
Jatuh cinta dan patah hati dalam waktu semalam? Hmm… rasanya seperti apa ya?
“Tinggal pasien kamar 305, dok.” Seorang perawat memperlihatkan catatan medis pasiennya kepada dokter Arka. Kini ia tengah melakukan pemeriksaan terakhir kepada semua pasiennya sebelum pergantian shift.
“Baik, sus.” Arka melangkah masuk ke kamar 305, tempat dimana Pak Rudi dirawat disana.
“Sore, pak, bu. Saya ijin periksa sebentar ya,” ucapnya sopan.
“Silahkan, dok.” Ibu Sari -Istri Pak Rudi- segera bangkit dari kursi tempat ia duduk, membiarkan dokter Arka memeriksa suaminya.
Suster Anna yang menemani dokter Arka dengan cekatan membantu pemeriksaan. Tanda-tanda vital Bapak nampak stabil, tidak ada gejala apapun pasca operasi yang terjadi.
“Sepertinya besok sudah bisa pulang, bu. Tapi besok pagi saya periksa lagi ya. Mari bu, permisi.” Arka mengangguk sebelum akhirnya berbalik menuju pintu keluar.
“Baik, dok. Terima kasih banyak.”
“Ah, iya ... “ Baru beberapa langkah dokter Arka berjalan ia seperti teringat sesuatu. “Apa bu Nidya tidak datang hari ini?” Bu Sari terbengong mendengar dokter itu menanyakan anak gadisnya.
“Untuk apa?” pikirnya dalam hati.
“Ada yang perlu saya bicarakan, terkait kesehatan Bapak.” Tukas Arka segera meminimalisir kesalahpahaman.
“Oh, ada dok. Lagi ke luar sebentar.” Dokter Arka tak menjawab ia hanya mengisyaratkan ‘oh’ dengan bibirnya. Setelahnya Dokter Arka benar-benar hilang di balik daun pintu.
Arka melangkah menyusuri koridor, segera menuju ke ruangannya bersiap untuk pulang karena shiftnya sudah habis. Begitu ia sampai di ruangannya, sebentar ia melemaskan otot punggungnya yang kaku. Lelah setelah seharian bekerja. Ada dua operasi besar yang ia lakukan hari ini. Ditambah dengan seorang pasien patah tulang akibat kecelakaan motor.
Baru saja ia bersandar pada sandaran kursinya, suara ketukan pintu terdengar. Arka menghela nafas, ia benar-benar merasa lelah dan hanya ingin istirahat sebentar. Sendirian.
“Masuk!”
“Woy, ka. Serius lo punya pacar?” Tanya Fatir tanpa aba-aba. Ia tidak terima sahabatnya itu menyembunyikan sesuatu darinya.
“Apaan sih dateng-dateng?” Arka melengos malas.
“Itu heboh banget di luar. Katanya lo punya pacar cantik kaya model. Kemarin dia dateng kesini. Emang iya?” Ah, Arka mulai mengerti. Ini pasti kerjaan Sasha. Ember juga mulut gadis satu itu.
“Iya. Aminkan aja. Semoga jadi kenyataan.”
“Jadi masih on progress ceritanya? Siapa sih? Anak mana?”
“Kemarin kan lo liat sendiri.” Kening Fatir berkerut, seketika ia ingat wanita cantik yang disebut sebagai wali pasien.
“Gila, bro. Cantik banget itu, jangan sampe lolos.” Fatir antusias menepuk pundak Arka. Arka yang merasa disemangati hanya mengacungkan jempolnya.
“Itu si Sasha pasti yang nyebarin kan?” Fatir hanya mengedikkan bahunya tak tahu menahu, ia meraih kursi di depan meja Arka dan duduk disana.
“Yang jelas di luar heboh banget. Sampe bikin hari patah hati nasional segala. Geli gue liatnya.” Fatir mencibir. Ya, memang ia akui Arka dokter yang paling favorit disana. Wanita mana yang tidak akan terlarut dengan pesona seorang Arka.
Namun, sudah bertahun-tahun Arka bekerja disana belum ada seorang pun yang memikat hatinya. Ada seorang dokter bernama Nasya yang cantiknya luar biasa, bahkan tidak mampu meluluhkan hatinya. Makanya, begitu terdengar kabar Arka memiliki seorang kekasih. Boom, kabar itu cepat meledak. Mereka penasaran seperti apa wanita yang berhasil menaklukkan seorang Arkana Aditya?
“Kenapa sih lo pada ikut campur banget sama kisah asmara gue?”
“Ya kali, gue pikir lo gak normal. Sampe si Nasya aja gak lo lirik. Padahal kurang apa coba dia?”
“Cantik kok. Gue suka. Tapi dia bukan tipe gue. Gitu aja kan simple. Bukan berarti gue gak normal juga.”
“Terus si wali pasien itu gimana? Siapa namanya? Dia tipe lo? Gitu?”
“Nidya. Namanya Nidya. Orangnya asik diajak ngobrol, senyumnya candu banget tau gak. Kebayang kan lo capek pulang kerja, begitu sampe rumah disambut dengan senyuman itu? Tiap bangun tidur bisa liat wajah cantiknya. Duh, nikmat mana lagi yang kau dustakan?” Senyum Arka merekah begitu membahas sosok Nidya dimatanya. Seakan gadis itu ada di hadapannya, tersenyum manis memperlihatkan lesung pipinya.
“Wah, sakit ni orang. Udah bayangin sampe mana lo?”
“Gue gak mesum kaya lo ya, tir. Enak aja.”
“Udah tobat lo sekarang?”
“Ngaco lo. Gue emang dari dulu gak aneh-aneh ya.” Fatir hanya tertawa melihat ekspresi Arka. “ Udah ah, mau balik gak lo?” Arka lantas bangkit. Ia merapikan meja kerjanya seperti biasa, setiap ia akan pulang ia harus selalu memastikan mejanya rapi.
“Duluan aja, gue nunguin Nurul.” Jelas saja ia akan menunggu kekasihnya itu dulu. Mereka sudah seperti kancing dan baju, dimana bersama bagai Romi dan Yuli.
Arka meraih tas kerjanya kemudian segera bergegas menuju parkiran di lantai dasar. Lorong khusus karyawan yang dilalui Arka nampak hening, sebagian sudah pulang ke rumah. Sebagian lagi sepertinya sedang bertugas. Lorong yang jarang dilalui banyak orang, hening dan nampak dingin sama seperti dirinya.
Dulu, ketika awal bekerja disana. Lorong itu menjadi tempat favoritnya untuk merenung. Setiap melewati lorong sepi itu, ia akan memelankan langkah kakinya. Memikirkan apa yang sudah terjadi di dalam tiga puluh tahun masa hidupnya.
Ia yang seorang diri tanpa keluarga dan saudara. Satu-satunya yang pernah ia miliki adalah orangtua angkatnya yang telah meninggal akibat kecelakaan. Setelah kejadian itu hidupnya tak pernah mudah. Ia yang baru lulus SMA saat itu begitu hancur. Tak tau harus melangkah kemana. Waktunya seakan berhenti pada titik itu.
Setelah melalui masa berduka yang lama. Akhirnya ia memutuskan untuk menjual rumah mewah dan beberapa aset peninggalan orangtua angkatnya. Termasuk mobil dan perhiasan. Hasil penjualannya ia gunakan untuk membangun kamar kos-kosan dan sepeda motor untuknya. Ia tinggal di dalam salah satu kamar kos itu, sepetak kamar kecil saja sudah cukup untuknya.
Dokter memang menjadi cita-citanya sejak kecil. Ia senang bisa membantu orang banyak. Meski hidup sendirian, ia dapat membuktikan kemampuannya dengan hasil jerih payahnya selama ini. Pendidikan yang ia dapatkan malalui beasiswa jalur prestasi, hingga posisi yang kini ia dapatkan. Semuanya tak luput dari halangan dan rintangan yang datang menghadang. Namun begitulah Arka, tak pernah menyerah untuk memperjuangkan apa yang ia inginkan.
Arka masuk ke dalam lift, segera ia menekan tombol menuju lantai dasar. Baru saja liftnya turun beberapa lantai, pintu terbuka dan nampak sepasang muda mudi ikut masuk ke dalam.
“Dokter Arka? Selamat sore dok.” Arka menoleh begitu ia mendengar suara gadis yang memanggilnya. Gadis itu, Nidya. Berdiri di sisi lain lift dengan tangannya menggandeng seorang laki-laki jangkung bermata sipit. Rambutnya yang hitam pekat nampak sangat kontras dengan kulit putih laki-laki itu.
“Mau pulang, dok?” Tanya Nidya. Arka mematung beberapa detik sebelum ia akhirnya manjawab.
“Iya, sudah pergantian shift. Kamu pulang juga?”
“Iya, dok. Nanti balik lagi.” Arka menatap tangan Nidya yang masih menggenggam erat lelaki di sampingnya.
“Pacarnya?” Arka memberanikan diri bertanya. Meski ia tau pertanyaannya agak sedikit tidak sopan. Tapi rasa keingintahuannya sungguh sangat besar.
“Iya, perkenalkan saya Reza.” Reza tersenyum seraya mengulurkan tangannya. Dengan mencoba setenang mungkin Arka menyambut uluran tangan itu. Begitu pintu lift terbuka di lobby rumah sakit. Nidya permisi dan melenggang keluar bersama laki-laki yang katanya pacarnya itu.
Sepeninggal mereka, ada rasa asing yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Meruntuhkan istana cintanya yang bahkan belum mulai dibangun. Ada rasa kecewa yang menggumpal di dalam dada. Menyibak tirai-tirai rasa ingin memiliki. Gadis yang dipujanya, benarkah sudah menjadi milik orang lain? Benarkan tak ada kesempatan untuknya masuk?
Kacau. Saat itu juga perasaanya kacau. Memangnya siapa gadis itu? Bisa meluluhlantakkan perasaannya hanya dalam waktu semalam? Mengapa kemarin gadis itu menyambut ajakan makan bersamanya jika sudah memiliki kekasih? Apa hanya menebar harapan palsu? Atau gadis itu yang sengaja mempermainkannya?
Tidak. Ia rasa bukan seperti itu. Mungkin pikirannya saja yang sudah melangkah lebih jauh dari tempat seharusnya. Mungkin harapannya saja yang terbang terlalu tinggi. Entahlah, Arka melangkah hampa menuju mobilnya segera setelah lift terbuka.
Ia terduduk di balik kemudi. Memikirkan waktu pertemuan mereka yang singkat namun begitu membekas di hatinya. Setiap ukiran wajah gadis itu memenuhi pikirannya. Dalam semalam, gadis itu berhasil membuatnya jatuh cinta sekaligus patah hati.
☆☆☆
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
