
“Kalau Kala besar, Kala mau jadi pilot kayak om.”
Enam
Anin mengecek satu persatu barang-barangnya. Sebelum keluar, ia sudah kembali memeriksa seluruh ruangan. Barangnya tak ada yang tertinggal disana. Barang miliknya serta milik Kala semuanya sudah dikemas di dalam dus.
Sebenarnya, kontrakan ini tidak terlalu buruk untuk ditinggali. Kontrakannya memang tidak terlalu luas. Tetapi, cukup nyaman dan sangat layak. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi, dapur, ruang tamu yang juga digunakan sebagai ruang tengah. Para tetangganya pun juga selalu bersikap baik kepada Anin.
Sejak Anin datang ke kawasan ini, sikap mereka selalu baik. Saat pertama datang, ia sempat ditanya kemana suaminya. Lalu, ketika Anin menjawab bahwa ia seorang ibu tunggal tanpa suami, tetangganya pun langsung dengan mudah memahami kondisinya tanpa susah payah bertanya ini-itu.
Semakin lama tinggal di kawasan ini, Anin mulai memahami bahwa penghuni lain pun juga memiliki permasalahan yang beragam. Ada pasangan muda yang ternyata hasil hamil di luar nikah, ada yang istri kedua memang sengaja disembunyikan. Lalu, ada pula yang bekerja sebagai wanita penghibur.
Namun, ada juga yang datang dengan kehidupan yang lurus dan baik-baik saja. Intinya, tak semua yang tinggal disini memiliki permasalahan serupa sepertinya. Hanya segilintir saja. Tapi, cukup membuatnya percaya diri untuk tinggal disini.
Dan kini, Anin akan meninggalkan rumah yang sudah ia tinggali selama satu tahun ini. Ada beberapa alasan yang membuatnya akhirnya menerima saran Adit untuk pindah ke apartemen yang katanya merupakan fasilitas kantor.
Pertama, jarak apartemen barunya dari tempat Anin bekerja dan sekolah Kala tidak terlalu jauh. Kedua, meski tetangga-tetangganya baik, tetapi, Anin mulai khawatir dengan perkembangan Kala. Tetangganya yang bekerja sebagai wanita penghibur kerap mengajak seorang pria yang ntah pelanggannya atau kekasihnya untuk bermalam di kontrakan. Dan hal yang mereka lakukan yang membuat Anin khawatir dengan perkembangan psikis Kala.
“Wah, lo beneran jadi pindah, Nin?”
Anin mengangguk sembari tersenyum kepada salah seorang ibu paruh baya, yang biasa dipanggilnya dengan sebutan Bu Maron. Tinggal di seberang kontrakannya yang juga merupakan pemilik kontrakan ini. “Iya, bu.”
“Mau pindah kemana jadinya, Nin?”
“Kebetulan dapet tempat tinggal yang deket dari kantorku sama sekolahnya Kala, bu. Jadi, kami pindah kesana. Biar mempermudah aku juga kalau mau anter Kala.” Anin tak enak bila mengaku akan pindah ke apartemen. Gajinya juga tak banyak. Hidup di apartemen jelas membutuhkan biaya besar. Pasti tetangganya akan bertanya-tanya.
Bu Maron mengangguk paham. “Tinggal sama pacar lo yang tajir itu, Nin?” Bisik Bu Maron tepat di telinganya.
Anin membelalakan kedua matanya. Yang benar saja. Ia masih memiliki harga diri. Meski sepertinya itu adalah fasilitas perusahaan yang diberikan kepada Adit. Tetapi, pria itu sudah memberikannya kepada Anin. Mereka tidak tinggal bersama. Adit juga sudah memiliki apartemen sendiri. “Nggak kok, bu. Dia udah ada tempat tinggal sendiri.”
Bu Maron membulatkan bibirnya. “Ohh, kirain tinggal bareng.” Kekehnya kemudian.
Anin tersenyum tipis. “Saya mau berangkat dulu ya, Bu. Makasih udah baik banget sama saya selama ini. Udah bantuin saya kalau saya lagi kerepotan.” Memeluk ibu paruh baya itu erat.
“Iya, sama-sama. Lo jangan lupa main-main kesini ya, Nin. Ajakin itu si Kala, biar main sama temen-temennya.”
Anin mengangguk, “iya, bu. Saya permisi dulu. Bu Maron sehat-sehat terus ya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi saya.” Mengusap bahu ibu paruh baya yang telah membantunya selama ini. “Saya permisi dulu, bu.”
Gang kontrakannya kebetulan tak bisa dilewati oleh mobil. Jadi, Anin harus mengangkat beberapa barangnya yang tersisa untuk mencapai mobil box yang ia sewa. Setelah ini, ia harus bekerja keras lagi untuk menyusun barang-barangnya.
Jarak dari kontrakan lamanya ke apartemen sekitar satu jam. Setelah tiba di apartemen barunya, sudah ada Adit yang menunggunya disana. Pria itu berjanji akan membantunya membereskan barang-barang.
“Adit, harusnya kamu nggak perlu kesini. Aku bisa kok beresin sendiri.” Anin segera menghampiri Adit yang sedang menunggunya di depan lobby.
Adit mengambil alih dus yang di bawa oleh Anin. “Nggak papa. Aku mau bantu-bantu kamu aja. Lagi pula di kantor juga lagi nggak banyak kerjaan kok.”
Bohong, Anin tahu betul bahwa pria itu sedang banyak pekerjaan. Anin memang sengaja mengajukan izin satu hari untuk mengurus kepindahan. Tapi, Adit sepertinya sengaja mencuri waktu datang dari kantor untuk menghampirinya. Buktinya, pria itu masih mengenakan pakaian kerjanya.
“Masih banyak barangnya?”
“Masih banyak banget. Tapi, bapak supir boxnya mau bantu bawa sampai atas kok.”
Adit mengangguk paham. Ia akan memberi uang lebih kepada supir box yang sudah mengantar Anin itu.
Keduanya membawa barang-barang Anin ke atas. Supir box tadi hanya meletakkannya di depan pintu saja. Sisanya, Anin yang akan mengaturnya.
“Gimana, kamu suka ‘kan sama apartemennya?”
Anin tentu saja menyukai apartemen baru ini. Lebih luas dari pada kontrakan lamanya. Terdapat dua kamar dengan dua kamar mandi. Satu kamar mandi di dalam kamar utama, dan satunya kamar mandi luar. Lalu, ruang tengah menyatu dengan dapur dan ruang makan. Tapi, tidak terkesan sempit. Bagian yang paling Anin suka adalah ada balkon yang bisa digunakan untuk bersantai.
“Dit, kamu serius suruh aku tinggal disini?” Anin ragu untuk melanjutkan tinggal di apartemen ini. “Ini hak kamu lho.”
Adit mengangguk, kemudian memeluk Anin erat. “Iya, udah kamu nggak usah pikirin aku. Aku ‘kan udah ada tempat tinggal sendiri, Nin. Kamu tenang aja.”
Menghela nafas tak kentara. “Makasih banyak ya. Aku nggak tahu gimana cara balas kebaikan kamu, Dit.”
“Kamu nikah sama aku aja.”
Kedua mata Anin membelalak. Menikah dengan Adit? Yang benar saja. Anin belum siap.
“Eh, aku bercanda. Kamu jangan panik gitu wajahnya.” Adit terbahak melihat wajah panik Anin.
Anin tersenyum tipis. Menatap tak enak ke arah Adit. “Aku masih belum kepikiran buat nikah, Dit. Ntah itu dalam waktu dekat atau beberapa waktu ke depan.”
Adit menggenggam tangan Anin erat. Ada terselip rasa kecewa disana. Tapi, ia memahami kondisi Anin. “Nggak papa kok. Kita jalani dulu aja ya.” Ia tahu, ada seseorang di dalam hati Anin yang masih menjadi penghalang untuk orang lain menetap disana. Dan sampai saat ini, ia tak tahu seseorang itu siapa.
“Aku mau beres-beres dulu ya, Dit. Soalnya dua jam lagi aku harus jemput Kala.” Anin mencari pengalihan untuk menghentikan sesi pembicaraan mengenai hubungan mereka.
“Oke. Aku bantu ya.”
Anin menatap Adit sejenak. Sebenarnya, ia sedang berusaha mengusir Adit secara halus. Tapi, jika pria itu berkenan membantunya, terserah saja lah. “Oke, makasih ya.”
***
Bahagia Ezra adalah jika satu hari hanya melakukan dua landing saja. Ia berangkat pagi tadi sekitar pukul tujuh, melakukan penerbangan menuju Surabaya. Lalu, sekitar pukul sepuluh, pesawatnya terbang kembali ke Jakarta. Dan sekarang, pukul dua belas siang, Ezra sudah memasuki kawasan apartemennya.
“Makasih ya, pak.” Ucap Ezra kepada supir pengantarnya. Mengambil kopernya yang diletakan di bagasi belakang.
Melangkah memasuki lobby apartemen sembari menarik kopernya. Menuju lift yang akan membawanya ke lantai tempat unitnya berada. Menanti beberapa saat hingga lift turun ke bawah.
Suara denting memberi tanda bahwa liftnya sudah tiba. Pintu lift terbuka. Bergeser dan memberikan ruang kepada para pengguna lift sebelumnya untuk keluar terlebih dahulu.
Setelah kosong, baru lah Ezra masuk ke dalam.
Tangan kecil menahan pintu liftnya yang masih setengah menutup. Dengan segera Ezra menekan tombol agar pintu lift terbuka. Seorang bocah lelaki yang masih mengenakan seragam sekolah memasuki lift dengan nafas yang tersenggal-senggal.
“Makasih ya, om.” Ucap bocah itu dengan peluh yang bercucuran. Jemari kecilnya menekan angka sepuluh. Bibir mungilnya mengerucut ke depan. Heran karena tombol angkanya tidak bisa ditekan. Menekan tombol angka 10 berulang kali, tetapi gagal.
Ezra tersenyum kecil. Membantu bocah kecil itu dengan menempelkan kartu akses miliknya. Kemudian, menekan angka 10. Lift apartemen hanya bisa diakses dengan menggunakan kartu.
Bocah kecil itu memutar tubuhnya. Bibirnya melengkungkan senyum. “Makasih banyak ya, om.” Bocah kecil itu menyengir hingga memerkan deretan giginya. “Eh, om ini sepupunya Om Adit ‘kan?”
Ezra membulatkan kedua matanya ketika melihat wajah bocah yang baru saja ditolongnya. Bocah ini lah yang memenuhi benaknya selama beberapa hari ini. “Kamu Kala? Anaknya Anin ‘kan?” Dalam hati ia mengagumi daya ingat Kala yang cukup tajam untuk anak seusianya.
Kedua mata bocah itu berbinar menatapnya. “Om, kenal sama mamaku?”
Ezra mengusap puncak kepala bocah itu. “Iya. Om..” Berpikir beberapa saat untuk memperkenalkan dirinya sebagai apa. Tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah mantan kekasih Anin. Kala pasti kebingungan. “Om temennya mama kamu.”
“Oh, om temennya mama, ya?”
“Iya, om temennya mama kamu.”
Kala menganggguk paham. Kedua matanya memindai dari ujung kaki hingga ke ujung kepala Ezra. “Om ini pilot, ya?”
“Kok Kala tahu kalau om ini pilot?”
“Tahu dong! Kemarin Kala naik pesawat lho om. Sama mama sama Om Adit. Terus Kala lihat orang yang ngendarai pesawatnya pakai baju kayak om gini.” Kala sangat antusias bercerita kepada Ezra.
Ezra tersenyum kecil. Menatap dalam wajah bocah itu. Jujur saja, wajah Kala memang sangat mirip dengannya. Terlebih ketika bocah kecil itu memperlihatkan deretan giginya. Ezra bisa melihat gigi taring bocah itu yang tajam, persis seperti miliknya.
“Kalau Kala besar, Kala mau jadi pilot kayak om.” Kala mengangkat dua ibu jarinya ke udara. “Om keren banget, Kala suka!”
Ezra terkekeh geli. “Berarti Kala harus pinter sekolahnya, biar bisa jadi pilot kayak om.”
Kala mengangguk bersemangat. “Berarti dulu om pinter ya sekolahnya? Makanya bisa jadi pilot.”
Ezra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya, ia tidak terlalu pintar. Hanya beruntung saja bisa menjadi seorang pilot seperti sekarang.
“Kala tinggal disini, ya? Kok Om baru lihat.” Ezra sudah lama tinggal di apartemen ini. Tapi, baru kali ini bertemu Kala. Artinya, Anin juga tinggal di apartemen ini.
“Iya. Kala sama mama baru pindah hari ini. Mama katanya mau jemput Kala. Tapi, udah Kala tungguin nggak dateng-dateng.” Bibir bocah itu mengerucut.
“Kala pulang sendirian?” Ezra terkejut mendengar bahwa Kala pulang seorang diri. Bocah itu masih kecil, tapi, sepertinya sudah terbiasa hidup mandiri. Tiba-tiba saja, ia jadi penasaran dengan kehidupan Anin dan Kala selama ini.
Kala mengangguk, “iya. Sekolah Kala nggak jauh dari sini kok, om.”
Suara denting lift berbunyi. Kemudian, pintu lift segera terbuka.
“Udah sampai, ya? Kala pulang dulu ya, om. Nanti kapan-kapan ajari Kala cara naik pesawat ya.” Ucap Kala sebelum keluar dari dalam lift.
“Okey. Kalau Kala nilainya bagus semua, nanti om ajak Kala naik pesawat ya. Nanti om ajari caranya naik pesawat.”
Kala berseru saking senangnya. “Bener, ya? Om janji ‘kan?”
Ezra terkekeh geli. “Iya, janji.” Mengangkat kelingkingnya ke udara.
Segera Kala mengaitkan jari kelingking mungilnya, dengan milik Ezra. “Makasih, om. Kala pulang dulu. Bye bye..” Memegang erat tali tasnya, Kala segera berlari keluar dari lift.
Kala begitu menggemaskan. Bocah itu pandai dan sangat aktif berbicara. Pemberani dan juga mandiri. Ntah bagaimana cara Anin mendidik anak itu.
Tiba-tiba saja hati Ezra menghangat. Ia tidak terlalu menyukai anak-anak. Menurutnya anak-anak itu merepotkan dan cengeng. Tapi, sepertinya, Kala adalah pengecualian. Ia menyukai bocah cilik itu.
***
Notes:
Haiiiii, aku kembali lagi..
Makasih ya yg udah baca karyaku dan tinggalin likes/komentar hihii 💕❤
Makasih banyakkkkk😘
Sehat selalu semuaaa💖
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
