[JAEROSE] HATI dan WAKTU ㅡ S2 (Bab 01)

30
6
Deskripsi

"Yang merasa frustasi karena panik dan takut bukan cuma lo doang. Jangan nekat dan kehilangan kontrol emosi lo. Yang harus lo lakuin sekarang adalah banyak-banyakin berdoa ke Tuhan biar Raline dan seluruh penumpang di pesawat itu selamat. Nggak akan ada guna nya lo nangis dan teriak-teriak minta kabar Raline kalau pihak bandara aja belum bisa dapat kondisi terbaru. Sabar dan percaya aja kalau Raline baik-baik aja."

Mendengar ucapan Yudha malah semakin membuat perasaan Jerome berkecamuk. Dia menangis...


Pikiran Jerome melalang buana dan jantung nya berdegup sangat kencang sampai rasa nya akan meledak. Tidak ada hal yang lebih penting selain berlari sekencang-kencang nya menuju bandara internasional.

Seruan Luna yang berusaha menyusul langkah nya di belakang tak di hiraukan olehnya. Jerome hanya ingin cepat-cepat sampai di pusat informasi untuk menanyakan lebih jauh tentang berita yang baru saja dia lihat.

"JEROME! LO HARUS TENANG. JANGAN LARI-LARI KAYAK GINI." bahkan suara Luna hampir serak karena harus berteriak berkali-kali memanggil Jerome.

Tapi dasarnya Jerome yang bebal. Cowok itu masih terus melanjutkan lari nya dan tidak peduli dengan keadaan sekitar. Dalam hati nya menggaung nama Raline berkali-kali dan seuntai doa terus dia panjatkan agar semua yang terjadi saat ini hanya sebagian dari mimpi nya saja.

Kedua mata Jerome yang berkaca-kaca menangkap siluet teman-teman nya yang sudah tiba lebih dulu di pusat informasi bandara. Dia mempercepat lari nya menyusul teman-teman nya.

"Gimana?" tanya nya dengan napas memburu. "Raline gimana?" suara nya yang serak terdengar putus asa.

"Kita masih belum tau kabar terkini karena dari pihak bandara juga belum dapat kabar terbaru." ucap Theo.

Semua teman-teman Raline sedang menangis sambil menunggu kabar terbaru situasi terkini yang terjadi pada pesawat yang di tumpangi Raline. Mereka semua pasti berharap kalau ini hanya sebatas salah informasi dan Raline akan baik-baik saja sampai di Paris.

Kaki nya terasa sangat lemas dan tak bertenaga sampai membuatnya jatuh terduduk tak berdaya. Air mata mengucur deras dan tubuh nya mulai bergetar di tambah isak tangis yang sudah tak tertahankan.

Jerome kalut. Perasaan nya campur aduk dan jantung nya berdegup tak menentu. Dia sangat takut dengan semua kemungkinan yang ada. Dia takut Raline pergi selama-lama nya. Dia takut kehilangan Raline dan hidup tanpa ditemani oleh gadis itu.

"Jer, lebih baik lo duduk di bangku daripada di lantai begitu." kata Jonathan yang menghampiri Jerome lalu menepuk-nepuk pundak nya agar lebih tenang sedikit.

Tidak berhasil. Jerome malah semakin menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehilangan ibu nya. Semua yang melihatnya pun pasti merasa iba dan bisa merasakan kehilangan yang sedang di rasakan oleh Jerome.

"Dimas sama Ten lagi berusaha cari cara biar bisa ketemu pihak bandara biar kita dapat kabar terbaru. Yang pasti sekarang ini kita cuma tau kalau pesawat yang di naikin Raline dan ayah nya hilang kontak sejak dua jam yang lalu." ujar Jonathan.

Dia pun tidak bisa melihat teman-teman nya semakin terpuruk walaupun dia tahu kabar ini sangat mengguncang hati mereka. Semuanya merasa takut, khawatir, dan sedih jadi satu. Tapi lain dari itu Jonathan mengerti bagaimana perasaan Jerome sekarang.

Cowok itu pasti merasa jauh lebih takut dan khawatir. Tubuhnya saja sampai bergetar begini. Jerome pasti sudah tidak bisa menahan perasaan nya lagi. Tidak seperti Jerome yang dulu dia kenal. Jerome yang sekarang terlalu mudah memperlihatkan perasaan nya, dan Jonathan yakin itu karena pengaruh dari Raline.

Raline memang menjadi alasan kenapa Jerome berubah menjadi manusia paling labil sedunia.

"Perasaan gue nggak enak, bang." ucap Jerome dengan suara serak.

"Semuanya juga begitu, Jer. Tapi lo harus positive thinking. Percaya kalau Raline pasti bakal baik-baik aja. Terus berdoa biar semuanya baik-baik aja."

Jerome mengangkat kepala nya yang sejak tadi tertunduk. Wajah nya sudah basah karena air mata. Hidung dan mata nya juga mulai merah karena menangis sejak tadi.

"Raline gimana? Cuma itu doang yang perlu gue tau sekarang. Lo suruh gue buat positive thinking tapi situasi nya nggak mendukung. Gue udah hampir gila dan gue cuma pengen tau kabar kalau Raline baik-baik aja."

Semua orang mendadak teralihkan setelah mendengar ucapan Jerome barusan. Mereka menahan tangis dan mengerti dengan apa yang Jerome rasakan saat ini.

"Lo harus yakin kalau Raline baik-baik aja, Jer." ucap Luna.

"Bulshit! Lo semua nyuruh gue buat yakin Raline baik-baik aja, tapi kalian aja nggak tau kabar terbaru dari Raline sekarang. Apa yang perlu gue percaya kalau kalian semua nggak bisa di percaya."

"Yang takut dan sedih bukan cuma lo doang. Kita semua disini yang nunggu kabar Raline dan ayah nya juga sama kayak yang lo rasain. Yang bisa kita lakuin sekarang cuma berdoa dan yakin kalau Raline dan ayahnya pasti baik-baik aja."

Jerome menggeleng dan air mata kembali menetes. "Gue nggak bisa. Gue takut sampai rasanya pengen gantung diri. Gue takut Raline bener-bener pergi ninggalin gue."

"Jerome, bangun dan duduk di bangku. Gue paham perasaan lo, tapi sekarang lo harus tenang." ucap Jonathan.

Ucapan Jonathan tadi tidak di gubris oleh Jerome. Cowok itu semakin menundukkan kepala dan menangis sejadi-jadinya. 

"Ingat kata-kata Raline sebelum dia pergi ke Paris. Lo harus tenang dan berpikir dewasa. Tenangin diri lo dan duduk di bangku, Jerome." ucap Jonathan sambil menarik tangan Jerome agar cowok itu berdiri dari duduk nya.

Tapi Jerome masih tidak menggubris nya. Tubuhnya sangat lemas sekali sampai tidak punya tenaga untuk berdiri. 

"Yud, bantuin gue. Nih anak badan nya letoy banget. Nggak akan kuat di suruh berdiri sendiri." ujar Jonathan. 

Yudha langsung membantu Jonathan mengangkat tubuh Jerome agar berdiri dan menuntun nya ke bangku terdekat. Jerome duduk di apit oleh Jonathan dan Yudha yang masih berusaha menenangkan nya.

Lima menit kemudian Dimas dan Ten datang dengan raut wajah tegang. Semua orang yang menunggu kedatangan mereka mulai menaruh prasangka buruk dan gejolak perasaan yang dari awal sudah tak enak kini semakin bertambah.

"Gimana? Udah ada kabar terbaru belum?" tanya Theo.

Dimas dan Ten tidak langsung menjawabnya. Kedua cowok itu malah memalingkan wajah seolah-olah ingin menghindari pertanyaan tersebut.

"Dim gimana? Udah dapet kabar terbaru belum? Raline sama ayah nya baik-baik aja kan?" 

Dimas yang di berondong pertanyaan dari Judith pun masih enggan menjawabnya. Dia malah mengusap wajah nya yang terlihat kusut. Sikapnya itu malah semakin menarik persepsi membingungkan yang lain nya.

"Ten, lo aja yang ngasih tau mereka. Gue mau cabut dulu." ucap Dimas sambil menepuk pundak Ten.

"Mau kemana lo?" tanya Ten dengan raut wajah panik.

"Surabaya." jawab Dimas singkat dan padat.

"Ngapain kamu ke Surabaya?" Jean juga mulai curiga dengan gelagat pacarnya yang nampak aneh.

Dimas hanya tersenyum tipis menjawab pertanyaan dari Jean lalu melesat pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.

"Ten, si Dimas okay kan? Semuanya baik-baik aja kan?" tanya Theo.

"Jean mending lo samperin Dimas aja gih. Tuh orang mental nya lagi down banget." ucap Ten yang langsung di lakukan oleh Jean. Cewek itu tanpa basa-basi langsung melesat menyusul sang pacar.

"Apa kabar terbaru nya? Lo sama Dimas udah tau kan?" tanya Yudha.

Ten menghela napas nya. Tatapan mata nya tampak sendu dan dia juga sedikit ragu untuk mengatakan nya kepada teman-teman nya yang lain.

"Raline gimana? Dia baik-baik aja kan, bang? Kasih tau gue, cepet!" ucap Jerome yang tiba-tiba berseru panik.

"Kita udah dapet kabar walaupun belum resmi. Pihak bandara bilang kemungkinan ada masalah sama pesawat yang di naikin Raline dan ayah nya karena pesawat udah hilang kontak sejak tiga jam yang lalu. Kita masih nggak tau gimana keadaan dan lokasi pesawat sekarang. Posisi terakhir pesawat sebelum hilang kontak ada di sekitar dataran Jazirah Arab. Pembaharuan kondisi pesawat masih belum ada yang tau karena itu baru perkiraan doang."

"Raline gimana keadaan nya? Dia baik-baik aja kan?" tanya Jerome dengan tak sabaran.

Ten menatap Jerome dengan tatapan yang sulit di artikan. "Pesawat hilang kontak di sekitar Jazirah Arab, yang dimana kita tau kalau disana kebanyakan gurun pasir atau gunung berbatu. Pihak bandara masih berusaha cari kontak dan bantuan buat nemuin pesawat nya. Tapi mereka juga nggak bisa menjamin kalau pesawat itu baik-baik aja."

Jantung Jerome langsung berdegup cepat. Wajah nya yang panik sudah tidak dapat di kondisikan lagi. 

"Maksudnya apa, bang? Lo mau bilang kalau cewek gue nggak selamat? Jaga ucapan lo anjir!"

"Gue cuma menyampaikan apa yang gue denger dari pihak bandara. Lo tenang dulu, kita kan masih belum tau keadaan sebenarnya gimana. Yang penting banyakin doa buat Raline dan ayah nya."

"Gue cuma butuh kabar kalau Raline baik-baik aja!"

Jerome mulai kehilangan kontrol emosi nya. Dia hampir saja menarik kerah baju Ten kalau tidak di cegah oleh Jonathan dan Yudha.

"Jaga emosi, Jerome. Ini masih di bandara. Jangan sampai lo nekat nyerang temen lo sendiri." ucap Jonathan.

"Gue cuma pengen denger kalau cewek gue baik-baik aja." ucap Jerome dengan nada frustasi.

Yudha yang mulai kesal dengan sikap Jerome pun akhirnya melakukan sesuatu yang berguna untuk menyadarkan teman nya itu.

"Buka mata lo dan lihat orang-orang di sekitar lo." ujar Yudha sambil menangkup rahang Jerome membuat wajah Jerome mendongak.

"Lo bisa lihat kalau kita semua dan mungkin keluarga penumpang pesawat itu juga panik dari tadi, Jer. Kita semua nunggu kabar baik dari pihak yang bersangkutan dan selalu berharap semoga semua penumpang yang ada di dalam pesawat itu bakal selamat dan baik-baik aja."

"Yang merasa frustasi karena panik dan takut bukan cuma lo doang. Jangan nekat dan kehilangan kontrol emosi lo. Yang harus lo lakuin sekarang adalah banyak-banyakin berdoa ke Tuhan biar Raline dan seluruh penumpang di pesawat itu selamat. Nggak akan ada guna nya lo nangis dan teriak-teriak minta kabar Raline kalau pihak bandara aja belum bisa dapat kondisi terbaru. Sabar dan percaya aja kalau Raline baik-baik aja."

Mendengar ucapan Yudha malah semakin membuat perasaan Jerome berkecamuk. Dia menangis sejadi-jadinya, tidak peduli dengan image cool yang selama ini selalu dia pertahankan.

Bahkan teman-teman nya pun cukup terkejut saat melihat Jerome bisa menangis separah itu. Karena yang mereka tahu kalau Jerome bukan tipikal orang yang mudah menangis. Akhirnya mereka paham sebesar apa perasaan sayang Jerome ke Raline.

Tapi apakah semua itu sudah terlambat?

"Luna, lo bawa pulang Jerome aja, nih orang udah nggak bisa lama-lama disini, takut bikin ricuh doang. Biar Jonathan yang nganterin kalian. Lo bawa mobil nggak?" tanya Yudha.

"Jerome yang bawa mobil. Tadi gue kesini bareng Jerome."

"Ya udah biar gue yang bawa mobilnya. Sekalian gue anter lo pulang juga." kata Jonathan yang di angguki oleh Luna.

Perhatian Yudha kembali kepada Jerome yang masih menangis tersedu-sedu. "Jer, lo pulang dan istirahat. Gue janji kalau ada kabar terbaru dari Raline pasti bakal gue kabarin ke lo. Tapi lo juga harus janji sama gue, apapun yang terjadi nanti gue harap lo nggak jadi gila. Kontrol perasaan dan emosi lo. Terus banyakin berdoa buat keselamatan Raline dan ayah nya."

Jerome sudah tidak bisa fokus mendengar ucapan Yudha. Yang ada di otak nya saat ini hanyalah kabar dari Raline dan berharap kalau cewek itu dalam keadaan baik-baik saja.

Jonathan dan Luna sampai harus membantu nya untuk berjalan karena tubuh Jerome benar-benar lemas tak bertenaga.

 

 

🍑🌹
 

 

Sudah dua hari setelah kabar mengenaskan yang mulai tersebar tentang hilang nya radar dari pesawat yang di naiki oleh Raline dan sang ayah. Tidak ada satu hari pun yang terlewati dengan bahagia dan lancar setelah Raline memilih pergi meninggalkannya. Setelah rasa sakit dan kekecewaan yang dia torehkan kepada gadis itu.

Jerome berpikir apakah mungkin Tuhan tidak sayang padanya dan lebih memilih membenci dirinya karena dosa nya yang telah dia lakukan pada Raline.

Hidup tanpa Raline seperti ini bukan salah satu tujuan hidupnya. Jerome sudah banyak merencanakan tentang menikah dan hidup bahagia bersama sang pujaan hati.

Namun apa boleh dikata, takdir seakan gemar mempermainkannya. Tinggal sedikit lagi dia mengecap rasa nya surga yang dinamakan pernikahan, tiba-tiba seorang wanita dari masa lalu yang begitu di bencinya datang membawakan neraka untuknya.

Abigail memang wanita sialan yang kejahatannya sudah melebihi iblis dan setan. Tapi dia sadar kalau dirinya pun tidak lebih baik dari wanita itu.

Jerome sangat sadar diri kalau dia juga ikut andil cukup banyak saat masalah ini terjadi. Andaikan saat itu dia lebih memilih keinginan untuk menemani Raline tertidur dalam mimpinya, dan tidak mengikuti ego kemanusiaan nya hanya untuk membantu Abigail.

Mungkin saja...

Mungkin saja saat ini dia dan Raline sedang menikmati saat-saat bahagia bersama setelah hari pertunangan mereka resmi di selenggarakan.

Manusia memang suka nya merencanakan, tapi Tuhan adalah ujung tombak dari takdir apa yang akan menjawab apakah rencana yang sudah di siapkan itu akan berakhir matang atau malah sebaliknya.

Tiada hari tanpa penyesalan. Jerome merasa dunia nya hancur dan tak bisa di perbaiki lagi. Salah satu pelengkap dan alasannya untuk bahagia sudah pergi dan tak akan pernah kembali.

Raline...
Raline...
Raline...

Setia detiknya hanya nama itu yang terucap dalam benaknya. Jerome seperti hilang akal dan hanya mau mengingat tentang Raline saja.

Kabar terbaru dari Raline membuatnya semakin tak semangat hidup. Saat ini dia merasa jiwa nya sudah terbawa bersama saat Raline pergi meninggalkannya. Yang tersisa hanya tubuh dan nafas yang masih berhembus lancar.

Tokk.. tokk..

Suara ketukan di pintu kamar tidak bisa menarik Jerome kedalam halusinasi nya yang terbentuk dari jutaan memori kebersamaannya dengan Raline.

CKLEKK..

Bahkan saat pintu kamar terbuka oleh seseorang pun masih tidak membuat Jerome bergeming. Lelaki itu lebih senang melamun memeluk bingkai foto nya dengan Raline sambil mendengar suara merdu Raline saat gadis itu bernyanyi.

"Dek, udah seharian kamu nggak keluar kamar. Keluar sebentar yuk, Papa katanya mau ngomong sama kamu." Mama Siska memanggil anaknya dengan ratapan sendu.

Jangan bilang dia tidak ikut sakit hati dan merasa kehilangan. Raline adalah satu-satunya gadis yang dia klaim sebagai menantu idaman. Beliau tidak yakin setelah ini bisa menerima gadis lain yang akan dikenalkan sebagai menantunya atau tidak.

Kalau melihat dari sisi egois, beliau ingin sekali mencaci maki putra nya sendiri lalu berteriak tepat di depan muka sang putra betapa kecewanya beliau sekarang.

Tapi sebagai seorang ibu, beliau tidak akan sampai hati memusuhi anak satu-satunya itu. Se-kecewa apapun dirinya terhadap Jerome, Mama Siska akan tetap menjadi sosok ibu yang ingin anaknya bahagia.

"Adek.." panggilnya lagi saat Jerome sama sekali tidak bergeming dengan kedatangannya.

Helaan napas berhembus keluar. Rasanya sesak melihat satu-satunya anak yang dimilikinya sangat terpuruk seperti ini. Beliau sadar, rasa sakit yang di rasakan Jerome jauh lebih besar dua kali lipat dari yang dia rasakan.

Tapi beliau tidak mau anaknya terus-terusan terjebak oleh luka dalam yang akan mengubah roda kehidupannya.

Dengan pelan dan penuh perasaan dia mengusap wajah tampan Jerome yang tampak pucat dengan kantung mata nya yang semakin kentara.

"Adek please, jangan kayak gini terus. Menyesal boleh, tapi jangan sampai bikin hidup kamu hancur begini. Raline juga nggak akan suka lihat kamu kayak gini, nak."

Mama Siska berusaha sekuat tenaga untuk menahan air mata nya agar tidak mengalir lebih deras lagi. Meskipun rasa sesak di dadanya seakan membuat kata-kata tak sanggup keluar dari mulutnya.

"Raline ke butik Mama nggak ya hari ini? Adek udah lama nggak lihat dia." suara parau yang terdengar serak keluar dari mulut Jerome.

Mama Siska menggigit bibir bawahnya berusaha untuk menahan isak tangis agar tidak terdengar terlalu kencang. Beliau tidak mau kelihatan lemah di depan anaknya yang sedang butuh penyemangat.

"Cuci muka terus turun ke bawah. Mama tunggu adek disini."

Tiba-tiba suara isak tangis terdengar dari mulut Jerome. Mama Siska tersentak saat merasakan tubuh anaknya bergetar.

"Jerome, tenang sayang. Kamu harus tenang dulu." ucapnya sambil berusaha menenangkan Jerome yang semakin tersedu-sedu.

"Raline nggak mau ketemu sama adek lagi ya, Ma? Adek kan udah jahat sama dia. Adek juga yang bikin dia pergi dan nggak akan balik lagi. Sekarang dia ada dimana? Semua orang nggak tau dia dimana? Pak presiden harusnya ikut bantu cari pesawat Raline biar adek bisa ketemu sama dia lagi." ocehan Jerome makin melantur kemana-mana.

Lelaki itu semakin kehilangan kendali akal sehat nya sendiri. Tidak peduli dia sudah dewasa atau belum, yang pasti saat ini image bukan lagi hal terpenting. Jerome akan menangis memohon ampun agar Raline bisa kembali bersamanya lagi.

Mama Siska memeluk tubuh anaknya sambil berusaha menahan tangisnya. Beliau tidak pernah melihat Jerome terpuruk sampai seperti ini. Saat masih kecil pun Jerome jarang menangis tersedu-sedu. Saat ini beliau seperti dapat merasakan luka batin yang sedang di tanggung oleh putra nya.

"Raline masih sama kita. Dia nggak pergi kemana-mana. Percaya sama Tuhan, karena Tuhan pasti udah jagain Raline di sisinya."

"Nggak mau! Yang harusnya jagain Raline itu aku! Belum waktunya Tuhan ambil Raline dari aku. Aku masih sanggup jagain dia."

"Jerome! Cukup, kamu harus sadar sama kenyataan. Buka mata hati kamu dan lihat ke depan."

"Aku emang anak nakal, tapi aku selalu rajin ibadah ke Tuhan. Tapi kenapa Tuhan nggak bantu apa-apa disaat aku kesulitan kayak sekarang. Aku udah nggak tidur berhari-hari dan terus berdoa biar Tuhan tau aku serius minta pertolongan ke dia."

Tingkah Jerome semakin sudah terkontrol. Mama Siska makin panik saat anaknya mulai menjerit-jerit sambil menangis.

"Pa! Papa! Tolongin Pa! Jerome tantrum lagi." Mama Siska berusaha meminta pertolongan suaminya untuk menenangkan sang anak.

Papa Daniel langsung masuk ke dalam kamar dan speechless melihat kondisi anaknya sekarang. Beliau berjalan mendekati istri dan anaknya.

"Jerome.." panggilan pertama masih tidak mempan. Papa Daniel pun jadi tidak tega melihat putra satu-satunya seperti orang depresi begini.

"Jerome Raditya Wilsen! Tenang dulu. Papa mau ngomong penting sama kamu."

Tapi hal itu tidak berefek pada Jerome yang sudah hilang kontrol dan menangis sejadi-jadinya.

Papa Daniel keluar kamar dan tidak lama setelah itu kembali masuk ke kamar Jerome sambil menentang tas kerja nya.

"Papa mau apa?" tanya Mama Siska saat melihat suaminya membuka tas dan mengambil beberapa alat kedokteran.

"Jerome nggak akan bisa tenang kalau cuma di omongin pakai mulut. Suara kita kalah kencang sama teriakan nya dia."

Mama Siska sudah menangis sejadi-jadinya. Beliau masih memeluk Jerome sambil memejamkan kedua matanya. Beliau tahu apa yang akan dilakukan oleh suaminya.

"Jerome, maaf karena Papa terpaksa harus nenangin kamu pakai cara ini." ucap beliau sambil mengarahkan jarum suntik yang berisi cairan bius yang akan membantu Jerome tenang.

Dosis yang diberikan Papa Daniel tidak tinggi. Bius ini hanya akan membuat Jerome tertidur pulas untuk 5-6 jam ke depan. Setidaknya Jerome harus mengistirahatkan tubuh dan pikiran nya agar tidak semakin parah.

Papa dan Mama membantu mengangkat Jerome dan merebahkannya di atas ranjang. Di seka nya air mata yang membasahi wajah tampan Jerome, dan tak lupa juga menyelimuti tubuh putra nya itu.

"Mama baru lihat dia sedih sampai hilang kontrol begini. Padahal dari kecil dia paling ahli ngumpetin perasaannya." ucap Mama Siska sambil mengelus puncak kepala Jerome yang sudah tertidur tenang.

"Kekecewaan yang mendalam dari kehilangan orang paling spesial bikin Jerome frustasi dan bingung akhirnya dia nggak bisa kontrol emosi nya sendiri."

"Pa, habis ini kita harus gimana? Mama takut keadaan Jerome makin parah. Sedangkan masalah dia sama mantan nya belum bener-bener kelar. Ditambah sama masalah Raline juga."

Papa Daniel menghela napas dengan wajahnya yang datar. "Nggak ada pilihan lain lagi. Kita harus ikhlas dan terima kenyataan kalau kemungkinan Jerome ayah dari bayi yang di kandung Abigail. Dan kita juga harus terima kalau memang Raline nggak bisa di selamatkan. Semuanya kita serahkan sama Tuhan."

"Tapi Mama nggak bisa, Pa. Kalau disuruh ikhlas dan terima kenyataan Mama nggak bisa langsung terima gitu aja. Bisa jadi anak kita yang jadi korban. Atau mungkin Raline juga korban dari kesalah pahaman ini."

"Ya gimana lagi, Ma. Bukti yang di kasih Abigail kan sumber nya dari cctv. Jelas-jelas disitu terlihat Jerome masuk ke kamar yang di dalam nya ada Abigail juga. Dan foto-foto mereka lagi tidur bareng juga nggak bisa di bilang palsu. Kalau Abigail bilang dia hamil anak Jerome pun pasti pada percaya karena ada buktinya."

Mama Siska sepertinya tidak sependapat dengan suaminya. Beliau masih percaya kalau anak dan calon menantu kesayangannya hanyalah korban dari akal busuk Abigail.

Beliau beranjak turun dari ranjang dan menarik tangan suaminya keluar dari kamar Jerome.

"Papa tau kan kalau Jerome sendiri nggak sadar sama yang terjadi malam itu. Dari pemeriksaan pun jelas ketahuan kalau anak kita di jebak sama Abigail. Mama percaya senakal-nakal nya Jerome, dia nggak akan berani pakai narkotika jenis apapun. Udah pasti Abigail yang kasih patch itu buat jebak Jerome."

"Papa udah ngabarin temen papa yang anggota kepolisian. Kebetulan dia lagi di tempatkan di revisi yg ngurus masalah kriminalitas kayak gini. Semoga aja dia bisa bantu kita biar nama baik Jerome bisa di bersihkan lagi. Bagaimanapun kalau emang salah harus mengaku salah. Tapi kalau nggak bersalah tapi di tuduh bersalah harus segera di sanggah."

"Kalau terbukti anak kita dan calon menantu kita yang jadi korban, Mama maksa cewek murahan itu di jebloskan ke bui."

Papa Daniel mencoba menenangkan istrinya yang mulai tersulut emosi. "Kita tunggu penyelidikan nya ya. Semoga besok kita bisa dapat kabar baik."

"Mama berharap Raline baik-baik aja dan segera di temukan. Mama merasa ikut bersalah dan kehilangan kalau sampai detik ini dia belum bisa di temukan juga."

"Kita harus ikhlas apapun kenyataannya nanti. Semoga kita bisa terima kalau nanti Raline di temukan dalam keadaaan apapun."

"Mama mau Raline selamat, Pa. Masih memungkinkan kan?"

"Melihat lokasi terakhir pesawat kehilangan radar, kita nggak bisa berharap banyak. Tubuhnya ketemu aja udah syukur puji Tuhan."

Mama Siska kembali menangis tersedu-sedu di dalam pelukan suaminya. Dia tidak sanggup membayangkan kenyataan terburuk yang akan mereka dengar nanti.

"Tapi Mama percaya kalau Raline masih selamat. Mama nggak tau kenapa tapi firasat Mama kuat banget dan yakin kalau Raline masih bisa kembali sama kita."

Papa Daniel menepuk pundak Mama Siska untuk memberi istrinya ketenangan. Beliau tahu betapa sayang nya istri dan anaknya kepada Raline. Dia pun akan berusaha membantu keluarga Raline untuk menemukan gadis itu beserta sang ayah.

"Papa udah coba telepon temen papa yang kerja di pusat informasi bandara. Semoga ada kabar baik secepatnya yang bisa kita dengar. Apapun kenyataan nya nanti kita harus terima karena ini udah takdir Tuhan."

"Terus gimana sama masalah Abigail? Kita nggak mungkin diam aja nunggu Jerome yang menyelesaikan nya sendirian kan, Pa? Apalagi ngelihat kondisi Jerome sekarang kayaknya nggak memungkinkan buat dia fokus ke masalah nya sama Abigail dulu. Mama takut fisik dan mental Jerome makin down."

"Mama jangan khawatir ya. Jerome masih punya temen-temen baik yang bakal bantu dia. Dan kita sebagai orang tua juga bakal berusaha bantu anak kita satu-satunya."

"Mama berharap semuanya berakhir indah sesuai apa yang kita inginkan ya, Pa."

"Semoga aja begitu."


 

 

 

 

To be Continue..

 

Masih mau lanjut gak?

Jangan lupa share, like, dan komen nya ya. Yang berbaik hati boleh kasih tip nya juga:)
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya [JUNGRI] ONE STEP CLOSER (Bab 15)
17
0
Apa kau berusaha bermain belakang dengan bawahanku karena tahu kalau aku sedang tidak ada di rumah. Kau sengaja melakukannya selama aku ke luar negeri kan?Tunggu. Apa maksudnya tadi? Apa Jeon Jungkook sedang menuduhku bermain belakang dengan Yeonjun selama dia pergi ke luar negeri. Apa dia menilaiku sampai serendah itu?Jaga bicara mu. Aku sama sekali bukan wanita seperti yang kau bayangkan. Aku tidak pernah memiliki niat sedikitpun untuk bermain di belakang mu.Lalu apa yang ku dengar hanyalah omong kosong belaka? Akhir-akhir ini kau dekat dengan Yeonjun sampai berani memanggilnya ke ruang baca malam-malam kan? Sesuatu yang tidak pernah kau lakukan saat bersamaku. Apa saja yang kau lakukan dengan bajingan itu?Sudah ku duga. Jungkook marah karena salah paham dengan hubunganku dan Yeonjun. Aku yakin ada orang usil yang memberitahu Jungkook dan berkata macam-macam tentang ku dan Yeonjun.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan