The Last Hope Pt.1

0
0
Deskripsi

Brohamburgh, kota yang selalu diselimuti kegelapan. Kota terpencil dengan keindahan alam yang memukau, tapi jauh dari peradaban. Segala informasi terlambat masuk di kota yang hampir tidak pernah terkena sihar matahari. Kota yang sangat menarik bagi makhluk-makhluk supernatural. Namun benarkah kota ini semata hanya untuk tempat senang-senang? Mungkin kedatangan Renjun akan sedikit mengubah Brohamburgh.

The Last Hope

Part 1

.

.

.

Haechan bertemu Renjun di perguruan tinggi satu-satunya yang dimiliki kota Brohamburgh. Geografi kota itu cukup unik di mana di bagian utara terbentang tebing dan beberapa jurang yang curam, sedangkan bagian selatan berimbun pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Hal ini membuat kota Brohamburgh terkesan gelap dan mendung. Hanya ada sedikit sinar matahari yang berhasil menerobos masuk. Di samping itu pula, kota ini seolah terpencil, selalu tertinggal dari berita atau kejadian dari belahan bumi lainnya.

Awal pertemuan Renjun dengan Haechan tidak terlalu mengesankan. Haechan termasuk anak populer sedari masa sekolah, jadi dia mudah berkawan dengan siapa saja. Dia lebih dulu mengenal Yangyang lalu berpacaran dengan Ryujin sewaktu masuk tahun kedua. Di tahun itulah Renjun ikut bergabung dan dia menjadi mahasiswa yang aneh. Haechan tidak terlalu menghiraukan karena ini adalah perguruan tinggi. Orang dari seluruh penjuru daerah bisa datang dengan berbagai kebudayaannya, termasuk Renjun.

Sebenarnya keanehan Renjun tidak terlalu berlebihan jika tidak ada kejadian di laboratorium Kimia. Renjun hanya suka warna-warna gelap, barangnya cukup nyeleneh. Dia suka menggunakan barang yang bertema penyihir, membawa beberapa botol kaca yang berisi tanaman, bahkan dia juga punya kalung kristal yang selalu dipakai di lehernya. Namun pagi itu cukup berbeda. Haechan memergoki Renjun yang masuk tanpa izin di laboratorium, padahal dia tidak mengambil kelas sains sama sekali. Parahnya, Renjun menggunakan perlengkapan lab seolah dia tahu apa kegunaannya. Haechan ingin mendobrak masuk, tapi otaknya memerintahkan dia untuk bersabar dan melihat apa yang dilakukan Renjun.

Di salah satu meja itu, tergeletak kucing hitam yang terbujur kaku. Renjun dengan alat seadanya mencoba membersihkan luka, menyayat beberapa bagian kulit kucing lalu menuangkan ramuan yang ada di vial. Haechan masih sabar mengamati. Agak lama, mungkin tiga menit keduanya saling memperhatikan apa yang terjadi pada kucing malang tersebut. Menit keempat, Haechan dikejutkan saat melihat kucing yang awalnya tidak bernyawa tiba-tiba dapat menggerakkan kakinya. 

Lelucon apa ini? Kejadian selanjutnya adalah Renjun yang sudah tahu jika dia dimata-matai oleh Haechan. Namun Haechan tak mendapat cercaan dari Renjun. Justru Renjun meminta bantuan Haechan untuk mengantarkannya ke dokter hewan terdekat. Mulai dari situlah mereka berteman.

“Aku penyihir,” kata Renjun singkat. Haechan ketahui Renjun memang selalu berbicara pendek, seperlunya saja.

Haechan akan tertawa bila Renjun mengatakan dirinya adalah penyihir. Dikata Haechan percaya begitu saja? Sekarang sudah lewat abad ke-20, dunia sudah canggih. Perkara kucing hitam, itu hanya kebetulan. Barangkali si kucing dalam keadaan sekarat, tapi belum mati. Karena pertolongan Renjun, kucing itu dapat selamat. Hanya kebetulan dalam keberuntungan. Toh setelah mempergoki Renjun di lab, kucing itu segera ditolong oleh dokter hewan.

“Aku tidak peduli,” Haechan berkata. Dia melihat langit yang sedikit jingga, beberapa mahasiswa bermain basket di lapangan. Ryujin ada di antara mereka.

Di saat Haechan menunggu permainan hingga selesai, maka Renjun kembali lebih dulu. Dia tidak ada urusan dan tidak perlu menemani Haechan. Renjun datang ke kota karena ada misi tersendiri.

Sejak kehadiran Renjun di perguruan tinggi tersebut, kejadian-kejadian aneh terus saja bermunculan. Mulanya banyak ditemukan bangkai hewan di berbagai tempat, entah di pinggir jalan atau gang-gang buntu. Tentu saja hal ini membuat bau busuk menyeruak sehingga udara tidak sedap untuk dihirup.

“Jangan berkeliaran,” pesan Renjun kepada kucing hitamnya. Kucing itu sudah sehat dan menjadi peliharaan Renjun.

“Kurasa dia ingin bermain,” tanggap Haechan.

“Tidak boleh.”

“Kau pelit sekali,” suara Haechan meninggi. Dia juga pernah punya hewan peliharaan, sedikitnya dia tahu bagaimana cara menjadi majikan yang baik.

“Kau tidak baca berita?” Renjun mencoba mengingatkan Haechan pada peristiwa yang sedang marak.

Haechan menangkap maksud Renjun. “Itu hanya ulah binatang buas, tenanglah.”

Renjun tidak menanggapi. Dia tahu siapa dalang pembuat onar ini dan itu bukanlah binatang buas. Renjun mengajak kucingnya masuk ke dalam kamar asrama, meninggalkan Haechan seorang diri. Beberapa hari kemudian keduanya tidak saling bertemu.

Seminggu kemudian, Haechan sedih bukan main. Bukan karena Renjun menghilang, tapi karena Ryujin ditemukan tak berdaya di jalan menuju asrama wanita. Keadaannya mengenaskan. Setahu Haechan, Ryujin tidak punya penyakit kronis, tapi tiba-tiba tubuh pacarnya seakan punya penyakit mematikan dan tampak tua. Kulitnya mengeriput, matanya cekung, dan kulitnya amat pucat, sangat tidak sesuai dengan umurnya.

Tidak hanya Ryujin, beberapa penduduk dan mahasiswa juga bernasib sama. Dokter tidak tahu penyakit apa itu. Dari semua pasien itu ada kesamaan, yakni bekas gigitan di bagian sekitar leher. Mungkinkah digigit binatang buas?

Pada saat itu, Renjun kembali. Wujudnya lebih mengerikan daripada orang yang belum tidur tiga hari. Sambil bergetar, dia mencari Haechan. Haechan heran, dia tidak mengerti mengapa Renjun ingin dibawa segera untuk menemui Ryujin walaupun sudah dijelaskan jika Ryujin terbaring di rumah sakit. Renjun tetap bersikukuh.

Setelah bertemu dan melihat langsung kondisi Ryujin serta beberapa pasien lainnya, Renjun memberikan sebuah tumbuhan. Dia memberikan itu kepada Haechan dan pihak rumah sakit. Selang berapa hari kemudian, kondisi para pasien sedikit lebih baik meskipun belum sadarkan diri.

“Jangan pulang malam,” larang Renjun. Kelas mereka berakhir saat hari sudah sore.

Sikap Haechan sedikit melunak karena Renjun telah menolong Ryujin. Perempuan itu memang belum membuka mata, tapi jantung dan denyut nadinya menunjukkan adanya kehidupan yang lebih normal dari sebelumnya.

“Aku hanya ingin menjenguk Ryujin,” ujar Haechan jujur.

Wajah Renjun yang semula keras seketika menjadi iba. Dia belum lama mengenal Haechan, tapi melihat hubungan manusia yang saling mencintai membuat hatinya tak tega. Renjun tidak ingin berlarut ataupun menunjukkan emosinya berlebihan.

“Ambil ini,” Renjun mengulurkan sebuah kalung kristal.

Haechan menerimanya, dia melihat kalung itu sejenak. “Bukannya ini punyamu?”

Renjun menggeleng. “Itu beda.”

Haechan masih mengamati. “Lalu untuk apa?”

“Melindungimu dari kaum mereka.”

“Mereka siapa?” tanya Haechan semakin bingung.

Renjun hanya tersenyum. Mungkin Haechan bukanlah penduduk asli kota ini sehingga pemuda itu tidak tahu mengenai sejarah kelam sebelumnya.

Malam setelah Renjun memberikan kalung pelindung kepada Haechan, dia harus keluar untuk memeriksa. Dia tak menyangka kaum pemakan darah akan bergerak secepat ini. Tidak hanya cepat, tapi juga mencolok. Renjun berjalan di pinggir trotoar, dia menghindari bangkai anjing yang tergeletak dengan kondisi mengenaskan. Tidak terkira olehnya bertemu dengan satu kawan Haechan dari arah berlawanan. Teman Haechan itu—Yangyang—terkejut. Dia hendak berbalik, tapi terlambat. Tubuhnya sudah tersungkur mencium beton.

Yangyang sadar di ruang remang-remang. Dia mendapati Renjun mengganti beberapa tanaman yang layu dengan yang segar. Tak lupa dia menyemprotkan cairan pada tanaman yang baru saja diganti.

“Jangan banyak bergerak,” suara Renjun menghentikan Yangyang yang hendak duduk.

“A-aku harus pergi, jika tidak...”

“Tidak usah risau,” Renjun berbalik. “Di sini aman.”

Yangyang terdiam. Rupanya rumor bahwa Renjun seorang penyihir sungguhan nyata. Tapi mana ada penyihir di era sekarang? Daripada disebut penyihir, mungkin Renjun hanyalah seorang apoteker yang memakai tumbuhan herbal.

“Minum ini,” setelah Renjun selesai mengaduk ramuan di gelas kayu dan Yangyang meminumnya. “Menjadi makanan vampir adalah pilihan buruk.”

Yangyang tersedak. Dari mana dia tahu?

“Kau melihatnya?” tangan Yangyang reflek memegang bagian lehernya, tapi Renjun menggeleng. “Lalu bagaimana?”

“Wajah dan tubuhmu mengatakannya,” jawabnya singkat.

Suara desahan keluar dari bibir Yangyang. Minuman yang Renjun berikan terasa hambar. “Aku tidak punya pilihan selain membuat janji tanpa tahu akibatnya.”

“Vampir itu hanya memanfaatkanmu. Pada akhirnya kau akan mati karena terlalu lemah dan kurang darah,” baru kali ini Renjun berbicara cukup panjang.

Tanpa sadar Yangyang menitikkan air matanya. Dia belum ingin mati, tapi kematian seolah sedang berada di depan matanya. “Mungkin inilah takdirku.”

Renjun membiarkannya menangis. Tak berselang lama, Yangyang jatuh tertidur. Dalam keadaan tak sadar, Renjun mengambil sedikit darah milik Yangyang untuk dijadikan sampel.

Berkat Renjun, Yangyang kembali segar. Renjun membuatkan kalung kristal berhiaskan daun dan bunga kering. Kalung itu lebih kuat dibanding kalung yang diberikan Renjun kepada Haechan. Renjun juga memberikan minuman khusus, ramuan yang dibuat agar efek gigitan vampir cepat pulih dari tubuh Yangyang.

Tidak hanya itu, sampel darah Yangyang benar-benar membantu Renjun. Akhirnya dia menemukan penawar sekaligus penyembuh bagi orang-orang yang sudah pernah tergigit vampir. Dengan begini, Ryujin akan bangun dari tidur panjangnya.

“Kau banyak menolong kami,” ungkap Yangyang selepas makan siang. Ada Haechan dan Renjun di depannya.

“Ryujin terus berkata untuk menyampaikan ucapan terima kasihnya jika aku bertemu denganmu,” tambah Haechan.

Renjun menyeka bibirnya dari saus hamburger. “Tidak masalah, ini memang tugasku.”

Yangyang memajukan tubuhnya. “Kau benar seorang penyihir?” Dalam diam Haechan juga masih penasaran.

“Kalian sudah lihat sendiri, bukan?” putar Renjun.

Memang tidak ada yang tahu asal-usul Renjun, bahkan setelah hampir setengah semester dia berkuliah, dia hanya berteman dengan Haechan dan Yangyang. Dia baik, menerima siapa saja yang ingin bergaul dengannya. Namun Renjun selalu membuat batasan sekaligus sinyal jika ia tidak ingin punya banyak teman.

Renjun memang seorang penyihir. Dia adalah anak terpilih dari sekian banyak anak terpilih lainnya. Renjun lahir saat bulan baru muncul. Orang tuanya tahu jika Renjun memiliki bakat istimewa. Maka ia dikirim ke ujung hutan, berharap penyihir legendaris mau mengambilnya. Sejak itu, baik orang tua maupun Renjun, mereka tidak pernah saling bertemu lagi.

Renjun diangkat menjadi murid dari seorang penyihir legendaris. Penyihir itu tinggal di ujung hutan, bersebelahan dengan ngarai yang dalam. Renjun adalah satu-satunya dan murid terakhir dari penyihir legendaris Nyonya Irene. Penyihir berhati dingin yang disegani oleh siapapun yang melihatnya.

Nyonya Irene berkata hingga waktunya tiba nanti, Renjun harus meneruskan tugasnya demi menjaga kota. Dahulu ia sudah berjuang melindungi kota dari serangan vampir. Beberapa temannya mati, menyisakan dirinya seorang. Setiap hari, setiap saat, Nyonya Irene menekankan pada Renjun, jangan sampai kota itu jatuh di tangan dan dikuasai vampir lagi. Ketika Renjun bertanya kenapa, Nyonya Irene hanya mengatainya tidak sopan dengan suara membentak.

Mungkin Renjun harus kembali lagi ke rumah Nyonya Irene. Walaupun sudah membantu korban yang berjatuhan, dia belum pernah bertemu langsung dari salah satu kaum pemakan darah tersebut. Renjun gelisah. Sebenarnya ini cukup menguntungkan dia sebab Renjun belum mampu melawan vampir.

“Jadi ini harapan terakhir dari Nyonya Irene?”

Renjun mengerjab. Di depannya berdiri pemuda berkulit pucat dengan seringainya. Gigi taringnya yang runcing terlihat dari balik bibirnya.

“Mau apa kau?” jari Renjun mencengkeram pasak peraknya.

“Hanya ingin melihat pahlawan yang menolong kota ini.”

“Enyahlah.”

Sekedipan mata pemuda itu membawa Renjun ke gang gelap dan sepi.

“Aromamu sangat menggoda dan aliran darahmu terasa hangat,” vampir itu berujar sambil mengendus leher Renjun.

Renjun hampir menangis. Bukan karena dia takut, tapi vampir itu mencekik lehernya dengan sangat kuat. Nafasnya juga ikut tertahan sampai pada tangan vampir itu melepaskannya. Renjun jatuh sambil terbatuk-batuk.

“Aku terlalu berekspektasi lebih,” dengus vampir itu.

Lengan Renjun mengusap air liur di sudut bibir. “Jangan merendahkanku.”

Sebenarnya Renjun paham betul jika dia bukanlah tandingan vampir itu, tapi Renjun enggan menyerah dan memulai perkelahian lebih dulu. Nahas baginya yang tidak pernah bertarung dengan vampir sungguhan sebab dia kalah cepat, kalah tanggap, dan kalah kuat. Secepat vampir itu membawa kabur Renjun, secepat itu pula si vampir menghisap leher Renjun dan meninggalkan bekas.

Renjun meronta. Hembusan nafas vampir itu terasa dingin, tapi saat taringnya menancap di kulit Renjun, sensasi panas bergejolak hebat. Tidak lupa dengan rasa sakit yang luar biasa. Dengan sisa-sisa kekuatan, Renjun berusaha menggores pasaknya pada pipi vampir itu. Sayangnya, Renjun tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Hampir sebulan, Haechan tidak melihat Renjun. Dia bertanya kepada Yangyang, mencari ke berbagai tempat bersama Ryujin, dan semuanya nihil. Bahkan kamar asrama Renjun kosong, hanya ada si hitam yang mengeong-ngeong. Haechan semakin panik. Pasalnya situasi di kota jauh lebih buruk tanpa adanya Renjun. Tidak mungkin Renjun lepas tangan begitu saja. Bukankah Renjun sendiri yang bilang jika dirinya adalah seorang penyihir?

Mata Renjun terbuka. Tubuhnya kaku dan terasa dingin. Dia diam sejenak lalu teringat kejadian mengenaskan yang menimpanya. Benarkah dia sudah berubah menjadi vampir?

Renjun berjingkat. Di depan wajahnya muncul vampir yang membuat kondisinya sedemikian rupa.

“Tidurmu lama sekali,” bilangnya dengan mimik sedih.

 Renjun ingin mendorong vampir itu supaya menjauh darinya, tapi Renjun tidak punya tenaga sama sekali. Tubuhnya roboh lagi dan seingatnya vampir itu memberikan cairan merah pekat, memaksa agar terminum oleh Renjun.

Hati Renjun teramat sakit. Dia tahu apa yang diminumnya. Dia merasa bersalah dan tidak punya harga diri bila harus berhadapan dengan gurunya.

“Kenapa kau menangis?” tanya si vampir. Ia berhenti memaksa Renjun meminum darah.

“Kau mengubahku menjadi vampir,” jawab Renjun sambil terisak.

Pernyataan Renjun tidak sepenuhnya keliru. Si vampir ingin marah, tapi dia tidak kuasa mengasari Renjun. Jadi ia duduk di sebelah Renjun, menarik tubuh kecil itu dalam dekapannya. Renjun cukup terkejut, dia ingin menolak, tapi hati dan raganya tidak keberatan dengan perlakuan si vampir.

Berikutnya si vampir terus menatap Renjun. Sedikit pun tidak beranjak atau mengalihkan pandangannya. Renjun jadi tidak nyaman sehingga dia menurunkan ego untuk berdialog.

“Namaku Jaemin,” kata si vampir setelah Renjun menanyakan namanya.

Renjun mengangguk. Renjun tidak sudi berbicara panjang dengan seorang vampir, tapi dia tidak tahu sedang berada di mana. Tempatnya terlampau gelap dan jauh dari keramaian. Lebih dari itu, Renjun justru bingung. Dia masih mendengar suara jantungnya walaupun sangat pelan.

“Aku tidak mengubahmu menjadi vampir, tapi kau juga bukan lagi manusia seutuhnya,” jelas Jaemin menangkap kebingungan di wajah Renjun. “Aku meminta Nyonya Irene untuk menghentikan proses perwujudan vampir di tubuhmu.”

“Mustahil,” sanggah Renjun. Nyonya Irene tidak mungkin membantu kaum vampir sekalipun itu demi muridnya sendiri.

“Kenyataannya lebih dari itu,” Jaemin mendekat. “Kita adalah twin flame.”

Tanpa diinginkannya, Jaemin melihat kilas balik Renjun saat menyesap darahnya. Gulungan memori itu langsung terpapar pada penglihatannya dan baru disadari jika dia punya koneksi dengan Renjun. Mati-matian Jaemin membujuk Nyonya Irene untuk menolongnya. Nyonya Irene baru luluh setelah Jaemin menjelaskan duduk perkaranya, tapi perempuan itu tidak ingin memberikan tempat beristirahat untuk keduanya.

“Lalu apa yang kau berikan padaku tadi?”

“Itu darahku yang sudah diekstrak dan disinari bulan purnama selama semalam.”

“Jadi aku masih manusia?” tanya Renjun.

“Manusia setengah vampir,” jawab Jaemin.

Seketika Renjun ingin pingsan.

Tidak, Renjun tidak pingsan. Namun dia merasa aneh di dalam tubuhnya. Ada kekuatan yang meletup-letup, padahal jantungnya hampir sekali pun tidak berdetak secara normal. Apakah ini harga yang harus ditukar demi mendapatkan kekuatan vampir? Lebih dari itu, dia sadar harus segera kembali ke kota. Pasti telah terjadi sesuatu dan Renjun sudah ketinggalan banyak hal.

“Tidak terpikirkan olehmu untuk melihat Nyonya Irene?” tanya Jaemin seolah dapat membaca pikiran Renjun.

Renjun bergeming. Dia tidak punya muka di depan gurunya, tapi jika dia tidak menampakkan diri, mungkin Nyonya Irene mengira dia sudah tiada. Secara reflek Renjun meraba bagian lehernya. Kalungnya hilang.

“Biar kulihat sebentar,” dan Renjun berlalu.

Dengan tubuh barunya, Renjun dapat memangkas waktu perjalanan lebih cepat. Jaemin mengikutinya, entah untuk apa dan mengapa. Di depan terdapat pondok kayu yang sudah tua. Pondok itu bersebelahan dengan jurang yang dipenuhi semak belukar. Dulu kecil Renjun hampir saja jatuh ke sana saat hendak mengambil tumbuhan yang menarik hatinya. Tak jauh dari pondok tersebut, seorang wanita mengenakan gaun gelap sedang menyirami tanaman di balik jendela.

Tangan Renjun mencengkeram batang pohon. Jika dulu dia sangat nyaman berada di lingkungan ini, sekarang dia merasa terancam. Renjun sengaja membuat jarak, tidak ingin terlalu dekat dengan gurunya. Cukup lama ia memandangi pondok beserta penghuninya hingga Nyonya Irene mau tidak mau melihatnya.

Empat pasang mata itu bertemu. Nyonya Irene tidak memberikan reaksi apapun. Wajahnya datar dan dia berpaling lebih dulu. Renjun menangkap bahwa kejadian barusan adalah salam perpisahan antara guru dan murid, tapi dugaan Renjun salah.

Sebilah pasak terlempar dan menancap di tengah-tengah batang pohon yang berada di samping Renjun. Jaemin keluar dari persembunyian, menunjukkan dirinya di sebelah Renjun. Renjun mencabut pasak tersebut dimana terdapat sebuah kalung yang memancarkan energi tak biasa. Renjun menatap pondok, Nyonya Irene berdiri di depan pintu lalu Renjun mengangguk sebagai tanda terima kasih.

“Nyonya Irene sangat peduli denganmu,” kata Jaemin setelah keduanya jauh dari pondok.

Renjun hanya mengangguk. Pasca tergigit Jaemin, Renjun tidak bisa menggunakan pasak yang biasa ia gunakan sebelumnya. Dia memang belum ahli dalam bela diri, tapi dengan adanya pasak lain yang lebih ramah padanya saat ini, dia merasa aman.

Setelah mengunjungi Nyonya Irene, Renjun dan Jaemin tiba di kota. Renjun tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kota yang sebelumnya terlihat hangat dan bersahabat, sekarang berubah menjadi buruk dan mencekam. Baru diketahui oleh Renjun jika ia sudah meninggalkan kota selama sebulan lebih.

Renjun dan Jaemin memutuskan untuk berpisah atau lebih tepatnya menjaga jarak aman. Mereka akan bertemu di rumah paling ujung yang sudah ditinggal oleh pemiliknya. Renjun tidak tahu apa yang hendak dilakukannya di kota, tapi dia harus mencari Haechan untuk saat ini.

Haechan tidak percaya vampir. Dia yatim piatu dan diangkat anak oleh keluarga terpandang di kota. Dia sempat mendengar selentingan jika orang tuanya mati akibat diburu oleh kaum haus darah tersebut. Namun saat Haechan masuk sekolah menengah atas, Haechan melakukan investigasi mandiri dan menyimpulkan (bahkan lebih mempercayai) jika orang tuanya mati karena kecelakaan mobil. Sekarang Haechan tidak lagi mempermasalahkan percaya atau tidak, dia lebih marah menjurus ke perasaan dendam terhadap siapapun yang membuat kota Brohamburgh menjadi tak aman. Apalagi saat orang-orang mulai mengatakan bahwa kerusuhan di kota disebabkan oleh kelompok vampir. Cuih, kenapa masyarakat masih mempercayai vampir di masa sekarang? Ini membuatnya kesal sekaligus tertekan.

Sementara itu, Renjun merasa Haechan berada di rumah sakit. Kakinya melangkah dengan hati-hati. Wujudnya memang manusia, tapi dia tergoda saat mencium bau darah dari seorang manusia. Di sana, Renjun menemukan Haechan yang berdiri di depan dua pintu dengan papan bertuliskan “Ruang Isolasi” di atasnya.

“Renjun,” suara Haechan terdengar lelah, tapi juga senang. Dia mendekati Renjun dan menemukan keanehan yang lain. “Ada apa denganmu? Kau sangat pucat.” Kaki Renjun mundur, ada bau yang menguar dari diri Haechan dan ini membuat Haechan sedikit tersinggung.

“M-maaf, apa yang terjadi?” tanya Renjun.

Tanpa Haechan jelasnya secara rinci, Renjun tahu jika kota baru saja diserang oleh sekelompok vampir. Jaemin sudah memperingati Renjun dan Renjun sudah melihat sendiri bagaimana kondisi kota yang hancur.

“Ryujin tergigit vampir lagi,” Haechan berpaling, menatap pintu yang tertutup. Rasanya dari lubuk hatinya yang paling dalam, Haechan masih sulit mengakui bahwa ini adalah ulah vampir. “Semua orang yang belum berubah menjadi vampir dikarantina di sini,” ujarnya sambil menunjuk.

“Mustahil,” suara Renjun lirih. Matanya terasa berkunang-kunang. Harusnya Ryujin tidak menjadi sasaran vampir setelah meminum ramuan yang pernah dibuatnya dulu. “Yangyang?” tanyanya tak sabar.

“Dia menghilang.”

Renjun pergi. Mengetahui bahwa dirinya gagal membuatnya kecewa. Dia tidak bisa menyelamatkan kota, satu orang pun tidak. Keluar dari rumah sakit, Renjun bertemu dengan Jaemin.

“Kau harus lihat kamar asramamu,” bilangnya lalu berjalan mendahului.

Secara mengejutkan, kamar asrama Renjun porak-poranda seperti suasana kota. Dari hidungnya, Renjun tahu jika ada tiga vampir yang mengacak-acak kamarnya dan samar-samar dia mencium bau Yangyang. Jaemin berdiri di samping Renjun, ikut memandangi tanaman yang tidak berupa.

“Keadaan semakin memburuk.”

Renjun melangkah mundur. Di dekat pintu terdapat tanaman rambat yang dibenci vampir. Ia meraihnya. Dengan gerakan pelan dan halus, Renjun menjerat leher Jaemin. “Katakan,” Renjun menarik sulur tanaman itu lebih kuat. “Ada dipihak mana kau ini?!”

Jaemin gelagapan. Dia tahu kalau tanaman itu tidak akan membuatnya musnah, tapi sensasi dari tanamanan itu layaknya api yang membakar kulit. Sorot mata Renjun benar-benar gelap, lawannya sedang bersungguh-sungguh.

“Aku netral,” ujarnya kepayahan.

Renjun nyaris saja menunjukkan emosinya, sebulir air hendak keluar dari kelopaknya. Namun Renjun kalah dengan perasaan kemanusiaannya. Alhasil Renjun mengendurkan jeratannya. Siku tangannya mengusap air mata ketidakmampuannya.

Barangkali semua musibah ini terjadi karena salah Renjun. Walaupun demikian, kerusakan kota bukanlah tanggung jawab Renjun seutuhnya. Namun tetap saja, Ryujin dan Yangyang juga patut dihitung. Apalagi Yangyang membelot dan tunduk kembali di kuasa para vampir. Renjun merasa dikhianati.

“Kita harus pergi. Mereka pasti tahu jika kau sudah kembali dan akan mengecek kamarmu lagi,” ajak Jaemin. Lehernya terdapat bekas merah melingkar.

“Tunggu,” Renjun membuka sebuah laci, mengambil wadah kecil, membuka tutupnya, dan berjalan ke arah Jaemin. Jari Renjun mengoles krim itu ke leher Jaemin yang memerah. “Untuk meredakan perih,” dan Jaemin tersenyum kecil atas perlakuan Renjun.

Rumah paling ujung itu telah lama ditinggal. Perabotannya banyak yang sudah rusak, lantai kayunya juga retak-retak. Bukan tempat strategis untuk digunakan perlindungan, tapi untuk sementara mereka tidak punya pilihan. Dengan cahaya minim yang berasal dari bulan, Renjun dan Jaemin sejenak berbicara, sejenak lagi terdiam. Sekarang Renjun tidak perlu membuang waktu karena adanya koneksi batin antara dirinya dengan Jaemin sehingga Jaemin tahu apa yang terjadi di rumah sakit tadi.

“Kau tidak tahu siapa yang menggigit Ryujin?” tanya Renjun. Dia duduk di kursi yang masih layak untuk digunakan.

Jaemin menggeleng. “Perkiraanku ada lebih dari satu kelompok yang merebutkan kota ini,” Jaemin menunduk, “sekaligus manusianya.”

“Apa kau punya kelompok atau kawanan?”

“Punya, tapi tidak di sini.”

Renjun terdiam. Di pikirannya dia bertanya-tanya, apa tujuan Jaemin sebenarnya. Kemudian Renjun terperanjat. Jaemin sudah berdiri di depannya.

“Mau ikut aku berburu? Kau belum minum darah sedari siuman.”

Malam itu, fase bulan akan memasuki bulan baru. Suasana kurang mendukung karena Renjun sama sekali tidak menginginkan dirinya untuk bersama Jaemin. Tapi apa boleh buat, jika Renjun tetap di rumah itu seorang diri, dia akan terancam bahaya bila ditemukan vampir lain. Maka dia rela terjebak bersama Jaemin sekarang. Tidak lupa dengan seekor rusa yang baru saja dilumpuhkan oleh Jaemin.

“Cobalah,” tawar Jaemin mengarahkan leher hewan herbivora tersebut ke arah Renjun.

Sementara Renjun, dia tidak tahu apakah dirinya harus merasa kasihan atau jijik. Tak pernah dalam benak Renjun akan meminum darah hewan secara langsung dengan menyesap bagian lehernya.

“Apa perlu aku contohkan?” tanya Jaemin karena melihat keraguan di wajah Renjun.

“Tidak perlu!” tangan Renjun merebut tubuh rusa yang tergolek. Perlahan dia mengincip darah segar hewan tersebut. Sedikitnya ada rasa amis campur bau anyir menusuk indra Renjun. “Ugh, sudah. Habiskan!” sodor Renjun kepada Jaemin.

Renjun melihat Jaemin yang lahap meminum darah rusa tersebut. Tidak ada kesan jijik sedikitpun di wajahnya seolah Jaemin sudah terbiasa. Berbeda sekali dengan Renjun yang berat untuk menelan cairan merah itu untuk masuk dalam rongga mulut lalu turun ke kerongkongannya.

“Aku bisa memaklumi dirimu yang tidak biasa dengan budaya vampir,” Jaemin membuka percakapan setelah dia selesai bersantap. “Wujud vampirmu belum terasah, mungkin kau ingin mencuri kantung darah dari rumah sakit?”

“Itu penyelewengan namanya,” Renjun menyabut rumput di sekitarnya, lalu membuangnya.

“Itu cara meminum darah manusia tanpa membunuh atau mengubah mereka.”

Renjun mengulangi kegiatannya.

“Kau mau kembali ke rumah itu?” dan Renjun tidak ada pilihan selain mengangguk.

Benar apa kata Jaemin, walau Renjun berwujud setengah vampir, tapi dia masih terbiasa dengan kehidupannya sebagai manusia sebab setelah sampai di rumah, Renjun langsung tertidur pulas. Renjun terbangun dengan tubuh terasa kaku. Jaemin duduk di kursi yang dia tempati semalam dan sedang membaca koran. Renjun mengusap matanya lalu ikut bergabung dengan Jaemin.

“Aku mengumpulkan berita dan informasi,” bilang Jaemin. Renjun meraih catatan yang dibuat Jaemin. “Saranku kau harus ke rumah sakit.”

“Untuk mencuri kantung darah?” beo Renjun.

Jaemin agak terkejut, tapi dia segera tertawa kecil dan mengusap rambut Renjun. Bagaimanapun juga Renjun jauh—sangat jauh—lebih muda dari dirinya. “Kita bagi tugas.” Setelahnya Jaemin menjelaskan rencananya kepada Renjun.

.

.

.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Last Hope Pt.2
0
0
Brohamburgh, kota yang selalu diselimuti kegelapan. Kota terpencil dengan keindahan alam yang memukau, tapi jauh dari peradaban. Segala informasi terlambat masuk di kota yang hampir tidak pernah terkena sihar matahari. Kota yang sangat menarik bagi makhluk-makhluk supernatural. Namun benarkah kota ini semata hanya untuk tempat senang-senang? Mungkin kedatangan Renjun akan sedikit mengubah Brohamburgh.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan