
Seekor emprit singgah di ranting pohon jambu setiap pagi. Aku selalu menantikan cicitan merdunya, hingga suatu hari suaranya tak terdengar lagi... Kemana perginya?
~
**
~
Emprit termasuk jenis hewan yang jamak ditemui. Hewan bersayap mungil itu biasanya terlihat bertengger di batang dan dahan. Suaranya merdu namun mencicit, bagai keringkihan yang nyaring. Cerita pendek ini berkisah tentang itu. Alurnya maju, dan bersudut pandang aku. Latar tempat di sekitar rumah dan pohon jambu. Waktu mengambil di setiap pagi. Dan suasananya sunyi, sepi, namun kadang terasa damai. Cerita ini bersifat sekilas. Tidak ada hubungan dengan cerpen sebelumnya atau sesudahnya. Ide cerita diambil dari Hitman Bodyguard, dimana seorang tokohnya bercerita tentang pengalaman masa mudanya. Jadi hanya mengulang bagian dari film itu saja, dan beginilah ceritanya...
~
**
~
NYANYIAN EMPRIT
jumlah kata: 800 lebih
tema: mendengar kicauan emprit
perkiraan waktu baca: 2 - 3 menit
setting: Di area perkebunan, Pagi, Sunyi sepi namun menenangkan
tokoh: 2 (si aku, dan emprit)
genre: Fiksi, drama
~
**
~
Langit masih kelabu, saat aku lahir kembali. Bintang di tenggara sana terlihat berkelap - kelip. Merah, putih, dan warna perpaduan silih berganti. Sudah beberapa hari ini aku melihatnya. Bintang itu tergantung di atap angkasa. Sibuk bermain dengan kilau dan germerlapnya. Oh iya, baru kuingat kalau sekarang Juli. Di bulan ini, aku biasa melihat bintang itu. Entah dengan Agustus atau lainnya. Celah jendela tempatku mengintip tidaklah lebar. Hanya sebesar bantal bayi. Jadi hanya bintang itu yang bisa kulihat dari jendela kamar.
Tampaknya bumi masih tidur. Tidak ada tanda - tanda pergerakan di sekitarku. Fajar begini, kesunyian memegang kendali. Angin dari selatan meniup dedaunan. Di depan sana, ada sebatang pohon jambu. Pohonnya tak besar juga tak tinggi. Hanya seukuran manusia dewasa, dikali lima. Batangnya coklat tua. Daunnya hijau dan rimbun. Mereka berjejer dan bertumpuk di rantingnya yang rapuh. Rupanya kita tak pernah sendiri. Selalu saja ada pemandangan yang menyertai kita. Selalu saja ada yang membarengi keberadaan kita.
Di sebuah ranting pohon jambu itu, terlihat seekor burung emprit. Ia baru saja datang, sama sepertiku ke dunia fisik. Hanya saja aku lebih dulu sampai. Hewan bersayap itu melipat kedua sayapnya. Lalu ia mendarat di pucuk dahan pohon itu. Ia menengok ke kanan ke kiri sebentar. Memastikan sekeliling aman. Melihat suasana sekitar agar tak mendapat gangguan. Lalu ia nyaman bertengger disana sambil bercuit - cuit. Aku penasaran, bagaimana kalau burung itu tahu kalau ada seseorang yang melihat tingkah lakunya sekarang.

Apakah ia akan tetap disana dan bernyanyi riang. Atau malah kabur karena hadir perasaan ancaman. Tapi ketimbang aku memilih salah satunya, mending aku memilih apa yang ada sekarang. Makhluk di atas pohon itu memerdukan cuitannya. Sampai terdengar ke sekitar rumah, areal sawah dan perkebunan yang bermeter - meter jauhnya. Aku tak bisa menangkap polanya. Nyanyian emprit itu terlalu acak. Kadang berbunyi dua tiga ketukan lalu berhenti. Kadang berhenti lama lalu ia melengkingkan suaranya kembali.
Aku pikir, pengaturan yang terpola mudah dicerna. Tapi pengaturan di luar pola lebih menghidupkan. Sampai matahari malu - malu mengintip di balik tirai, burung itu berdendang. Itu terjadi setiap hari, setiap pagi. Saat horizon di timur masih tak kentara. Saat antara langit malam dengan tanah di bumi masih dipayungi kegelapan. Saat itulah ia menemaniku, mengisi permulaan hidup setelah mati. Nyanyiannya juga sama, hanya berisi cuitan dan lengkingan disana - sini. Tak ada yang tahu darimana emprit itu berasal.
Mungkin ia punya sarang di pohon jambu itu. Tapi tidak, ia selalui pergi saat siang dan kembali saat pagi. Sampai suatu hari, burung itu tak muncul lagi. Suaranya tak terdengar lagi. Aku mencari tahu. Sudah tiga hari belakangan ia tak ada. Aku pun pergi berjalan kaki ke arah pohon jambu. Saat tiba disana, aku menemukan sebuah sarang yang masih semrawut. Kuambil sarang itu lalu kuperiksa. Aku terkejut saat melihat dua butir telur bersemayam disana. Telurnya putih dan kecil. Yang satu sudah hampir retak, sedang satunya masih utuh.

Aku mengamati mereka berdua. Apakah telur - telur ini akan menetas? Atau malah tidak lahir sama sekali? Lama aku tertegun memandangi keduanya, sampai aku menoleh di atas dahan ada bayangan beberapa emprit. Mereka bertengger, menunduk melihat ke arahku yang sedang mendekati sarang mereka. Aku pun menaruh sarang itu ke atas ranting terdekat. Sejak saat itu, jumlah emprit yang bertengger makin banyak. Mereka bernyanyi mengawali pagi, mewarnai langit kelabu.
Perpaduan antara bintang kelap - kelip di ufuk tenggara dengan suara merdu mereka adalah sarapan jiwa. Juli sudah lewat. Agustus hampir berakhir. Namun mereka tak pernah berhenti bernyanyi. Jendelaku juga masih berembun. Jambu - jambu mulai mekar. Dari hijau, kuning lalu memerah cerah. Batang pohonnya juga bertambah cokelat dari hari ke hari. Dedaunan kering gugur namun selalu dibarengi daun hijau yang segar. Sampai disini, apakah mungkin untuk terus melihat mereka lagi? Apakah mungkin untuk terus menikmati nyanyian mereka lagi?
Kata orang, waktu adalah pedang. Kata pepatah, jarak antara hidup dan mati tu singkat. Bagaimana seekor emprit dan kawan - kawannya menunjukkan itu. Mereka mendendangkan cuitannya selama mereka mampu. Mereka menggunakan dini hari dengan hidup. Aku iri, bagaimana mereka terus tampak bernyanyi sementara mereka bagian dari bumi yang silih berganti.
Tamat
~
**
~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
