Yang Telah Usai - Satu

18
6
Deskripsi

“Gini banget ya jadi orang susah.”

Satu

 

 

Pagi dan hujan adalah paket combo untuk bermalas-malasan. Suara rintik hujan deras terdengar begitu jelas dari luar dinding kamar indekosnya. Meski riuh, suara itu sama sekali tak membuatnya terganggu. Ia justru merasakan kedamaian.

Keinginannya saat ini adalah menaikkan selimut bulu tipis berwarna merah pudar hingga sebatas leher. Kemudian kembali memejamkan mata. Mendatangi alam mimpi yang tak terbatas. Sayangnya hal itu hanya akan berakhir menjadi angan tak tercapai. Sebab ada pundi-pundi rupiah yang harus dirinya kejar demi menyambung kehidupan.

Menjadi tulung punggung keluarga di usia dua puluh enam tahun memang tidak mudah. Maka dari itu, bahu anak perempuan pertama memang sudah seharusnya sekukuh batu karang. Sebab ada beban yang dipikul sendirian. Meski berat, tak ada alasan baginya untuk menyerah hanya karena lelah. 

Membuka kedua matanya lebar. Masih pukul setengah enam pagi. Ia harus bergegas untuk mandi. Atau dirinya terpaksa mengantri dengan penghuni kos lain. Tak ada kamar mandi pribadi di sini. Hanya ada kamar mandi luar yang digunakan bergantian dengan penghuni lainnya.

Apa yang diharapkan dari kost sederhana yang dirinya huni saat ini. Sebagian besar penghuni memilih tempat ini bukan karena kenyamanan. Tapi karena biaya sewanya yang dirasa masih terjangkau. 

Bangunan kosnya memiliki dua lantai. Kamarnya berada di lantai dua berukuran 3x3. Dindingnya berwarna putih kusam. Ada ranjang berukuran single yang posisinya menempel dengan dinding. Lalu lemari kayu satu pintu yang engselnya telah rusak diletakkan di ujung ruangan. Terdapat pula meja dan kursi plastik yang posisinya berada tepat di seberang ranjang.

 “Mandi hujan-hujan gini pasti dingin banget.” Mendesah malas. Keinginannya mandi dengan air hangat begitu kuat. Tetapi memasaknya lebih dulu di dapur umum kos juga membutuhkan waktu lama. “Gini banget ya jadi orang susah.” Kekehnya menghibur diri. 

Tak langsung bangkit dari posisinya berbaring. Nalintang Irene lebih dulu menjauhkan selimut dari tubuh. Menendangnya hingga berada di ujung ranjang. Mengusir rasa nyaman dengan membuat tubuhnya menggigil kedinginan. 

Turun dari ranjang dengan separuh jiwa yang tertinggal di sana. Merapikan kasur busanya yang tak lagi terasa empuk. Meraih handuk yang tergantung di balik pintu. Membawa ember berukuran kecil berisi alat mandi. 

Kamar mandi kostnya berada di ujung lorong. Tak ada yang mengantri di depan pintu. Tetapi kedua pintu kamar mandi tertutup rapat. Dari luar Irene dapat mendengar suara air mengalir. Itu artinya kedua kamar mandi itu sedang digunakan. 

Mengantri di depan pintu dengan menyandarkan punggung pada dinding di belakangnya. Kedua matanya terpejam. Masih ada rasa kantuk yang tertinggal. Sungguh, ia membutuhkan waktu lebih untuk tidur.

Salah satu pintu kamar mandi terbuka tak berselang lama kemudian. 

“Eh, Ren. Masih ngantuk lo?” Mega, penghuni kost yang kamarnya berada tepat di samping kamar Irene keluar dari kamar mandi. Mengenakan tanktop dengan lengan setali. Memperlihatkan tato bunga mawar di lengan kanan. Serta tato dua burung merpati di bawah bahu kiri. Rambutnya yang basah dililit handuk. 

Mega adalah salah satu tetangga kos Irene yang bekerja sebagai pemandu karaoke. 

Irene menghela. Perlahan membuka kedua mata. Kepalanya mengangguk. “Huum, Mbak. Masih ngantuk banget. Mana hujan lagi. Bikin nggak mood ngantor.” Menegakkan tubuh dan bersiap untuk masuk ke bilik kamar mandi yang baru saja selesai digunakan. “Mbak Mega baru balik ya?” Semalam saat pulang dari kantor. Irene melihat kamar Mega masih gelap dan suasananya sepi. Ia menduga jika tetangga kosnya itu tidak pulang semalaman.

Mega mengangguk membenarkan. “Iya. Biasa gadun gue minta ditemenin tidur. Terus subuh-subuh tadi bininya telepon. Ya udah deh balik kita akhirnya.” Mega memiliki pelanggan tetap yang kerap menyewa jasanya untuk ditemani semalaman. Saking seringnya, Mega sampai menganggap pelanggan itu sebagai sugar daddynya.

Mendengar cerita dari Mega barusan sama sekali tak membuat Irene heran atau terkejut. Sejak awal tinggal di kos ini, ia cenderung tak peduli. Selagi tak mengganggu, dirinya juga tidak mau tahu. 

Irene sudah terbiasa dengan tingkah laku dan pekerjaan para tetangga kosnya yang bermacam-macam. Tak semuanya bekerja seperti Mega. Ada juga yang memiliki pekerjaan baik. Hanya saja biasanya penghasilan mereka tidak terlalu besar.

 “Oh, pantes kamar Mbak sepi.” Irene mencepol rambut panjangnya. 

“Eh, Ren, semalem gue morotin gadun gue. Gue minta dibeliin makanan banyak. Ada donat sama kue gitu. Ntar gue bagi ke elo ya.” Meski penampilan Mega terlihat sangar. Tapi wanita itu memiliki hati yang baik.

Kedua mata Irene yang sempat sayu mulai menghadirkan binar bahagia. “Boleh, Mbak. Ntar habis mandi, gue ke kamar lo ya. Ambil kue sama donatnya.” Tak peduli siapa yang membelikan  makanan itu. Selagi Irene ditawari dan tidak mencuri. Tak ada salahnya untuk diterima. 

Mega mengangkat ibu jarinya ke udara. “Okey. Habis ini mau tidur gue, Ren. Gila capek banget. Gadun gue tuh tenaganya kayak kuda. Herannya malah gue yang ditunggangi habis-habisan.” Candanya frontal seolah apa yang dilakukan bukan hal memalukan. 

Mendengar apa yang Mega sampaikan membuat Irene terbahak. Sungguh, telinganya sudah biasa mendengar hal menjijikan semacam itu. “Kuda liar kali dia, Mbak.” Timpalnya asal. “Harusnya lo yang nyusu ke dia sih, Mbak. Tapi pasti malah lo yang nyusuin dia ya?” Tawanya kembali mengudara. 

“Anjing! Iya lagi.” Mega terkikik geli. “Udah ah. Mandi sana. Ntar diserobot orang lo bete seharian.” Mengingatkan kepada Irene untuk segera masuk ke kamar mandi sebelum ada penghuni lain yang masuk lebih dulu. 

“Lah, iya. Lo sih Mbak ngajak gue ngobrol. Udah ah mau mandi dulu.” Irene masuk ke kamar mandi. Melepaskan pakaiannya satu persatu, kemudian mengguyur tubuhnya dengan air dingin. 

Tak membutuhkan waktu lama untuk mandi. Irene sudah menggigil. Di luar sana hujan belum kunjung reda. Tak ingin sakit karena terlalu lama mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Irene segera menyudahi sesi membersihkan dirinya setelah memanfaatkan waktu selama tiga menit. 

Saat membuka pintu kamar mandi sudah ada dua orang penghuni lain yang mengantri. 

“Airnya dingin nggak, Ren?” Devin, penghuni kamar di seberang kamar Irene bertanya penasaran. Pria itu melindungi tubuh kurusnya dari dingin menggunakan handuk.

Ngomong-ngomong kosnya memang campur. Ada laki-laki dan perempuan yang menghuni di sini. Ada sepasang suami-istri. Bahkan ada pasangan tak berstatus resmi juga. Bahasa sekarang biasa menyebut kosnya sebagai kos Las Vegas. 

“Dingin lah, Mas. Hujan gini soalnya.” Irene kembali menenteng ember kecil berisi peralatan mandi. Menjauh dari pintu kamar mandi. Memberikan ruang kepada Devin untuk masuk. 

Sebelum masuk kamar, Irene lebih dulu menyambangi kamar Mega. Mengambil apa yang tadi dijanjikan wanita itu kepadanya. Dua slice kue dan dua donat berhasil Irene dapatkan secara cuma-cuma. 

Kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap. Mengenakan pakaian kerja berlengan panjang. Sebab cuaca sedang seperti ini. Irene tak ingin kedinginan saat sedang bekerja nanti. Memoles wajahnya dengan riasan sederhana. 

Merapikan rambutnya dengan bantuan catok yang dirinya beli melalui e-commerce seharga tiga ratus ribu. Meski harganya tidak terlalu mahal. Tapi hasilnya lumayan juga untuk mengatur rambutnya yang sedikit mengembang. Terakhir meraih tas dan mengenakan flat shoes

Melapisi tubuhnya dengan jaket. Tak lupa membawa payung agar bajunya tak basah kuyup. Irene siap menerjang hujan dan dingin demi uang-uang masuk ke rekeningnya. 

Keluar dari kamar dan tak lupa mengunci pintunya terlebih dahulu. Memasukkan ke dalam totebag yang tersampir di bahu. Irene berjalan menuruni satu persatu anak tangga. 

Tak hanya dirinya saja yang tetap berangkat bekerja meski hujan deras memaksa untuk berdiam di dalam kamar dan melanjutkan tidur nyenyak. Ada penghuni kos lain di lantai bawah yang juga sudah mengenakan seragam kerjanya. 

“Hai, Ren, mau berangkat ya?” Sapa Shilla setelah mendapati Irene turun dari lantai dua. 

“Iya nih. Padahal enak tidur ya, Shil?” Irene merapatkan jaketnya. Melangkah menuju gerbang. Diikuti Shilla yang berjalan cepat hingga mampu menyamai langkahnya. “Lo nggak naik motor, Shil? Biasanya bawa motor ‘kan?” 

Shilla bekerja sebagai sales counter di salah satu dealer sepeda motor. Biasanya bekerja mengendarai motor. Tapi kali ini wanita itu tidak nampak mengeluarkan motornya dari garasi. 

“Nggak, Ren. Hujan gini. Gue dijemput sih.” Jawabnya disertai cengiran.

Irene dan Shilla berjalan bersisian. Mengenakan payung masing-masing untuk melindungi tubuh agar tak basah kuyup. Kebetulan kos mereka berlokasi di dalam gang sempit yang tak bisa dilalui mobil. Hanya bisa dilalui satu motor saja.  

“Eh, itu gue udah dijemput.” Shilla menunjuk city car yang terparkir disebrang gang. 

Seorang pria turun dari mobil. Berlari menghampiri Shilla dengan membawa payung yang berukuran lebih besar. Kemudian segera memayungi tubuh Shilla agar tak basah. “Payung kamu kok kecil banget sih. Baju kamu jadi basah.” Ucap pria itu yang tampak khawatir. 

Shilla tertawa. “Aku sengaja bawanya payung kecil biar bisa dilipet terus masuk tas. Kamu lama nggak nunggunya?” 

Irene meringis tipis. Ia tak kenal siapa pria itu. Hubungannya dengan Shilla apa, juga dirinya tidak tahu pasti. Tetapi dari caranya berkomunikasi. Irene menduga jika pria itu adalah kekasih Shilla. 

“Di mobil ada jaket aku. Nanti kamu pakai ya.” Pria itu merangkul bahu Shilla. Merapatkan tubuh mereka agar tak kehujanan. “Berangkat sekarang ya?” 

Shilla mengangguk. Beralih menatap Irene. “Eh, Ren, gue berangkat dulu ya. Lo hati-hati. Bye, Ren.” Melambaikan tangan kemudian berjalan menuju mobil pria yang tadi menjemputnya.

Irene membalas lambaian tangan teman penghuni kosnya. Menghela napas berat setelah memastikan Shilla dan pria itu telah menjauh. 

Dirinya pernah melalui masa seperti itu. Ia pernah diperlakukan sehangat yang kekasih Shilla lakukan kepada Shilla. 

Sebelum berdiri dengan kakinya sendiri. Ada pria yang selalu bersedia menemani. Ada pria yang selalu bersedia menolongnya dikala ia membutuhkan. Sayangnya kisah romansa miliknya telah usai. Sebab pria itu memilih untuk menyerah. 

Irene tak diperjuangkan. Cinta mereka berakhir menyakitkan.

 

*** 

 

Orang-orang mengatakan bahwa jabatannya saat ini merupakan hadiah dari privilege yang dimiliki. Mereka tak heran bila di usianya yang ke dua puluh sembilan tahun. Sudah mampu mengemban tanggung jawab besar dan duduk di singgasana. Padahal kenyataannya, ia tak diperlakukan seistimewa itu. 

Ayahnya yang menduduki jabatan sebagai direktur human capital management. Disebut memiliki peran penting dalam menempatkannya di posisi ini. Sebenarnya ucapan orang-orang tidak sepenuhnya salah. Karena memang tetap ada peran serta ayahnya yang menunjang. Masih banyak pegawai lain yang lebih berpengalaman dan memiliki performa lebih baik. Tapi justru dirinya yang ditempatkan di sini.

Perusahaan tempatnya bekerja bergerak di bidang telekomunikasi, Fourty Five Corporate. Jabatannya belum setinggi himalaya yang membuatnya memiliki kekuasaan utuh. Singgasananya tidak sementereng itu. Masih ada pihak di atasnya yang wajib dirinya hormati. 

Sebelumnya ia ditempatkan di kantor cabang yang ada di Surabaya. Posisinya sebagai asisten manajer di sana. Sampai kemudian dipindahkan ke kantor pusat dengan naiknya jabatan sebagai Network Manager. 

Radya Baskara Rumi melangkah menuju lift yang akan membawanya menuju lantai lima belas. Ruang kerjanya berada di sana. 

Tak seperti biasanya yang dimana lift selalu penuh menjelang jam kerja dimulai. Hari ini lift tampak lengang. Sepertinya akan banyak pegawai yang datang terlambat. Alasannya karena hujan deras yang mengguyur langit Jakarta pagi ini.

Suara denting menandakan bahwa Radya sudah tiba di lantai yang dituju. Diikuti pintu lift yang membelah setelahnya. Langkah Radya segera mengayun keluar. Sepatu kulit hitam yang dikenakan berhasil menjejak lantai. Melangkah dengan gerak konstan menuju ruang kerjanya.

“Pagi,” Radya menyapa beberapa bawahannya yang sudah tiba lebih dulu. Tersenyum geli menyaksikan para anggota divisinya yang tampak malas menjalani hari. Ada tiga yang sudah datang. Dua pegawai wanita yang masih bersantai di kursi masing-masing. Sedang satu pegawai pria yang sudah mulai terlihat sibuk meski belum memasuki jam kerja. “Hujan-hujan gini enaknya di rumah lanjut tidur ya?” 

Sebenarnya tak hanya mereka yang malas. Radya pun sejujurnya juga malas. Meski di apartemen ia hanya seorang diri. Tapi setidaknya tidur bisa menjadi solusi terbaik untuk mengisi hari ini. 

“Iya, Pak. Saya berdiri di KRL sambil nahan ngantuk.” Riri, salah satu anggota Radya menimpali. Wanita bertubuh gempal itu menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang dibawa dari rumah. “Mana ini AC juga jadi dingin banget. Mau merem aja ini mata saya, Pak.” Lanjutnya kemudian. 

Radya terbahak. “Jangan tidur ya, Ri. Kerjaan kita banyak hari ini.” Ucapnya mengingatkan. Beralih pada Kaisar, bawahannya yang sudah mulai terlihat sibuk. “Gimana, Sar, jaringan yang kemarin diperbaiki udah mulai stabil belum?” 

Mendengar namanya disebut. Kaisar melepas headphone yang terpasang di kedua telinga. “Maaf, Pak Radya tanya apa? Saya agak nggak fokus tadi.” Kaisar tidak mendengar kalimat yang Radya sampaikan selanjutnya. Hanya mendengar namanya disebut saja. 

“Jaringan yang kemarin diperbaiki gimana? Udah stabil?” Radya mengulang kembali pertanyaannya. Sempat ada keluhan yang dikirim pelanggan. Menyampaikan bahwa terdapat gangguan jaringan di salah satu perumahan. Gangguan tersebut mengakibatkan koneksi internet yang terputus. 

Kaisar mengutak-atik laptopnya. Terlihat membuka sesuatu di sana. “Kalau dari sini, terpantau belum stabil sepenuhnya, Pak. Tapi sudah bisa digunakan. Hanya saja koneksinya melambat.” Jelas Kaisar kepada atasannya. 

Radya mengangguk paham. “Pantau terus ya, Sar. Kalau sekiranya sampai siang nanti masih belum stabil. Segera laporkan ke saya.” Tatapnya jatuh pada Nuni yang duduk di samping Riri. Berbantalkan lengan, kepala Nuni disandarkan pada meja. Radya menduga, bawahannya itu kembali tidur setelah tiba di kantor. “Nuni, bangun. Udah mau mulai ini jam kerjanya.” 

Riri menggoyangkan tubuh rekannya agar terbangun. “Ni, bangun, pak Radya udah dateng.” Bisiknya. 

Nuni menegakkan tubuh. Mengucek matanya yang lengket dan sulit untuk terbuka. “Maaf, Pak.” Ucapnya dengan suara serak. “Dingin banget soalnya. Makanya saya jadi ngantuk.” 

Radya terkekeh geli melihat wajah kantuk bawahannya. “Nanti makan siang tolong pesen pizza ya, Ni. Sama kopi boleh deh. Nanti saya yang bayar. Biar kalian semangat.” Agar kinerja bawahannya tidak menurun di gloomy Thursday ini. Ada baiknya Radya memberi mereka sesuatu. Tak hanya sekedar menyuruh untuk bekerja saja. 

“Beneran, Pak?” Mata sayu Nuni berbinar. “Bapak ulang tahun apa gimana? Kok traktir segala?” Semangat setelah mendengar ada makan-makan gratis. 

Radya menggeleng. Ulang tahunnya sudah lama terlewat. “Nggak. Biar kalian semangat aja. Nanti tagihannya kirim ke saya. Biar saya yang bayar.” Ucapnya kemudian berjalan menuju ruang kerjanya yang terpisah dari para bawahannya. 

Setibanya di ruangan, Radya melepas leather jacket yang menyembunyikan kemeja putihnya. Menyampirkan pada sandaran kursi. Mengeluarkan ponsel dari saku dan meletakannya di atas meja kerja. 

Tak langsung mendaratkan pantatnya di kursi kerja. Radya justru memilih untuk berjalan menuju dinding kaca yang memperlihatkan situasi di luar sana. Jalanan di bawah sana masih dipadati kendaraan.

Hujan sudah tak selebat saat dirinya mengendarai mobil menuju kantor tadi. Mungkin sebentar lagi hujan akan reda. 

Radya menghela napas berat. Menatap langit abu-abu dengan pandangan menerawang. Setiap kali hujan datang. Ia selalu teringat dengan seseorang yang begitu menyukai hujan. 

Seseorang yang tersisa dari masa lalunya yang begitu berharga. 

Bisa dikatakan Radya yang mengakhiri kisah mereka lebih dulu. Tapi bukan karena ia sudah tak lagi cinta. Situasi yang memaksanya. 

Radya memiliki alasan. Ada mimpi yang ingin dicapai. Sedang untuk mewujudkan, dirinya harus merelakan cintanya yang hingga saat ini masih tersimpan rapi di hatinya. 

 

*** 

 

Notes :

Aku pengen ngebut nulis ini. Tapi kepalaku ngga kuat wkwkwk

Jadinya pelan-pelan ya. Tapi aku usahain sering publish kok hahaha

Makasih ya buat yang udah baca. Semoga sukaaaa 💖💖

Oh iyaaa, Radya itu sahabatnya Raksa ya. Kakak sepupunya Inka. Nah, kalo Irene itu temen kerjanya Nadine. Ngga terlalu deket sih. Tapi Irene pernah bantuin Nadine waktu pingsan.. (Kali aja kalian lupa) hehehehe 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Yang Telah Usai
Selanjutnya Yang Telah Usai - Dua
15
6
“Astaga, kamu gitu banget sih, Dy. Kayak nggak pernah akad nikah nyebut namaku aja.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan