It's My Fault (11-20)

0
0
Deskripsi

Konten ini berisi Chapter 11-20 (11 Chapter sekaligus) dari cerita “It's My Fault” (Tahun penulisan 2021)

Untuk cerita selengkapnya tersedia juga dalam versi Ebook yang diterbitkan oleh penerbit Eternity Publishing https://play.google.com/store/books/details/Dessy_Albakin_It_s_My_Fault?id=zMlKEAAAQBAJ


Chapter 11

Atas dasar apa iri pada kebahagiaan orang lain?

Aldrine pun menuruti permintaan Ghea untuk melupakan kejadian beberapa tahun silam sesuai permintaannya. Aldrine tidak pernah lagi meminta Ghea mengantarkan berkas apapun ke ruangannya. Pak Harry sendiri lah yang akan mengantarnya seperti sedia kala.

Untuk meeting mingguan dengan para jajaran direksi dan para kepala divisi pun, Aldrine tidak lagi meminta Ghea untuk ikut serta di dalamnya.

Ghea merasa senang karena pada akhirnya ia bisa kembali fokus dengan pekerjaannya tanpa gangguan Aldrine namun ada sesuatu dalam dirinya yang merasa kehilangan pada hal sia-sia yang biasa ia lakukan di ruangan Aldrine.

“Ghe, kok gue ngerasa aneh ya sama sikapnya Pak Aldrine belakangan ini. Dia kaya cuek gitu sama lo?” celetuk Ines yang duduk disebelah Ghea.

“Masa sih? Gue nggak pernah merhatiin,” jawab Ghea sekenanya. Ia malah bersyukur Aldrine seperti ini.

“Bukannya itu bagus Nes, itu artinya Ghea bukan bibit calon pelakor dan Pak Aldrine kembali profesional sebagai atasan.” Puteri menimpali dan mendukung situasi ini.

“Ghe, apa jangan-jangan Pak Aldrine kaya gini karena udah lo tolak cintanya?” kekeh Dita yang langsung mendapat delikan tajam dari Ghea. Aldrine mencintainya? Ya mungkin saja tapi dalam mimpi.

“Lo udah nggak disuruh nganter berkas ke ruangannya, lo nggak disuruh bikin kopi lagi, lo nggak disuruh ikut meeting mingguan lagi. Apa Pak Aldrine udah tobat kali ya, dia sadar bahwa yang dia lakuin itu unfaedah?” Ines terlihat berpikir.

“Udah ah bodo amat. Entar kupingnya dia panas lo, diomongin mulu,” protes Dita. Padahal dia sendiri selalu terlibat dalam perbincangan unfaedah mengenai Aldrine.

Ghea tersenyum menanggapinya. “Lebih baik kita pikirin entar siang enaknya makan dimana selain di kantin.”

“Nah. Gue setuju,” sahut Puteri karena dia juga sudah merasa lapar.

Kemudian satu persatu dari mereka pun mengusulkan tempat untuk makan siang nanti. Mereka membicarakannya sambil mengerjakan pekerjaan masing-masing meski Pak Harry sedang tidak berada di ruangannya tapi mereka tetap bertanggung jawab dengan pekerjaan yang harus diselesaikan.

***

Tok!! Tok!! Tok!!

“Masuk.” Aldrine mempersilahkan tamu nya itu masuk yang tak lain adalah Gisel. Sebelum ke kantor Gisel sudah menelpon dan menanyakan apa yang ingin Aldrine makan siang ini dan Gisel pun membuatnya khusus untuk Aldrine.

Belakangan ini Gisel merasa Aldrine sedang tidak baik-baik saja. Seperti ada yang tengah pria itu pikirkan.

Setelah bertegur sapa dan berbasa-basi dengan suaminya, Gisel pun menyajikan bekal makan siang yang ia bawa di meja sambil sesekali curi-curi pandang melirik Aldrine yang terlihat berbeda.

“Al, apa kau sedang ada masalah?” tanya Gisel. Belakangan ini ia sering melihat Aldrine melamun seperti ini entah sedang memikirkan apa.

Aldrine menghela nafas. “Tidak ada. Aku hanya merindukan keluargaku terutama Mama,” balas Aldrine seraya menghampiri istrinya.

“Kau merindukan keluargamu? Bagaimana kalau minggu depan kita—”

“Ke Sumba,” potong Aldrine, “Ya minggu depan kita memang harus ke sana bahkan Papa terus menelpon mengingatkan ku,” lanjutnya lagi.

“Apa ada acara keluarga di sana?”

“Kamu lupa? Mama ulang tahun dan kita harus membantu Papa memberikan surprise padanya,” jawab Aldrine lalu mulai menyendok lauk pauk ke dalam piringnya.

Gisel terlihat antusias. “Aku harus segera membeli kado untuk Mama.”

Aldrine menyunggingkan senyum. “Masih banyak waktu untuk membelinya.”

Gisel membalas senyum Aldrine. “Ahh Aku sudah sangat merindukan Mama dan Celine,” ucapnya menutup perbincangan dan memperhatikan Aldrine yang tengah menikmati santap siang buatannya.

***

Tiba di ruangannya, Ghea tertegun setelah menyelesaikan urusannya di lantai dasar. Saat sedang menunggu lift tadi, ia berpapasan dengan Aldrine dan menyapa Aldrine ramah seperti karyawan lainnya namun Aldrine mengabaikannya. Ghea merasa sesuatu di dalam dirinya merasa tak rela saat Aldrine mengabaikannya seperti tadi. Membalas sapaannya pun tidak. Aldrine hanya fokus berbincang-bincang perihal bisnis dengan Devan.

Bukankah ini yang Ghea inginkan? Bahkan ia sendiri yang meminta pada Aldrine untuk melupakannya. Lalu kenapa sekarang Ghea merasa kecewa atas sikap Aldrine?

Ingat Ghea, status Aldrine bukan lagi pria single. Dia sudah milik Bu Gisel. Jangan menjadi duri diantara hubungan mereka. Apa kau tega menyakiti hati wanita sebaik Bu Gisel! monolog Ghea dalam hati.

***

Baik itu di rumah, di kantor bahkan ketika sedang meeting berlangsung pun, ucapan Ghea selalu terngiang-ngiang di telinganya.

“Saya harap Pak Aldrine juga melupakannya apalagi kini status Pak Aldrine adalah suami Bu Gisel.”

Tanpa diingatkan pun Aldrine sadar dengan statusnya.

“Saya serius dengan ucapan-ucapan saya di hotel tadi, Pak Aldrine. Setelah ini, anggap saja kita tidak pernah bertemu di masa lalu. Saya harap Pak Aldrine juga melupakannya, sama seperti saya.”

Jika boleh jujur, hingga detik ini pun Aldrine tidak bisa melupakan kejadian yang terjadi beberapa tahun silam meski ia sudah mencobanya. Semakin ia menjauh dari Ghea dan melupakan Ghea, justru ia semakin mengingatnya.

Saat tengah fokus mengemudikan mobilnya untuk pulang menuju rumahnya, ekor mata Aldrine menangkap sesuatu.

Diseberang jalan sana, Ghea tengah berteduh di halte bus. Cuaca Jakarta hari ini memang sedang tidak bersahabat, sejak pagi hingga sore hari Jakarta diguyur hujan yang lumayan lebat.

Aldrine mencoba mengabaikannya seperti yang ia lakukan beberapa hari belakang ini di kantor toh lama-lama ia juga akan terbiasa tanpa Ghea yang bukan siapa-siapa baginya.

Bukankah ini yang Ghea inginkan? Aldrine hanya mengikuti kemauan Ghea saja. Namun saat tiba diujung jalan dan Aldrine melihat rambu tanda putar balik, Aldrine pun memutar stir mobilnya menuju tempat Ghea berada.

Tiba di halte, Aldrine tidak langsung turun. Ia memperhatikan Ghea dari dalam mobilnya. Ghea tidak hanya sendirian saja berteduh di sana, ada dua orang wanita lainnya juga.

Ghea merutuki dirinya sendiri yang lupa membawa jas hujan padahal musim penghujan sudah tiba. Saat keluar kantor tadi cuma gerimis kecil namun makin kesini hujannya semakin lebat. Ghea bahkan menolak tawaran Ines untuk pulang bersama dengannya menggunakan mobil.

Ya... diantara mereka berempat, Ines memang berasal dari keluarga berada namun kadangkala Ines juga sering ke kantor menggunakan sepeda motor.

Sepuluh menit berlalu. Sudah cukup rasanya Aldrine memperhatikan Ghea dalam diam. Aldrine pun memutuskan untuk keluar dari mobilnya menghampiri Ghea namun Ghea masih tak menyadari kehadirannya.

“Hai Ghea.”

Ghea menoleh. “Pak Aldrine,” kaget Ghea. Untuk apa Aldrine menemuinya di halte bus? Bagaimana jika ada yang melihat mereka mengobrol berdua seperti ini?

Aldrine sudah berdiri di sebelah Ghea yang memiliki tinggi hanya sebatas dadanya saja. Ghea tidak terlalu pendek dan tidak tinggi juga, pas untuk seukuran wanita Asia. Hanya saja Aldrine lah yang terlalu tinggi.

“Apa kau butuh tumpangan?” tawar Aldrine dan ia berharap Ghea mengatakan ‘ya.’

Ghea menggeleng tanpa ada keraguan. “Tidak Pak. Saya yakin sebentar lagi hujannya akan reda. Saya juga tidak ingin merepotkan Bapak.”

“Kau tidak merepot...” Aldrine menjeda ucapannya karena bersamaan dengan itu, ponsel Ghea di dalam tasnya berdering cukup keras.

Ghea pun merogoh tas nya dan tersenyum saat melihat nama si penelpon adalah nama Ayahnya.

Aldrine kembali mengamati Ghea dalam diam.

“Halo...”

Terdengar suara tangisan Alea ditelpon.

“Alea kenapa nangis sayang?” tanya Ghea khawatir.

“Mama kok belum sampai rumah? Alea takut. Geludug nya gede-gede disini.”  jelas Alea sambil menangis membuat Ghea tidak tega dan ingin segera memeluknya.

“Mama lagi neduh di halte dulu sayang. Setelah hujannya reda Mama akan langsung...”

Terdengar suara tangisan Alea lagi.

“Alea berhenti ya nangisnya nanti Mama beliin Alea es krim. Alea mau berapa es krim nya? Mau rasa apa?” bujuk Ghea agar Alea berhenti menangis. Sebenarnya Ghea sangat melarang Alea mengkonsumsi jajanan yang manis-manis. Hal itu Ghea lakukan deni kesehatan gigi Alea.

“Yeaay... Alea boleh makan es krim Ma?”

“Kali ini saja nggak apa-apa asalkan Alea berhenti nangisnya. Alea mau rasa apa?”

Aldrine tersenyum getir mendengar percakapan Ghea dan putrinya di telpon. Ghea terlihat begitu mencintai putrinya.

“Strawberry dan coklat.”

“Alea mau berapa es krimnya, satu atau dua?”

“Empat Ma. Alea dua, Kakek juga dua.”

Ghea terlihat berpikir. Hujan-hujan begini ia malah menjanjikan membeli es krim untuk Alea. Tapi tidak apa-apa asalkan Alea berhenti menangis apapun akan Ghea turuti.

“Asalkan nangisnya udahan Mama pulang pasti bawa es krim. Kalau begitu Mama tutup ya.”

Ghea pun mengakhiri sambungan telponnya lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling tanpa menatap Aldrine yang sejak tadi memperhatikannya.

Lima menit berlalu. Hujannya pun tak kunjung reda. Ghea juga sudah merasa tidak nyaman berada di dekat Aldrine lebih lama. Ghea yakin hujannya akan lama berhentinya, bisa-bisa sampai malam hari. Ghea tidak ingin putrinya terlalu lama menunggu kepulangannya.

“Pak Aldrine saya duluan,” pamit Ghea membuat Aldrine agak kaget.

“Ghea ini masih hujan, kau bisa sakit.”

“Anak saya nangis Pak karena takut geludug. Saat ini dia membutuhkan saya,” jelas Ghea sambil mengenakan helm nya kembali.

Ghea pun melangkah menuju motor scoopy-nya yang terparkir di bahu jalan dan menyalakan mesin motornya. Setelah itu Ghea berlalu dari sana meninggalkan Aldrine yang masih terpaku ditempatnya, memperhatikannya hingga Ghea semakin menjauh dan terlihat lagi.

Aldrine tersenyum getir. Ghea terlihat sangat menyayangi putrinya sampai ia rela pulang hujan-hujanan dan menolak tawaran darinya.

Aldrine yakin Ghea juga sangat mencintai suaminya sama seperti Ghea mencintai putrinya. Wajar saja mereka saling mencintai dan saling menyayangi sebagai keluarga karena itu mereka menikah dan Alea lahir diantara mereka, tapi apa hubungannya dengannya? Bukankah Aldrine juga sudah berkeluarga dan memiliki seorang istri, lalu atas dasar apa ia iri pada kebahagiaan orang lain apalagi pada keluarga wanita yang baru dikenalnya?
 

_____________

 

Chapter 12

Jatuh hati di pertemuan pertama

Aldrine tengah sibuk mempelajari berkas yang Devan berikan padanya. Saat akan meminum minuman hangat dari cangkir dihadapannya yang tadi dibuatkan staff office boy, ternyata cangkirnya sudah kosong.

Tatapan Aldrine pun beralih pada meja bar. Entah kenapa ia merindukan Ghea. Ralat! bukan merindukan Ghea tapi merindukan kopi buatan Ghea. Biasanya di jam-jam seperti ini Ghea akan datang hanya untuk membuatkan kopi untuknya.

Aldrine melangkahkan kakinya menuju meja bar. Semenjak Ghea tidak lagi datang ke ruangannya, baru hari ini Aldrine menginjakkan kakinya di meja bar lagi.

Aldrine pun meracik kopinya sendiri seperti sedia kala sebelum Ghea yang melakukannya. Sesekali sekelebat bayangan Ghea yang tengah meracik kopi melintas dipikirannya.

“Apa yang kau cari Ghea?”

“Saya... mencari kopi yang akan saya seduh.”

“Bukan kopi seperti itu yang aku inginkan.”

Aldrine tersenyum samar kala teringat pertama kali dirinya meminta Ghea membuatkan kopi untuknya.

“Perhatikan dengan seksama Ghea, karena setelah ini aku hanya ingin minum kopi jika kau yang membuatnya.”

Aldrine pun membuktikan ucapannya karena hingga saat ini ia tidak lagi minum kopi saat di kantor. Staff office boy hanya akan membawakannya teh hangat atau air putih saja.

Selesai dengan racikan kopinya, entah kenapa rasa kopinya terasa berbeda, tidak seperti buatan Ghea meski takarannya sama, kualitas biji kopi yang Aldrine gunakan juga sama. Padahal Aldrine sendiri lah yang mengajari Ghea caranya meracik kopi dengan mesin kopi.

Dengan memberanikan diri, Aldrine menghubungi Pak Harry hanya untuk meminta Ghea ke ruangannya, membuatkan kopi untuknya.

“Selamat sore Pak Aldrine, ada yang bisa saya bantu?”

“Sore Pak Harry. Bisakah Ghea ke ruangan saya, ada hal yang ingin saya—”

“Mohon maaf Pak Aldrine, sudah dua hari Ghea tidak masuk. Dia sakit.”

“Apa?” kaget Aldrine. “Baik. Terima kasih informasinya Pak Harry.”

Aldrine pun mengakhiri sambungan telponnya. Aldrine yakin Ghea sakit akibat hujan-hujanan tempo hari.

***

Aldrine tiba di bahu jalan di depan rumah sederhana milik Ghea. Ia melirik parcel buah yang ia letakkan di jok sisi sebelahnya.

Setelah mengetahui Ghea sakit, tanpa pikir panjang Aldrine langsung keluar dari kantor dan menuju toko buah-buahan segar, membelikan buah untuk Ghea. Ya, ia melakukannya sendiri tanpa bantuan sekretarisnya atau asisten lainnya.

Aldrine menghela nafas, ia tak mengerti ada apa dengan dirinya? Kenapa ia begitu panik saat mengetahui Ghea jatuh sakit?

Dengan membawa parcel buah berukuran sedang, Aldrine pun keluar dari mobilnya lalu melangkahkan kakinya menuju rumah sederhana milik keluarga Ghea. Aldrine mengabaikan tatapan aneh penuh tanya dari para tetangga Ghea saat melihat dirinya turun dari mobil sportnya.

Aldrine membuka sepatu kerjanya sebelum menginjakkan kakinya di teras rumah lalu mengetuk pintunya.

Tak lama pintu terbuka. Aldrine melihat seorang pria paruh baya mungkin seusia Papanya dan juga gadis kecil nan menggemaskan keluar dari dalam.

Pria paruh baya itu mengamati penampilan Aldrine dari atas ke bawah yang terlihat rapi dengan pakaian kantor ala eksekutif muda pada umumnya.

“Maaf, Mr. mencari siapa disini?” tanya pria paruh baya itu pada Aldrine. Ia ragu apakah pria dihadapannya ini bisa berbahasa Indonesia.

“Saya—”

“Kakek, apa Om ini Papa Alea? Apa Papa Alea udah kembali dari pekerjaannya?” tanya Alea antusias setelah melihat Aldrine yang terlihat begitu necis dengan pakaian kerjanya. Alea hanya menerka-nerka. Sedari kecil ia tidak tahu menahu wajah Ayahnya seperti apa. Ghea hanya beralasan bahwa Ayah Alea tidak suka di foto karena itu Ghea tak memiliki satupun fotonya.

Aldrine tersenyum hangat pada Alea. Ternyata gadis kecil ini sangat cantik dilihat dari jarak sedekat ini.

“Saya Aldrine, rekan kerja Ghea. Saya bermaksud menjenguk Ghea yang sedang sakit,” jelas Aldrine memberitahukan maksud kedatangannya dengan menutupi jabatannya.

“Ah begitu.” Benny pun mengulurkan tangannya. Syukurlah, ternyata pria asing itu mahir berbahasa Indonesia. “Saya Benny, Ayahnya Ghea.”

Keduanya pun saling berkenalan dan berjabat tangan. Aldrine pun memberikan parcel buahnya pada Benny.

“Silahkan masuk dan duduk dulu nak Aldrine, saya kasih tahu Ghea dulu,” ucap Benny lalu melangkah ke kamar Ghea.

Sepeninggal Benny, Aldrine berjongkok mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Alea lalu mengulurkan tangannya pada Alea yang masih memperhatikannya.

“Aldrine.” Aldrine memperkenalkan namanya pada Alea.

Alea tersenyum ramah. “Alea Anastasya. Om Aldrine bisa panggil Alea saja” balasnya lalu membalas jabatan tangan Aldrine.

Aldrine merasa ada gelenyar aneh dalam dirinya saat bersentuhan dengan Alea. Aldrine merasa ia seperti sudah lama sekali mengenal Alea apalagi saat ia menatap sorot mata Alea.

Wajah gadis kecil itu terlihat begitu familiar. Ya, tentu saja karena Alea sangat mirip sekali dengan Ghea. Matanya, hidungnya, kulit putihnya bahkan pipi chubby nya.

“Memang Papa Alea kerja dimana?” tanya Aldrine berbasa-basi.

“Mama bilang Papa kerja ditempat yang jauh sekali. Kalau di Jakarta siang berarti di tempat Papa malam. Dan saat ini Papa pasti sudah bobo,” jawab Alea dengan segala kepolosannya.

Aldrine terkekeh pelan mendengarnya. Aldrine menyimpulkan bahwa suami Ghea bekerja di luar negeri.

Aldrine mencubit gemas kedua pipi Alea. “Kau sangat menggemaskan dan juga cantik sama seperti Ma—”

“Sore Pak Aldrine,” sapa Ghea ramah. “Silahkan duduk.”

“Sore Ghea.” Aldrine bangkit masih dengan menggenggam tangan Alea. Aldrine membawa Alea untuk duduk di sofa bersamanya.

Ghea tertegun melihat genggaman tangan Aldrine dan Alea. Ghea tak pernah melihat Alea mudah sekali akrab dengan orang asing yang baru dikenalnya seperti ini.

“Silahkan diminum teh nya Nak Aldrine,” ucap Benny sembari meletakkan teh hangat di meja di hadapan Aldrine.

“Alea, ikut sama kakek dulu ya,” pinta Ghea lembut sembari menghampiri Alea.

Alea menggeleng. “Alea mau disini sama Om Aldrine,” ucapnya antusias.

Aldrine tersenyum seraya menatap Ghea yang sepertinya tidak suka pada kedekatan mereka.

“Alea, ada yang Mama ingin bicarakan sama Om Aldrine dan itu urusan orang dewasa. Jadi Alea sama Kakek dulu ya,” bujuk Ghea lagi.

“Setelah ini Om Aldrine janji akan menemani Alea bermain, bagaimana?” tawar Aldrine lalu mengulurkan jari kelingkingnya pada Alea.

“Pak Aldrine,” protes Ghea tak suka.

Alea tersenyum lebar lalu menautkan jari kelingkingnya dengan Aldrine. Alea pun mengikuti Benny ke belakang.

Entah kenapa Aldrine merasa hatinya terasa hangat saat melihat Alea tersenyum. Aldrine senang melihat senyuman Alea yang menular padanya.

“Bapak seharusnya tidak menjanjikan hal yang tidak bisa Bapak penuhi pada Alea karena Alea tipikal anak yang selalu menagih janjinya jika belum ditepati,” jelas Ghea sembari mendudukkan dirinya di sofa.

“Sepertinya aku menyukai Alea pada pandangan pertama. Dia lucu, cantik dan menggemaskan. Aku menyukainya Ghea,” gumam Aldrine membuat Ghea tersentak kaget. Secepat itukah Aldrine menyukai Alea? Apa karena...

Tatapan mata Aldrine beralih pada foto dalam figura yang berjejer rapi di dinding yang kebanyakan adalah foto Alea. Ada juga beberapa foto Ghea dan Ayahnya.

Aldrine memicingkan matanya sekali lagi melihat foto-foto tersebut. Ia tak menemukan foto suami Ghea atau pun foto pernikahan Ghea.

“Aku dengar dari Pak Harry, kamu sakit karena itu aku datang menjenguk mu.”

“Terima kasih dan maaf sudah merepotkan Bapak.” Ghea merasa tidak enak hati. Aldrine sampai repot-repot datang menjenguknya segala.

“Ghea, aku sama sekali tidak merasa direpotkan.” Aldrine tak suka mendengar Ghea berkata demikian. “Sepertinya kau juga sudah membaik?”

“Ya seperti yang Bapak lihat. Besok saya akan kembali bekerja,” jawab Ghea sekenanya.

“Ghea, jika diluar kantor seperti ini panggil Aldrine saja, tidak usah pakai embel-embel Bapak segala,” perintah Aldrine penuh ketegasan.

“Maaf, saya rasa itu kurang sopan,” dalih Ghea.

Aldrine menghela nafas. Ghea terlihat seperti tidak menyukainya. Seharusnya Aldrine juga tak perlu terlalu mempedulikan Ghea toh tanggapan wanita itu padanya begitu dingin, tapi sungguh Aldrine tidak bisa melakukannya. Semakin Aldrine ingin melupakannya, ia malah semakin mengingatnya.

“Aku dengar dari Alea, Papa nya bekerja di luar negeri.”

Ghea terlihat berpikir. “Ya, benar.”

“Ghea berapa usia Alea?”

Sejujurnya Ghea semakin merasa tak nyaman mengobrol dengan Aldrine apalagi kini Aldrine mulai menanyakan urusan pribadinya, lagi.

“Kenapa Bapak menanyakan hal itu?” tanya Ghea heran. Bukan hak Aldrine untuk mengetahui ranah pribadinya.

“Hanya ingin tahu saja.”

Ghea termangu.

Sejujurnya keduanya sudah merasa canggung satu sama lain berada di situasi ini. Aldrine tidak tahu harus menanyakan hal apa lagi pada Ghea. Saat ia menanyakan urusan pribadi, Ghea seolah enggan terbuka padanya. Wajar saja mereka memang tidak memiliki hubungan apapun selain hubungan antara atasan dan bawahan saja.

Tak lama Alea pun datang menghampiri Aldrine dengan membawa beberapa boneka barbie miliknya.

“Mama ngobrolnya udahan kan sama Om Aldrine?” tanya Alea sembari menggenggam tangan Aldrine.

“Alea, Mama masih—”

“Sudah,” potong Aldrine cepat. “Alea mau Om temenin main nya?” tawar Aldrine membuat Alea senang.

Alea mengangguk antusias.

“Pak... jika Alea merepotkan, Bapak bisa pulang saja.” Ghea merasa tidak enak hati. Aldrine pasti sangat sibuk dan tidak bisa berlama-lama meninggalkan kantor.

Aldrine menggeleng merasa tidak keberatan.

Alea pun membawa Aldrine ke ruang tengah, ruangan khusus tempat bersantai, menonton televisi dan tempat bermain Alea.

Akhirnya Ghea pun membiarkannya saja. Karena masih merasa sedikit pusing dan Ghea juga tidak ingin terlalu dekat dengan Aldrine yang malah terus menerus menanyakan urusan pribadinya, Ghea pun berlalu ke kamarnya, membiarkan Alea dan Aldrine bermain berdua.

***

“Eh, gue nggak salah lihat kan Ghe?” tanya Puteri sambil mengucek-ucek matanya.

“Ada angin apaan dia ke rumah lo terus main sama Alea, Ghe?” Ines juga penasaran.

“Dia jengukin gue dari sore. Dia tahu gue sakit dari Pak Harry,” jawab Ghea membuat ketiga sahabatnya agak kaget. Atasan seperti Aldrine menjenguk bawahan seperti Ghea? Ini cukup mencurigakan. Pasti ada udang dibalik batu. Dan ini juga sudah lewat dari jam tujuh malam tapi Aldrine masih betah di sini, hanya menemani Alea bermain tanpa merasa jenuh.

“Dia juga tadi makan malam disini, Alea yang ngajakin,” jelas Ghea.

Lagi, membuat ketiga sahabatnya kaget.

“Gue yakin di mata dia, lo bukan sekedar karyawan biasa.” Dita berspekulasi dengan apa yang dilihatnya selama ini.

“Dit, jangan berlebihan. Dia cuma jengukin gue doang nggak lebih dari itu,” bantah Ghea tak suka.

“Dicariin Bu Gisel nggak tuh?” celetuk Ines.

Ghea mengendikkan bahunya acuh. Ia tidak banyak mengobrol dengan Aldrine malah terkesan mengabaikan Aldrine dan berharap agar secepatnya Aldrine segera pulang.

“Gue udah ajakin Alea buat tidur supaya Pak Aldrine pulang tapi Alea nolak. Dia bilang lagi seru main sama Om Aldrine,” jelas Ghea lagi.

“Emang ya pesona Pak Aldrine itu magic dan kuat banget. Alea, sekecil itu aja bisa terpikat sama pesonanya Pak Aldrine padahal mereka baru ketemu hari ini loh,” ujar Dita.

“Andai Pak Aldrine belum menikah, gue bakalan pelet dia biar naksir sama gue,” ucap Puteri yang langsung dilempari bantal oleh Ines dan Dita.

Ghea terkekeh pelan menanggapinya. Ada saja hal yang dilakukan ketiga sahabatnya yang selalu saja membuatnya tertawa dan hal itu pun menjadi hiburan tersendiri baginya.

Kini mereka tengah mengobrol di kamar Ghea yang letaknya ada dibelakang, tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu dekat dari ruang tengah tempat Aldrine dan Alea berada. Mereka juga mengobrol sangat pelan, khawatir Aldrine akan mendengar obrolan mereka.

Sejak Ghea sakit hampir setiap hari setelah mereka pulang dari kantor, mereka selalu datang mengunjungi Ghea dan akan berakhir dengan obrolan konyol seperti ini, terkadang mereka sampai lupa waktu karena terlalu larut dalam obrolan.

***

Ghea keluar dari kamarnya untuk mengecek Alea. Ghea yakin Benny sudah tidur lebih dulu.

Ghea terkejut saat tiba diruang tengah ia melihat Alea tidur dalam dekapan Aldrine. Padahal mereka baru bertemu hari ini tapi Alea bisa langsung sedekat ini dengan Aldrine dan Aldrine terlihat tidak merasa keberatan sama sekali.

“Ghea dimana kamarnya Alea?” tanya Aldrine pada Ghea yang mematung di tempatnya.

“Biar saya saja yang menggendongnya.”

“Tunjukkan saja yang mana kamarnya, Ghea,” pinta Aldrine.

“Alea tidur sama saya,” jelas Ghea lalu menunjukkan kamarnya pada Aldrine.

Puteri, Ines dan Dita menganga tak percaya bahwa yang mereka lihat di kamar Ghea sedang membaringkan tubuh Alea adalah Aldrine, CEO ditempatnya bekerja. Ingin rasanya mereka bertukar posisi dengan Alea sebentar saja agar bisa dipeluk dan digendong oleh Aldrine.

Tanpa sepengetahuan Ghea dan ketiga sahabatnya, Aldrine curi-curi pandang mengamati kamar Ghea. Aldrine heran karena tak ada satupun foto suami Ghea atau pun foto pernikahan mereka terdapat di sana. Aldrine hanya penasaran seperti apa rupa suami yang Ghea cintai itu. Apa lebih tampan darinya atau sebaliknya?

Setelah itu Aldrine pun berpamitan dan pulang lebih dulu.

Ghea dan yang lainnya mengantar Aldrine sampai teras depan sebagai rasa hormat mereka.

Setelah itu Ghea mengajak ketiga sahabatnya makan malam bersama dan pembahasan di meja makan pun sesekali kembali membicarakan Aldrine. Topik perbincangan mengenai Aldrine itu lah membuat Ghea jengah.

***

Aldrine tersenyum lebar saat kembali teringat pada celotehan-celotehan Alea tadi. Entah kenapa ia senang dan tidak merasa bosan ketika bermain bersama Alea.

Aldrine heran, sebenarnya ada apa dengan dirinya yang mudah sekali akrab dengan gadis kecil itu? Gadis kecil yang merupakan putri Ghea dan suaminya.

Aldrine senang melihat wajah menggemaskan Alea, senyuman Alea dan tawa bahagia Alea. Sepertinya besok, lusa dan seterusnya Aldrine akan sering datang ke rumah Ghea bukan untuk menemui Ghea melainkan menemui Alea yang sudah membuatnya jatuh hati di pertemuan pertama mereka.

Ghea bersikap begitu dingin padanya tapi tidak dengan Alea. Alea begitu hangat padanya seolah mereka sudah lama saling mengenal. Entah kenapa saat Aldrine bersama Alea, Aldrine merasa ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuat ia menyayangi gadis kecil itu meski ini adalah pertemuan pertama mereka.

 

___________

 

Chapter 13

Aku merindukan kalian berdua

Hari-hari berikutnya sepulang Aldrine dari kantor, ia selalu menyempatkan diri untuk menemui Alea dan bermain bersamanya. Aldrine datang tidak dengan tangan kosong, ia selalu membawa paper bag yang berisi mainan untuk Alea. Membuat Alea tersenyum senang ada kepuasan tersendiri di bagi Aldrine. Entah kenapa semakin sering Aldrine bertemu Alea, rasa sayang Aldrine padanya kian bertambah.

Ghea pernah meminta Aldrine agar jangan terlalu memanjakan Alea dengan membelikan mainan yang ia minta. Ghea merasa tidak enak pada Aldrine apalagi Aldrine rutin menemui Alea. Ketiga sahabatnya pun sudah tahu akan hal ini.

Sedangkan Benny malah sebaliknya, ia senang karena Alea mendapatkan teman baru. Benny menerima Aldrine dengan tangan terbuka. Benny yakin Aldrine adalah pria yang baik.

Aldrine baru akan pulang ke rumahnya saat Alea tidur. Berulang seperti itu terus setiap harinya. Aldrine bahkan meminta ijin pada Alea bahwa untuk dua hari ke depan ia tidak bisa menemani Alea bermain karena ada urusan di luar kota untuk memberikan kejutan ulang tahun pada Karin, Mama tercintanya.

***

Saat Aldrine akan pulang dan menyalakan mesin mobilnya, ponselnya berdering. Aldrine tersenyum melihat nama si penelpon yang tak lain adalah Gisel.

"Hai... Aku baru akan pulang."

"Belakangan ini kau selalu pulang malam, tumben sekali, apa kau lembur?"

"Tidak. Aku hanya mengunjungi seseorang."

"Seseorang?"

"Ya, kapan-kapan aku akan menceritakannya padamu," jawab Aldrine. Belum saatnya Gisel tahu akan hal ini.

"Al aku akan pulang larut. Biasa lah, party bersama teman-teman lama."

"Oke, no problem. Ingat bahwa besok pagi kita akan berangkat ke Sumba. Jadi jangan minum berlebihan."

Terdengar kekehan Gisel dari seberang telpon.

"Apa kau ingin bergabung?"

"Tidak untuk malam ini, aku sangat lelah," tolak Aldrine.

"Baiklah, Aldrine suamiku."

Setelah mengobrol sebentar dengan Gisel via telpon, Aldrine pun mengakhiri sambungan telponnya.

Saat Aldrine akan melajukan mobilnya, ia teringat akan sesuatu.

Aldrine kembali menelpon seseorang. Pada deringan ketiga, orang tersebut menerima panggilan darinya.

"Apa kabar Pak bos? Lama tak menghubungiku."

"Kabar ku baik tak kurang suatu apapun." Aldrine tersenyum penuh arti, "Max... aku butuh bantuan mu."

"Bantuan seperti apa Pak bos?"

"Aku akan kirim foto wanita itu padamu. Kau cari tahu segala hal tentang wanita itu terlebih suaminya."

"Oke, lalu kapan—"

"Besok pagi aku akan ke luar kota. Aku beri kau waktu dua hari untuk menyelesaikannya. Ingat Max berikan datanya secara detail padaku."

"Siap Pak bos."

Aldrine mengakhiri sambungan telponnya. Entah kenapa ia merasa penasaran sekali pada sosok suami Ghea. Beberapa hari ini ia sering berkunjung ke rumah Ghea hanya untuk menemani Alea bermain dan Aldrine yakin sekali bahwa tidak ada satupun foto suami Ghea atau apapun yang berhubungan dengan suaminya terdapat di sana.

Aldrine juga merasa aneh pada sikap Ghea saat Aldrine menanyakan perihal suaminya. Aldrine merasa ada sesuatu yang sengaja Ghea sembunyikan, karena itu Aldrine memilih cara ini untuk mengobati rasa penasaran dalam dirinya dengan bantuan Maxim, orang kepercayaannya yang menurutnya paling bisa diandalkan.

***

Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur

Surprise...

Karin terkejut saat mendapatkan kejutan dari putra-putri tercintanya dan juga kedua menantunya. Di sana juga hadir kedua orang tua Karin yang merupakan Kakek dan Nenek dari Aldrine, Bagas dan Dewi.

Karin menitikkan air mata bahagianya. Mereka kembali berkumpul bersama dalam rangka merayakan ulang tahunnya.

Dengan kompak mereka pun menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Karin yang tanpa henti menitikkan air mata bahagianya dalam pelukan Axel, suami tercintanya.

Aldrine, Karel dan juga Celine masing-masing membawa kue ulang tahun dan terdapat lilin angka di setiap kue nya.

"Mama, make a wish dulu sebelum meniup lilinnya," ucap Celine antusias.

Karin memejamkan matanya membuat harapan yang hanya ia dan Tuhan yang tahu. Karin pun meniup lilinnya satu persatu hingga lilinnya padam.

Putra putrinya dan menantunya bergantian memeluk Karin dan mengucapkan selamat padanya.

Tiba saatnya giliran Aldrine.

"Selamat ulang tahun Ma. Al sangat mencintai Mama," ucap Aldrine sembari memeluk Karin lalu mengecup pipi Karin.

"Mama juga mencintaimu Al," jawab Karin sembari menepuk-nepuk punggung Aldrine.

Aldrine melepaskan pelukannya. "Semua ini adalah rencana Papa," ucap Aldrine seraya tersenyum hangat.

Karin menoleh ke arah Axel dan tersenyum padanya.

Axel kembali memeluk Karin dan mencium sayang dahi Karin.

"Selamat ulang tahun sayang. Doaku setiap tahunnya akan selalu sama. Semua yang terbaik untukmu."

Karin tersenyum bahagia lalu membalas pelukan Axel semakin erat. Karin bahagia memiliki Axel, Aldrine, Karel dan Celine. Kebahagiaannya kian sempurna dengan bertambahnya keluarga baru yakni Gisel, istri Aldrine dan Jonas, suami dari Karel. Dan jangan lupakan Dennis, cucu tampan kesayangannya yang saat ini berusia dua tahun serta kedua orang tuanya, Bagas dan Dewi yang turut tinggal bersamanya di Sumba.

Aldrine tersenyum melihat wajah bahagia Mama nya yang meski sudah tidak muda lagi tapi Mama nya masih terlihat cantik dan mempesona.

Aldrine iri pada keromantisan, perhatian dan juga cinta yang selalu Papa dan Mama nya tunjukan dihadapannya.

Aldrine melebarkan matanya lalu mengucek-ngucek matanya saat tiba-tiba wajah Karin berubah menjadi wajah Ghea yang tengah tersenyum padanya namun beberapa detik kemudian wajah itu pun berubah menjadi Karin kembali.

Aldrine merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia jadi memikirkan wanita yang selalu bersikap dingin itu padanya disaat Aldrine tengah berbahagia bersama keluarganya?

***

"Bagaimana perusahaan di Jakarta Al, semuanya bisa kamu handle dengan baik bukan?" tanya Axel pada Aldrine disela-sela santap malamnya.

Aldrine menganggukkan kepalanya. "Tentu Pa, tapi kepemimpinan ku tidak sebaik dan sehebat Papa," balas Aldrine memuji Papa nya.

"Kau jangan merendah diri, Papa tahu kau juga hebat," sanggah Axel.

"Kau pasti bisa lebih hebat dari Papa mu," timpal Karin sambil menggendong Dennis.

"Setuju. Semangat kakak Al ku tersayang. Kak Al pasti akan sehebat Papa." Karel menimpali.

"Jonas juga, pasti bisa lebih hebat dari Papa." Axel memuji dan memberikan dorongan semangat pada menantunya yang kini memimpin perusahaan cabang di Perth, menggantikan kepemimpinan Aldrine.

Jonas dan Aldrine menanggapinya dengan senyuman hangat. Mereka pun mengaminkan doa Axel dalam hati agar kelak mereka bisa sehebat Papa mereka.

Kini mereka tengah menikmati makan malam di sebuah restoran ternama. Axel lah yang menyiapkan semuanya dengan sangat baik tanpa sepengetahuan Karin.

Setelah ini mereka akan menginap di resort milik keluarga yang letaknya tak jauh dari Nihiwatu beach.

"Gisel nambah lagi sayang," pinta Karin lembut.

"Ahh aku sudah kenyang Ma," tolak Gisel secara halus.

"By the way kapan kalian akan memberikan Mama dan Papa cucu seperti El?" tanya Karin antusias. "Supaya Dennis ada temannya saat kita kumpul."

Gisel dan Aldrine saling melempar tatapan penuh arti lalu saling melempar senyum.

"Secepatnya Ma, kami sedang berusaha," jawab Aldrine lalu meraih tangan Gisel dan mengecup punggung tangannya.

"Mama senang, melihat kalian sudah berkeluarga dan hidup bahagia bersama pasangan masing-masing."

"Semoga kami juga seperti Mama dan Papa, menua bersama dengan penuh cinta kasih." Harapan Gisel yang langsung diamini oleh Karin dan Axel.

***

Aldrine membaringkan tubuhnya di ranjang begitupun juga dengan Gisel yang sibuk berkutat dengan ponselnya.

Aldrine kesulitan memejamkan matanya. Aldrine bangkit lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

"Kau tidak bisa tidur Al?"

Aldrine berdehem sebagai jawaban.

"Apa ada yang mengganggu pikiran mu?" tanya Gisel khawatir.

"Entahlah. Sepertinya aku butuh udara segar," jawab Aldrine beranjak dari ranjang.

"Aku akan keluar sebentar. Apa kau mau ikut denganku?" tawar Aldrine sembari mengenakan pakaian hangatnya.

"Tidak Al. Aku lelah dan aku ingin tidur saja," jawab Gisel sembari meletakkan ponselnya di nakas dan menarik selimutnya bersiap akan tidur.

***

Sambil menghisap rokoknya dan duduk di Gazebo di pinggiran pantai ditemani semilir angin yang berhembus menerpa kulit tubuhnya, tatapan Aldrine tertuju pada layar ponsel di genggaman tangannya.

Aldrine tengah men-stalking akun Instagram Ghea hanya untuk melihat foto Alea yang entah kenapa membuat Aldrine begitu merindukannya. Ia ingin menelpon Alea atau melakukan panggilan video call dengan Alea tapi Aldrine tidak memiliki nomor telpon Ghea.

Sudut bibir Aldrine tertarik ke atas saat memutar video-video Alea yang Ghea posting di Instagram pribadinya.

"Ahh ternyata Alea berusia lima tahun," ucapnya setelah memutar video ulang tahun Alea beberapa bulan yang lalu.

Tak hanya itu saja, Aldrine juga melihat keakraban Ghea dan ketiga sahabatnya. Banyak sekali foto-foto kebersamaan mereka yang kerap kali Ghea posting di akun Instagramnya.

Aldrine mengusap layar ponselnya seolah meraba wajah Alea dan Ghea.

"Mungkin ini terdengar aneh tapi... aku merindukan kalian berdua," ucap Aldrine pada akhirnya.
 

_________

 

Chapter 14

Kemungkinan buruk yang terjadi

Aldrine dan Gisel tiba di Jakarta tadi malam setelah dua hari dua malam menghabiskan waktunya di Sumba bersama keluarganya dalam rangka merayakan ulang tahun Karin.

Sebenarnya dua hari masih terasa kurang bagi Aldrine namun karena ada pekerjaan penting yang mengharuskan dirinya hadir, ia pun segera pulang ke Jakarta. Sementara Karel dan suaminya rencananya akan berada di sana selama satu mingguan.

Aldrine tidak bisa meninggalkan kantor lebih lama lagi, apalagi kini ada project penting yang sedang ia tangani.

Selesai dengan meeting pagi tadi, Aldrine kembali berkutat dengan berkas dimeja kerjanya yang Devan berikan padanya.

Telpon di meja kerjanya berdering membuyarkan konsentrasinya.

“Siang Pak.”

“Ya Devan.”

“Ini sudah jam makan siang, Bapak ingin saya delivery makanan atau Bapak akan makan siang di luar?”

Aldrine melirik jam dipergelangan tangannya. Karena terlalu fokus dengan pekerjaannya, Aldrine sampai tak sadar bahwa jam makan siang sudah tiba.

“Hmm saya ingin makan siang di kantor saja. Tolong pesankan nasi Padang di kantin bawah saja.”

“Baik Pak.”

Devan sudah paham selera atasannya seperti apa karena itu ia tidak bertanya lebih jauh.

Aldrine menutup sambungan telponnya dan kembali pada berkasnya sembari menunggu Devan membawakan makan siang untuknya. 

***

Tok!! Tok!! Tok!!

“Masuk,” perintah Aldrine pada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya.

Seseorang yang Aldrine tunggu-tunggu pun masuk lalu menyapa Aldrine, berbasa-basi dengan Aldrine dan meminta maaf padanya karena datang terlambat. Lalu mengalir lah cerita darinya mengenai apa yang ingin Aldrine ketahui tentang wanita itu secara detail.

“Kau bilang Ibunya meninggal dunia tak lama setelah wanita itu hamil?”

“Ya benar.”

“Ibunya memang memiliki riwayat penyakit kronis dan setelah mengetahui putrinya hamil, Ibunya sakit-sakitan dan kemudian pergi untuk selama-lamanya.” Maxim menambahkan.

Aldrine semakin merasa bersalah, khawatir dan debaran di dadanya kian bergemuruh hebat setelah mendengar penuturan-penuturan Maxim mengenai wanita itu. Aldrine takut Ghea hamil karena...

“Dari info yang saya dapatkan wanita itu tidak memiliki suami bahkan tidak pernah menikah. Selama—”

“Apa? tidak pernah menikah?” Aldrine memijat pelipisnya. Ia semakin yakin bahwa Ghea...

“Selama kurang lebih enam tahun belakangan ini dia hanya tinggal bersama Ayahnya dan juga putrinya.”

Enam tahun? Kejadian dimasa lalu juga terjadi kurang lebih enam tahun yang lalu.

Pikiran Aldrine semakin kacau setelah mendapatkan informasi akurat mengenai Ghea. Aldrine memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang sudah terjadi selama ini yang tidak akan ia ketahui jika ia tidak mencari tahunya sendiri.

Dengan perasaan campur aduk dan juga rasa bersalah yang mendalam, Aldrine bangkit dari duduknya dan mengenakan kembali jas yang tersampir di kursi kebesarannya.

Aldrine keluar dari ruangannya meninggalkan Maxim yang masih terpaku ditempatnya karena Aldrine tiba-tiba pergi meninggalkannya begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Saat keluar dari ruangannya, Aldrine berpapasan dengan Devan yang membawakan makan siang untuknya.

“Pak Aldrine nasi...”

Aldrine merentangkan kelima jarinya pada Devan agar jangan mengganggunya. Ada hal yang lebih penting yang harus Aldrine lakukan selain untuk sekedar mengisi perutnya.

***

Aldrine tiba di bahu jalan di depan rumah sederhana milik keluarga Ghea. Saat  Aldrine akan keluar dari mobilnya, ia mengurungkan niatnya karena dari kejauhan ia melihat Alea dan Benny baru pulang entah dari mana. Dari seragam yang Alea kenakan sepertinya Alea baru pulang sekolah. Benny mengendarai motor Vespa tuanya dan Alea berdiri di depannya sambil terus berceloteh dan terus menyunggingkan senyum pada Benny.

Setelah Benny memarkirkan motornya dan baru akan masuk ke dalam rumah, Aldrine menyapanya membuat Alea senang karena Aldrine datang.

Benny pun mempersilahkan Aldrine masuk terlebih dahulu. Benny sudah tahu siapa Aldrine yang sebenarnya yang merupakan atasan dari atasan di tempat Ghea bekerja. Ghea sendiri yang menceritakan hal ini padanya. Kini Benny merasa sedikit sungkan saat Aldrine datang ke rumahnya.

“Om Aldrine tahu tidak, hari ini Alea senang sekali,” ujar Alea setelah Aldrine duduk di sofa ruang tamu.

“Oh ya, apa yang membuat Alea senang?” Aldrine mengamati wajah menggemaskan Alea dari jarak sangat dekat.

“Alea menang lomba menggambar. Juara 1 om dan ada pialanya juga,” lanjutnya lagi antusias. “Kakek piala Alea dimana?”

“Waahh Alea hebat,” puji Aldrine, “Alea memang hobi menggambar ya?”

Alea mengangguk antusias.

Aldrine tersenyum. Alea sama persis seperti dirinya dulu yang begitu menyukai seni gambar menggambar.

Benny pun tiba dihadapan Aldrine dan meletakkan minuman hangat di meja. Lalu mengeluarkan piala dari sebuah paper bag besar.

“Alea ingin Om berikan hadiah apa?”

“Om beneran mau ngasih Alea hadiah?” tanya Alea antusias. “Nah ini Om pialanya, bagus kan?”

Aldrine mengangguk mengiyakan.

Benny tersenyum melihat tingkah cucunya yang sedang pamer pada teman barunya.

“Mama pasti seneng Alea dapet piala,” ucap Alea senang.

“Nak Aldrine sudah makan siang?” tanya Benny.

“Hmm saya bisa makan nanti saat kembali ke kantor,” jawab Aldrine.

“Makan disini saja. Sebelum berangkat ke kantor tadi Ghea masak dulu. Biar saya hangatkan dulu makannya. Saya permisi ke belakang dulu,” tutur Benny yang langsung diangguki oleh Aldrine.

“Alea belum bilang mau hadiah apa?” tanya Aldrine lagi.

Alea terlihat ragu untuk menjawab karena biasanya ia tidak pernah sedekat ini selain pada Benny, Ghea dan ketiga sahabat Mama nya itu saja. Alea juga tidak ingin hadiah dari Aldrine tidak bermanfaat untuknya.

“Sebenarnya sepeda Alea rantainya rusak, Mama bilang kalau gajian Mama akan membeli yang baru.”

“Ahh jadi Alea mau sepeda?” tebak Aldrine.

Mata Alea berbinar bahagia. Aldrine peka sekali. Alea pun mengangguk antusias.

“Tapi kalau Mama tahu Om Aldrine yang membelikan sepeda, Mama pasti akan marah.”

“Biar nanti Om Aldrine yang bilang sama Mama. Anggap saja ini hadiah karena Alea juara satu.”

Alea berjingkrak-jingkrak kegirangan.

“Alea mau berapa sepedanya?”

Alea terpaku dan menganga heran.

“Maksud Om Aldrine, hmm mau warna apa?”

“Putih. Alea suka warna putih.”

Aldrine segera menelpon seseorang untuk mengantarkan sepedanya. Entah kenapa Aldrine senang melakukan hal-hal yang membuat Alea bahagia. Aldrine senang melihat senyum Alea yang cepat sekali menular padanya.

***

Saat menyantap makan siang buatan Ghea yang sangat sederhana ; Rawon, perkedel, sambal goreng beserta kerupuk udang, Aldrine jadi teringat pada masakan buatan Mama nya.

Meski lebih lezat masakan buatan Mama nya tapi Aldrine merasa masakan Ghea tidak kalah lezat di lidahnya. Ternyata Ghea pandai sekali memasak sama seperti Gisel.

Aldrine tersenyum memperhatikan Alea makan dengan begitu lahapnya.

“Kenapa Nak Aldrine? Apa makanannya tidak enak? Kalau begitu biar saya belikan makanan di tempat—”

“Tidak perlu Om Ben, ini sangat lezat. Saya hanya sedang memperhatikan Alea saja,” tolak Aldrine lalu kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Benny tersenyum samar menanggapinya.

“Setelah ini Alea tidur siang.” Benny mengingatkan namun Alea malah mengerucutkan bibirnya.

“Boleh nggak Kek, hari ini saja Alea nggak tidur siang dulu? Alea mau puas main sama Om Aldrine.”

Aldrine terkekeh geli mendengarnya.

“Alea, kalau Alea nggak tidur siang nanti Kakek telpon Mama. Dan Alea tahu kalau Mama marah bagaimana?” ancam Benny membuat Alea bimbang. Tidur siang adalah hal wajib baginya. Alea masih ingin berlama-lama dengan Aldrine tapi ia juga tidak ingin kena marah oleh Mama nya.

“Alea nurut ya sama Kakek. Setelah ini Om Aldrine juga harus kembali ke kantor. Nanti sore Om janji akan main lagi,” bujuk Aldrine.

“Benar Om?” tanya Alea penuh harap.

Aldrine mengangguk. “Oh ya, sepedanya sebentar lagi akan sampai,” jelas Aldrine membuat Alea senang.

“Sepeda?” tanya Benny bingung.

“Saya membelikan Alea sepeda sebagai ucapan selamat karena Alea mendapatkan juara satu lomba menggambar,” jawab Aldrine.

Benny menghela nafas. Ia sungguh merasa tidak enak hati. “Nak Aldrine jangan repot-repot. Ini terlalu berlebihan saya jadi tidak enak. Lain kali jangan seperti ini.”

“Tidak apa-apa Om Ben, saya iklhas.” Aldrine menyunggingkan senyum.

“Kek, Alea mau tidur siang tapi ditemenin Om Aldrine,” pinta Alea mutlak.

“Alea,” protes Benny.

“Siap. Om Aldrine mau kok temenin Alea tidur siang,” jawab Aldrine membuat Alea bersemangat menghabiskan makan siangnya.

Sebenarnya sedari tadi ponsel Aldrine terus bergetar, ia yakin Devan yang menelponnya dan hal ini pasti menyangkut urusan pekerjaan. Namun saat bersama Alea, Aldrine merasa tidak ada yang lebih penting selain Alea. Justru Aldrine ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersama Alea. Ada yang bisa jelaskan kenapa ini sebenarnya? Rasa sayang yang ia miliki untuk Alea sangat tidak biasa.

***

Setelah makan siang bersama Alea dan Benny lalu dilanjutkan menemani Alea tidur siang dan tak lama setelah itu sepeda pesanannya pun datang, Aldrine segera berpamitan untuk kembali ke kantor.

Namun sebelum itu Aldrine akan mampir ke suatu tempat terlebih dulu untuk mengobati rasa penasaran yang kini begitu dominan di hati terdalamnya.

Dengan pikiran kacau tak menentu dan sekelebat bayangan di masa lalu melintas dipikirannya, tanpa pikir panjang Aldrine segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju tempat yang menjadi tujuannya.

Hatinya sungguh tidak tenang karena terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi.

Lima belas menit kemudian Aldrine tiba di salah satu rumah sakit swasta. Ada relasinya yang bekerja di rumah sakit ini dan Aldrine akan meminta bantuan padanya. Aldrine juga sudah menelponnya lebih dulu, membuat janji temu dengannya.

Aldrine mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya —helaian rambut Alea— lalu memasukkan helaian rambut itu ke dalam plastik transparan yang ia simpan di laci dashboard mobilnya.

“Aku berharap apa yang ada di dalam pikiranku tidaklah benar,” gumam Aldrine kemudian keluar dari mobilnya untuk bertemu relasinya yang pasti sudah menunggunya.
 

_______________

 

Chapter 15

The Past 

Aldrine tengah menunggu Damar dan Farel di sebuah klub malam. Malam ini ia ingin berpesta hingga mabuk bersama teman-temannya guna mengalihkan rasa sakit dihatinya akibat patah hati.

Aldrine hanya bisa pasrah saat kekasihnya mengakhiri hubungannya karena bagi Aldrine impian dan keinginan kedua orang tuanya adalah yang paling utama baginya.

Saat ini Aldrine melanjutkan kuliah S2 nya di salah satu Universitas di London.

Aldrine diberkahi otak yang cukup pintar. Sejak duduk di bangku sekolah dasar dia selalu berhasil menjadi juara pertama karena itu lah Karin berharap Aldrine bisa kuliah di Luar Negeri. Meski di Indonesia banyak sekali Universitas unggulan yang berkualitas, tapi Karin tetap ingin Aldrine menempuh pendidikannya di luar Negeri sebagai pengganti mimpinya yang dulu yang tidak kesampaian karena setelah lulus sekolah menengah Karin dijodohkan dan menikah dengan Axel.

Aldrine pun menuruti keinginan orang tuanya, menempuh pendidikan S1 dan S2 nya di London. Aldrine menyukai suasana London dan juga teman-temannya di sana. Meski Aldrine sudah tahu setelah lulus nantinya ia akan menjadi apa dan seperti apa tapi walau demikian pendidikan tinggi juga merupakan pondasi dasar dan modal utama yang harus dimiliki saat dirinya memimpin perusahaan nantinya seperti Axel.

Saat liburan semester seperti ini lah ia menyempatkan dirinya untuk pulang ke Indonesia untuk bertemu Nadine, kekasih tercintanya namun sayangnya malam ini Nadine mengakhiri hubungan mereka.

Pikiran Aldrine kacau karena baru saja Nadine memutuskannya secara sepihak hanya karena tidak sanggup menjalin kasih Long Distance Relationship lebih lama lagi. Namun nyatanya itu hanya alasan Nadine semata karena sebenarnya gadis itu sudah mendua dibelakangnya.

Gadis itu sudah lama berselingkuh, hanya saja Aldrine tidak tahu.

Tepatnya tiga hari yang lalu sebelum Aldrine tiba di Jakarta, Damar mengirimkan bukti-bukti perselingkuhan Nadine padanya. Tentu saja Aldrine tidak mempercayainya seratus persen karena itu saat baru saja tiba di Jakarta, Aldrine langsung menemui Nadine dan menanyakan hal ini padanya.

Mati-matian Nadine membela diri dan mengatakan bahwa dirinya tidak berselingkuh. Ia hanya bosan dan tidak sanggup lagi dengan hubungan ini.

Aldrine tak berkata apapun lagi setelah mendengar pembelaan Nadine, toh jika Aldrine tetap memaksa untuk melanjutkan hubungan ini pun akan percuma, hanya dirinya yang masih memiliki cinta dihatinya tidak dengan Nadine. Hati Nadine sudah bukan miliknya lagi.

Sungguh sakit rasanya dikhianati oleh seseorang yang ia cintai dan lebih memilih bersama pria lain. Ini pertama kali dalam hidup Aldrine merasakan patah hati karena cinta. Ya bisa dikatakan Nadine adalah cinta pertamanya.

Aldrine tersenyum getir saat melihat kembali momen kebersamaan dirinya dan Nadine di ponselnya dan di sosial media miliknya.

Kebersamaan kita selama dua tahun ini tak berarti apapun bagimu?” lirih Aldrine. Ia pun menghapus satu persatu foto-foto tersebut di ponselnya dan di semua sosial media miliknya.

Setelah ini aku akan melupakan segala hal tentangmu, tentang kebersamaan kita. Itu kan yang kau inginkan?” Aldrine tertawa sumbang lebih tepatnya menertawakan dirinya karena perasaan cintanya yang tulus untuk gadis itu malah disia-siakan.

Aldrine menyesap sedikit demi sedikit minuman yang diberikan bartender padanya. Tangannya masih berkutat dengan ponselnya, menghapus semua momen kebersamaannya dengan Nadine.

Sejujurnya Aldrine jarang sekali menginjakkan kakinya di tempat seperti ini, tempat dimana para pria patah hati seperti dirinya mencari kesenangan sesaat. Dan entah kenapa saat Damar dan Farel mengajaknya bertemu di klub ini, Aldrine langsung saja menyetujuinya. Aldrine butuh teman untuk berbagi cerita atas rasa sakit dihatinya dan sepertinya tempat ini sangat lah cocok untuk dirinya yang sedang patah hati.

Aldrine melirik jam dipergelangan tangannya, sudah lebih dari lima belas menit ia menunggu kedua temannya namun mereka tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Aldrine sudah mengirimkan pesan dan juga menelpon Farel tapi Farel beralasan ban mobilnya kempes ditengah jalan dan mereka sedang menunggu transportasi online yang mereka pesan.

Saat Aldrine bangkit dari duduknya dan akan menuju toilet, seorang gadis menghampirinya dan menangis sejadi-jadinya dengan membawa botol minuman beralkohol ditangannya.

Dari ucapan-ucapan tak jelas gadis itu, Aldrine menyimpulkan bahwa gadis itu tengah mabuk.

Aldrine mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan terheran-heran, apa gadis ini hanya sendirian saja disini? Di tempat membahayakan seperti ini? Jika ya, gadis ini benar-benar nekat masuk ke kandang buaya tempat para pria hidung belang pecinta kenikmatan sesaat berkumpul.

Dengan berlinang air mata gadis itu terus memukul-mukul dada Aldrine dengan segala sumpah serapah yang keluar dari mulutnya membuat Aldrine heran dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya? Aldrine merasa tak mengenal gadis itu.

Aldrine mendongakkan dagu gadis itu yang tingginya hanya sebatas dadanya saja. Aldrine menatap dalam mata gadis itu. Kekecewaan, kesedihan dan keputusasaan tersirat di dalam sana.

Apa kau baru putus cinta?”

“Bajingan sialan! Apa yang tidak aku miliki dari dia sampai kau lebih memilihnya. Kita pacaran lebih dari tiga tahun Za dan kau tergoda olehnya setelah aku mengenalkannya padamu. Eza kau benar-benar jahat!!” Gadis itu terus memukul dada Aldrine sekuat tenaga sampai Aldrine meringis dibuatnya.

Gadis itu kembali meneguk minuman beralkohol yang membuatnya mabuk seperti ini.

Gadis itu menatap tajam Aldrine masih dengan berlinang air mata. “Aku mencintaimu Za, apa yang harus aku lakukan agar kau memilih ku,” ucapnya pilu. Ia yakin pria yang berdiri dihadapannya adalah Eza, kekasihnya yang kemarin malam memutuskannya secara sepihak. Dan yang lebih parahnya lagi, malam ini gadis itu melihat Eza dan sahabatnya baru check out dari hotel yang letaknya tak jauh dari klub ini berada.

“Tapi aku bukan pac” protesan Aldrine teredam oleh ciuman gadis itu, mengabaikan kondisi sekitar yang cukup ramai dan bising oleh para pengunjung.

Aldrine mencoba menolaknya namun saat mendengar isakan pilu dari gadis itu, dada Aldrine bergemuruh dan hatinya terenyuh. Ada gelenyar aneh dalam dirinya yang ingin sekali menghibur gadis yang tengah patah hati itu.

Aldrine menghirup dalam-dalam wangi vanilla yang berasal dari tubuh gadis mabuk itu meski mulutnya didominasi bau alkohol yang sangat menyengat indera penciuman Aldrine.

Aldrine menarik paksa bibirnya membuat gadis itu mencebik kesal. Aldrine menyimpulkan bahwa gadis itu sama seperti dirinya, baru putus cinta tapi Aldrine tidak mabuk. Ia masih sadar dan amat sangat sadar.

Aldrine menarik paksa botol minuman beralkohol di genggaman tangan gadis itu lalu mendudukkan gadis mabuk itu di meja bar.

“Hei cukup Nona, kau sudah sangat mabuk.” Aldrine mengingatkan membuat gadis itu mencebikkan bibirnya tak mau.

“Aku tahu pertanyaan ini akan sulit kau jawab bahkan kau menganggap ku sebagai pacar mu. Sekarang coba ingat-ingat atau berikan tanda pengenal mu padaku. Aku akan mengantarmu pulang.”

Gadis itu menggeleng samar kemudian terkekeh geli.

“Aku tidak ingin pulang Za.”

Saat Aldrine akan meraih tas gadis itu untuk mengambil tanda pengenal, gadis itu malah tak sadarkan diri dan menjatuhkan kepalanya di dada bidang Aldrine.

***

Aldrine merutuki dirinya sendiri yang malah membawa gadis itu ke hotel yang letaknya tidak jauh dari klub malam. Yang ada dalam pikiran Aldrine, ia hanya ingin gadis itu mendapatkan tempat yang layak untuk beristirahat selama ia tak sadarkan diri.

Setelah gadis itu muntah-muntah dan Aldrine membantu mengurut tengkuknya, gadis itu pun tidur.

Aldrine duduk ditepian ranjang, mengamati gadis mabuk itu dalam diam. Pria bodoh mana yang menyia-nyiakan gadis secantik dirinya, gerutu Aldrine dalam hati.

Gadis pribumi yang sialnya wajahnya mengingatkan Aldrine pada Nadine yang baru saja mengakhiri hubungan mereka.

Sudah dua jam lamanya Aldrine menunggu gadis itu tidur. Tangan Aldrine terulur merapikan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya.

“Tidurlah yang nyenyak gadis vanilla yang entah siapa namamu. Aku janji, setelah kau sadar aku akan mengantarmu pulang. Kau akan aman bersamaku.” Aldrine menyunggingkan senyum.

Tak lama gadis itu bergerak gelisah lalu membuka matanya dan kembali terisak sembari menatap Aldrine.

Sungguh! Aldrine merasa sangat tidak tega dan... Aldrine merasa dadanya terasa sesak melihatnya menangis, lagi.

Ada apa ini? Bahkan mereka baru bertemu malam ini lalu kenapa Aldrine merasa iba dan peduli padanya?

“Jangan terus menangis, dia bahkan tidak peduli lagi padamu.” Aldrine mencoba menenangkannya dan mengikis jarak diantara mereka lalu menghapus dengan lembut air mata di pipi gadis itu.

“Za...”

“Aku Aldrine bukan Eza,” koreksi Aldrine.

Gadis itu mengernyitkan dahinya bingung namun sedetik kemudian ia menarik paksa tengkuk Aldrine.

“Za... Aku mencintaimu.” Gadis itu kembali melumat panas bibir Aldrine. Gadis itu yakin bahwa pria yang ada dihadapannya saat ini adalah Eza.

Awalnya Aldrine memberikan penolakan karena ia sadar apa yang ia lakukan itu salah namun karena gadis itu lebih dulu menggodanya serta wangi Vanilla yang berasal dari tubuh gadis itu membuat Aldrine terbuai dan mabuk kepayang.

Libido Aldrine mulai tertantang dan perlahan Aldrine pun membalas ciumannya dengan ganas dan menggebu-gebu.

“Shit!! Kenapa ciuman ini, sentuhan ini sama seperti dia,” batin Aldrine disela-sela ciumannya teringat pada Nadine.

Dan entah siapa yang memulai duluan, keduanya pun sudah sama-sama polos. Ini pertama kalinya bagi Aldrine bercumbu dengan seorang gadis seintim ini.

Aldrine merasa ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuatnya tak kuasa menolak saat gadis itu menyentuh setiap inci tubuhnya dengan intens.

Sungguh! Aldrine tak mengerti ada apa dengan dirinya yang malah menikmati setiap sentuhan yang gadis mabuk itu berikan. Hatinya ingin sekali menolak tapi tubuhnya berkata lain dan menginginkan lebih dari ini apalagi melihat gadis itu terlihat begitu agresif membuat Aldrine merasa tertantang dan gairahnya tak terbendung lagi.

Samar-samar Aldrine mendengar gadis itu terus menggumamkan nama Eza, tapi Aldrine tak peduli karena ini terlalu nikmat untuk diabaikan. Ia menyerah pada gairah yang perlahan menguasainya. Tidak ada yang ia inginkan selain secepatnya menyatukan tubuhnya dengan gadis yang sudah berhasil membuat gairahnya bangkit hanya dengan ciuman dan sentuhannya saja.

Gadis itu mabuk berat tapi Aldrine sepenuhnya sadar dan dengan kesadaran itu ia malah memanfaatkan keadaan untuk menuntaskan hasratnya. Akal sehat dan rasa empatinya terkalahkan oleh gairahnya yang lebih dominan.

Dirasa gadis itu sudah siap untuknya, Aldrine menghujam miliknya lebih dalam memenuhi inti gadis itu. Aldrine menyukai saat gadis itu memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya menahan desahannya. Sungguh! terlihat seksi dan semakin menggairahkan.

“Sakit Za...” lirihnya.

Aldrine kembali melumat rakus bibir gadis itu agar gadis itu tidak terlalu merasakan sakit dan perih dibawah sana terlebih setelah ia melihat ada noda darah di miliknya. Aldrine yakin bahwa ini adalah pengalaman pertama bagi gadis itu begitupun juga dengan Aldrine.

Tangan Aldrine tak tinggal diam, meremas dan bermain-main di dada gadis itu. Entah kenapa Aldrine senang saat mengetahui bahwa dirinya adalah pria pertama untuknya.

“Ahh Eza.”

Aldrine tak peduli gadis itu terus menggumamkan nama Eza karena Aldrine terlalu larut dengan permainan panas yang tercipta.

Dan malam ini pun akan menjadi malam panjang penuh kenikmatan bagi Aldrine bahkan gadis itu beberapa kali klimaks karena permainannya.

***

Berkali-kali Aldrine melirik jam di dinding yang sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Aldrine mengabaikan ponselnya yang terus bergetar karena percintaan ini terlalu nikmat untuk diabaikan. Aldrine merasa hasratnya belum terpuaskan. Sialan memang! Lama kelamaan permainan ini terasa semakin nikmat.

Darahnya berdesir hebat dengan deru nafas memburu dan entah sampai kapan ia akan berhenti dengan permainan panas yang tercipta ini.

Sungguh! ini adalah pengalaman pertama baginya yang sangat luar biasa nikmat, bercinta dengan gadis yang baru ia kenal yang baru ia temui malam ini dan gadis itu dalam keadaan mabuk berat.

Dan hingga gadis itu kembali tak sadarkan diri, Aldrine baru berhenti. Ia merasa panik dan takut akan terjadi sesuatu hal buruk padanya.

Ada sedikit rasa penyesalan dalam dirinya karena sudah memanfaatkan keadaan ini namun Aldrine berjanji, setelah malam ini, ia akan mencari tahu siapa gadis mabuk ini sebenarnya. Aldrine akan bertanggung jawab sepenuhnya dengan apa yang sudah ia lakukan malam ini.

Aldrine menarik gadis yang tak sadarkan diri itu ke dalam pelukannya lalu mengusap-usap puncak kepalanya. Ada gelenyar aneh dalam dirinya yang merasa tak tega telah melampiaskan gairahnya dan memanfaatkan keadaan ini.

Tak lama Aldrine pun turut terlelap sambil memeluk gadis itu.

***

Pagi pun menjelang. Ghea bangun lebih dulu dan menangis dalam diam dengan membekap mulutnya sendiri. Ia tak menyangka gara-gara kebodohannya yang nekad memasuki klub malam seorang diri akan berakhir di ranjang seperti ini, bersama pria yang tidak ia kenal.

Ghea hendak membangunkan pria asing tersebut namun ia urungkan karena ia takut pria itu akan melakukan hal lebih gila lagi padanya atau mungkin pria itu akan membunuhnya karena setelah kejadian semalam Ghea ingin menuntut pertanggungjawaban dari pria tersebut.

Dengan tubuh bergetar hebat, Ghea memutuskan kembali mengenakan pakaiannya. Ia sungguh merasa jijik saat melihat tubuhnya yang dipenuhi ruam kemerahan di beberapa bagian tubuhnya terlebih di bagian dada.

Selain kepalanya yang masih terasa pusing, tubuhnya terasa sakit dan letih serta nyeri yang teramat sangat di pusat tubuhnya dan jangan lupakan hatinya yang hancur berkeping-keping apalagi setelah melihat bercak darah di atas seprai putih.

Entah apa yang kini pantas dibanggakan lagi dari dirinya. Kesuciannya hilang karena kebodohan yang ia lakukan hanya gara-gara bajingan sialan bernama Eza!

Ghea yakin pria tersebut juga mabuk sama seperti dirinya dan mereka melakukannya tanpa sadar karena pengaruh minuman beralkohol. Yang ia tahu klub malam memang tempat orang berpesta-pora dan minum-minum hingga mabuk. Dan bodohnya, ia datang kesana seorang diri untuk mabuk melupakan Eza.

Namun semua ini sudah terjadi, menyesal pun tidak ada gunanya dan tidak akan bisa mengembalikan kesuciannya lagi.

Sebelum keluar dari kamar hotel, Ghea melihat wajah pria asing itu dari samping dan memperhatikan punggung pria itu lagi untuk terakhir kalinya. Posisi tidur pria itu memunggunginya. Sungguh! Ghea terlalu takut untuk mendekatinya lebih dekat dan berada di sana lebih lama lagi bersama pria asing berbadan kekar, tinggi dan jangan lupakan tato yang ada di tubuhnya.

Ghea takut jika ia menunggu pria itu bangun, kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam benaknya akan terjadi lagi karena itu Ghea lebih memilih pergi.

Ghea berharap setelah ini, ia tidak lagi dipertemukan dengan pria yang entah siapa yang sudah tidur dengannya.

Ghea akan menganggap ini sebagai bagian dari mimpi buruk yang akan ia lupakan. Ya, setelah ini Ghea bersumpah akan melupakan kejadian ini.

 

____________

 

Chapter 16 

It's My Fault

Setelah mendapat hasil test DNA dari relasinya dirumah sakit, Aldrine hanya berdiam diri di meja kerja di rumahnya. Berkali-kali Aldrine membacanya dengan seksama namun hasilnya tetap sama.

Aldrine kembali teringat pada malam dimana ia terlibat percintaan satu malam dengan Ghea yang dalam keadaan mabuk dan pagi harinya Ghea menghilang.

Sejujurnya selama ini Aldrine sudah mencari-cari Ghea kemanapun dengan bermodalkan ingatannya pada wajah Ghea saja. Saat itu Aldrine juga tidak memiliki kekuasaan seperti sekarang, tidak mungkin juga Aldrine meminta bantuan pada pada Papanya apalagi saat itu Kakeknya, Lucky baru saja meninggal.

Ya, salah satu alasan Aldrine pulang ke Indonesia selain untuk menemui kekasihnya yang malah mengakhiri hubungan mereka, juga karena kepergian Kakeknya.

Ternyata cinta satu malamnya bersama Ghea beberapa tahun silam... Ralat! bukan cinta satu malam melainkan Aldrine lah yang menodai Ghea. Aldrine dalam keadaan sadar melakukannya dan ternyata hasil dari perbuatanya membuahkan hasil dan anak itu adalah Alea, darah dagingnya sendiri.

Pantas saja saat pertama kali ia bertemu Alea, ia merasa ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuat ia menyayangi gadis kecil itu karena ternyata Alea adalah putri kandungnya.

Aldrine teringat pada pertanyaan polos Alea saat pertama kali bertemu dengannya.

“Kakek, apa Om ini Papa Lea? Apa Papa Lea sudah kembali dari pekerjaannya?”

Aldrine tersenyum samar kemudian bergumam pelan. “Ya aku Papa mu Alea. Selama ini Papa bahkan tak tahu menahu bahwa kau ada.”

Darah yang mengalir ditubuh Alea dan ikatan darah antara Alea dan dirinya yang membuat Aldrine jatuh hati pada Alea di pertemuan pertama mereka. Aldrine menyayangi Alea dan Aldrine senang melihat senyum Alea.

Pikiran Aldrine kembali teringat pada ucapan polos Alea tempo hari yang kembali membuat Aldrine tersenyum samar dan tanpa ia sadari air mata keluar dari sudut matanya.

“Sebenarnya sepeda Alea rantainya rusak, Mama bilang kalau gajian Mama—”

“Alea mau sepeda?”

“Tapi kalau Mama tahu Om Aldrine yang membelikan sepeda, Mama pasti akan marah.”

“Biar nanti Om yang bilang sama Mama. Anggap ini hadiah karena Alea juara satu.”

“Apapun akan Papa berikan selama itu bisa membuatmu bahagia dan...” Aldrine menghela nafas panjang. Dadanya terasa kian menyesakkan.

“Apapun akan Papa lakukan untukmu asalkan bisa menebus segala kesalahan yang sudah Papa lakukan pada Alea dan Mama Alea di masa lalu.”

Kemudian Aldrine teringat pada Ghea yang jatuh sakit beberapa waktu lalu karena hujan-hujanan.

“Pak Aldrine saya duluan.”

“Ghea, ini masih hujan, kau bisa sakit.”

“Anak saya nangis Pak, karena takut geludug. Dia membutuhkan saya.”

Aldrine memukul meja dengan sangat kuat. Ia marah, kesal dan juga benci lebih kepada dirinya sendiri.

“Kenapa kau tak mengatakan padaku Ghea bahwa Alea adalah putriku. Kapan kau akan jujur padaku jika aku tak mencari tahunya sendiri?” tanya Aldrine pilu. Jika ia tak meminta Maxim dan relasinya di rumah sakit untuk membantunya, mungkin hingga saat ini Aldrine tidak akan tahu bahwa ia sudah memiliki seorang putri buah dari kesalahannya beberapa tahun silam.

Aldrine memijat dahinya sendiri yang terasa pusing dan nyeri. Entah bagaimana nasib Ghea selama ini karena hamil diluar nikah, tanpa suami dan harus menjadi single mother meski dibantu oleh Benny sekalipun.

Kini Ghea satu-satunya yang menjadi tulang punggung keluarganya. Ghea harus bekerja banting tulang selama ini demi membesarkan Alea dan mencukupi kebutuhan Alea.

Aldrine tak menyangka semuanya akan seperti ini.

Saat dirinya tengah sibuk dengan melanjutkan pendidikannya, mempersiapkan masa depannya sementara Ghea, harus merelakan masa depannya hancur berantakan karena kesalahan yang Aldrine lakukan.

Aldrine ingat saat mereka bertemu dulu, Ghea masih sangat muda sekali, berbeda dengan Ghea yang ia lihat sekarang.

“Ini salahku, Ghea. Kau hidup menderita selama ini bahkan harus kehilangan Ibu mu adalah karena kesalahanku,” lirih Aldrine dengan berlinang air mata. Aldrine sadar apa yang terjadi pada hidup Ghea adalah karena kesalahannya.

Ya semua itu salahnya, salah Aldrine! Jika saja malam itu Aldrine tak memanfaatkan keadaan dan ia bisa menahan gairahnya, mungkin saat ini hidup Ghea, masa depan yang Ghea impikan akan mudah ia gapai.

Setelah ini Aldrine berjanji akan bertanggung jawab seperti seorang Ayah pada umumnya dan akan memberikan kebahagiaan pada Alea. Apapun yang membuat Alea bahagia akan Aldrine berikan.

Ceklek!!

Aldrine segera memasukkan berkas hasil test DNA ke dalam laci dan menghapus kasar air matanya. Aldrine berpura-pura fokus pada ipad di hadapannya saat Gisel masuk ke ruangannya.

“Al, ini sudah hampir larut malam dan kau belum tidur? Pantas saja aku mencari mu di kamar tidak ada, ternyata kau disini.”

Aldrine menoleh menatap Gisel sekilas. “Masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan,” jawabnya.

“Al, kan bisa dikerjakan besok. Kau harus...” Gisel menjeda memicingkan matanya menatap Aldrine. “Al, apa kau baru saja menangis? Matamu terlihat memerah.” tanya Gisel penasaran.

“Tidak. A-ku hanya mengantuk saja sampai aku mengeluarkan air mata.” Aldrine menguap agar Gisel percaya padanya.

“Benar Al?” tanya Gisel tak percaya. Ia yakin Aldrine sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Belakangan ini Aldrine terlihat berbeda.

Aldrine menanggapinya hanya dengan senyuman.

“Bagaimana makan malamnya?” Aldrine sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

“Selalu lancar dan menyenangkan,” jawab Gisel antusias.

“Aku senang mendengarnya,” balas Aldrine sambil membuka email dari relasinya.

“Al... Isabelle, Morgan dan Lucas mengajakku ke Jepang. Ada pekerjaan sekaligus liburan juga di sana. Apa boleh aku pergi bersama mereka?” tanya Gisel penuh harap.

Aldrine meletakkan iPad nya di meja lalu menatap dalam mata Gisel.

“Lakukan apapun yang membuatmu bahagia karena aku akan selalu mendukungmu sebagai seorang suami. Ku rasa kau juga butuh liburan,” jelas Aldrine sembari tersenyum.

Gisel pun berhamburan ke dalam pelukan Aldrine sembari tersenyum sumringah. Tidak salah memang ia dipertemukan dengan pria sebaik Aldrine yang selalu mendukungnya dalam segala hal. Aldrine sosok suami yang paling mengerti akan dirinya dan tidak pernah mengekang kebebasannya.

Aldrine membalas pelukan Gisel. Di satu sisi ia merasa bersalah karena belum bisa mengatakan secara langsung fakta ini dari Gisel. Aldrine belum siap. Belum waktunya Gisel tahu mengenai ini dan masa lalunya.

Aldrine akan menunggu waktu yang tepat untuk jujur pada Gisel mengenai Ghea dan Alea, yang kini begitu mempengaruhi hidupnya.

***

Tiga malam berturut-turut Aldrine tak bisa tidur nyenyak dan beristirahat yang cukup karena terus memikirkan kesalahannya di masa lalu bahkan Aldrine tak berselera untuk makan. Alhasil Aldrine pun kini terbaring lemah di bangkar rumah sakit.

Selama dua hari di rawat, pekerjaannya di handle oleh Devan, sekretarisnya dan asisten lainnya.

Aldrine terpaksa di infus akibat kekurangan cairan yang membuat tubuhnya selalu lemas tak bertenaga. Aldrine bahkan melarang siapapun untuk memberitahukan hal ini pada Axel dan Karin karena Aldrine yakin Mamanya itu akan sefih dan mengkhawatirkan dirinya berlebihan.

Aldrine tak ingin merepotkan dan Aldrine juga tak ingin Mama nya tahu bahwa alasan Aldrine sakit seperti ini adalah karena teringat kesalahannya pada Ghea dan Alea.

Selama Aldrine dirawat, Gisel selalu setia menemaninya bahkan Gisel menunda liburannya ke Jepang. Benar-benar seorang istri yang baik.

Karyawan dari berbagai divisi dan juga relasi bisnisnya satu persatu datang menyempatkan waktu untuk menjenguk Aldrine bahkan saking banyaknya yang parcel buah dan juga beberapa kue di ruang rawat Aldrine pemberian dari mereka yang menjenguk, Gisel sampai harus membawanya pulang untuk disimpan di rumah atau diberikan pada pelayan yang bekerja di rumah.

Aldrine sama sekali tak berselera untuk menyentuhnya.

Seseorang yang paling Aldrine harapkan kehadirannya hingga saat ini pun tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Ghea, Ibu dari putri kandungnya.

Ya, Aldrine sangat berharap Ghea datang menjenguknya untuk sekedar berbasa-basi atau apalah namun sepertinya harapan tersebut terdengar mustahil karena Ghea hanya lah karyawan biasa di kantor. Jika Ghea datang pun orang-orang pasti akan merasa aneh dan heran dengan kedatangannya. Lagi pula Pak Harry sudah datang menjenguk Aldrine mewakilkan divisinya dengan ditemani beberapa marketing lainnya.

Aldrine yakin Ghea juga tak akan pernah sudi datang menjenguknya dan tak akan peduli padanya meski Aldrine mati detik ini sekalipun karena selama ini Ghea memang selalu bersikap dingin padanya bahkan berbicara pun seperlunya saja.

Aldrine sadar hal itu Ghea lakukan semata-mata demi menjaga jarak dengannya karena status Aldrine yang saat ini sudah memiliki seorang istri.

Sejujurnya setelah pertemuan mereka beberapa tahun silam kemudian takdir mempertemukan mereka kembali, Aldrine merasa ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuatnya senang ketika bertatapan dengan Ghea, melihat senyuman Ghea dan bersentuhan fisik dengan Ghea.

Tanpa Aldrine sadari ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tertarik pada Ghea.

Aldrine berpikir, jika dirinya belum menikah apakah Ghea akan menerimanya dengan mudah apabila Aldrine mengutarakan isi hatinya pada Ghea dan ingin bertanggung jawab sepenuhnya atas kesalahan yang sudah ia lakukan?

 

___________

 

Chapter 17

Secret Admirer

Ghea tak mengerti sudah hampir satu minggu belakangan ini ia selalu saja menemukan makanan untuk sarapan dimeja kerjanya. Bukan hanya di pagi hari saja, melainkan di siang hari pun saat jam makan siang tiba, akan ada driver ojek online yang mengantarkan makan siang untuknya.

Menunya pun beragam setiap harinya. Makanan-makanan tersebut bukan kaleng-kaleng melainkan makanan dari berbagai restoran ternama.

Hari pertama hingga hari kedua bahkan Ghea membuang makanan tersebut karena takut ada racun atau pelet atau guna-guna dan sejenisnya seperti yang Dita, Ines dan Puteri katakan.

Pengirim makanannya pun baperan, seolah yang memberikan makanan itu tahu bahwa Ghea membuangnya.

Keesokan paginya selalu tertempel sticky note berwarna kuning stabilo di kotak makanan tersebut dengan bertuliskan ;

Makanan ini tidak ada racunnya!

Makanan ini dibeli untuk di makan bukan untuk dibuang!

Dan untuk hari ketiga dan seterusnya Ghea memberikan makanan tersebut pada staff office boy atau karyawan lainnya yang ia kenal, dan untungnya mereka semua pun baik-baik saja setelahnya, tidak keracunan atau pun di pelet seperti apa yang ketiga sahabatnya katakan. Tapi untuk makan siang, karena Ghea percaya pada abang ojeknya, Ghea pun memakannya sendiri atau terkadang akan ia berikan pada sahabat-sahabatnya.

Pernah suatu hari karena saking penasarannya, Ghea mencoba mengecek ke bagian pengurus kamera pengawas hanya untuk mencari tahu siapa gerangan orang yang rajin sekali menaruh makanan di meja kerjanya dan ternyata orang tersebut adalah staff Office boy yang berbeda hampir setiap harinya.

Saat Ghea bertanya pada mereka, mereka malah bercanda dan menggoda Ghea. Ghea yakin jika selama dua minggu dirinya membeli menu-menu makanan tersebut dengan uang gajinya, maka uang tersebut akan habis tak bersisa.

Ghea tahu harga makanan-makanan itu tidak lah murah karena ia dan ketiga sahabatnya sesekali memang pernah makan di restoran-restoran yang harganya lumayan menguras isi dompet.

***

"Sampai saat ini lo belum nemu jawabannya juga Ghe, secret admirer lo itu siapa?" tanya Ines penasaran.

"Jangan-jangan lo beneran di taksir office boy Ghe," tebak puteri sembari menyuapkan bakso ke dalam mulutnya.

Kini mereka tengah berada di kantin menikmati santap siang mereka di jam makan siang.

"Eh tapi kalau Office boy nya single sih nggak apa-apa," timpal Ines.

"Plus ganteng lagi kaya si Bagus sama Sayuti. Kalau itu gue setuju Ghe daripada..." Puteri menjeda ucapannya.

Ghea menatap Puteri dan menunggu perkataan selanjutnya.

"Dari pada apa? Ngomong setengah-setengah bikin penasaran." Dita mendengus sebal.

"Daripada sama Pak Aldrine. Walaupun kita mengagumi dia dan cukup hanya mengagumi saja nggak boleh lebih dari itu," lanjut Puteri. "Dia emang ganteng tapi kan suami orang. Untung aja sekarang dia nggak pernah deketin lo lagi Ghe."

"Mungkin dia lelah karena Ghea kayanya cuek-cuek aja tuh," sambar Ines.

"Atau mungkin Bu Gisel udah tahu kalau ternyata suaminya itu..."

"Ssttt!! udah dong. Kalian kan janji nggak bakalan ghibah-in Pak Aldrine lagi setelah dia sakit dan kembali ke kantor. Bahas yang lain kek yang berguna gitu," protes Ghea tak suka. Ketiga sahabatnya malah terus saja membahas perihal Aldrine.

Sebenarnya tanpa sepengetahuan ketiga sahabatnya, Aldrine setiap harinya datang ke rumah Ghea tapi bukan di jam pulang kerja seperti biasanya karena Ghea tahu Aldrine malas ketahuan oleh ketiga sahabat Ghea yang selalu berisik dan selalu ingin tahu jika melihat Aldrine dirumahnya.

Aldrine akan datang siang hari setelah Alea pulang sekolah dan baru akan kembali ke kantor saat Alea tidur siang. Hampir setiap hari Aldrine tak pernah absen menemui Alea.

Ghea tak mengerti kenapa Aldrine melakukan hal tersebut. Apa Aldrine begitu tulus mencintai Alea atau karena sesuatu hal?

Ghea juga tidak pernah lagi berpapasan atau bertemu Aldrine setelah Aldrine keluar dari rumah sakit. Aldrine seperti menghindar darinya tapi lebih gencar mendekati Alea dan hampir setiap harinya juga Aldrine membelikan Alea mainan yang harganya tidak lah murah.

Ghea tahu hal tersebut karena Benny lah yang selalu bercerita padanya mengenai Aldrine saat Ghea tiba di rumah.

***

"Nak Aldrine kan sibuk, jadi besok-besok tidak perlu mengantar jemput saya dan menunggui Alea pulang sekolah," ujar Benny merasa tidak enak hati.

"Tidak juga Om, sebelum saya berangkat ke sini saya sudah mengerjakan pekerjaan saya," bohong Aldrine. Padahal ia menyerahkan semua tanggung jawabnya selama ia tidak berada di kantor pada Devan dan asisten lainnya. Aldrine tidak ingin diganggu bila sedang bersama Alea.

Apabila ada meeting penting atau pun melakukan pertemuan dengan relasi diluar maka Aldrine akan meminta Devan untuk memundurkan waktu pertemuannya setelah jam makan siang atau sore harinya.

Setelah Aldrine mengetahui bahwa Alea adalah putrinya, rasa sayang Aldrine padanya semakin besar. Aldrine bahkan tidak tega melihat Alea panas-panasan pulang sekolah di siang bolong bersama Kakek nya dengan mengendarai motor Vespa model lama, sementara Aldrine tidak pernah merasakan kepanasan karena kemanapun dirinya pergi, ia selalu mengendarai mobil mewah. Sangat tidak adil bukan jika Aldrine membiarkan hal tersebut?

Aldrine sempat berpikir mau memberikan Alea mobil beserta supirnya sekaligus hanya untuk mengantar jemput Alea sekolah dan juga Ghea bekerja namun hal tersebut Aldrine urungkan karena ia tahu Ghea ataupun Benny akan menolak mentah-mentah tawaran darinya.

"Om Benny, apakah Om bisa mengendarai mobil?" tanya Aldrine ragu.

Benny menoleh ke arah Aldrine. Apa Aldrine akan menjadikannya supir pribadi? lalu siapa yang akan mengantar jemput Alea jika ia bekerja sebagai supir?

"Bisa Nak Aldrine, karena dulu saya punya mobil tapi harus saya jual demi pengobatan istri saya sebelum dia meninggal," jawab Benny.

Sepertinya Aldrine salah bertanya karena setelah itu Aldrine merasa dadanya terasa menyesakkan. Salah satu penyebab Ibunya Ghea meninggal selain memiliki riwayat penyakit kronis yang di deritanya adalah karena dirinya juga.

"Maaf, Om Ben, saya malah menyinggung Ibunya Ghea," sesal Aldrine tulus.

"Tidak apa-apa, itu sudah lama berlalu." Benny tersenyum. "Apa Nak Aldrine sedang membutuhkan supir karena itu menawarkan pekerjaan pada saya?"

Aldrine menganga. Ia tidak berniat menjadikan calon mertuanya itu supir. Ia akan membelikannya mobil bukan menjadikannya supir pribadi.

"Bukan supir. Maksud saya, saya ingin..." Aldrine menjeda, mencari jawaban yang masuk akal agar Benny menerima tawaran darinya. Namun setelah lama berpikir Aldrine tak kunjung menemukan jawaban apapun tapi Benny tetap setia menunggu kelanjutan perkataan Aldrine.

"Sebenarnya... saya ingin memberikan mobil sebagai hadiah untuk Alea," ucap Aldrine pada akhirnya karena otaknya buntu tak menemukan alasan yang masuk akal. Toh tidak mungkin juga ia mempekerjakan Benny sebagai supirnya, nanti siapa yang akan menjaga Alea jika Benny bekerja?

"Hah? Nak Aldrine... itu terlalu berlebihan. Saya tidak akan mau menerimanya begitu pun juga dengan Ghea," tolak Benny secara halus.

Aldrine tertegun. Benar dugaannya, Benny akan menolak mentah-mentah tawaran darinya.

Benny semakin curiga pada sikap Aldrine apalagi setelah mengamati Aldrine yang setiap hari datang ke rumahnya dengan sikap yang tidak biasa. Tidak mungkin jika pihak luar seperti Aldrine begitu peduli pada cucunya bahkan mau membelikan cucunya mobil secara cuma-cuma sebagai hadiah lomba menggambar minggu lalu. Apa jangan-jangan Aldrine...

Tidak mungkin!

Benny segera menggelengkan kepalanya, menepis pikiran tersebut dari kepalanya. Aldrine adalah atasan dari atasan di tempat Ghea bekerja, yang begitu berwibawa dan menjunjung tinggi moral serta tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Sangat tidak mungkin jika di masa lalu Aldrine bertemu putrinya dan terlibat cinta satu malam dengannya.

Benny yakin selera Aldrine pasti tinggi, bukan seperti putrinya. Strata sosial mereka juga berbeda, jadi sangat tidak mungkin Aldrine dan Ghea terlibat hubungan terlarang di masa lalu. Benny juga tahu status Aldrine saat ini yang merupakan seorang suami.

Siapa yang tidak mengenal Aldrine, putra dari salah satu pengusaha yang cukup sukses dan ternama di Indonesia. Cabang hotel dan resort milik keluarga Dirgantara sudah tersebar dimana-mana.

Sedangkan Ghea? Hanya gadis biasa yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Ya meskipun dulu mereka juga merupakan keluarga berada namun karena sebuah insiden kecelakaan tabrak lari yang membuat Kakak laki-laki Ghea koma di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang tidak lah sedikit, mereka jadi seperti ini. Tak hanya itu saja, Benny juga membutuhkan biaya yang cukup banyak untuk pengobatan penyakit kronis istrinya.

Perlahan tapi pasti setelah tabungannya terkuras habis, Benny pun menjual properti lain yang ia miliki seperti tanah, rumah dan mobil mereka untuk biaya rumah sakit dan juga pengobatan istrinya tersebut. Namun sepertinya nasib baik enggan berpihak padanya.

Setelah putranya koma lebih dari enam bulan lamanya, nyawanya pun tak bisa diselamatkan. Ia pergi untuk selama-lamanya. Beberapa bulan setelahnya, istrinya pun menyusul.

Kala itu Benny begitu terpuruk dan hampir saja mengakhiri hidupnya sendiri untuk menyusul istrinya tapi karena Ghea dan janin dalam kandungan Ghea lah yang membuat Benny bertahan dan memiliki semangat hidup lagi.

Aldrine dan Benny terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.

Meski saat ini Benny merasa heran dan juga bingung, sebenarnya apa tujuan Aldrine rutin berkunjung ke rumahnya hanya untuk menemani Alea bermain?

Namun selama hal itu membuat Alea bahagia, Benny pun membuang pikiran-pikiran aneh yang ada dalam benaknya karena menurut Benny, Aldrine adalah pria yang baik, jadi ia merasa tak keberatan bila cucunya berteman dekat dengan Aldrine. Anggap saja Aldrine sebagai sosok pengganti Ayahnya yang hingga saat ini tak diketahui keberadaannya.

Aldrine berpikir, apa sudah tiba baginya untuk mengatakan kejujuran pada Benny tentang siapa ia sebenarnya? Apa Benny akan sudi menerimanya atau mungkin sebaliknya, menjauhkan dirinya dari Alea dan Ghea? Hal ini lah yang Aldrine takutkan. Ia tidak siap harus menjauh lagi dari Alea dan Ghea.

"Om Ben, saya... ingin mengatakan kejujuran. Sebenarnya saya—"

"Yeeaayy... Om Aldrine jemput. Alea nggak perlu panas-panasan deh pulangnya," seru Alea kegirangan. Alea menghampiri Aldrine dan Benny lalu mencium punggung tangan Benny dan Aldrine bergantian.

Alea jadi terbiasa bersikap manja pada Aldrine apalagi kini mereka semakin dekat. Dan tanpa sepengetahuan Benny dan Ghea, setiap harinya Aldrine memberikan uang saku untuk Alea yang tidak lah sedikit jumlahnya.

Meski Alea belum memahami nominal uang yang Aldrine berikan, Alea menyimpan uang tersebut di dalam celengan babi miliknya di rumah. Aldrine bilang padanya bahwa uangnya bisa Alea pakai untuk membantu Mama dan Kakeknya ketika mereka sedang membutuhkan bantuan. Dan hal itu merupakan rahasia antara Aldrine, Alea dan Tuhan saja yang tahu.

Jika boleh jujur, sebenarnya Aldrine merasa kecewa Alea memanggilnya dengan panggilan Om bukan Papa seperti yang ia inginkan namun Aldrine cukup sadar diri. Alea belum tahu siapa dirinya dan ia juga belum bisa berbuat banyak. Asalkan ia masih bisa dekat dengan Alea dan melihat senyuman Alea setiap harinya, Aldrine pun tak keberatan. Semuanya butuh proses dan untuk saat ini Aldrine ingin menikmati prosesnya itu terlebih dulu.

______________

 

Chapter 18

Mencurigakan

"Hah? Ayah bilang Pak Aldrine mau ngasih Alea mobil?" Ghea terkejut saat mendengar cerita dari Ayahnya mengenai sikap aneh Aldrine hari ini. Orang waras mana yang tak pernah saling mengenal sebelumnya dan baru dekat beberapa minggu belakangan ini tapi sudah akan memberikan mobil secara cuma-cuma?

Ya, Ghea tahu uang bagi Aldrine begitu mudah mendapatkannya seperti memetik daun, tapi tetap saja hal itu terdengar aneh dan tak masuk akal. Hanya karena Alea juara satu lomba menggambar, Aldrine mau memberinya mobil? 

Sepeda saja Ghea merasa keberatan dan ingin rasanya Ghea mengembalikannya tapi karena Alea terus merengek dan Alea beralasan sepeda itu kini miliknya, Ghea pun mengurungkan niatnya.

"Kalau Ghea ketemu Pak Aldrine lagi, Ghea mau ngomong sama dia supaya jangan terlalu manjain Alea, entar malah kebiasaan," keluh Ghea penuh ketegasan.

"Dia main ke rumah juga nggak mungkin kan Ayah melarangnya apalagi Alea terlihat senang dan begitu antusias saat Nak Aldrine datang," ujar Benny.

Ghea mengangguk mengiyakan dan tersenyum samar.

"Ikatan darah Ayah dan anak itu begitu kental karena itu mereka terlihat saling menyayangi satu sama lain meski hingga saat ini mereka tidak mengetahui bahwa sebenarnya mereka terikat hubungan darah," batin Ghea.

Ayahnya memang akan selalu menceritakan apapun padanya perihal apa saja yang Alea dan Aldrine lakukan setiap harinya. Dan saat Benny mengutarakan kecurigaannya perihal Aldrine yang bersikap semakin mencurigakan seolah ia adalah Ayah kandung Alea, Ghea langsung memberikan bantahan bahwa Aldrine bukan lah Ayah kandung Alea mengingat status Aldrine yang saat ini sudah memiliki istri dan Aldrine pun terlihat harmonis dan baik-baik saja bersama istrinya.

Ghea tidak ingin mengusik kebahagiaan Aldrine dan istrinya. Ia dan Aldrine juga sangat jauh berbeda dalam segala aspek. Ghea cukup sadar dengan perbedaan ini.

Aldrine merupakan bos nya di kantor, anak dari pemilik perusahaan besar tempatnya bekerja yang tidak mungkin bisa ia gapai. Ya, banyak alasan yang membuat keduanya tidak bisa bersama.

Ghea tidak masalah menjadi single parents selamanya toh ia juga sudah terbiasa. Ia bahagia hidup bersama Ayahnya dan Alea.

Seandainya di masa lalu Ghea tidak terlibat cinta satu malam dengan Aldrine, ia juga tidak akan pernah mengenal sosok Aldrine. Sungguh! semakin Ghea teringat pada masa lalu, rasa sakit dihatinya akibat kebodohannya malam itu kembali ia rasakan. Ghea bahkan harus kehilangan Ibunya karena serangan jantung mendadak setelah ibunya tahu Ghea hamil dan tak tahu siapa Ayah kandungnya.

Ghea curiga karena belakangan ini Aldrine terlihat berbeda memperlakukan putrinya bahkan sampai-sampai Aldrine menawarkan mobil segala.

Tunggu! Apa jangan-jangan Aldrine sudah mengetahui bahwa Alea adalah darah dagingnya?

Deg!!

Jantung Ghea berpacu lebih cepat dari biasanya. Jika Aldrine sudah mengetahuinya, Ghea takut Aldrine akan mengambil Alea darinya. Ghea takut Aldrine akan menguasai Alea dan menjauhkan Alea darinya. Hal ini lah yang terkadang Ghea khawatirkan. Tapi darimana Aldrine mengetahuinya padahal Ghea sudah berusaha menyembunyikan rahasia ini rapat-rapat?

Ghea merutuki kebodohannya sendiri. Tentu saja Aldrine akan mudah mengetahuinya. Dengan uang serta kekuasaan yang Aldrine miliki sangat mudah baginya mendapatkan informasi sekecil apapun mengenai Alea.

Lantas Ghea harus bagaimana sekarang? Haruskah ia pergi menjauh dari Aldrine dengan membawa serta Alea dan Ayahnya sebelum Aldrine benar-benar mengambil Alea darinya? Tapi Ghea masih membutuhkan pekerjaan ini, apalagi di zaman sekarang ini sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang mumpuni dengan gaji yang lumayan kecuali ada kenalan orang dalam. 

Dulu pun para pelamar pesaingnya kebanyakan lulusan dari perguruan tinggi, sementara dirinya?

Ya, saat itu Ghea bisa lolos dan diterima, semua itu adalah karena bantuan Ines, Dita dan juga Puteri. Lantas jika Ghea pergi, dimana lagi ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan dengan ijazah yang ia miliki saat ini? Ayahnya tidak mungkin lagi bekerja karena ia sudah cukup tua dan terkadang sering mengeluh sakit, karena itu Ghea melarang Ayahnya untuk bekerja lagi.

Ayahnya pun menawarkan diri untuk merawat Alea saat Ghea sedang sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk menyambung hidup mereka.

Andai Ghea memiliki banyak uang, mungkin ia sudah mempekerjakan seorang baby sitter untuk membantu Ayahnya merawat dan menjaga Alea agar Ayahnya tidak terlalu lelah. Namun hal tersebut rupanya hanya akan menjadi angan-angannya semata. Ekonomi keluarganya yang pas-pasan tidak mendukung hanya untuk sekedar membayar jasa baby sitter.

***

Ghea menghela nafas panjang karena sulit sekali menemui Aldrine hanya untuk menanyakan perihal Alea padanya. 

Jam sebelas siang adalah waktunya Alea pulang sekolah di salah satu sekolah taman kanak-kanan swasta yang letaknya tidak jauh dari rumah Ghea. Dan sebelum jam sebelas siang itu biasanya Aldrine akan langsung keluar kantor dan baru kembali lagi ke kantor sekitar jam dua-an. Setelah itu Aldrine sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ingin di ganggu jika tidak terlalu penting.

Ghea juga bingung slasan dirinya bertemu Aldrine untuk apa? Ia hanya karyawan bawahan yang tidak memiliki kepentingan apapun untuk sekedar menemui Aldrine kecuali jika Pak Harry yang memintanya ke ruangan Aldrine hanya untuk mengantarkan berkas.

Mengantarkan berkas?

Ghea sudah lama tidak melakukan hal tersebut. Entah kenapa Ghea jadi merindukan saat ia berada di ruangan Aldrine, membuatkan kopi untuknya, memperhatikannya dari jarak sangat dekat dan terkadang mendengarkan pertanyaan aneh-aneh darinya.

Ghea segera menggelengkan kepalanya, menepis pikiran tersebut dari kepalanya agar tetap sadar dan tahu diri! Ia tidak berhak memiliki rasa itu. Aldrine dan dirinya sangat jauh berbeda. Aldrine bukan lah level nya dan yang paling utama, Aldrine bukan lagi pria lajang. 

"Ya ampun Ghea, pagi-pagi udah bengong. Lo nggak denger apa yang tadi Pak Harry bilang?" tegur Ines yang duduk disebelahnya.

Ghea terkesiap. "Hah? Pak Harry ngomong apa? Gue nggak denger."

"Lo disuruh ke ruangannya tuh," jawab Ines.

Ghea tersenyum kikuk lalu bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju ruangan Pak Harry. Ghea berharap Pak Harry menyuruhnya mengantarkan berkas ke ruangan Aldrine agar ada alasan baginya untuk bertemu Aldrine guna membicarakan sesuatu hal yang penting mengenai Alea.

Ghea masuk ke dalam ruangan Pak Harry setelah terlebih dahulu mengetuk pintunya.

"Iya Pak Harry, ada yang bisa saya bantu?" tanya Ghea berbasa-basi. Tentu saja Pak Harry butuh bantuannya karena itu ia menelponnya.

Pak Harry tersenyum ramah. "Ghea... kenalkan ini anak dari saudara sepupu saya, Kelvin Abimana. Dia pengganti Clara," jelas Pak Harry langsung pada intinya.

Clara, karyawan di divisi pemasaran yang sedang cuti melahirkan dan kabarnya setelah itu ia tidak akan lagi bekerja, hanya akan fokus mengurus anaknya. 

Dan hal tersebut membuat Ghea iri. Jika dirinya seperti Clara yang fokus merawat Alea lalu siapa yang akan mencari uang untuk membiayai hidupnya? Bahkan tiga bulan setelah Ghea melahirkan ia langsung bekerja demi mencari biaya untuk melanjutkan hidup dan membesarkan putrinya.

"Hai Ghea, gue Kelvin." Kelvin mengulurkan tangannya, memperkenalkan dirinya sembari tersenyum tamah mengamati wajah cantik Ghea yang mengingatkan ia pada seseorang. 

"Salam kenal Ghea," lanjutnya lagi.

Ghea dan Kelvin pun saling berjabat tangan dan berkenalan satu sama lain. Kelvin tersenyum hangat pada Ghea begitupun sebaliknya. Kelvin yakin Ghea akan menjadi rekan kerja yang mengasyikkan dan tidak membosankan.

"Saya sangat membutuhkan pengganti Clara karena itu saat saya tahu Kelvin sedang tidak bekerja kurang lebih selama beberapa minggu belakangan ini. Saya tawarkan padanya posisi ini dan dia pun tertarik," jelas Pak Harry lagi.

"Kamu ajari dia job desk-nya seperti apa, kurang lebih kamu juga paham kan pekerjaan Clara?" tanya Pak Harry yang langsung diangguki oleh Ghea.

"Selama Martha belum pulang dari Bandung, kamu yang ajari dia," sambung Pak Harry lagi.

Ghea kaget. Ini pertama kalinya ia disuruh mengajari karyawan baru. Masih banyak karyawan lain yang lebih kompeten, lebih baik darinya, tapi kenapa harus dirinya?

Sungguh! Ghea tidak percaya diri, apa ia mampu melakukannya? Ghea jadi minder saat Pak Harry mengatakan Kelvin merupakan lulusan dari salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup ternama di Indonesia. Pendidikan Kelvin sangat jauh diatasnya. 

"Tapi saya—"

"Saya tahu kamu paling junior disini, tapi saya yakin kamu pasti bisa. Saya tahu kinerja kamu dalam bekerja." Pak Harry menatap dalam mata Ghea yang masih tidak percaya diri pada kemampuannya.

"Lusa Martha sudah kembali ke kantor, jadi kamu hanya mengajarinya hari ini dan besok saja," lanjut Pak Harry lagi.

Ghea mengangguk mengerti.

"Mohon kerjasamanya Ghea," ucap Kelvin antusias seraya tersenyum pada Ghea. 

***

Ghea pun pindah ke tempat duduk di dekat meja Kelvin berada dan langsung mengajari Kelvin mengenai pekerjaan apa saja yang harus ia kerjakan. Meski baru saling mengenal namun keduanya terlihat langsung akrab apalagi Kelvin orangnya easy going dan murah senyum. Kelvin juga cepat tanggap dan mudah memahami mengenai apa yang Ghea sampaikan. 

Keduanya terlihat serius pada perbincangan seputaran pekerjaan.

Dan tanpa mereka sadari sedari tadi Puteri curi-curi pandang melirik ke arah keduanya terutama Kelvin. Puteri terpesona saat melihat Kelvin diperkenalkan oleh Pak Harry. Kelvin adalah type pria idamannya. Wajah Kelvin 11/12 dengan wajah aktor favoritnya, Eza Gionino. 

Catet! Eza Gionino ya bukan Eza si bajingan mantannya Ghea. Eza itu mah Puteri juga ogah!

"Kenapa sih setiap cowok ganteng nemplok nya sama Ghea mulu. Gue kek gitu sekali-kali. Herman gue," gerutu Puteri sambil curi-curi pandang melirik Kelvin.

Dita mengendikkan bahunya acuh lalu kembali fokus pada layar komputernya.

"Tanyakan pada rumput yang bergoyang siapa tau lo nemu jawaban dari pertanyaan lo," kekeh Ines sambil bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju ruangan Pak Harry untuk menyerahkan laporan.

"Dit..."

Dita hanya berdehem tanpa menatap Puteri.

"Lihat gue dulu."

Dita pun terpaksa menatap Puteri.

"Padahal jerawat gue udah ilang ini pakai skincare yang direkomendasikan Ghea. Tapi tetep ajah belum ada yang naksir sama gue." Puteri memajukan bibirnya. "Kenapa ya Dit?"

"Lah ngapain lo nanya sama gue, emang gue cenayang," jawab Dita.

"Gue bahkan lupa udah berapa tahun gue menjomblo." Puteri menambahkan.

"Derita lo. Lagian lebay banget sih. Emang lo doang yang jomblo di dunia ini," balas Dita mengakhiri perbincangan.

"Kayanya gue suka sama Kelvin, Dit. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama," aku Puteri tanpa sungkan.

"Hah? Gue nggak salah denger kan?"

***

Hari-hari berlalu, kini Kelvin sudah dimentori oleh Martha yang memang sudah ahli di bidangnya, bukan Ghea lagi.

Kelvin juga sudah akrab dengan Ghea dan ketiga sahabatnya bahkan untuk makan siang pun Kelvin mengekori mereka.

Mereka tidak pernah lagi membicarakan Aldrine saat makan siang di kantin mengingat ada Kelvin bersama mereka.

Puteri semakin menunjukkan rasa ketertarikannya tanpa sungkan pada Kelvin, terkadang membuat Kelvin canggung dan risih karena Puteri terlalu blak-blakan padanya.

"Menurut gue enak pas di ajarin lo Ghe, entah kenapa lebih cepet masuk ke otak gue. Bu Martha bahasanya terlalu tinggi dan belibet, kadang gue harus mikir dulu apa yang dia omongin. Ya, so far dia lama-lama enak juga sih, apalagi dia kan memang ahlinya," tutur Kelvin jujur.

"Ciiieee.... muji Ghea," celetuk Ines.

"Udah siap jadi Bapaknya Alea, lo?" timpal Dita. Kelvin memang sudah tahu bahwa Ghea merupakan single parents yang sudah berpisah dengan suaminya.

"Eh iya kapan-kapan ajak Alea ke kantor dong Ghe, gue penasaran sama anak lo. Emaknya ajah cantik gimana anaknya," puji Kelvin lagi membuat Puteri hanya bisa diam dan fokus pada menu makan siangnya. Ia selalu ditanggapi dingin oleh Kelvin. Apa Kelvin ilfeel karena dirinya terlalu agresif dan blak-blakan? Tapi begitu lah Puteri adanya. Ia tidak bisa jika disuruh kalem meski dihadapkan dengan pria yang ia taksir.

Ghea benar-benar merasa tidak enak. Ia tahu Puteri menyukai Kelvin. Tapi sungguh, Ghea tidak tertarik pada Kelvin. Ghea menganggap Kelvin hanya sebatas teman kerja, tidak lebih dari itu. Ghea malah mendukung Puteri untuk tetap maju memenangkan hatinya Kelvin.

"Ghe masih ada waktu 20 menit lagi. Katanya lo mau nemenin gue ke Ace Har***re deket sini?" Kelvin mengingatkan.

Ghea melirik Puteri yang mendadak menjadi pendiam dan Ghea yakin itu karena dirinya. Ghea sungguh merasa tidak enak. 

“Lo ama Puteri aja ya, gue...”

Kelvin menarik paksa lengan Ghea agar ikut dengannya. "Gue mau nya sama lo Ghe," ucap Kelvin sambil terus melangkah setengah menyeret lengan Ghea.

Puteri menghembuskan nafas lelahnya melihat sikap Kelvin pada Ghea yang ia tunjukkan secara terang-terangan.

Toko perkakas tersebut letaknya cukup dekat dari kantor, tepatnya ada diseberang kantor. Dan karena memang mereka mau menyeberang jalan, Kelvin mencengkeram kuat pergelangan tangan Ghea.

Sementara itu, saat Aldrine kembali ke kantor setelah menemui Alea seperti biasa, Aldrine yang memang sedang menyetir akhirnya menepikan mobilnya di bahu jalan. Dari kejauhan ia melihat Ghea tengah menyeberang jalan bersama seorang pria muda sepantaran Ghea.

Aldrine memicingkan matanya meyakinkan penglihatannya. Entah kenapa ia tak suka saat melihat Ghea dan pria yang entah siapa berpegangan tangan di muka umum. Ghea dan pria itu terlihat akrab dan saling melempar tawa satu sama lain seperti tengah membicarakan sesuatu hal yang lucu.

Aldrine sadar selama ini ia tak pernah melihat Ghea tertawa lepas seperti itu apalagi saat Ghea bersamanya. Ghea hanya akan memberikan tatapan tak suka padanya.

Aldrine juga sadar bahwa belakangan ini ia terlalu fokus pada Alea demi mendapatkan cinta Alea dan hati Alea tapi Aldrine malah menjauh dan menjaga jarak dari Ghea bahkan ia tidak tahu hal apa saja yang Ghea lakukan selama beberapa minggu belakangan ini.

Aldrine hanya rutin memesan sarapan dan juga makan siang untuk Ghea tapi tak pernah sekalipun ia bertatap muka langsung dengan Ghea. 

Aldrine merasa ada gelenyar aneh dalam dirinya yang membuatnya... merindukan wanita itu, ibu dari putrinya. Ya.. Aldrine akui bahwa ia memang merindukan Ghea.

 

___________

 

Chapter 19

Penyesalan terdalam

Aldrine merapikan meja kerjanya, bersiap akan pulang karena Devan sudah pulang lebih dulu. Semenjak ia rutin menemui Alea dan bermain bersamanya pada jam kerja maka sebagai gantinya ia akan lembur untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda.

Aldrine tak merasa keberatan selama ia bisa dekat dengan Alea dan bisa mencurahkan sebagian waktunya untuk Alea, apapun akan ia lakukan. Bahkan Aldrine selalu berjanji untuk mengajak Alea jalan-jalan di hari libur atau di akhir pekan namun hingga saat ini janji tersebut tak pernah terealisasikan. Alea lebih dulu pergi bersama Ghea dan Benny entah kemana dan mereka baru akan kembali malam harinya.

Ghea seolah sengaja ingin menghindar darinya. Aldrine merasa hatinya seperti diremas-remas jika Ghea terus-menerus bersikap sedingin ini padanya.

Tiba di depan lift khusus para direksi, Aldrine memencet panel lift menuju lantai bawah. Ia sudah merasa lelah luar biasa dan saat ini yang inginkan hanyalah beristirahat.

Ting!!

Pintu lift pun terbuka. Aldrine langsung masuk ke dalam lift yang akan membawanya turun ke lantai dasar.

Drrtt!! Drrtt!!

Aldrine merogoh ponsel di saku celana. Ada notifikasi chat dari istrinya yang mengabarkan bahwa ia akan pulang dari Jepang minggu depan, tidak jadi minggu ini.

Setelah Aldrine membalasnya, Aldrine tersenyum simpul melihat foto Alea yang menjadi wallpaper di ponselnya yang tengah tersenyum ketika Aldrine menemaninya bermain kala itu.

Aldrine mengusap-usapnya seolah sedang meraba wajah Alea.

“Papa menyayangi mu, nak.” Aldrine tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan sayangnya pada Alea saat ini. Meski Alea ada karena sebuah kesalahan tapi Aldrine bahagia Tuhan mengirimkan Alea ke dalam hidupnya.

Aldrine yakin bila orang lain mengetahui Alea adalah putri kandungnya, mereka pasti tak akan langsung percaya karena tidak ada dalam diri Alea yang mirip dengannya. Alea benar-benar duplikat dari Ghea.

Aldrine tersenyum miris, Tuhan seolah membenci dirinya yang begitu pengecut saat menciptakan Alea. Selama ini Aldrine bahkan tak tahu menahu bahwa Alea itu ada.

Ting!!

Aldrine keluar dari lift setelah lift tiba di lantai dasar. Secara kebetulan Ghea juga keluar dari lift karyawan. Baru saja Aldrine akan melangkah menghampiri Ghea namun langkahnya terhenti saat melihat dibelakang Ghea ada satu orang pria dan wanita.

Aldrine memicingkan matanya, pria itu pria yang ia lihat tempo hari berpegangan tangan dengan Ghea ketika akan menyeberang jalan.

“Ghe, besok-besok nggak usah bawa motor. Apalagi kalau lembur gini, terus pulang malem. Bahaya tahu. Gue siap kok antar jemput lo,” tawar Kelvin pada Ghea tanpa mempedulikan eksistensi Puteri di sana yang langsung menghembuskan nafas lelahnya.

Puteri bela-belain lembur karena Kelvin juga lembur dan ia berharap Kelvin menawarkan tumpangan padanya tapi sepertinya ekspektasinya tak sesuai dengan realita yang ada. Ghea lah yang Kelvin tawari bukan dirinya.

Puteri tidak menyalahkan Ghea hanya saja Kelvin yang kurang peka padanya dan Puteri yang terlalu agresif. Apa Puteri harus merubah sifatnya agar lebih kalem lagi supaya Kelvin menyukainya seperti menyukai Ghea yang lemah lembut dan keibuan?

Tapi Puteri tak bisa melakukannya. Itu bukan dirinya sama sekali.

“Nggak perlu Vin, lagian gue udah biasa bawa motor sendiri,” tolak Ghea secara halus sambil terus melangkah bersama Kelvin dan Puteri.

Aldrine memperlambat langkahnya dan tanpa sengaja mendengar pembicaraan ketiganya yang berjalan tak jauh di depannya.

Kelvin menghela nafas kecewa. Padahal ia ingin lebih dekat lagi dengan Ghea. Ia merasa nyaman bersama Ghea meski Kelvin tahu Ghea adalah janda beranak satu tapi Kelvin tak merasa keberatan. Ia malah ingin berkenalan lebih jauh dengan putrinya Ghea.

“Gue nebeng boleh nggak Vin? rumah lo kan di Pondok Indah jadi kita searah,” ujar Puteri tanpa sungkan. Ia siap jika Kelvin akan menolaknya sekalipun. Setidaknya ia sudah mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya agar ia tak penasaran lagi.

“Nah iya Puteri lagi nggak bawa motor. Barengan aja,” timpal Ghea.

Kelvin terlihat berpikir kemudian mengangguk menyetujuinya karena ada yang ingin ia tanyakan juga pada Puteri.

Puteri mengerjap tak percaya, Kelvin mau memberinya tumpangan. Ia pikir Kelvin akan menolaknya.

Dari pembicaraan ketiganya dan melihat gelagat pria itu, Aldrine menyimpulkan bahwa pria bernama Kelvin itu ada rasa pada Ghea.

Aldrine harus mencari tahu latar belakang Kelvin karena Aldrine mengkhawatirkan Ghea. Aldrine takut Kelvin merencanakan sesuatu hal buruk pada Ghea-nya.

***

Puteri tak menyangka mobil Kelvin ternyata cukup mewah dan sepertinya harganya tidak lah murah. Ia yakin Kelvin berasal dari keluarga berada. Iya lah, keponakan Pak Harry. Pak Harry kan lumayan tajir.

Senyum Puteri yang tadinya sumringah pun seketika memudar saat mendengar Kelvin mengutarakan isi hatinya. Bukan padanya melainkan untuk Ghea, sahabatnya.

Ya... Kelvin memiliki rasa pada Ghea membuat hati Puteri terasa diremas-remas.

“Wajah Ghea, senyum Ghea ngingetin gue sama mantan pacar gue yang udah lama nggak ada. Saat melihat Ghea untuk pertama kalinya sejujurnya... gue udah jatuh cinta tanpa peduli sama status Ghea saat ini,” ujar Kelvin sambil fokus menyetir sementara Puteri hanya diam.

“Entah kenapa gue ngerasa nyaman bersama Ghea. Gue nggak keberatan meski dia janda sekalipun, malah gue pengen lebih deket sama anaknya.” Kelvin mengeluarkan unek-unek dalam hatinya.

“Gue denger lo, Dita sama Ines adalah sahabat deketnya Ghea dari SMA," ujar Kelvin lagi meski Puteri tak memberikan respon.

“Oh ya, gue mau nanya. Anaknya Ghea itu kan cewek, nah biasanya anak cewek tuh suka apa aja sih?” tanya Kelvin penasaran tanpa melihat raut wajah Puteri yang berubah murung.

Benar dugaannya sejak melihat kedekatan Kelvin dan Ghea yang tak biasa, Puteri sudah sangat yakin bahwa Kelvin memiliki rasa yang berbeda pada Ghea meski Puteri selalu menunjukkan rasa ketertarikannya pada Kelvin tapi pria itu seolah tak peduli.

“Lo pengen banget tahu?” Puteri tersenyum miring. Kelvin bahkan tak menatapnya sama sekali.

“Tentu. Gue akan ngambil hatinya Ghea lewat anaknya terlebih dulu.”

“Lo cari tahu sendiri! Turunin gue di depan halte. Gue mau naik ojek aja,” bentak Puteri membuat Kelvin mengernyitkan dahinya bingung. Kenapa Puteri tiba-tiba membentaknya dan meminta turun? Padahal tujuan mereka masih lumayan jauh.

“Lo yakin? Ini masih jauh loh.”

Puteri kesal Kelvin memberikan tumpangan padanya karena ada yang ingin Kelvin tanyakan mengenai Ghea. Itu artinya Kelvin tidak tulus.

Tak lama Kelvin menepikan mobilnya di depan halte sesuai permintaan Puteri.

“Lo benar-benar nggak peka Vin.” Puteri menghela nafas lalu melepaskan seat belt nya. “Makasih buat tumpangan tidak tulusnya.”

Puteri pun keluar dari mobil Kelvin dan menutup pintu mobilnya dengan sangat kencang membuat Kelvin semakin tak mengerti, apa ada yang salah dari ucapannya barusan?

***

Alea menempelkan telapak tangannya di dahi Aldrine lalu menghela nafas dalam-dalam. Persis seperti Dokter yang tengah memeriksa pasiennya.

“Om Aldrine sakit, jadi harus di suntik dulu. Kalau tidak nanti sakitnya akan semakin parah. Alea siapkan suntikan nya dulu ya Om,” ucapnya antusias dengan senyuman tak pernah lepas dari kedua sudut bibirnya.

Aldrine merasa bahagia saat Alea menyentuh wajahnya dan terkadang memeluknya. Sejenak Aldrine melupakan beban pekerjaan yang setiap harinya harus ditanggungnya. Menghabiskan waktu bersama Alea merupakan hiburan tersendiri baginya. Meski ia melakukan hal yang sia-sia tapi ia tak pernah merasa keberatan asalkan bersama Alea.

“Alea kenapa suka sekali main dokter-dokteran?” tanya Aldrine sambil mengamati Alea yang sedang mencari suntikan mainan di dalam box mainannya. Alea sering memainkan permainan ini dan Aldrine lah atau boneka-bonekanya lah yang menjadi pasiennya.

Jangan tanyakan Benny kemana karena Aldrine lah yang meminta Benny untuk beristirahat selama Alea bersamanya.

“Kakek bilang, cita-cita Mama menjadi Dokter tapi nggak kesampaian karena saat itu Alea ada di dalam perut Mama. Jadinya Mama nggak kuliah dan Mama nggak jadi Dokter deh," jawab Alea apa adanya sesuai yang ia dengar dari Kakeknya.

Deg!!

Mendengar penuturan Alea, dada Aldrine bergemuruh dan darahnya berdesir hebat karena secara tidak langsung Aldrine lah yang sudah menghancurkan impian Ghea. Ini salahnya! Tanpa henti Aldrine akan mengatakan, apapun yang terjadi pada Ghea setelah malam itu adalah karena kesalahannya. Andai waktu bisa diputar ulang, Aldrine tidak ingin memanfaatkan keadaan.

Sungguh! Aldrine semakin merasa sangat bersalah pada Ghea dan keluarganya.

Aldrine mengusap kasar wajahnya. Aldrine tak bisa membayangkan bagaimana hidup yang selama ini Ghea jalani akibat buah dari kesalahannya bahkan Ghea pun harus kehilangan ibunya.

Selalu penyesalan terdalam yang Aldrine rasakan jika kembali teringat pada kejadian malam itu, beberapa tahun silam.

“Ketemu. Om Aldrine suntikan nya kete...” Alea menjeda saat melihat suntikan nya.

Aldrine terkesiap. “Kenapa sayang?”

“Suntik nya di pending dulu ya Om Aldrine,” ucap Alea membuat Aldrine terkekeh geli.

“Suntikan nya patah. Alea nggak benar nyimpennya sampai bisa patah terbelah dua gini,” sesal Alea.

“Alea mau Om Aldrine belikan suntikan yang baru?” tawar Aldrine semangat. Ia senang bisa memberikan apapun yang Alea inginkan dan Alea butuhkan meski setelah itu Benny akan memberikan wejangan padanya agar tak perlu menuruti apapun keinginan Alea. Benny sungguh merasa tak enak hati. Ia ingin melarang Aldrine untuk tidak perlu datang lagi tapi Ghea melarangnya. Benny juga tak ingin mendengar rengekan cucunya yang terus menanyakan Aldrine bila sehari saja Aldrine tak datang kecuali di akhir pekan.

Alea jadi terbiasa dengan kehadiran Aldrine. Toh tidak ada salahnya juga mereka kan hanya berteman meski Benny yakin ada sesuatu yang tak biasa disini.

Alea mengangguk antusias. Mainan yang Aldrine berikan padanya tidak pernah mengecewakan dan selalu bagus tidak seperti yang Mama nya berikan.

“Besok saat Om Aldrine main kesini lagi, Om Aldrine bawakan satu set mainan dokter-dokteran untuk Alea.”

Alea berjingkrak kegirangan. Apapun yang ia inginkan ia tidak perlu lagi meminta pada Mamanya karena sudah ada Aldrine yang akan memberinya.

Cup...

Aldrine melebarkan matanya saat Alea mencium pipinya dan memeluk tengkuknya. Ini pertama kalinya setelah mereka dekat, Alea mencium pipinya. Hati Aldrine menghangat dan ia bahagia tak terkira.

“Terima kasih Om Aldrine yang selalu baik sama Alea. Alea sayang Om Aldrine.” Alea tersenyum seraya melepas pelukannya dari Aldrine.

“Alea apa? Alea sayang Om Aldrine?” ulang Aldrine masih tak percaya.

Alea mengangguk antusias.

“Boleh kah Om Aldrine memeluk Alea lagi?” tanya Aldrine penuh harap.

Alea kembali memeluk Aldrine.

Aldrine tersenyum, memeluk Alea dengan erat dan menitikkan air matanya. Ia terharu mendengar Alea menyayanginya.

Ya Tuhan, kini putrinya menyayanginya. Aldrine sudah berhasil mengambil hati putrinya sesuai keinginannya.

Dan hal itu pun tak luput dari penglihatan Benny yang sudah berdiri tak jauh dari mereka entah sejak kapan. Benny semakin yakin bahwa Aldrine bersikap seperti ini karena Aldrine sudah mengetahui sesuatu mengenai Alea ataupun Ghea.

Semakin kesini-sini, sikap Aldrine semakin aneh, tak biasa dan mencurigakan. Benny harus mencari tahunya sendiri tapi sebelum itu ia harus membicarakan hal ini langsung dengan Ghea, siapa tahu saja putrinya itu sudah mengetahui sesuatu mengenai sikap Aldrine yang semakin aneh dan tak biasa ini.

 

_________

 

Chapter 20

I miss you so bad 

Aldrine keluar dari lift lalu melangkah menuju divisi pemasaran untuk bertemu Pak Harry, namun hal itu hanya alibinya semata karena tujuan utamanya hanya untuk mencari tahu sendiri siapa pria yang kemarin malam keluar dari lift bersama Ghea. Aldrine lupa namanya siapa toh tidak penting juga ia mengingatnya tapi ia penasaran.

Sesampainya di divisi pemasaran untuk menuju ruangan Pak Harry, Aldrine kesal saat melihat Ghea dan pria itu duduk di meja yang sama tengah mengerjakan sesuatu. Tanpa sadar Aldrine berbelok arah menghampiri keduanya bahkan Aldrine mengabaikan sapaan para karyawan lainnya karena tatapan matanya hanya fokus pada Ghea seorang.

Setelah tepat berada di belakang Ghea, Kelvin yang lebih dulu menyadari kehadiran Aldrine pun akhirnya menyapa Aldrine meski tak ditanggapi oleh Aldrine.

Aldrine menilai penampilan Kelvin dari atas ke bawah.

"Not bad! Tapi dia tidak pantas untuk Ghea," batin Aldrine tak suka.

Kelvin merasa tatapan Aldrine padanya terasa berbeda. Seperti ada kebencian. Kelvin tak mengerti kenapa, padahal mereka juga baru bertatap muka hari ini.

"Vin lo denger nggak? Ini..."

Ghea mengikuti arah tatapan Kelvin.

Ghea kaget melihat Aldrine sudah berdiri tepat di belakangnya.

"Sore Pak Aldrine," sapa Ghea ramah.

Aldrine berdehem. "Sore Ghea," balasnya. Hanya sapaan Ghea lah yang ia balas membuat karyawan lainnya menoleh ke arah Aldrine.

Aldrine menelan kasar salivanya, apa sangat kentara sekali perbedaan perilaku ia pada Ghea dan yang lainnya?

Aldrine berdehem menetralkan rasa canggungnya karena banyak pasang mata tertuju padanya.

"Sore semuanya, silahkan lanjutkan pekerjaan kalian," ucap Aldrine pada semuanya kemudian berlalu dari sana menuju ruangan Pak Harry sebelum karyawan lainnya semakin curiga padanya.

Kelvin mengamati Ghea dari jarak sangat dekat. Mereka duduk berdekatan karena Kelvin ingin Ghea membantunya, ada hal yang tidak ia mengerti.

"Kok gue ngerasa ada yang aneh saat Pak Aldrine natap lo, Ghe. Lo nggak ada hubungan apapun sama dia kan?" tanya Kelvin curiga membuat Ghea menghentikan aktivitasnya.

"Kok lo tiba-tiba nanya gitu?" Bukannya menjawab Ghea malah balik bertanya.

"Cara dia natap lo, cara dia balas sapaan lo, beda banget Ghe," jawab Kelvin. "Apa dia yang naksir sama lo ya? Tapi mustahil banget sih," lanjutnya lagi. Jika benar Aldrine seperti itu, maka Kelvin harus bergerak cepat.

"Ghe ada hal yang ingin gue—"

"Ini persentase buat harga di brosur masih ada yang salah Vin. Coba deh lo cek ulang." Ghea mencoret bagian yang salah dengan pena berwarna merah.

Kelvin pun manggut-manggut dan mereka pun kembali sibuk pada pekerjaannya.

"Put, lo baik-baik aja kan? Lo nggak kesambet apaan gitu?" Ines heran.

"Gue ngerasa hari ini Puteri cuma diam nggak kaya biasanya. Tumben loh Nes, biasanya dia paling berisik dan heboh kalau ada Pak Aldrine datang," timpal Dita.

"Lo ada masalah apaan Put?" tanya Ines lagi.

"Lo ditolak Kelvin?" tebak Dita.

Puteri menoleh dan mengamati interaksi Kelvin dan Ghea lalu menghela nafas panjang. "Gue ngerasa dia bakal nolak gue sebelum gue ngungkapin perasaan gue."

"Maksud lo apaan sih?" Dita tak mengerti.

"Kelvin suka sama Ghea," jelas Puteri lesu.

"Hah?" kaget Ines dan Dita bersamaan.

"Dia sendiri yang bilang sama gue semalem," aku Puteri.

Ines dan Dita hanya membulatkan bibirnya. Pantas saja Puteri diam saja dan terlihat murung, rupanya karena dia patah hati.

"Gue nyerah. Gue nggak mau lagi ngejar cowok nggak peka kaya dia yang bikin hati gue sakit meski tak berdarah," ucap Puteri setengah bercanda menghibur diri. Ia tidak mau jika nantinya Kelvin ditolak oleh Ghea terus Kelvin menerimanya sebagai pelampiasan saja. Jadi sebelum hal itu terjadi lebih baik Puteri menjauh.

Dita menepuk-nepuk bahu Puteri. "Sabar... tulang rusuk nggak akan pernah tertukar," ucapnya memberikan semangat pada sahabatnya.

"Seperti lagunya Afgan, jodoh pasti bertemu." Ines malah bernyanyi. "Meski hingga kini kita belum ketemu jodoh kita, sabar aja," sambungnya lagi.

Puteri memanyunkan bibirnya, meski ia kesal, sedih dan kecewa tapi karena kedua sahabatnya ia merasa sedikit terhibur.

"Gue nunggu Eza Gionino nya langsung yang ngelamar gue deh," ucap Puteri kembali menghibur diri.

Dita dan Ines saling melempar tatapan jengah lalu memutar bola matanya. Puteri nya kembali tidak waras seperti sedia kala pemirsa.

"Sadar diri woi... Eza Gionino udah punya bini yang pastinya lebih cantik dari lo." Ledek Ines sambil terkekeh geli. Ia memang senang menggoda Puteri dengan cara seperti ini.

***

Ghea sudah kembali ke mejanya. Sejujurnya duduk berdekatan dengan Kelvin membuatnya tak nyaman dan risih apalagi Ghea tahu Puteri menyukai Kelvin.

Beberapa kali Ghea melirik ke arah pintu ruangan Pak Harry yang tak kunjung terbuka. Ghea menunggu Aldrine karena ada hal yang ingin ia tanyakan padanya. Selama ini Ghea kesulitan hanya untuk menemui Aldrine.

Beberapa menit kemudian pintu ruangan Pak Harry terbuka dan Aldrine pun keluar dari sana dengan didampingi Pak Harry seperti biasa.

"Nes, gue ke toilet dulu," ucap Ghea.

Ines mengangguk mengiyakan.

Ghea pun keluar dari divisi pemasaran dan sengaja menunggu Aldrine di depan lift. Ke toilet hanya alasannya semata.

Dari kejauhan Ghea sudah melihat Aldrine berjalan ke arah lift.

"Sore Pak," sapa Ghea setelah Aldrine tiba dihadapannya. "Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bapak," ucap Ghea membuat Aldrine tersenyum samar. Aldrine senang Ghea berinisiatif menemuinya lebih dulu. Sebenarnya Aldrine sudah tahu apa yang ingin Ghea tanyakan padanya.

***

"Setelah malam itu kau tidak pernah menjalin kasih dengan pria mana pun dan kau tidak pernah memiliki suami." Tatapan mata Aldrine tetap tak berpaling dari wajah Ghea yang begitu terkejut mengetahui hal ini.

"Aku mencari tahunya sendiri dengan bantuan orang ku untuk mengobati rasa penasaran dalam diriku. Dan ternyata benar, Alea adalah putri kandungku."

Ghea menitikkan air matanya sembari menggenggam hasil test DNA Alea. Aldrine sudah tahu bahwa Alea adalah darah dagingnya buah dari kesalahan yang terjadi beberapa tahun silam.

"Kenapa Bapak tidak bilang kalau Bapak sudah tahu bahwa Alea..."

"Kenapa kau juga menyembunyikan hal ini dariku Ghea? Jika aku tak mencari tahunya sendiri, sampai kapan kau akan jujur padaku dan berhenti berbohong hah?"

"Berbohong?" Ghea tersenyum miring.

Aldrine mengangguk. Ia hampir percaya pada kebohongan Ghea yang mengatakan sudah memiliki suami.

"Jadi Bapak menawarkan Alea mobil, membelikan Alea sepeda baru dan membawakan mainan untuk Alea setiap harinya lalu menemani Alea bermain ditengah-tengah kesibukan Bapak, itu adalah karena Pak Aldrine sudah tahu hal ini?"

"Ya, aku akan memberikan apapun yang aku miliki untuk Putri kandungku. Apapun Ghea," jawab Aldrine dengan penuh ketegasan dengan menekankan kalimat terakhirnya.

"Apa setelah Pak Aldrine tahu Alea darah daging Bapak, Pak Aldrine akan mengambil Alea dari saya? Pak Aldrine akan memisahkan Alea dari saya dan Kakeknya?"

Aldrine mengernyitkan dahinya. Ahh jadi selama ini Ghea tidak memberitahunya karena hal ini. Karena Ghea takut Aldrine akan merebut Alea darinya.

Tidak! Aldrine tidak sejahat itu.

"Apa menurutmu aku seperti itu?"

Ghea terdiam. Dengan kekayaan, kekuasaan yang Aldrine miliki maka akan sangat mudah baginya untuk memisahkan Ghea dan Alea. Mengambil hak asuh Alea darinya.

Ghea lebih baik mati jika harus berpisah dari Alea. Ghea pun memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi setelah ini. Yang paling utama, ia tidak ingin membuat rumah tangga Aldrine dan Gisel berantakan karena terbongkarnya rahasia ini. Ia juga pasti akan dipandang sebelah mata sebagai wanita perusak rumah tangga orang lain.

Tidak! Ghea tidak ingin hal itu terjadi.

"Aku tidak sejahat itu Ghea."

Ghea terkesiap kemudian menghela nafas lega.

"Dan berhenti memanggilku Bapak!"

Ghea mengernyitkan dahinya. "Tapi Bapak atasan saya, sangat tidak sopan hanya—"

"Panggil aku Aldrine," perintah Aldrine, "Kita bahkan sudah melakukan hal yang lebih dari sekedar atasan dan bawahan. Apa perlu aku ingatkan?"

"Tapi itu dimasa lalu Pak Aldrine, dulu anda bukan atasan saya dan kita juga melakukannya karena pengaruh alkohol," bantah Ghea.

Aldrine tersenyum miring. Jadi Ghea masih beranggapan bahwa malam itu ia juga mabuk sama sepertinya.

"Ghea selama ini kau keliru. Sebenarnya malam itu aku sa—"

"Cukup seperti ini saja Pak Aldrine. Sikap Bapak pada saya dan pada Bu Gisel jangan pernah berubah," potong Ghea.

"Apa maksudmu Ghea?" tanya Aldrine tak mengerti.

"Saya sudah melupakan semuanya. Saya dan Alea tidak ingin menjadi duri dalam bahtera rumah tangga Pak Aldrine dan Bu Gisel." Ghea memaksakan senyum dan menghapus kasar air matanya.

"Jika Pak Aldrine ingin menemui Alea dan bermain bersama Alea, saya dan Ayah saya tidak akan melarangnya. Pintu rumah saya akan selalu terbuka lebar untuk Pak Aldrine karena walau bagaimana pun Pak Aldrine adalah Ayah kandung Alea. Saya juga berharap Pak Aldrine tidak terlalu memanjakannya." Ghea mengeluarkan keresahan dalam hatinya.

Aldrine menatap dalam mata Ghea yang terlihat memerah karena menangis. Ingin rasanya Aldrine menghapus air mata yang mengalir di pipi Ghea.

"Aku memanjakannya karena aku sangat menyayanginya," jawab Aldrine jujur.

Ghea menatap dalam mata Aldrine yang duduk di hadapannya di kursi kebesarannya. Ghea berusaha mencari kebohongan di dalam sana namun nihil karena Aldrine memang mengatakan kejujuran.

"Sesuai janjiku malam itu," batin Aldrine.

"Aku akan bertanggung jawab padamu Ghea," tegas Aldrine namun Ghea menggeleng tak setuju.

Jika Aldrine bertanggung jawab padanya dan Alea itu artinya Aldrine akan merelakan pernikahannya hancur. Lalu setelah itu Gisel akan terluka dan orang-orang akan membenci Ghea karena sudah merebut suami orang lain dan menghancurkan rumah tangga orang lain.

Tidak! Itu tidak boleh terjadi apalagi Gisel adalah wanita baik-baik.

Ghea tidak ingin hal itu terjadi. Lebih baik ia yang menderita dari pada harus berbahagia diatas penderitaan orang lain. Toh selama ini Ghea sudah terbiasa seperti ini, membesarkan dan merawat Alea hanya dengan bantuan Ayahnya saja, tanpa Aldrine.

Aldrine tersenyum miris. "Apa jika aku belum terikat pernikahan dengan Gisel, kau akan berubah pikiran?"

"Sepertinya urusan saya di ruangan Bapak sudah selesai, jadi saya permisi." Ghea menyudahi pembicaraan ini lalu bangkit dari duduknya.

Baru saja Ghea akan melanjutkan langkahnya, Aldrine bangkit dari duduknya, menghampiri Ghea dan memeluknya dari belakang.

Ghea melebarkan matanya kemudian mencoba lepas dari pelukan Aldrine.

Aldrine menghirup dalam-dalam wangi tubuh Ghea yang tak pernah berubah dari dulu. Aroma manis menguar menusuk indera penciumannya perpaduan antara wangi vanilla dan musk yg lembut dan memabukkan.

"Aku yang belum selesai dengan mu," bisik Aldrine dengan deru nafas memburu tepat di telinga Ghea.

Aldrine memutar tubuh Ghea agar menghadapnya. Ghea terus mencoba lepas dari kuasa Aldrine.

Aldrine menghimpit tubuh Ghea ke dinding dan mengunci pergerakannya. Pandangan mata mereka bertemu.

"I miss you so bad," ucap Aldrine parau. Aldrine senang pada akhirnya ia bisa mengakuinya pada Ghea.

Ghea menggeleng tak setuju. "Tidak Pak Aldrine. Ini salah. Pak Aldrine tidak boleh seperti—"

"Dan aku bisa gila jika tidak mencium bibir ini." Aldrine melumat bibir Ghea dengan ganas seperti yang ia lakukan pada malam itu, beberapa tahun silam. Aldrine tak membiarkan Ghea mengambil oksigen meski hanya sebentar saja.

Aldrine begitu menikmati ciuman ini meski tak mendapatkan balasan dari Ghea selain gigitan di bawah bibirnya sebagai bukti penolakan Ghea.

Karena sudah dikuasai nafsu sekaligus amarah karena Ghea terus memberikan perlawanan, Aldrine menarik paksa kemeja putih yang Ghea kenakan dengan cukup kuat membuat kancingnya berhamburan di lantai, beruntung dibalik kemeja itu Ghea masih mengenakan tank top berwarna khaki.

Aldrine sadar ia tak mungkin membuat Ghea pingsan karena kehabisan nafas. Aldrine pun terpaksa menarik bibirnya menjauh dan...

Plaakk!!

Dengan berderai air mata dan nafas memburu, Ghea menatap nyalang pada Aldrine yang sudah benar-benar keterlaluan padanya. Ghea tak peduli, setelah ini ia akan di pecat atau apapun asalkan Ghea memberikan balasan pada pria yang sudah melecehkannya.

"Apa yang baru saja Pak Aldrine lakukan hah?"

"Mencium bibir mu memang apalagi," jawabnya tanpa merasa bersalah sambil menghapus sisa saliva di bibir Ghea dengan ibu jarinya.

Ghea tersenyum sinis. "Saya bukan wanita murahan yang bisa Pak Aldrine sentuh, Pak Aldrine cium kapan pun Bapak inginkan!" bentaknya sambil kembali mencoba lepas dari kuasa Aldrine. Ghea terus mencoba lepas meski dirasa sulit.

"Aku tidak pernah menganggap mu wanita seperti itu. Bagiku kau spesial Ghea."

"Hah?" Ghea tertawa sumbang. "Apa Pak Aldrine pikir saya akan luluh mendengar rayuan sialan dari mulut Bapak." Ghea menggeleng seolah mengejek Aldrine. "Tidak akan!"

"Aku tidak sedang merayu mu, aku tulus," bantah Aldrine.

Ghea mendengus. "Ternyata selain Pak Aldrine sangat berwibawa, bijaksana, Pak Aldrine juga bajingan!"

"Bajingan katamu?" Aldrine tersenyum getir menanggapinya. Ia tak menyangka kalimat tersebut akan keluar dari mulut Ghea. Sebegitu benci kah Ghea padanya meski ia mengatakan kejujuran sekalipun?

"Pak Aldrine merayu saya, menyentuh saya, mencium saya dibelakang Bu Gisel. Apa Pak Aldrine tidak merasa bersalah sedikitpun?"

"Kita bahkan pernah melakukan hal yang lebih dari ini Ghea, apa perlu aku ingatkan bagaimana..."

Plaakk!!

Aldrine tersenyum miring karena lagi dan lagi Ghea menampar pipinya.

"Itu masa lalu. Jadi jangan pernah membahasnya lagi. Jika Bu Gisel tahu Pak Aldrine seperti ini dia pasti akan sangat terpukul dan kecewa."

"Cukup! Jangan bawa-bawa nama Gisel lagi. Kau tidak tahu apapun perihal rumah tanggaku juga mengenai aku dan Gisel," ucap Aldrine tak suka.

Aldrine menangkup kasar pipi Ghea karena ia kesal mendengar ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Ghea dan satu-satunya cara agar Ghea diam adalah dengan membungkam bibirnya.

Aldrine pun melakukannya, membungkam bibirnya dengan ganas. Sebelah tangan Aldrine tak tinggal diam, menelusup masuk ke dalam tank top yang Ghea kenakan dan meremas dadanya dengan kasar dan intens.

Ghea menangis sejadi-jadinya namun tangisannya teredam oleh ciuman menggebu-gebu Aldrine. Bahkan Aldrine memejamkan matanya menikmati ciuman tersebut.

Tubuh proporsional Aldrine dan juga tinggi badan Aldrine yang menjulang membuat Ghea kesulitan lepas dari kuasa Aldrine hingga akhirnya Ghea pun pasrah karena sudah merasa kehabisan tenaga untuk melawan.

Ghea menangis. Ia tidak ingin cinta satu malamnya dengan Aldrine terulang kembali apalagi kini status Aldrine bukan lagi pria lajang.

Aldrine membuka matanya, darahnya berdesir hebat dan detak jantungnya berpacu tak karuan, hatinya terenyuh saat melihat air mata tak berhenti mengalir dari pipi Ghea.

Aldrine menarik bibirnya dan menjauh dari Ghea seolah baru sadar dengan apa yang sudah ia lakukan.

Aldrine mengusap kasar wajahnya setelah melihat kondisi Ghea yang kini terduduk di lantai. Kancing kemeja Ghea terlepas bahkan tank top yang ia kenakan sudah tersingkap hingga ke bagian dadanya menampilkan tubuh bagian atasnya.

Ghea memeluk kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia kembali menangis sejadi-jadinya. Ghea tak menyangka, dengan sadar Aldrine melecehkannya seperti ini.

Aldrine melepaskan blazer slim fit berwarna navy yang ia kenakan lalu berjongkok dan mengenakannya pada tubuh Ghea yang bergetar karena terus menangis.

"Maaf," batin Aldrine. Ia tak tega melihat Ghea menangis tersedu-sedu seperti ini.

Aldrine mengusap puncak kepala Ghea. "Aku akan mengantarmu pulang."

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
It's My Fault
Selanjutnya It's My Fault (21-31)
0
0
Konten ini berisi Chapter 21-31 (11 Chapter sekaligus) dari cerita “It's My Fault” (Tahun penulisan 2021)Untuk cerita selengkapnya tersedia juga dalam versi Ebook yang diterbitkan oleh penerbit Eternity Publishing https://play.google.com/store/books/details/Dessy_Albakin_It_s_My_Fault?id=zMlKEAAAQBAJ   
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan