Happiness: 2. Arkana Aditya Rahman

0
0
Deskripsi

“Ada pasien patah tulang, dok. Ditunggu di ruang UGD.” Setelah menutup panggilan telepon, laki-laki itu segera mengenakan jas putihnya yang tersampir di kursi kerjanya. Tanpa komando ia bergegas menuju ruang UGD, tempat dimana pasien membutuhkan pertolongannya segera.


“Sudah di CT Scan?” Tanya dokter itu pada dokter jaga di ruang UGD.


“Sudah, ini dok. Sepertinya Artritis.” Ia mengamati hasil CT Scan pasien tersebut. Ia mengangguk, keakuratan diagnosis dokter jaga di ruang UGD sangat membantu untuk langkah tindakan selanjutnya. Ia segera menghampiri pasiennya dan memeriksa sendiri keadaannya.


“Sudah sakit sejak kapan, pak?”


“Sebenarnya sudah lama, dok. Tapi setiap saya ajak ke dokter, Bapak suka gak mau.” Seorang wanita yang merupakan wali dari pasien itu yang menjawab. Melihat dari penampilannya, sepertinya wanita itu adalah istrinya.


“Bisa ikut saya ke ruangan, bu?” Belum sempat ibu itu menjawab, nampak seorang gadis yang datang dengan terburu-buru. Begitu melihat orang yang dikenalnya, ia segera mendekat.


“Bapak gimana bu?” Tanya gadis itu khawatir. Ia tersenyum melihat ada dokter yang sedang memeriksa disana. Ia mengangguk pada dokter laki-laki itu sebagai tanda hormat, membuat rambut panjangnya yang diikat satu terayun ke depan.
Gadis itu berpakaian rapi, menggunakan kemeja lengan panjang berwarna lavender dipadu dengan celana bahan berwarna sedikit lebih gelap. Rambut panjangnya yang kecoklatan diikat rapi ke belakang. Menampilkan lekuk lehernya yang jenjang. Tubuhnya tinggi semampai meski hanya mengenakan flat shoes biasa.


“Saya jelaskan di ruangan saya, ya?” Gadis itupun mengangguk. Ia segera mengekor Dokter yang baru saja memeriksa kondisi Bapak.


“Bapak ini menderita Arthitis, bu. Peradangan pada sendi. Jadi harus segera dilakukan bedah Artroskopi.” Dokter itu memberi penjelasan singkat. 


“Apa parah, dok?” Ada kecemasan dalam nada bicaranya. Mendengar kata operasi siapapun pasti akan kaget.


“Tidak separah itu, saya perlu Artroskopi untuk tau tindakan selanjutnya. Saya akan memasukkan alat ke dalam untuk melihat bagian mana yang harus diobati atau dibuang. Semua tergantung separah apa peradangannya.” Nampak gadis itu manggut-manggut. Ia menautkan alis tebalnya, berpikir sejenak, lantas segera mengambil keputusan.


“Kalau itu yang terbaik, tolong lakukan saja dok. Saya percayakan sama dokter ya?”


“Pasti, bu. Saya sendiri yang akan mengoperasinya. Saya akan lakukan yang terbaik.” Mendengar kata-kata dokter itu membuat si gadis merasa sedikit tenang. Toh, ini rumah sakit besar. Sudah pasti dokter-dokter hebat yang bekerja disini.


“Silahkan bicarakan dulu ya, bu! Jika sudah sepakat, tolong segera isi formulir persetujuan operasinya.” 


“Baik, dok. Terima kasih.” Gadis itu tersenyum seraya maraih selembar kertas yang diberikan kepadanya. Ada lesung pipi menghiasi senyumnya yang cantik. Melihat dari pakaiannya sepertinya ia langsung berangkat dari tempat kerja. Nama gadis itu terpampang jelas pada name tag magnet di dada gadis itu.


“Nidya Amalya.” Mendengar dokter itu mengeja namanya, gadis itu kembali tersenyum.


“Ah, iya.”


“Saya, Arkana. Arkana Aditya Rahman.” Dokter itu mengulurkan tangannya. Membuat Nidya sontak menyambut uluran tangan itu. Mereka saling berjabat sebelum akhirnya Nidya pamit meninggalkan ruangan itu.


“Siapa tuh yang barusan? Cantik.” Selang beberapa menit pintu ruangannya kembali terbuka. Fatir, sahabat sekaligus rekan kerjanya datang menghampiri.


“Wali pasien.”


“Alah, wali apa wali. Ngaku aja lo! Udah mesem-mesem gitu.”


“Apaan sih, emang dia wali pasien. Itu Bapaknya di UGD.”


“Tapi cantik kan?” 


“Ya, emang cantik. Terus kalo cantik mau apa lo?”


“Mau gua deketin lah. Udah ada yang punya belum ya? Jari manisnya sih masih kosong ya.” Fatir tersenyum membayangkan sosok gadis yang barusan berpapasan dengannya di depan pintu. Arka geleng-geleng. Dia kan sudah punya Nurul. Kekasih Fatir di bagian Obgyn.


“Jangan. Udah ada yang punya dia.”


“Emang iya? Siapa?”


“Gua.” Arka melenggang pergi setelah menjawab dengan percaya dirinya. Malas meladeni Fatir ia segera meninggalkan laki-laki usil itu.
☆☆☆


Arka menatap lembar formulir persetujuan operasi di tangannya. Atas nama pasien Rudi Haryadi, dengan wali Nidya Amalya. Ada nomor ponselnya disana. Biasanya ia tidak begitu memerhatikan orang-orang di sekelilingnya. Namun gadis itu, entah mengapa begitu mencuri perhatiannya. Sejak awal, ia berhasil membuat ia merasa tertarik. Dengan gayanya yang simple namun begitu memesona. Senyumnya yang semanis madu, tak luput dari ingatannya.


Ia meraih ponselnya, menekan beberapa digit angka yang kemudian ia simpan di kontaknya. Mungkin suatu saat nanti, akan ada waktunya untuk ia menghubungi nomor itu.


Ia segera merapikan meja kerjanya, karena waktu jaganya sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Ia melepas jas putihnya, menggantungnya di sebuah hanger dan memasukkannya ke dalam lemari di sudut ruangan. Biar nanti petugas laundry akan mengambilnya untuk dicuci.


“Pulang, dok?” Sasha, perawat yang satu shift dengannya menyapa begitu ia keluar dari ruangan.


“Iya, sha.”


“Udah makan, dok? Makan bareng saya yuk!” Ah, lagi dengan terang-terangan wanita itu mencoba mendekatinya. Tanpa aba-aba Shasa menggandeng tangan Arka dengan erat.


“Sorry, sha. Udah makan barusan.”


“Kalau gitu, mau pulang bareng?” Arka memutar bola matanya, ia sungguh malas meladeni wanita itu. Tidak memberi jawaban, ia hanya melanjutkan langkahnya menuju lift ke lantai dasar, tempat mobilnya terparkir.


Sayangnya, Sasha menganggap itu sebagai persetujuan. Ia mengikuti Arka sampai ke parkiran. Arka yang berdecak kesal tak ia hiraukan, begitu terobsesinya gadis itu pada dokter tampan yang masih saja single diusianya.


Ia malas harus berdebat dengan wanita itu, meluncurkan segala macam alasan untuk menghindarinya. Arka rasa sudah tidak akan mempan. Entah jurus apa yang harus digunakan untuk membuat wanita itu sadar bahwa dirinya merasa risih. Seketika ia melempar pandangannya, mendapati sosok wanita yang baru saja ia kenal tadi siang.


“Nidya.” Merasa dipanggil, gadis itu menoleh. Ia kaget mendapati dokter ayahnya berdiri tak jauh dari dirinya. Seribu langkah Arka segera menghampiri Nidya yang sepertinya hendak pulang juga.


“Bantu saya ya, please.” Bisik Arka membuat Nidya bertanya-tanya. Apa yang bisa ia bantu saat ini.


“Sha, sorry. Kayanya saya bakal bareng pacar saya.” Nidya yang berdiri tepat di sampingnya mendelik mendengar apa yang baru saja ia dengar. Namun melihat ekspresi kesal dari wajah seorang wanita di sebelah sana, membuat ia mengerti apa maksud Arka tadi.


“Itu siapa ... Mas?” Dengan ragu, akhirnya kalimat itupun keluar juga.


“Oh iya kenalin.” Arka meraih tangan Nidya tanpa persetujuannya. Ia menggiringnya ke tempat dimana Sasha berdiri mematung. “Ini pacar saya, Nidya. Dan ini Sasha, teman saya.” Nidya mengulurkan tangan yang dengan malas disambut oleh Sasha. Jika Arka sudah memiliki kekasih, apa boleh buat? Melihat dari postur tubuh saja jelas ia sudah kalah banyak. Nidya yang tinggi dengan body goalsnya, berbanding terbalik dengannya yang tipis seperti kertas.


“Saya duluan, dok.” Tak menunggu jawaban Sasha yang kesal langsung balik kanan bubar jalan, segera menjauhi kedua orang yang nampak sangat serasi di matanya.


“Ada yang seperti itu ya disini?” Nidya menyembunyikan tawanya yang hampir saja pecah. “Saya pikir karena sibuk dengan tugasnya. Seorang dokter mana sempat untuk main cinta-cintaan.”


“Memang begitu, kok. Buktinya sudah usia tigapuluh tahun, tapi saya masih jomblo jomblo aja.” Nidya tertawa mendengar jawaban Arka. “Mau pulang?”


“Iya, ganti baju. Tadi dari kantor begitu dapat telepon langsung kesini.” Arka manggut-manggut, rupanya tebakannya tadi memang benar.


“Saya juga mau pulang.”


“Ah, ngomong-ngomong sampai kapan ini tangan saya dipegang?” Arka yang tersadar lantas melepaskan genggamannya. 


“Sorry sorry, gak sadar. Lama lama malah nyaman," Celetuk Arka membuat Nidya tertawa. “Kamu pulang naik apa?”


“Saya bawa mobil, kok.”


“Ah, kalau gitu kita pisah nih? Gak dilanjutin aktingnya yang tadi?”


“Dokter apaan sih?” Nidya terkekeh mendengar celoteh Arka yang menurutnya sedikit lucu. “Saya duluan ya.” 


“Ah, saya kira bisa makan bareng dulu sebagai ucapan terima kasih saya.”


“Gak usah dok, permisi.” Dengan berat hati Arka merelakan gadis itu pergi. Melihat punggung gadis itu menjauh, entah mengapa ada perasaan tidak rela menggelitiknya. Namun apa boleh buat? Ia memutar tubuhnya ke tempat mobilnya terparkir. Baru saja ia hendak membuka pintu mobilnya, suara yang ia kenali kembali terdengar.


“Tapi dok ... kalau cuma makan, saya rasa bisa.” Yess. Ingin rasanya Arka melompat kegirangan. Ia hanya tersenyum dan mempersilahkan Nidya segera masuk ke dalam mobilnya.
☆☆☆


“Jadi, dia itu dari dulu ngejar-ngejar dokter terus?” Nidya bertanya di sela tawanya yang pecah.


“Iya, saya sampe harus ngarang cerita buat nolak dia.” Arka menimpali. Mereka tengah berada di sebuah restaurant di dekat rumah sakit.


“Kenapa gak tolak secara langsung aja?”


“Udah. Gak mempan.” Arka kembali memasukkan makanan yang ia pesan ke dalam mulutnya.


“Wah, kok bisa ya?” Nidya geleng-geleng kepala. Ngobrol bersama Arka yang seorang dokter, ternyata seru juga. Ia pikir akan serius dan membosankan.


“Eh btw, kamu itu kerja dimana?”


“Saya?” Ucapan Nidya menggantung, ia menyeruput minumannya terlebih dahulu. “CS di Bank.”


“Oh, pantesan.” Mendengar respon Arka, Nidya mengernyitkan dahinya. Apa maksudnya? “Cantik.” Nidya tertawa lagi.


“Apa sih? Gak ada hubungannya sama kerjaan.”


“Ada dong, CS kan jadi front line nya sebuah bank. Harus ramah dan good looking.” 


“Iya memang, tapi good looking kan gak harus cantik. Berpakaian rapi dan sopan. Yang paling penting public speakingnya harus bagus," ucap nidya.


“Tapi kamu kan cantik.”


“Iyalah, cewek.”


“Nggak, serius.”


“Udah, dok. Bercandanya terlalu basi. Udah gak lucu.” Nidya kembali menyantap makanannya yang hanya sisa beberapa suap saja.


“Saya serius, kamu cantik. Mau gak ya kalau jadi pacar saya?”


“Saya kira dokter sibuk, kok masih sempet gombalin orang yang baru kenal beberapa jam yang lalu.” Nidya tertawa untuk kesekian kalinya. Ia melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah malam, ia harus segera pulang untuk berganti pakaian dan kembali lagi ke rumah sakit menemani Bapak.


“Mau pulang? Biar saya anter.”


“Gak usah, dok. Saya tinggal balik ke rumah sakit buat ambil mobil. Tok deket kan?”


“Yaudah saya anter ke rumah sakit.”


“Gak papa, gak usah. Dokter pasti capek udah kerja seharian. Di tambah besok harus persiapan buat operasi Bapak saya.”


“Arka.”


“Hmm?”


“Panggil aja Arka.”


“Ah, iya. Oke”


“Atau, mau mas juga boleh.” Arka tersenyum menatap dalam mata gadis di depannya. Di pandang seperti itu membuat wajahnya memanas. Ia hanya tersenyum, membuat lesung pipinya begitu jelas terukir. Sebentar, mereka saling menatap. Sebelum akhirnya berpisah.
☆☆☆
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Happiness: 3. Artroskopi
1
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan