
Haechan dan Ryujin, dua sejoli yang tengah di mabuk asmara harus menghadapi sedikit kendala dalam hubungannya hanya karena penggemar.
Bagaimana mereka mengatasinya?
PANAH ASMARA
by Deti Mega P.
Cast:
NCT Haechan as Jung Haechan
ITZY Ryujin as Ahn Ryujin
NCT Jaemin as Kim Jaemin
ITZY Yeji as Kang Yeji
==============================================================================
Haechan membetulkan letak topi merah marun dan masker hitamnya sesaat setelah turun dari bus. Sore itu, ia akan menemui Ryujin, gadis yang sudah beberapa tahun ini mengisi relung hatinya. Mereka janji bertemu di sebuah kafe yang baru saja buka di daerah Hongdae.
Percaya atau tidak, selama menjalin hubungan mereka sama sekali tidak pernah berkencan di kafe. Namun karena kafe baru itu milik Jaemin sahabatnya, maka mereka pun memutuskan bertemu di sana.
Kim Jaemin berjanji pada Haechan dan Ryujin akan memberikan harga promo paling miring jika mereka mau berkencan di kafenya itu. Setelah berkali-kali menolak, akhirnya Haechan dan Ryujin memutuskan bertemu di kafe bernama Love Café itu hari ini.
Alasan menolak keduanya memang tidak masuk akal bagi Jaemin, karena mereka menganggap nama kafe Jaemin terlalu biasa dan terdengar menggelikan. Padahal kafe itu memang diperuntukkan bagi orang-orang untuk berkencan. Entah dari mana dia mendapatkan ide kafe dengan konsep seperti itu.
Setibanya di depan kafe, Haechan mengerutkan dahi melihat logo hati berwarna merah terang di atas bangunan dua lantai yang disertai dengan tulisan Love Café. Ia menghela napas panjang.
“Kim Jaemin apa sudah gila?!” keluhnya.
Ia memendarkan pandangannya ke arah dalam kafe. Dari tempatnya berdiri, di lantai satu terlihat ada beberapa orang pengunjung. Namun mereka terlihat tidak berpasangan, sungguh bertolak belakang dengan peruntukkan kafe yang dimaksud Jaemin.
Haechan lantas melangkah masuk ke kafe itu. Benar saja, di lantai satu kafe itu ada sekelompok mahasiswa yang tengah mengerjakan tugas. Ia melirik ke arah para mahasiswa yang tampak berdiskusi sambil tertawa-tawa itu.
“Benar, mereka mungkin hanya mengejar promonya saja!” gumamnya kemudian.
“Selamat datang! Ada yang perlu dibantu?” seorang pelayan wanita menyapanya dengan ramah.
“Ah, tidak! Teman saya sudah ada di atas,” jawabnya kemudian.
Pelayan itu tersenyum. “Baik, silakan!” ia mengarahkan tangannya ke arah tangga.
Haechan tersenyum dari balik maskernya dan mengangguk. Ia lantas menaiki satu per satu anak tangga yang ditunjukkan pelayan tadi. Ketika sampai di tangga terakhir, ia langsung disambut logo hati yang tadi dilihatnya dari bawah. Rooftop yang dijadikan lantai dua kafe itu tampak sepi, hanya ada tiga meja yang terisi oleh pengunjung.
Salah satu meja yang berada paling ujung tampak diduduki oleh sepasang laki-laki dan perempuan. Mereka duduk berhadapan dan tampak tertawa-tawa riang gembira di sela-sela obrolannya. Haechan menghela napas panjang. Ia lantas membuka masker dan topinya sembari berjalan mendekati dua orang itu.
“Ya Kim Jaemin!” panggilnya sambil menyibakkan rambut seolah merapikannya.
Dua orang itu, Jaemin dan Ryujin langsung menghentikan aktivitasnya. Jaemin menoleh sesaat setelah mendengar panggilan itu.
“Ya, Haechan-ah! Kenapa kau lama sekali?” protes Jaemin kemudian sambil menepuk meja pelan.
Haechan tidak menjawab gerutuan Jaemin. Matanya hanya tertuju pada satu titik yang begitu manis, senyuman lembut, dan tatapan mata Ryujin yang berkilau. Seulas senyum yang terbingkai di bibir tipis Haechan secara spontan muncul seolah mengekspresikan kekagumannya terhadap pemandangan indah dihadapannya itu.
Lelaki itu lalu duduk disamping Ryujin. Ia langsung menyandarkan kepalanya di bahu Ryujin dengan manja hingga membuat gadis itu membelalakan mata terkejut.
“Ya, kamu kenapa?” Ryujin heran tapi tak bisa menahan tawanya.
“Aku lelah!” katanya sambil menutup mata sejenak.
Ryujin tersenyum lagi. Ia lantas menepuk-nepuk kepala Haechan perlahan.
Melihat kelakuan sahabatnya itu, Jaemin hanya menyunggingkan bibirnya kesal. “Cham! Lihat-lihat orang ini! Manja sekali!” gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
“Sepertinya Jaemin kesal!” bisik Ryujin kemudian ke arah telinga Haechan.
Haechan lantas membuka mata dan melihat Jaemin yang ada di hadapannya. Bibir lelaki itu masih menyungging kesal sambil menatap Haechan.
“Jangan melihatku begitu, ketampananmu jadi hilang!” kata Haechan kemudian masih di posisi yang sama.
“Hah! Dasar bucin!” protes Jaemin lagi.
Haechan lantas mengangkat kepalanya dari bahu Ryujin. Ia kembali menyibakkan rambut. “Ya, bukankah kau membuat kafe ini supaya orang yang berkencan bisa seperti itu? Aku hanya menyesuaikan dengan konsep kafemu, Love Café!” balas Haechan.
Mendengar penjelasan Haechan, senyum Ryujin kembali melebar. Namun wajah Jaemin semakin kesal dibuatnya.
“Ya tapi tidak di depan mukaku juga!” katanya.
“Lho, justru bagus! Kau kan pemiliknya, jadi kau bisa melihat tipe-tipe pengunjung yang berkencan di kafemu ini!” Haechan beralasan.
“Ah, sudah-sudah! Aku pergi saja!” Jaemin bangkit dari duduknya.
“Ya sudah pergi sana! Bukannya dari tadi!”
Bibir Jaemin kembali menyungging. “Baiklah, nikmati waktu kalian di sini dengan nyaman! Kalau mau pesan, tinggal tulis di tablet itu ya!” katanya sambil menunjukkan tablet yang ada di meja.
“Oke, makasih ya!” sahut Ryujin.
Jaemin tersenyum dan mengangguk. Ia lantas pergi seraya melambaikan tangan ke arah Ryujin yang dibalas ramah oleh gadis itu.
“Sudah, jangan layani dia!” tegur Haechan kemudian sambil menepis tangan Ryujin yang melambai kepada Jaemin. Ia lalu memberi kode dengan tangannya kepada Jaemin untuk cepat pergi. Jaemin hanya bisa mendesis kesal.
“Kamu kenapa sih?” tanya Ryujin kemudian di sisa-sisa tawa kecilnya yang tak berhenti sejak tadi.
“Enggak!” Haechan menggeleng cepat. “Aaaahh, aku kangen banget!” katanya lagi sambil memeluk Ryujin cepat ke dekapannya.
Ryujin tak dapat menghindar. Sejujurnya, ia juga sangat merindukan lelaki ini. Ia membalas pelukan Haechan dengan erat. Ia seolah tak peduli dengan pandangan orang sekitar kepadanya, toh, di sini tidak banyak orang juga, mereka juga tak akan memperhatikan. “Aku juga!” balas Ryujin kemudian dengan suara pelan tertahan.
“Maafin aku ya!” kata Haechan.
“Kenapa?” tanya Ryujin masih dalam pelukannya.
“Baru sekarang bisa ketemu,” jawabnya.
Perlahan Ryujin melepas pelukan Haechan. Ia menatap lelaki itu. Tatapannya masih menyejukkan baginya, tapi ia juga bisa sangat jelas melihat kelelahan di sana. Seperti yang dikatakannya tadi.
Ryujin tersenyum. “Memang sudah seharusnya begitu, tidak apa-apa. Aku tidak masalah,” katanya.
Haechan diam sejenak, kemudian ia tersenyum. “Syukurlah! Terima kasih, Ryujin-ah!” katanya. “Baiklah, kalau begitu ayo kita pesan makan!” sambungnya.
“Ayo!” Ryujin setuju.
Haechan lantas segera mengecek tablet yang ditunjuk Jaemin tadi untuk memesan makanan. Ia melihat berbagai menu yang muncul di sana. “Wow, Kim Jaemin, dari mana dia dapat menu-menu ini?” katanya terkagum.
Ryujin hanya tersenyum mendengar celoteh Haechan kepada sahabatnya itu. Kadang memuji, memojokkan, memuji lagi, kesal, mengeluh, memuji lagi, terus berulang.
Namun, Ryujin baru merasakan ada yang aneh setelah melihat topi dan masker Haechan yang tergeletak di meja.
“Tumben pakai topi dan masker, ada yang ngenalin kamu ya di jalan?” tanya Ryujin kemudian.
“Oh? Ah, nggak, lagi pengen aja. Aku belum keramas dan ya, lagi males aja orang-orang pada lihat aku di bus,” jawabnya sambil sibuk memilah-milah menu.
Ryujin melipat mulutnya. Ia menghela napas panjang hingga membuat Haechan menoleh padanya.
“Kenapa?” tanya Haechan.
“Berat ya?” ia balik bertanya.
“Apanya?”
Ryujin diam. Ia menatap Haechan lekat dan lalu tersenyum. “Enggak!” katanya sambil menggeleng.
Haechan balas tersenyum, secara spontan ia langsung mengacak-acak rambut Ryujin perlahan. “Gemasnyaaa…” katanya. “Kamu mau pesan apa?” ia kembali ke tablet yang sedari tadi dikulitinya.
Ryujin kemudian mencondongkan sedikit tubuhnya untuk turut melihat ke tablet itu. “Hmm apa ya?”
Keduanya lantas berdiskusi menentukan menu yang akan mereka pilih.
***
Selang setengah jam, Ryujin dan Haechan telah menyelesaikan makannya. Kini di mejanya tinggal tersisa minuman.
“Enak juga makanan Jaemin! Dari mana dia dapat resep untuk kafenya ini?” gumam Haechan tak habis pikir.
“Dari orangtuanya!” jawab Ryujin.
“Oh? Kamu tahu?” tanyanya heran.
“Tadi Jaemin cerita. Semua menu di sini resep dari orangtuanya. Selain makanan, semuanya dia yang handle,” kata Ryujin lagi.
Tiba-tiba saja air muka Haechan sedikit berubah. Ia menganguk-angguk pelan. Sepertinya Ryujin lebih tahu banyak tentang usaha sahabatnya ini dibanding dirinya. Mengobrol sedalam apa mereka tadi sampai Ryujin tahu banyak tentang kafe ini?
“Selama enggak ketemu aku, kamu sempat ketemu Jaemin?” telisiknya.
“Hmm… sempat. Sekitar tiga kali lah,” kata Ryujin tanpa ragu.
“Sengaja ketemu?” Haechan masih menginterogasi.
“Sekali iya, dua kalinya enggak sengaja!”
Haechan diam. Tiba-tiba saja ia berpikir yang tidak-tidak. Mengapa Ryujin tak memberitahunya kalau sempat bertemu Jaemin? Bahkan mereka sampai janjian bertemu. Begitu pun Jaemin, orang itu tak pernah menyinggung bahwa dia bertemu Ryujin saat kekasihnya itu tak bisa bertemu dengannya.
Selama ini, jika mereka bertemu pasti selalu diketahuinya. Mereka juga secara sukarela memberitahunya baik itu bertemu sengaja atau tidak. Namun mengapa saat ini tidak?
Haechan penasaran sekali. Ia ingin langsung bertanya lebih jauh tentang pertemuan Ryujin dan Jaemin yang tak diketahuinya. Namun jika Ryujin terus dicecar, pasti dia akan menganggapnya yang lain-lain.
“Oh ya? Ketemu di mana?”
“Di dekat sini kok, sebelum kafe ini buka.”
Haechan menghela napas, ia mengangguk-angguk. Pikirnya, biarlah nanti ia menanyakan soal ini. Rasanya, ia perlu menanyakannya dulu kepada Jaemin sebelum kepada Ryujin lebih jauh.
“Hmm.. tadi itu, maksudmu apa?” tanya Haechan kemudian mencoba mengalihkan topik.
“Hm? Apa?” Ryujin balik bertanya.
Tanpa menjawab, Haechan melirik topi dan maskernya yang masih tergeletak seperti tadi di meja. Seolah tersambung, mata Ryujin turut beralih pada kedua benda itu.
“Ah… hmm.. kukira, kamu tidak mau dilihat banyak orang. Sekarang kan, orang-orang sudah banyak mengenalmu,” katanya sedikit hati-hati.
“Tidak ada yang berubah kok! Aku juga tidak takut dilihat banyak orang,” jawab Haechan pasti
Mendengar jawaban Haechan, Ryujin mengangguk-angguk sambil mengulum senyum.
“Kamu takut ya?”
“Hmm… bukan takut, aku justru mengkhwatirkanmu.”
Haechan tersenyum. “Itu sama saja. Kamu tenang saja, aku baik-baik saja dan tidak akan ada yang berubah di antara kita. Aku pastikan itu!” ia lantas meraih tangan Ryujin dan menggenggamnya erat.
Tiga Bulan Lalu..
Di pertengahan masa kuliahnya, Haechan telah berhasil menjadi atlet panah di pelatnas. Sudah sejak dua tahun lalu ia juga masuk tim nasional untuk berlaga di beberapa ajang. Saat itu keberuntungan belum berpihak padanya, karena dia hanya berperan sebagai atlet cadangan.
Tentu saja Haechan tak patah semangat. Ia tahu semua ini memang tak mudah dilaluinya. Dibalik keceriaannya setiap hari, ia terus berusaha memberikan yang terbaik kepada orang-orang di sekitarnya.
Semangat dan perjuangan Haechan kian membara setelah Ryujin hadir di kehidupannya. Pertemuannya dengan gadis itu tak sengaja dan terjadi jauh sebelum ia masuk pelatnas hingga akhirnya ia berhasil meluluhkan hati Ryujin ketika pertengahan tahun di pelatnas dan backstreet selama dua tahun. Baru setahun belakangan ia go public, itu pun hanya kepada orang-orang terdekat.
Kerja keras Haechan tidak sia-sia, ia akhirnya terpilih sebagai atlet utama dalam kejuaraan dunia di Italia yang digelar baru-baru ini. Bahkan ia berhasil membawa pulang medali emas. Cara bermainnya yang luar biasa telah meninggalkan kesan yang berbeda bagi kebanyakan atlet. Haechan, selalu melayangkan busur panah dengan kedua matanya yang terbuka secara tepat sasaran. Ciri khasnya yang banyak diperbincangkan.
Ia pun dielu-elukan, wajahnya muncul di mana-mana, di semua media selalu ada Haechan. Ia juga ditawari menghadiri sejumlah acara variety show dan menjadi bintang iklan. Pengikutnya di Instagram melonjak hanya dalam beberapa hari. Haechan benar-benar langsung menjadi buah bibir.
Ryujin mencoba menelepon Haechan lagi. Namun sejak siang, lelaki itu tidak menjawab telepon dan chat-nya. Ryujin tahu hari ini Haechan memiliki jadwal padat untuk syuting iklan dan siaran radio pada malam harinya.
Sudah hampir sebulan setelah Haechan mencetak sejarah, tetapi sampai hari itu dia masih sibuk melayani undangan di luar bidangnya. Baru kali ini pula Ryujin kesulitan menghubungi lelaki itu.
Ia menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke sofa sembari terus menatap ponselnya. Jarinya bergerak membuka laman mesin pencari dan perlahan mengetik nama Jung Haechan di sana. Tak sampai satu detik, berbagai artikel yang memuat foto Haechan memegang bunga dan medali di kejuaraan kemarin muncul. Adapula yang memuat foto saat Haechan tengah serius membidik target di kejuaraan itu, dan beberapa foto lainnya.
“Jung Haechan, Pemanah Kesayangan Warga Korea yang Baru.”
“Jung Haechan, Selamatkan Korea di Final Kejuaran Dunia Memanah.”
“Bunga untuk Jung Haechan dari Klub Penggemar.”
Demikian beberapa judul artikel yang muncul di laman itu.
“Mwoya?! Ada klub penggemar? Maksudnya klub penggemar dia atau bagaimana?” gumamnya kemudian dan mengklik tautan berita itu. Selang tiga menit, ia selesai membaca artikel itu dan tiba-tiba ada panggilan masuk ke ponselnya. Haechanie. “Yeoboseyo?” sapanya kemudian.
“Oh, maaf aku baru sempat buka HP,” katanya tanpa basa-basi.
“Sibuk sekali ya hari ini?” tanya Ryujin kemudian.
“Begitulah. Ini setengah jam lagi aku on air di radio,” jawabnya.
“Sudah makan?”
“Sudah. Ternyata mereka kasih nasi kotak. Ah, kamu udah makan juga?”
“Belum, sebentar lagi. Aku di rumah sendiri, jadi paling nanti pesan antar aja.”
“Lho, Mama Papa ke mana?”
“Lagi ke rumah nenek sampai besok.”
“Yah, kamu di rumah bener-bener sendirian? Ajak Yeji nginep deh! Aku telepon dia ya buat nemenin kamu!” Haechan terdengar panik.
“Eh, enggak usah! Aku enggak apa-apa kok, di rumah aman. Lagian udah biasa.”
“Enggak-enggak, kamu.. Eh, aku udah dipanggil, nanti aku telepon lagi ya kalau udah selesai,” Haechan tak menyelesaikan kalimat pertamanya dan buru-buru menutup ponselnya.
Ryujin menghela napas. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Entah mengapa ia punya perasaan tidak enak dengan kesibukan Haechan belakangan ini. Dari sejak dia pulang dari Italia, Ryujin baru sekali bertemu Haechan. Sisanya, Haechan sibuk dengan jadwal di luar kesibukannya memanah.
Selang beberapa menit kemudian, nyaris saja Ryujin tertidur di sofa yang sedari tadi didudukinya. Namun hal itu tidak terjadi setelah bel rumahnya berbunyi cukup brutal dan mengejutkanya. Ryujin terperanjat seraya bangkit, ia lantas mengecek monitor. Ia terkejut ketika monitor itu menampilkan Yeji yang sedang tersenyum ke arah kamera.
“Yeji?!” gumamnya. Ryujin pun langsung berjalan ke arah pintu untuk membukanya. “Ya, ada apa?” tanya Ryujin sesaat setelah ia membuka pintu.
“Aku diutus Prince Haechan untuk menemani Princess Ryujin yang sendirian di rumah. Aku juga membawa makan malam, ayam goreng!” Yeji mengangkat bungkusan yang ada di tangannya sambil tersenyum.
Tanpa ragu-ragu, Yeji langsung masuk dan membuka sepatunya. “Tadi dia telepon aku dan bilang kalau kamu sendiri di rumah. Dia tanya, kalau aku nginep nemenin kamu bisa enggak?” Yeji langsung menerangkan sebelum Ryujin bertanya.
“Terus kamu jawab bisa?” tanya Ryujin sembari mengikutinya dari belakang.
“Kalau enggak bisa, mana mungkin sekarang aku ada di sini. DIa juga minta sekalian belikan makan malam buatmu. Dia langsung transfer uangnya untuk langsung dibelikan,” kata Yeji lagi.
Ryujin melongo. Ia tak bisa berkata-kata. Sampai sebegitunya kah Haechan mengkhawatirkannya? Padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini, karena memang dia tak pernah mengatakannya pada Haechan jika sedang sendirian di rumah.
“Kalian masih belum sempat ketemu ya? Dia masih sibuk?” tanya Yeji kemudian sambil membuka ayam goreng yang dibawanya.
“Dia bahkan belum sempat libur. Waktu liburnya dipakai kesibukannya sekarang, bahkan sudah hampir habis,” keluh Ryujin kemudian.
Yeji melirik sahabatnya itu, tampak kesedihan muncul di wajah manis Ryujin. “Kamu belum ketemu dia sejak itu?”
“Ketemu sekali doang, habis itu sampai sekarang belum ketemu lagi,” katanya.
“Ya ampun kasihan banget, pasti kamu sakit karena rindu ya? Ya sudah, ayo kita makan dulu saja! Tenang, selama tidak ada Haechan, aku akan menemanimu!” kata Yeji sambil tersenyum.
***
Setelah selesai makan di kafe Jaemin, Haechan dan Ryujin lantas pergi ke bioskop untuk menonton film. Mereka datang ke bioskop dengan cepat dan aman, usai melakukan sedikit paksaan kepada Jaemin agar mengantarkannya.
“Jaemin-ah, kalau tidak keberatan, nanti jemput kami 2 jam lagi ya!” kata Haechan tanpa tedeng aling-aling sesaat setelah turun dari BMW yang dikendarai sahabatnya itu.
“Kalau begitu, bayar 10 juta per setengah jam!” kata Jaemin dari balik kemudi.
“Hah! Ya sudah sana pergi!” Haechan ngambek. Ia langsung meraih tangan Ryujin dan meninggalkan Jaemin yang masih kesal dengan permintaan Haechan tadi.
Ryujin yang terkejut karena tiba-tiba ditarik Haechan, merasa tak enak hati kepada Jaemin. Ia menengok ke arah Jaemin dengan tatapan khawatir. Sementara Jaemin langsung menutup jendela mobilnya dan pergi dari sana.
“Kamu enggak marah beneran kan sama Jaemin?” tanya Ryujin kemudian.
“Bukannya aku udah biasa kayak gitu sama dia?” Haechan balik bertanya. Ia masih menggenggam tangan Ryujin.
“Ah.. iya…” kata Ryujin pelan. Ia terus mengikuti langkah Haechan hingga akhirnya mereka tiba di bioskop yang tidak terlalu jauh dari pintu masuk tadi.
Mereka langsung berjalan ke arah mesin pencetak tiket yang tidak terlalu ramai dan mencetak tiket film yang sudah mereka beli secara online. Tangan Ryujin dengan cekatan memasukkan kode booking tiket yang disebutkan Haechan dari ponselnya.
“Rasanya kode ini familiar!” gumam Haechan setelah selesai menyebutkannya.
“Masa sih? Memangnya kode booking begini bisa sama?” tanya Ryujin sambil menekan tombol print yang muncul di monitor mesin.
“Entahlah!” kata Haechan sambil terus memperhatikan beberapa angka dan huruf yang ditampilkan di ponselnya. “Ah coba lihat, kodenya HL054R4n99v3R. Kurasa ini ada artinya dan memang spesial untuk kita!” katanya lagi sambil menunjukkan ponselnya kepada Ryujin.
Ryujin melihatnya dengan seksama. Ia tampak mengernyitkan dahi. Pikirnya, itu hanya angka dan huruf acak saja, tidak mungkin ada arti yang spesial apalagi untuknya dan Haechan. “Apa artinya?” katanya bingung.
“H artinya Haechan. L0 dibaca lo, 54R4n99 dibaca sarang, v3 dibaca ve, R artinya Ryujin. Jadi, Haechani love sarang Ryujini,” katanya.
Ryujin membelalakan mata. Mulutnya menganga tak percaya. Ia lantas tertawa tanpa suara. Ia tak habis pikir Haechan bisa menganggap kode itu berarti demikian. “Kau ini bisa saja!” katanya menahan tawa.
“Tapi benar kan? Coba lihat?! Ini ditakdirkan untuk kita! Hubungan kita didukung semesta!” kata Haechan lagi memastikan.
Ryujin benar-benar tak bisa menahan tawanya. Ia menutup mulut agar tawanya tak lepas. Haechan mulai ikut tertawa perlahan. “Kenapa? Aku benar kan?” tanyanya sambil menyenggol tangan Ryujin.
“Kenapa kamu bisa kepikiran begitu?” Ryujin tak tahan ingin tertawa.
“Spontan saja. Lihat, HL05…”
“EHEMM!!” tiba-tiba suara seseorang dari belakang memotong kalimat Haechan sekaligus tawa tertahan Ryujin. Ternyata sudah ada yang antre untuk menggunakan mesin itu.
Keduanya tersentak dan sempat menengok ke belakang sebentar. Ryujin dengan cepat segera mengambil tiket film yang sudah keluar dan lantas mereka pergi sambil meminta maaf kepada orang itu. Sembari pergi, keduanya masih menertawakan kode booking familiar yang disebutkan Haechan.
Selang 30 menit kemudian, Haechan dan Ryujin sudah berada di dalam bioskop. Enam puluh menit mereka habiskan bersama dengan menonton film Spiderman terbaru sambil menikmati pop corn dan cola.
Rasanya sudah lama keduanya tidak merasakan saat-saat berdua seperti ini. Terakhir kali menonton ke bioskop sekitar setahun lalu. Saat itu mereka menonton film Spiderman bagian pertama di bioskop yang sama. Namun tentu saja tanpa drama kode booking familiar klaim Haechan.
“Kamu lapar enggak? Kita makan yuk!” kata Haechan sesaat setelah mereka keluar bioskop.
“Kamu lapar lagi?”
“Kamu belum lapar lagi ya? Hmm.. ya udah, kita minum kopi aja kalo gitu! Kita ke coffee shop di dekat sini!”
“Lho, kalo lapar ya makan dong, masa minum kopi? Enggak apa-apa kamu makan, aku nemenin aja sambil minum.”
“Enggak-enggak, kita minum kopi aja! Aku makan shortcake aja, di coffee shop itu shortcake-nya enak lho! Aku pernah makan bareng Jaemin di situ. Udah gak apa-apa, aku juga gak lapar-lapar banget kok! Yuk! Kamu pasti seneng deh kalo ke situ! Yuk!” Haechan langsung menggenggam tangan Ryujin tanpa ragu.
Sebuah shortcake berlumuran krim putih yang dihiasi beberapa butir strawberi segar tersaji di meja Ryujin dan Haechan. Keduanya menikmati kue itu sepiring berdua sambil mengobrol santai dan tertawa-tawa.
“Nanti bulan September kamu bisa enggak kosongin waktu 3 hari?” tanya Haechan kemudian.
“September?”
“Hmm!” Haechan mengangguk sambil menyendok lagi kuenya.
“Hmm.. bukannya itu pas kamu ke Jepang? Ada pertandingan di Jepang kan?” Ryujin balik bertanya.
“Iya. Maksudku, kamu ikut aku ke sana. Tiga hari terakhir aku di sana, kamu nyusul aku. Kita liburan bareng!”
“Liburan bareng?”
“Hmm! Kenapa? Enggak mau?”
“Ah, bukan.. tapi, gimana caranya aku bisa kosongin waktu 3 hari?” Ryujin tampak bingung.
“Ya cuti sayaaang..” Ryujin diam sejenak sampai akhirnya ia tersenyum dan tertawa kecil sampai membuat Haechan bingung. “Kenapa?” tanyanya.
“Enggak.. kamu lucu!” Ryujin masih tertawa kecil.
Haechan terkekeh. “Kamu ini, kan aku memang lucu!” kata Haechan.
Ryujin mengangguk-angguk. Ia jadi gemas sendiri.
“Bisa kan cuti aja? Kamu kan enggak pernah cuti selama ini, masa enggak diizinin?”
“Iya nanti aku coba ajukan.”
Seulas senyum terbingkai di bibir Haechan. “Gitu dong! Yang kamu butuhkan cuma waktu kosong, semua urusan tiket dan lain-lain serahkan padaku saja!” katanya.
Ryujin hanya bisa menatap Haechan.
Usai menikmati shortcake sepiring berdua di kafe itu. Haechan dan Ryujin yang baru berjalan beberapa langkah meninggalkan kafe tiba-tiba dihampiri tiga orang anak SMA. Mereka mengaku sebagai penggemar Haechan dan ingin berfoto dengannya.
“Oppa, aku penggemar barumu! Aku tidak menyangka bisa melihatmu, bolehkah aku berfoto denganmu?” tanya salah satu dari mereka yang disetujui kedua temannya.
Haechan sempat bingung sebelum akhirnya mengiyakan permintaan ketiga orang itu. Mereka berfoto dengan Haechan secara bergantian. Ryujin pun harus sedikit mundur dan menjauh dari mereka memberi ruang.
“Ah, kita foto bertiga yuk! Oppa, boleh kan kami foto bertiga?” tanya anak itu lagi.
“Oh, iya, boleh-boleh!” kata Haechan mengiyakan lagi.
“Eonni, bisa minta tolong fotokan kami?” anak itu menyerahkan ponselnya kepada Ryujin.
“Oh, tentu!” Ryujin dengan ramah turut mengiyakan dan membantu memotret mereka bersama Haechan.
“Gomawo!” ujar mereka kemudian dengan riang dan segera pergi meninggalkan keduanya sambil terus berteriak dan berseru melihat ponsel mereka.
Haechan dan Ryujin memperhatikan kepergian mereka sembari menghela napas lega.
“Ah, jadi sekarang aku harus bersiap-siap dengan keadaan seperti ini!” kata Ryujin kemudian sambil tertawa kecil.
Haechan merajuk, ia menggembungkan pipinya merasa bersalah. “Ah, mianhae!” katanya sambil meraih tangan Ryujin.
“Eh, enggak apa-apa. Aku tinggal beradaptasi aja. Ini bukan masalah. Selama mereka enggak ganggu kamu,” kata Ryujin.
“Aku…”
“Haechan-Haechan! Itu Jung Haechan! Jung Haechaaaan!” tiba-tiba sekelompok orang berlari mendekati mereka sembari berteriak.
Haechan dan Ryujin terkejut melihat orang-orang itu. Mereka bahkan tak sempat berlari, orang-orang itu terlanjur mengerubungi Haechan dan memintanya foto bersama. Jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi cukup membuat Haechan kewalahan meski mereka bergantian meminta foto.
Ryujin kembali mundur. Ia hanya bisa menunggu Haechan selesai berfoto. Meski begitu, ia juga bisa melihat Haechan yang merasa tak enak padanya. Padahal ia tak mempermasalahkannya. Ia akan menunggu, bahkan jika penggemar Haechan membutuhkannya, ia akan membantu.
Selang lima menit kemudian, Haechan berhasil keluar dari kerumunan orang itu dan berjalan dengan wajah yang merasa bersalah lagi.
“Ayo cepat pergi!” ajaknya kemudian sambil menggenggam tangan Ryujin dan menariknya kuat. Ia mengajak Ryujin setengah berlari demi menghindari pertemuan dadakan lagi dengan penggemar.
***
“Kamu sempet ketemu Ryujin ya pas aku lagi sibuk kemarin?” tanya Haechan malam itu ketika ia berkunjung ke apartemen Jaemin.
Jaemin yang tengah mengupas apel menghentikan kegiatannya. Ia melihat Haechan yang memasang wajah serius di hadapannya. “Iya, kenapa?” Jaemin menjawab sekaligus bertanya sembari melanjutkan mengupas apel.
Haechan menghela napas panjang. “Aku bingung harus bagaimana,” keluhnya.
“Kau mencurigaiku? Hei, aku tidak akan merebut Ryujin darimu!” kata Jaemin memastikan sambil menyimpan pisau yang sedari tadi dipegangnya. Ia juga langsung mengunyah apel yang dikupasnya.
“Benar kan? Pasti tidak akan begitu!” kata Haechan.
“Iya lah! Kalau Ryujin suka padaku…”
“Hei, hei, hei! Micheosseo?!” Haechan melempar bantal ke arah Jaemin.
“Makanya kau jangan berlebihan! Kau seperti tidak mengenalku saja?! Kau tahu apa yang kubicarakan dengan Ryujin saat bertemu? Telingaku sampai mengeluarkan busa bertuliskan Haechan Haechan Haechan Haechan Haechan Haechan saking seringnya dia menyebut namamu dan menceritakan tentangmu. Aku rindu Haechan, aku kangen Haechan, aku cinta Haechan, kapan aku bertemu dengannya? Kapan dia membalas pesanku? Kapan dia meneleponku? Kapan dia pulang? Haaahh… pusing aku mendengarnya!” Jaemin mengacak-acak rambutnya.
Haechan melirik Jaemin. Ia lalu mengubah posisi duduknya semakin menghadap Jaemin dengan tegak lurus. “Benarkah dia begitu?” tanyanya.
Jaemin mendelik. “Benarkah dia begitu?!” ia meniru kalimat dan cara bicara Haechan saking kesalnya. “Dia bucin sama kamu! Sama saja kamu juga begitu kan ke dia?! Setiap bertemu denganku selalu saja membahas Ryujin Ryujin Ryujin Ryujin Ryujin,” Jaemin sedikit ngegas.
Haechan kini tersenyum. “Panah asmaraku ke dia menancap kuat ya?! Hihihi..” gumamnya.
Mendengar kalimat itu, Jaemin merasa geli. Ia langsung mengelus-elus kedua tangannya. Bulu kuduknya bahkan sempat berdiri hingga membuatnya bergidik.
“Oh iya, aku akan mengajaknya ke Jepang bulan September nanti!”
“Benarkah? Bagus lah, ajak dia jalan-jalan. Jangan kau saja sendiri yang pergi!” kata Jaemin.
“Ya, aku pergi kan untuk bekerja bukan untuk jalan-jalan!”
“Aku tahuu! Makanya mengajak dia pergi juga keputusan yang bagus! Dan.. ah iya, apa dia tidak mengeluhkan tentang penggemarmu?” tanya Jaemin kemudian.
Haechan sedikit terkesiap. “Penggemarku? Kenapa?”
“Ah, kau ini! Penggemarmu kan tidak tahu kau punya pacar!”
“Memangnya kenapa?” tanya Haechan lagi.
“Ya, jangan sampai mereka tahu! Kalau pun tahu, jangan sampai mereka tahu kalau itu Ryujin!”
Haechan diam. Apakah selama ini Ryujin pernah mendapatkan perlakuan aneh dari penggemarnya? Mengapa ia tidak menyadarinya? Padahal ia tahu kalau kini ia sudah punya penggemar meskipun itu membuatnya sedikit tak nyaman.
“Hmm.. tapi aku tidak peduli. Aku tidak akan menutupi atau membukanya. Penggemarku baik-baik kok! Setiap kali pergi ke luar pun, aku tidak akan menutup diri,” katanya.
“Ya terserah saja, aku hanya memberitahu!” kata Jaemin santai.
Haechan melirik Jaemin yang mulai menyandarkan tubuhnya di sofa. Bagaimana pun, ucapan Jaemin membuatnya sedikit kepikiran. Ia jadi ingat kejadian tadi siang.
“Ya Jaemin-ah, apa Ryujin pernah cerita padamu kalau dia diganggu atau terganggu dengan penggemarku?”
“Hm?”
***
Malam itu juga, secara tiba-tiba Haechan datang ke rumah Ryujin tanpa pemberitahuan. Ketika lelaki itu ada di depan pintu rumah, tentu saja Ryujin sangat terkejut. Gadis itu segera membukakan pintu dengan ekspresi keterkejutannya.
“Ya, ada apa? Kenapa kau datang ke sini?” tanyanya beberapa saat setelah pintu terbuka.
Haechan langsung memeluk Ryujin tanpa ragu hingga membuat gadis itu semakin bertanya-tanya. Pelukan Haechan padanya sangat kuat seolah tak ingin kehilangan. Ryujin hanya diam, ia membiarkan Haechan memeluknya. Ia bahkan membalasnya meski tak seemosional Haechan.
Setelah pelukan Haechan sedikit mengendur, barulah Ryujin bergerak dan melepaskan tubuhnya. Ia menatap Haechan. “Kau baik-baik saja?” tanyanya kemudian.
“Justru itu yang harus kutanyakan padamu,” katanya.
“Hm?” Ryujin sedikit bingung. “Aku baik-baik saja. Kenapa?”
Haechan menghela napas sambil memeluknya lagi. “Maafkan aku Ryujin-ah! Aku berjanji akan melindungimu dan tidak akan melepaskanmu!” katanya.
Ryujin yang kembali ke dekapannya hanya bisa diam lagi dan mengiyakan dengan bergumam. Ia masih belum mengerti dengan sikap Haechan.
Sejurus kemudian, Haechan sudah berada di dalam rumah Ryujin yang sepi. Dia duduk sembari menyesap Americano panas yang disajikan Ryujin untuknya.
“Kalau orangtuaku ada, kau bisa didenda memelukku tiba-tiba begitu!” kata Ryujin membuka percakapan.
“Ah iya, untung saja. Karena aku tidak menyiapkan apapun untuk membayar denda. Aku juga belum menyapanya dengan benar sebagai pacarmu. Syukurlah mereka sedang tidak ada!” katanya.
Ryujin tertawa mendesis. “Ada apa? Kau kenapa?” tanyanya kemudian.
Haechan menghela napas. “Apa selama ini kau merasa terganggu dengan penggemarku? Tidak hanya kejadian seperti tadi, tapi mungkin hal-hal atau situasi saat kau bertemu dengan penggemarku tanpa mereka tahu siapa kau,” katanya.
Ryujin menyudutkan matanya ke atas, berpikir. “Aku memang belum terbiasa. Kejadian tadi, sejujurnya yang pertama kalinya. Memang sedikit shock, tapi sepertinya aku sudah tahu apa yang akan kulakukan kalau nanti begitu lagi. Aku malah khawatir akan ada yang mengunggah foto kita dan membicarakanmu. Di luar itu, aku bisa menanganinya dan tidak merasa terganggu,” katanya.
“Kalau ada yang mengunggah foto kita? Kenapa kau khawatir? Itu bagus, biar semua orang tahu kalau aku sudah ada yang punya!” ujar Haechan tenang.
Ryujin mendesis lagi. “Apa kau tidak takut ditinggalkan penggemarmu?”
“Aku lebih takut ditinggalkan kamu!”
Mata Ryujin menyipit dan ia terkekeh. “Maksudku, nanti itu bisa berpengaruh pada kariermu!”
“Kenapa begitu? Memangnya aku atlet dan punya pacar adalah suatu kesalahan? Aku juga manusia sama seperti mereka. Aku tidak akan mendengarkan mereka! Lagipula, aku bersamamu sejak sebelum aku begini. Kita sudah backstreet dua tahun, kalau sekarang terekspos ke seluruh dunia pun aku tidak peduli!” kata Haechan sedikit emosional.
Ryujin mengangguk-angguk. “Jangan khawatirkan aku karena penggemarmu, aku tidak apa-apa! Sekalipun hubungan kita diketahui penggemarmu, aku tidak akan menyerah. Yang penting, kau terus berlatih dan berprestasi. Pasti ada masanya menang dan kalah, tapi jangan patah semangat. Dalam keadaan apapun, aku akan tetap ada di sampingmu!” katanya.
Entah mengapa mendengar kalimat itu Haechan merasa tenang. “Jika suatu hari hubungan kita diketahui penggemarku, kau harus siap! Hubungan pribadi seorang atlet tidak sesensitif artis kok, tenang saja!” katanya.
Ryujin hanya tersenyum. Haechan menatap wajah gadis itu lekat. Senyumannya benar-benar menggetarkan hatinya. Ia merasa gemas, tapi saat ini yang bisa dilakukannya hanya menatap Ryujin sembari merasakan ribuan panah asmara yang terus menancap di hatinya.
Sedang begitu, tiba-tiba suara bel rumah berbunyi mengejutkan mereka.
Kkeut~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
