Flower Mood Pt.1

0
0
Deskripsi

Flower Mood Part 1

Renjun terlempar ke dunia paralel, dunia yang amat berbanding terbalik dengan dunia asalnya. Di dunia ini, Renjun bukanlah siapa-siapa, dia seorang perempuan kuper yang sering dirundung di sekolah. Perbedaan dan masa lalu yang mencolok menggugah hati Renjun untuk berubah. Berharap perbaikan hidup dalam dunia ini akan membawa Renjun pulang ke dunia asalnya dan kembali pada kekasihnya, Jaemin.

Flower Mood

Part 1

Senin yang cerah di pertengahan tahun. Renjun pergi bersekolah setelah Jaemin tiba di depan pintu pagar rumah. Renjun menyalami tangan Bunda Wendy dan melambaikan tangan pada Ayah Chanyeol yang sedang mencari satu kaos kakinya yang entah ke mana. Pasti tiga puluh detik kemudian, bundanya akan mengomel karena Chanyeol selalu menaruh barang sembarangan. Alhasil lupa kapan terakhir kali menaruhnya.

Jaemin menunggu di jok motornya. Seperti biasa, Jaemin sangat tampan, terutama saat menggunakan jaket denim yang dibeli bersamanya tahun lalu. Itu adalah penemuan mereka yang sangat bermakna sebab mereka hampir mengacaukan dagangan orang hanya untuk mencari jaket denim berwarna biru pucat. Jika Jaemin suka menggunakan jaket denim, maka Renjun lebih suka menggunakan pakaian yang lembut. Renjun memilih sweater atau vest yang dirajut dengan warna-warna kalem.

“Sudah siap?”

Renjun mengangguk setelah memasang helm, “Yep.”

Ya, Jaemin dan Renjun adalah pasangan kekasih. Mereka duduk di kelas 11. Renjun menyukai hal-hal yang berkaitan dengan seni sehingga ia mengambil mata pelajaran yang sejalur dengan minatnya tersebut. Berbeda jauh dengan Jaemin yang menyukai topik sosial, kemasyarakatan, dan hubungan manusia. Walaupun berbeda, keduanya tetap berprestasi dalam bidangnya masing-masing. Seringkali Renjun menonton atau mendengarkan lomba debat yang diikuti Jaemin. Bahkan ia rela meninggalkan jam pelajaran hanya untuk mendukung Jaemin secara langsung di tempat diadakannya lomba tersebut. Lain halnya dengan Jaemin, dia pasti mengajak gengnya untuk datang ke pameran seni yang diikuti Renjun sebagai barisan pesorak Jaemin kepada Renjun.

Agak lebay memang.

Baik, pada hari itu Renjun harus pulang telat karena minggu depan ada lomba mading 3D yang diikutinya. Jaemin bersedia menungguinya sambil bermain basket dengan kakak dan adik kelas. Renjun merasa tak enak hati, tetapi dia tetap menghargai pengorbanan sang kekasih. Maka dia berusaha agar urusannya selesai secepat mungkin. Dia tidak ingin membuat Jaemin menunggu terlalu lama. Tanpa sadar ia sudah terlalu memforsir tenaganya secara berlebihan.

“Bae, wajahmu pucat,” bilang Jaemin. Tangannya meraih dagu Renjun, mengecup bibir Renjun singkat, lalu mengambil alih barang bawaan Renjun. “Mau mampir dulu ke bakul mie ayam langganan?” tawarnya.

Renjun menggeleng pelan. Dia merasa tenaganya terkuras habis. “Tidak, Bee. Aku mau pulang dan tidur,” katanya lemah. “Maaf, aku tidak bisa mendengar argumenmu sebelum tidur.”

“Tidak masalah, Bae. Kalau begitu, mari kita pulang,” dan Jaemin berusaha secepat mungkin mengantarkan Renjun ke rumah.

Seperti yang sudah diduga Renjun, dirinya langsung tepar di kasur. Dia samar-samar mendengar suara Jaemin berbicang dengan bundanya, tapi dia benar-benar tak sanggup lagi. Matanya terasa berat dan ingin sekali tidur. Barangkali karena terlalu lelah, Renjun sampai tidak sadar bahwa tubuhnya sedang meriang tinggi. Di ruang tamu, Jaemin bilang pada Bunda Wendy bahwa ia kembali kemari untuk mengantar Renjun ke dokter.

Aku membuka mataku.

Ruangan terasa sunyi dan kepalaku sedikit berputar-putar. Entah mengapa, aku merasa seperti sudah lama tertidur. Terbukti dari seluruh tubuhku yang terasa kaku dan berat untuk kugerakkan barang sedikit saja. Aku bangun dengan susah payah dan menggantungkan kaki di samping ranjang.

Hmm, baju putih apa yang kupakai?

Aku menapak lantai, sedikit terhuyung—tidak, justru hampir jatuh mencium lantai. Sambil berusaha mengatur keseimbangan tubuh, aku menerka-nerka di mana diriku berada saat ini. Ruangan ini terlalu aneh. Sebetulnya tidak aneh karena aku menebak bahwa sekarang sedang berada di kamar—kamar rumah sakit. Namun aku tidak ingat jika dibawa ke rumah sakit.

Tanganku mendorong pintu yang kuyakini sebagai toilet. Pada pandanganku, ada sebuah cermin yang menempel di dinding. Aku mencoba mendekat. Seketika mataku melebar. Rahangku jatuh ke bawah. Tanganku bergetar, perlahan kuangkat dan ketakutan setelah menempelkan jemariku di kaca yang terasa dingin di pori-pori kulit. Sekarang tidak tangan saja yang bergetar, tapi seluruh tubuhku mulai menegang.

“A-apa ini?”

Aku terdiam selama lima belas menit. Kupandangi lagi pantulan diriku yang ada di cermin. Setelah mengalami syok, aku segera mengecek diriku sendiri. Baju putih yang kukenakan saat ini adalah baju khusus pasien rumah sakit. Aku membuka baju itu perlahan, menelanjangi diri, lalu kembali ke tempat cermin berada. Di sana, di pantulan cermin menampilkan penampakan buah dada dan vagina terpampang nyata di depan mataku. Bahkan aku sempat meremas buah dada itu untuk membuktikan ini bukanlah mimpi.

“B-bagaimana bisa?” tanyaku sekian kali. Kini aku sudah kembali menggunakan baju dan terduduk di atas ranjang yang kutiduri sebelumnya. Kenapa aku menjadi seorang perempuan? Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Oh, siapakah perempuan ini dan mengapa aku bisa merasuki tubuhnya?

Tiba-tiba pintu terbuka, membuatku terlonjak, tapi langsung bernafas lega setelah mengetahui sosok yang ada di pintu masuk.

“Bunda?” panggilku.

Wanita itu, aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Wajahnya terlihat terkejut sekaligus bahagia atau yang lebih tepatnya terharu. Matanya memerah dengan tangan yang melayang di udara seperti hendak menggapai sesuatu. Aku jadi bingung. Mengapa reaksinya seperti itu?

“R-Renjun,” wanita itu memelukku sangat erat. Kurasakan pundakku basah. “Ya ampun, Nak, kamu tidur lama sekali,” katanya dengan tangisan yang tersedu-sedu.

“B-bunda,” aku berusaha melepaskan pelukannya, walau terkesan tidak sopan.

Merasa bahwa aku tidak nyaman dengan pelukannya, wanita itu melepaskan rangkulan tangannya. Wanita itu menghapus sisa-sisa air matanya. “Kenapa kamu tidak memanggil Ibu?”

“Hah?”

“Sudah, tak apa. Mungkin ini efek setelah koma,” wanita itu beralih pada tombol untuk memanggil suster.

Aku semakin tidak mengerti.

Aku terbangun dari koma tiga bulan yang lalu. Tentu saja aku kaget, tercengang, tercekat, semuanya sangat tidak masuk akal. Kemarin aku baru saja diantar pulang Jaemin dan langsung menjatuhkan tubuhku di kasur, lalu, apa ini? Aku dinyatakan baru bangun dari koma. Hei, bahkan aku tidak mengalami kecelakaan ataupun selesai operasi. Aku hanya kelelahan setelah menyelesaikan mading 3D untuk lomba.

“Bun,” aku terdiam. Wanita itu memiliki nama yang sama dengan bundaku, tapi dia terbiasa dipanggil dengan sebutan ibu. “Maaf, tapi bolehkah aku sendiri dulu? Rasanya aku butuh tidur lagi.”

“Tentu saja boleh, Nak,” wanita itu beranjak sembari membereskan beberapa barang. “Besok Ibu akan datang bersama Bapakmu.”

“Eh?” aku menoleh. Apa katanya? Bapak? Uh, kuno sekali.

Baik, sekarang wanita itu sudah keluar dan aku sendirian. Mari mulai dari awal. Hari ini normal seperti biasanya, Jaemin menjemput sekaligus mengantarkanku. Tidak ada yang ganjil, hanya kelelahan ekstrem dan tertidur tanpa berganti baju. Kemudian aku terbangun dengan kondisi yang sungguh membingungkan nan aneh. Aku menjadi perempuan. Tidak, hanya tubuhku yang menjadi perempuan. Aku yakin jiwa dan kepribadianku masihlah seorang laki-laki. Namun tetap saja, apa yang membuatku menjadi seperti ini?

Tiba-tiba aku teringat pada cerita dari novel fantasi yang kubaca seminggu lalu. Novel itu mengisahkan dunia paralel. Sang tokoh utama dikirim ke berbagai masa menggunakan kubus besi seperti mesin waktu. Tempat tujuannya dipengaruhi oleh suasana hati. Jika kau membayangkan hal-hal menyenangkan yang indah, maka kau akan sampai di tempat yang aman. Kebalikannya, jika kau membayangkan tempat mengerikan, kau akan mendapati tempat yang dua kali lebih menyeramkan dari bayanganmu sebelumnya.

Oh, tidak. Apa ini artinya diriku terlempar ke dunia lain?

Aku berlari menuju jendela, menyibak kerainya. Pemandangan begitu sederhana. Lampu jalan masih minim, tidak ada toko bertingkat, mungkin hanya bangunan rumah sakit ini saja yang punya lebih dari satu lantai. Kendaraan yang berlalu-lalang dapat dihitung dengan jari. Papan penunjuk jalan masih terbuat dari papan kayu. Astaga, aku benar-benar ada di dunia lain. Parahnya, aku menjadi seorang perempuan!

Aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi, tapi aku sulit tidur semalam. Wanita itu menepati janjinya dengan datang bersama suami, yang tidak lain adalah bapakku dari dunia ini. Wajah dan nama mereka benar-benar sama, aku bingung harus memanggil mereka ayah-bunda atau bapak-ibu. Ahh, ini bukan gayaku sama sekali!

“Nak, kamu jangan menarik rambutmu, toh,” pria yang menjadi bapakku meraih tanganku agar jauh dari rambut panjangku, “apa tidak sakit kalau kamu begitukan?”

“Ayah, ah, bukan,” aku menggeleng, “Pak, kenapa aku bisa koma dan masuk rumah sakit?”

Chanyeol dan Wendy saling pandang. Mereka tampak ragu untuk menjawab pertanyaanku. “Sebenarnya, Nak,” ini suara Ibu, “kamu tidak sadarkan diri karena kejadian di sekolah.”

“Kami bukannya tidak ingin memberitahumu, tapi untuk sekarang waktunya tidak tepat karena kamu baru sadar,” sambung Bapak.

Aku mengangguk. Dari cara berbicara, kedua orang dewasa itu terlihat hati-hati dalam memilih kata. Itu artinya, ada yang disembunyikan atau sesuatu yang membuat Renjun perempuan tidak harus mengetahuinya. Apa itu? Aku masih belum tahu.

“Sudah, tidak perlu kamu risaukan,” Ibu mencoba mencairkan suasana. “Teman masa kecilmu datang untuk menjenguk!”

“Siapa?” beoku dan pintu terbuka. “Loh, Haechan?”

Ekspresi pemuda berkulit coklat itu terlihat bingung, begitupun aku. Haechan adalah rivalku di sekolah. Meskipun aku dan Haechan punya kecenderungan yang berbeda, Haechan menganggap bergabungnya aku di klub vokal sekolah menjadi tantangan hingga melahirkan rivalitas di antara kami berdua. Hari-hari di klub vokal selalu gaduh karena Haechan yang menggangguku. Padahal aku ikut klub vokal atas undangan Miss Taeyeon setelah mendengar gubahan puisi yang kumusikalisasi.

Pemuda itu mendekat. Langkahnya pasti. Dari dekat baru kuketahui bahwa wajahnya menunjukkan raut khawatir. “Renjun! Syukurlah, kamu baik-baik saja.”

Aku menggaruk kepalaku, “Uh, ya, terima kasih,” ini sangat di luar dugaanku. Sikap orang yang berasal dari duniaku berbanding terbalik di dunia Renjun perempuan.

“Oh, ya, tadi kamu panggil aku apa? Haechan?” tanyanya.

“Iya, spontanitas saja,” kilahku.

Haechan bersedekap, “Dari kita kecil, kamu memanggilku dengan panggilan Hyuckie, kenapa sekarang jadi Haechan?”

Rupanya sifat keras kepala Haechan di duniaku dengan Haechan dunia ini sama saja.

“Baik, baik, aku panggil Hyuckie,” aku memutar pandanganku malas, “lalu kenapa kamu kemari?”

Mata Haechan membesar dengan kepala yang bergerak maju. “Kita ini bertetangga dan hidup bersama dari kecil. Apa kamu tidak suka dijenguk oleh kawan lama?”

Aku mengendikkan bahu, “Entahlah, di kepalaku seperti ada gulungan memori yang mengatakan bahwa aku dan kamu adalah rival.”

“Njun, aku tidak tahu jika orang yang baru bangun dari koma akan bersikap menyebalkan seperti ini. Padahal dulu kamu sangat lugu dan polos,” beber Haechan.

‘Tentu saja aku blak-blakan karena aku ini bukan Renjun yang kamu kenal, Bodoh,’ batinku. “Tolong panggilkan Ibuku. Jika kamu tidak ada keperluan, pulanglah. Terima kasih sudah menjengukku.”

Kunjungan Donghyuck tidak terlalu menyenangkan hatiku, tapi sekurangnya aku tahu dari Ibu bahwa Donghyuck adalah sahabatku sejak kecil. Rumah kami bersebelahan, maka dari itu kami tumbuh dan banyak menghabiskan waktu bersama. Namun setelah lulus SMP, kami berbeda sekolah. Alhasil, intensitas pertemuan kami semakin berkurang. Oh, baguslah. Dia tidak akan menggangguku. Tidak seperti di duniaku di mana Haechan selalu saja mengusiliku sekalipun sudah kudiamkan.

Tiga hari berlalu. Aku kembali ke rumah—rumah Renjun perempuan. Dokter memberikanku beberapa obat, salah dua diantaranya adalah obat penenang dan antidespresan. Aku tertegun. Seingatku, aku tidak punya riwayat penyakit kejiwaan atau gangguan mental. Apa aku akan baik-baik saja bila meminum obat itu? Aku juga harus mendatangi psikolog dan psikiater rumah sakit seminggu sekali untuk jadwal rutin check up. Astaga, sebenarnya apa yang sedang atau telah dialami oleh Renjun perempuan hingga ia harus bergantung dengan obat sekaligus dampingan dari orang ahli kejiwaan?

“Nak, apa kamu sungguh siap kembali ke sekolah untuk lusa?” Ibu bertanya saat kami bertiga makan malam di meja makan. Jangan tanyakan aku yang sempat mengalami culture shock dengan masakan di rumah ini. Bahkan aku tidak tahu itu masakan apa. Seumur hidupku, baru kulihat jenis masakan yang dihidangkan oleh Ibu di meja makan. Sekurangnya aku beruntung karena rasanya masih dapat diterima oleh indera pengecapku.

Aku menaikkan alis, “Memangnya kenapa, Bu?”

Sendok Ibu berdenting keras, wajahnya kaku. Aku menelan kunyahanku dengan berat. Apa aku salah bicara?

“Kamu yakin, Nak?” kini Bapak juga ikut meyakinkan perkataanku.

Aku mengangguk samar, masih bingung dengan reaksi keduanya. “Ya, kenapa? Aku tidak kenapa-kenapa dan siap menjalani kegiatanku.”

“Nak,” suara Ibu terdengar iba, “kamu tidak perlu memaksakan diri. Kamu bisa masuk sekolah kapan pun sesiapmu.”

“Bu, percayalah, aku baik-baik saja dan siap,” kataku ringan, lalu makan malam itu dihabiskan dengan ujaran kekhawatiran khas seorang ibu kepada anak gadisnya.

Aku duduk dengan canggung di kursi penumpang.

Sungguh, aku sangat-sangat tidak menyukai situasi ini. Beberapa waktu yang lalu, kala aku siap berangkat sekolah, Haechan—maksudku Donghyuck—sudah berdiri di depan pekarangan rumah dengan sepedanya. Itu sepeda kayuh yang ada kursi tambahan di belakang untuk membonceng satu orang. Ugh, penghinaan macam apa ini?

Biasanya aku berangkat dengan pujaan hatiku, bukan dengan rivalku.

“Kenapa kamu diam saja, Njun?” tanya Haechan di depan. “Dulu kita sering berangkat dan pulang bersama,” ceritanya, “yah, sebelum kejadian itu, sih.”

“Tidak, aku hanya ingin diam melihat pemandangan,” jawabku sekenanya. Berharap aku segera sampai di sekolah dan beruntungnya doa ini segera terkabulkan.

“Kalau pulang tunggu aku, ya?” Donghyuck memastikannya lagi dan aku mengangguk. “Baik, sampai ketemu lagi, Njun.”

Huh, akhirnya dia pergi juga.

Aku berbalik. Baik, mari kita mulai kehidupan Renjun perempuan.

Sekolah itu tidak lebih dari sekolah berbangunan lawas. Tidak terlalu banyak kelas dan ada seorang guru yang membimbingku. Mungkin Ibu sudah menghubunginya karena guru itu langsung menghampiriku setelah melihatku di depan gerbang. Beliau mengantarkanku sampai di ruang kelas dan berpesan bila aku membutuhkan bantuan atau terlibat kesulitan, cari saja dirinya di ruang guru. Aku iyakan saja supaya urusan cepat selesai tanpa menanyakan alasan detailnya.

Di kelas itu, semua murid memandangku dengan berbagai sorot mata. Ada yang terkejut, abai hingga bergunjing secara terang-terangan. Ini adalah pemandangan yang tidak pernah kuterima sebelumnya. Terlihat ganjal dan tak nyaman. Apa mereka sadar bahwa cara berpakaianku ada yang keliru?

Perlu kalian ketahui, aku anak tunggal, baik di duniaku ataupun di dunia Renjun perempuan. Menggunakan rok adalah hal baru bagiku. Rasanya memang lebih sejuk karena ada angin yang masuk dari lubang besar, tapi caraku berjalan sangat tidak cocok. Demikian dengan bra. Sekalipun buah dada Renjun perempuan tidak besar—oh, bahkan aku suka ukurannya karena terlihat imut dan menggemaskan—aku tetap harus memakai penyangga yang menyakitkan punggung itu. Jika tidak, aku malu mengakui bahwa bentuknya akan tercetak jelas di pakaian yang sedang kukenakan.

Karena tidak ada satupun yang menyapaku, aku terus berjalan hingga deretan kursi belakang. Aku tidak tahu Renjun perempuan biasa duduk di mana, tapi kuputuskan aku duduk di deret bangku belakang. Baru saja aku hendak menempelkan bokong, segerombolan perempuan menghampiriku. Salah satunya mendorong kursi yang rencananya akan kududuki, satu lagi menggebrak meja, dan sang ketua mengangkat wajahnya setinggi mungkin. Ia bersikap begitu untuk merendahkan diriku.

“Rupanya Nerd Renjun sudah kembali,” katanya angkuh.

“Pardon? Who’s Nerd Renjun?” jawabku.

“Woah,” sorak perempuan yang menggebrak meja, “dia berani menjawab sekarang!”

Sang ketua mengangguk. “Apa koma membuatmu lebih berani, hah, Serangga?” tiba-tiba tangannya menarik rambutku. “Dengar, kupastikan kau akan mendapat yang lebih karena ini hanya sambutan selamat datang kembali,” dia menjambak dan baru melepaskannya setelah aku menunjukkan ekspresi kesakitan. “Kita pergi.”

Aku mengusap kulit kepalaku. Ternyata punya rambut panjang repot juga. Mataku terus mengikuti kepergian mereka hingga hilang di daun pintu kelas. Dalam pikiranku bertanya-tanya, mereka itu siapa?

Aku benar-benar tidak mengerti.

Sebenarnya apa yang sudah dilakukan oleh Renjun perempuan selama ini? Hari ini aku mengalami kesialan bertubi-tubi. Di setiap tempat aku mengijakkan kaki selalu saja ada perempuan ataupun laki-laki yang menjahiliku. Entah yang mendorongku, menarik rambutku, bahkan ada yang menyiramku dengan air yang dicampur dengan tanah dan daun-daun kering setelah jam sekolah berakhir. Karena ini pula, aku hanya berjalan di samping Donghyuck yang menuntun sepedanya.

“Njun, saranku kamu pindah sekolah saja,” ucap Donghyuck kesekian kali.

“Pindah kenapa?” tanyaku.

“Apa kamu mau di-bully sampai lulus sekolah?”

Kali ini aku menatap wajah Donghyuck dengan serius. “Jadi aku dirundung?”

“Ah, maaf. Harusnya aku lebih menjaga lisanku,” sesal Donghyuck. “Dokter dan Ibumu berpesan untuk tidak membahas ini supaya otakmu tidak trauma lagi.”

Aku menggeleng dua kali, “Tidak, Hyuckie, tolong ceritakan lebih banyak.”

“Lain kali saja, ya? Aku tidak mau kamu masuk rumah sakit lagi.”

Mataku terpejam. Aku tidak bisa memaksanya. Lebih baik aku mengamati sekaligus mencari informasi lain secara perlahan. Aku tidak boleh gegabah karena aku yakin dapat kembali ke duniaku yang asli. Salah satunya dengan memahami kehidupan ini, walau perbedaan menjadi penghalang yang besar.

Ibu terus mencemaskanku sekalipun aku sudah bilang berkali-kali bahwa aku baik-baik saja. Ibu mendapat panggilan dari guru bila aku sudah dirundung di hari pertama kembali ke sekolah. Kukatakan bahwa aku tidak terluka dan hanya butuh mandi air hangat karena sedikit kedinginan. Setidaknya aku berterima kasih pada Donghyuck yang meminjamkan jaket leather-nya padaku. Andai saja Haechan yang ada di duniaku juga seperhatian dan sebaik seperti Donghyuck di sini, hidupku pasti lebih tenang.

Selesai membersihkan diri, aku menghadap Ibu. “Bu, boleh aku minta uang? Aku ingin beli perlengkapan melukis sekalian mengembalikan jaketnya Donghyuck.”

“Eh, kenapa tiba-tiba?” Ibu buru-buru mengelap tangannya yang basah. “Bukannya kamu tidak suka melukis atau menggambar, ya?”

Aku kagok. Aku tidak tahu jika Renjun perempuan tidak menyukai seni rupa. “Ah, ya, ada tugas di sekolah dan aku berniat berlatih biar tidak kaku.”

“Kalau begitu mintalah Donghyuck untuk menemanimu. Dia pasti mau,” bujuk Ibu.

‘Ah, tidak usah. Dia malah membuatku tak nyaman,’ jawabku dalam hati.

Sepertinya Ibu tidak terlalu memperhatikan diriku, jadi aku dapat meloloskan diri dengan mudah. Menjelajahi kota yang asing adalah kegemaranku. Di samping itu, tata kota ini sebenarnya tidak buruk. Aku menyukai gaya arsitekturnya yang memasang papan nama toko dengan kayu, lalu terdapat jendala-jendela kaca yang besar sehingga aku bisa mengintip isi dari toko-toko tersebut. Ini menyenangkan dan sedikitnya aku berharap dapat menghabiskan waktu ini bersama Jaemin di sampingku.

Apa yang dipikirkan Jaemin sekarang, ya?

Siapa yang mendengarkan argumennya saat ia sedang berlatih berdebat?

Aku rindu padanya.

Toko alat tulis tidak terlalu jauh dari rumah. Mungkin menghabiskan waktu berjalan sekitar 15-20 menit. Toko itu terlihat sangat tua bagiku. Barang-barangnya sudah ketinggalan zaman, tapi aku justru girang karena harganya sangatlah murah bila dibanding dengan barang-barang dari duniaku berasal. Sekejab aku lupa jika Ibu hanya memberikan beberapa receh saja. Tak apalah, pokoknya aku sudah membeli perlengkapan melukis.

Di rumah, aku langsung membongkar belanjaanku. Aku sedikit membenahi kamar Renjun perempuan untuk menyimpan perlengkapan melukis. Aku belum memberikan kesan pertamaku saat memasuki kamar ini. Kamar ini sama seperti kamar remaja perempuan pada umumnya. Memiliki satu ranjang berukuran sedang, satu meja belajar, rak buku yang sudah penuh dengan berbagai judul buku, ada pula rak yang terisi tanaman hias dalam pot-pot kecil. Kemudian di dinding, Renjun perempuan menempelkan berbagai poster atau pajangan bergambar bunga-bungaan. Sangat perempuan.

“Semoga kamu tidak keberatan karena aku memindahkan barangmu tanpa izin,” gumamku kala mengangkat tumpukan buku di meja belajar. Tumpukan buku itu terlalu tinggi dan aku lupa jika sedang berada di tubuh seorang perempuan, bukan tubuh lelakiku. Sontak saja beberapa buku berjatuhan karena aku tidak kuat mengangkatnya sekaligus. “Ah, aku harus lebih peka pada kemampuan perempuan,” keluhku sembari memunguti buku yang berjatuhan. “Wah, apa ini?”

Tanganku meraih buku bersampul bunga kering. Sepertinya sampul itu buatan tangan sendiri sebab corak motifnya terlalu detail. Jemariku merabanya perlahan, ini adalah kerajinan yang indah. Berbagai macam jenis bunga yang sudah kering direkatkan satu sama lain membentuk sebuah mahakarya. Dengan hati-hati, aku membuka buku tersebut. Di halaman pertama ada tulisan “My Diary” dan langsung kuasumsikan bahwa buku ini milik Renjun perempuan. Aku menutupnya, menimbang-nimbang, apakah aku harus membacanya atau tidak.

“Sudahlah,” pikirku, “aku sudah memindahkan barangnya secara sembarangan, jadi tak masalah membaca buku hariannya tanpa izin juga,” aku segera mengambil posisi bersandar di kepala ranjang, bersiap membaca buku harian Renjun perempuan yang mungkin akan memberiku informasi. Toh, sebenarnya kami masih satu orang yang sama, hanya berbeda jenis kelamin saja.

Harus aku tekankan bahwa buku harian itu adalah kesedihan yang dipendam Renjun perempuan, terutama setelah ia masuk SMA. Namun yang membuatnya seperti ini adalah peristiwa yang menurutnya menjadi titik terendahnya. Renjun perempuan menyatakan perasaannya pada Donghyuck saat keduanya duduk di kelas 9, tapi pernyataan itu bertepuk sebelah tangan.

“HAH?! Haechan is my first love?” pekikku. Dunia ini memang sudah gila.

Aku jadi terdistrak, membayangkan diriku menyukai Haechan yang mana adalah rivalku di sekolah. Mungkin satu sekolahan akan gempar. Tanpa sadar aku menggigit bagian dalam mulutku. Ini terlalu mengerikan.

“Dan lagi, berani sekali Donghyuck menolak Renjun perempuan?” ucapku sebal. “Dia belum tahu bagaimana indahnya tubuh ini.”

Aku meneruskan bacaan itu. Usai ditolak, hubungan Renjun perempuan dan Donghyuck menjadi berjarak. Memang benar Donghyuck masih menjemput dan mengantar Renjun karena mereka satu sekolahan, tapi Donghyuck terlihat enggan. Dia melakukan itu hanya karena tidak enak bila menolak permintaan Ibu Wendy.

“Cih, sudah kuduga Haechan jadi-jadian itu laki-laki pengecut,” kataku dalam hati.

Sepertinya dampak dari penolakan itu masih berlanjut sebab Donghyuck memilih sekolah yang sekiranya tidak akan dipilih Renjun perempuan. Sekolahnya memang lebih jauh, tapi itu lebih baik daripada satu sekolah lagi dengan Renjun perempuan. Renjun perempuan mendengar pengakuan ini saat mengunjungi rumah Donghyuck di malam natal kedua. Rasa kecewa, malu, dan sakit hati tak dapat dielak oleh Renjun perempuan usai mengetahui kenyataan ini.

Begitulah, hari-harinya tidak terlalu membahagiakan. Renjun perempuan bukanlah murid yang pandai. Dia juga tidak ada keahlian di bidang nonakademik. Dia hanya cukup rajin, walaupun pekerjaan rumahnya sering salah. Dia tidak punya teman karena bukan termasuk dari kalangan murid populer. Justru dia yang menjadi sasaran dari perundungan oleh kalangan murid populer.

Namun tibalah hari yang membawa secercah harapan bagi Renjun perempuan. Pada masa pengenalan sekolah, Renjun perempuan bertemu seorang pria, pangeran dari negeri sebelah. Pangeran tanpa kuda itu bernama Jeno. Aku simpulkan jika Renjun perempuan jatuh cinta pada pandangan pertama karena pesona Jeno. Diam-diam Renjun perempuan menjadi penggemar rahasia dan beberapa kali mengirimkan surat untuk Jeno. Aku tersenyum geli, ini benar-benar cara yang sudah usang.

Aku menemukan keganjilan setelah Renjun perempuan bilang bahwa ia sudah tidak lagi mengirimkan surat karena sekelompok perempuan melabraknya. Sekelompok perempuan itu menunjukkan surat-surat yang ditulis Renjun perempuan. Diketahui bahwa ketua kelompok itu bernama Karina. Aku sedikit berpikir, mungkinkah perempuan yang menjambak rambutku tadi pagi adalah Karina? Aku tidak tahu. Besok akan kupastikan.

Pelabrakan itu membuat nyali Renjun perempuan semakin ciut. Dia tidak pernah lagi mengirimkan surat, bahkan tidak berani menatap Jeno bila mereka tak sengaja bertemu. Renjun perempuan pun menganggap dirinya telah kalah dan cintanya tidak akan pernah berbalas. Namun, seminggu kemudian, Jeno muncul di hadapannya dan menembaknya. Jeno menembak Renjun perempuan di tengah-tengah lapangan basket saat langit mulai berwarna jingga. Momen itu membuat taman bunga di hati Renjun perempuan bermekaran. Renjun perempuan mengaku tidak akan pernah melupakan momen yang membahagiakan itu.

“Jadi, aku di dunia lain berpacaran dengan Jeno?” gumamku. Jeno dari duniaku adalah seorang maniak matematika yang berkali-kali memenangkan olimpiade. Memang terlihat keren, tapi aku tidak tertarik padanya. Pertama karena aku tidak suka matematika. Kedua karena Jeno sangat membosankan. Aku tidak akan tahan dengan orang yang tidak pintar membangun percakapan.

Renjun perempuan mengisahkan pengalamannya selama menjadi kekasih Jeno. Aku tidak banyak membahas ini karena apa yang ditulis Renjun perempuan hanyalah isi pesan teks antara dirinya dengan Jeno. Sebentar, kalau begitu Renjun perempuan mempunyai ponsel? Aku harus mencarinya nanti.

Hubungan Jeno dan Renjun perempuan dengan cepat menjadi buah bibir di sekolah. Beberapa ada yang berkasak-kusuk, mencemooh, bahkan menghina Renjun perempuan secara eksplisit. Renjun perempuan abai saja karena mereka tidak berani melakukannya secara langsung. Hal ini karena dia menyandang status pacar Lee Jeno—laki-laki yang paling populer di sekolah. Renjun perempuan mulai menikmati hidupnya.

Memasuki bulan ketiga, Jeno menunjukkan perubahan sikap. Mereka tidak lagi bertemu saat jam sekolah berakhir hingga Jeno jarang membalas pesannya. Renjun perempuan tentu bertanya-tanya. Singkatnya, dia memberanikan diri untuk menemui Jeno sebelum jam masuk sekolah. Dia menunggu Jeno di depan gerbang. Saat batang hidung Jeno mulai terlihat dari kejauhan, Renjun perempuan segera menghampirinya. Sayangnya, maksud baik Renjun perempuan justru menjadi bumerang baginya. Jeno memutuskannya karena sudah bosan dengan Renjun perempuan. Pada hari itu pula, Jeno memblokir nomor Renjun perempuan.

Seperti yang sudah pernah terjadi sebelumnya, kabar berakhirnya hubungan Jeno dan Renjun perempuan kembali menjadi buah bibir. Kali ini Renjun semakin banyak mendapatkan perundungan. Tidak hanya kelompok Karina saja yang menyerangkan, perempuan lainnya mulai mengganggunya karena mereka sebal dengan Renjun perempuan yang telah merebut perhatian Jeno. Beberapa mengatainya dengan sebutan nenek sihir karena sudah menjerat Jeno dalam sihir jahat hingga Jeno mau menjadi kekasihnya.

“Hei, bukannya Jeno yang menyatakan perasaannya duluan?” protesku tak terima.

Renjun perempuan hanya menerima penghinaan itu dengan pasrah. Perekonomian keluarganya sedang menurun dan dia bukanlah murid pintar. Pindah sekolah akan memberatkan bapak-ibunya. Maka dari itu, Renjun perempuan menguatkan dirinya, semampunya. Begitulah perundungan terus berlanjut dan beberapa kali Renjun perempuan membolos karena merasa fisik sekaligus mentalnya melemah. Pada saat itulah, Mark menghubunginya. Mark adalah kakak kelas yang menjadi pendamping selama masa pengenalan sekolah.

Sebenarnya, selain menyukai Jeno, Renjun perempuan juga kagum dengan kemampuan Mark dalam bermain musik. Dari pesan teks yang saling berbalas itu, Renjun perempuan menjadi lebih dekat dengan Mark. Beberapa kali Mark mengajaknya untuk ikut ekstra musik di sekolah, mengajarinya memetik gitar atau menekan tuts piano tua di aula. Sekali lagi, taman bunga yang sempat rusak kembali bersemi karena perhatian yang didapatkannya dari Mark.

“Oppa dengar kamu pernah berpacaran dengan Jeno?” tanya Mark di tengah-tengah istirahat mereka saat latihan musik.

“Ya, tapi sudah lama sekali,” mulai Renjun perempuan. “Tiba-tiba Jeno memutuskanku.”

Mark mengangguk, “Jangan tersinggung, tapi Jeno menembakmu karena dia sedang ditantang. Jika ia bisa meluluhkan hatimu, maka Karina akan mengakuinya dan mau menjadi kekasihnya.”

“Jadi aku hanya bahan taruhan di antara Jeno dan Karina?” Mark mengangguk lagi. Hati Renjun perempuan sedikit memanas. “Mereka jahat sekali,” ujarnya sambil menahan air matanya yang hampir keluar, “tapi Oppa tidak akan menyakitiku, bukan?”

Mark tersenyum dan mengusap rambut Renjun perempuan yang panjangnya masih sebahu.

.

.

.

Bersambung

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Flower Mood Pt.2
0
0
Flower Mood Part 2Renjun terlempar ke dunia paralel, dunia yang amat berbanding terbalik dengan dunia asalnya. Di dunia ini, Renjun bukanlah siapa-siapa, dia seorang perempuan kuper yang sering dirundung di sekolah. Kehidupan yang berbeda inilah yang hendak Renjun perbaiki dengan harapan dia dapat kembali ke dunia asalnya dan kembali pada kekasihnya, Jaemin.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan