indonesia untuk selanjutnya akan diberangkatkan oleh penyalur. Agung, Riyan, dan Bibi Inah melambaikan tangan sampai punggung Isni tak terlihat lagi dibelokan gang. 

Riyan menangis. Agung dan Bibi Inah berusaha membesarkan hatinya. “Tidak apa-apa, Le. Tinggal disini sama bibi, sama saja sengan ibumu.” Kata Bibi Inah. Agung pun menepuk-nepuk pundak adiknya dan menenangkannya. Riyan hanya mengangguk lemah sambil menatap jalan yang dilalui ibunya, meskipun bayangannya pun sudah tak kelihatan lagi.

Mulai sore itu, Riyan dan Agung tinggal dirumah Bibi Inah bersama Paman Luki dan Ana. Riyan dan Agung tidur dalam satu kamar. Rumah Bibi Inah terlihat sederhana, namun bangunannya cukup luas. Rumah luas di desa berbentuk limasan dengan dinding kayu jati yang tidak begitu mulus karena dipahat sendiri dengan alat yang masih sederhana.

Dulu kayu jati sangat mudah dijumpai di desa-desa. Harganya pun masih relatif murah. Orang yang tinggal di Desa Direjo bahkan menjadikan tukang penebang kayu sebagai mata pencaharian, sehingga di desa-desa mudah ditemui rumah limasan yang tanahnya luas dan berdinding kayu. Khas sekali. Ditambah lagi dengan ditempatkannya meja kursi diteras rumah yang terbuat dari akar pohon jati.

Bentuk alami akar pohon jati dengan lekukan khas membuatnya menjadi estetik tanpa perlu banyak pahatan. Sebenarnya akan lebih indah jika akar jati itu dibeli polesan plitur, tapi tidak semua warga Direjo mampu untuk mengeluarkan biaya tambahan untuk mempercantik rumah mereka. Kebanyakan akar pohon jati dibiarkan saja sesuai aslinya. Hanya diberi sedikit pahatan agar memungkinkan untuk dijadikan tempat duduk.

***

Setelah ibunya berangkat, hingga malam hari menjelang makan malam Agung membereskan kamar. Merapikan baju dilemari dan keperluan sekolahnya. Dia juga membantu merapikan pakaian adiknya karena Riyan dari tadi siang terlihat murung dan enggan bermain seperti biasanya.

Di meja kayu yang dipahat tidak terlalu rapi dan dikelilingi enam kursi kayu itu, Bibi Inah sudah menyiapkan makan siang. Hari ini Bibi Inah memasak menu makan favorit keluarga dengan porsi yang lebih banyak. Ada sayur asem, bothok tempe lamtoro, tahu goreng dan masih ditambah ayam goreng kesukaan Ana, Agung, juga Riyan. Tidak lupa Bibi Inah juga menambahkan sambel tomat dengan sedikit terasi kesukaan Paman Luki.

Bibi Inah yang sibuk menyiapkan makan malam menyuruh Ana untuk memanggil kakak2nya. “Nduk, panggil Mas Agung dan Mas Riyan ya. Makan malamnya sudah siap.” “Iya, buk.” jawab Ana sambil berjalan ke kamar Agung dan Riyan. 

Ana membuka pintu kamar dan terlihat Agung hampir selesai merapikan kamar sedangkan Riyan masih berbaring memeluk guling. “Mas, makannya sudah siap. Disuruh ibuk ke ruang makan.” Agung mengangguk dan mengajak Riyan untuk segera ke meja makan. 

Ana yang periang dan suka ingin tahu selalu bertanya pada kakak-kakaknya. “Mas Riyan sakit ya? Kok dari tadi diam saja?” Riyan hanya menggeleng datar tanpa senyum. Dia tetap berjalan saja menuju meja makan bersama Agung dan Ana.

Paman Luki dan Bibi Inah yang sudah siap dimeja makan menyambut anak-anak dengan hangat.

Paman Luki     : “Sini, Le. Kita makan sama-sama. Bibimu masak enak hari ini. Paman sudah lapar, nggak sabar mau makan. Hahaha..”

Paman Luki memang orang yang humoris dan penyabar. Saat keluarga Isni mengalami kesulitan dalam merawat kambing, memperbaiki rumah atau menggarap sawah, Paman Luki akan segera datang untuk membantu. Selain Paman Ron dan Paman Jat, Paman Luki adalah saudara yang paling sering membantu keluarga Isni.

Bibi Inah         : “Sabar dulu, Pak. Anak-anak biar duduk dulu.”

Mereka makan dengan lahap, sesekali terdengar suara tawa karena tingkah lucu Ana, atau Paman Luki yang membuat candaan menghidupkan suasana meja makan. Malam itu begitu hangat, Agung dan Riyan pun merasa senang, karena meskipun ditinggal ibunya merantau, Agung dan Riyan diterima dengan baik di keluarga Bibi Inah. Ana juga sangat senang karena dia sekarang punya teman dirumah.

Setelah makan malam, anak-anak kembali ke kamar untuk belajar, sedangkan Paman Luki dan Bibi Inah ke ruang tengah untuk menyiapkan dagangan sayuran yang akan dibawa ke pasar besok pagi.

“Mas, besok aku mau main ke rumah Santo sepulang sekolah.” Riyan meminta ijin sambil memberi tahu kakaknya. ”Kamu mau mengerjakan tugas kelompok? Ijin dulu sama Bibi Inah.” Jawab Agung. Riyan hanya mengangguk.

***

“Kriiiing.. Kriiiiing” bunyi bel dua kali tanda jam belajar di sekolah SD sudah selesai. Riyan yang sudah berencana kerumah Santo segera merapikan tasnya. Dia memasukkan buku-buku dan tempat pencil dengan cepat. Dan tak lupa mengecek sapu tangan cokelat di tas depannya. “Lho, kok ngga ada.” Riyan panik.

Dia membolak balik tasnya, mengeluarkan seluruh isinya. Diperiksanya setiap saku tas, baju dan celana. Semua nihil. Riyan hampir menangis, dia lari ke toilet lalu untuk memeriksa apakah sapu tangannya jatuh disitu, namun nihil juga. Dia juga mencari di kantin sekolah. Berharap sapu tangan cokelat itu memang jatuh disana.  Namun ibu kantin yang sedari pagi berjaga disana tidak melihat sapu tangan jatuh. 

Riyan putus asa. Dia menangis, menangkupkan kedua sikunya di mata agar tak telihat orang lain. Sapu tangan cokelat itu adalah pemberian ibunya sebelum berangakat merantau. Tidak pernah tertinggal sekali pun, sapu tangan itu selalu dibawa kemana-mana. Riyan merasa bersalah, dia menangis terisak-isak.

Santo dari tadi kebingungan mencari Riyan, karena mereka sudah janjian akan kerumah Santo. Tapi tiba-tiba Riyan lari terburu-terburu saat temen-teman yang lain belum selesai merapikan tasnya. Padahal Santo ingin mengatakan sesuatu.

Mereka sudah bersahabat sejak kecil dan selalu bersama-sama. Duduk dibangku yang sama, ke kantin bersama-sama, mengerjakan tugas kelompok bersama. Pokoknya dimana ada Riyan disitu ada Santo. Mereka benar-benar tak terpisahkan.

Suatu hari saat masih kelas dua SD, Riyan memakai sepatu sekolah yang robek di bagian belakang mendapat bullyan dari kakak-kakak kelas enam. Tidak hanya diejek, kakak kelas yang nakal itu sengaja menabrak Riyan saat berjalan di halaman dan dengan sengaja menumpahkan air ke sepatu Riyan. Riyan yang terus diejek tetap diam saja, tidak mau ribut dengan kakak kelas. Tapi Santo justru pasang badan untuk sahabatnya. Dia tidak terima dan menantang kakak kelas enam yang badannya sedikit lebih besar. Hampir saja mereka berkelahi tapi Riyan buru-buru melerai dan mengajak Santo pergi.

Jika Riyan tidak membawa uang saku ke sekolah, Santo selalu meletakkan jajan tanpa berkata apapun pada Riyan. Santo adalah sahabat yang peduli. Saat ayah Riyan meninggal, Santo ikut menangis. Dia bahkan tidak mau pulang dan menemani Riyan untuk menguatkan sahabatnya. Hingga ayah Santo datang untuk menjemput dan Riyan menyuruhnya pulang, baru Santo mau pulang. Santo adalah sabahat yang selalu ada saat hari-hari terburuk Riyan.

Hari itu, dikantin sekolah, Santo melihat Riyan menangis dilantai kantin. Dia berseru memanggil sahabatnya, “Yan, astaga kamu di sini? Aku mencarimu kemana-kemana?” Riyan hanya menatap Santo sambil menangis. “Kamu cari ini, kan?” Santo menunjukkan sapu tangan cokelat milik Riyan. Riyan terhenyak, tak percaya melihat apa yang dibawa Santo. “Sapu tangan ku? Dimana kamu menemukannya, San? Aku mencarinya kemana-kemana dari tadi.” Riyan tersenyum dengan tersak-isak.

“Akuuu.. “ jawab Santo dengan bangga karena menemukan benda yang sangat berharga itu. “ tadi aku melihatnya di bunga-bunga depan ruang guru. Kok kayak tahu benda itu? Oh iya itu sapu tanganmu. Tapi aku lupa mau memberikannya, kamu sudah lari.” jelas Santo dengan santainya. ”Tadi aku memang ke ruang guru untuk menyerahkan tugas. Mungkin jatuh dari sakuku. Ya Allah, ini sapu tangan dari ibuk. Makasih ya, San. Kamu memang sabahat terbaikku”. Mereka berpelukan dan akhirnya pulang sekolah dengan gembira menuju rumah Santo seperti rencana mereka dari awal.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya MAAF IBU...
0
0
“Ibukku selalu berpesan untuk menjadi anak yang jujur. aku nggak mau Ibuk sedih,” Begitulah hal yang selalu diingat oleh Riyan. Tapi Santo terus saja membujuknya. Lalu apakah Riyan akan mengikuti Santo?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan