Fly With Me - 9

14
6
Deskripsi

“Aku benci sama papaku. Benci banget. Tapi, aku lupa buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Jadi, sebenci apapun aku ke papaku, tanpa sadar sikapku justru mirip sama dia.” 

Sembilan

Kisah ini memang berjalan dengan berbagai warna. Ada biru yang terkadang membuat tersipu. Ada merah muda yang berhasil membuat merona. Dan, ada pula warna kelabu yang cukup sering membuatnya pilu.

Dari seluruh warna yang ada, ia tak bisa memilih satu warna saja untuk menetap selamanya. Sebab, pelangi saja hadir membawa seluruh warnanya untuk menyapa. Sayangnya, ia terlalu tak tahu diri hingga ingin warna merah muda saja yang menjadi latarnya. Meninggalkan kelabu dan seluruh rasa sakitnya. 

Davina bangun lebih dulu dibanding Zalian. Keduanya tak ada jadwal penerbangan hari ini. Jadi, mereka bisa bersantai seharian. Melirik lelaki yang semalaman ini memeluknya. Tak memberinya sedikitpun celah untuk sekedar bernafas.

Setiap tahun di hari peringatan wafatnya ibunda Zalian, lelaki itu selalu bersikap seperti itu. Terlihat kacau, linglung, dan tampak menyedihkan. Trauma dengan kejadian menyakitkan yang terjadi empat tahun lalu. Rasa sakitnya membekas bahkan hingga detik ini. 

Mengusap surai lembut itu. Kemudian, menunduk untuk mengecup keningnya. Davina bersumpah sangat mencintai lelaki ini. Bahkan niatnya untuk berlari pun langsung urung begitu melihat wajah sendu Zalian. 

Berjalan menuju area dapurnya yang berukuran mini. Mengambil beberapa bahan makanan dari kulkas untuk ia masak menjadi menu sarapan. Memilih untuk memasak omelette yang diberi potongan sayur dan keju. Menyiapkan dua gelas kosong untuk ia isi dengan susu vanilla. Hanya membutuhkan waktu setengah jam, hasil masakannya telah tersaji di atas meja. Dua piring omelete sayur dan keju, serta dua gelas susu sapi rasa vanilla. 

Duduk di pinggir ranjangnya kembali. “Za, bangun yuk. Sarapan dulu,” menggoyangkan tubuh lelaki itu agar bangun dari tidurnya. Menyentuh kening Zalian dengan telapak tangannya. “Za, kamu demam ya?” 

Suhu tubuh Zalian mendadak tinggi. Mungkin karena efek kehujanan kemarin.

“Bangun dulu, sayang..” bisik Davina. “Sarapan dulu, terus minum obat.” Mengusap kening Zalian dengan ibu jarinya. 

“Kepalaku pusing banget, Vin.” Memeluk pinggang Davina dan menyembunyikan wajahnya di perut wanita itu. Posisinya saat ini sedang berbaring dan memeluk Davina yang sedang dalam posisi duduk. 

Mengusap kepala Zalian dengan tangannya. “Iya. Sarapan dulu, terus minum obat. Habis itu tidur lagi.” 

Zalian mengangguk, “mana sarapannya?” 

“Lepas dulu pelukannya. Aku mau ambil sarapanmu dulu.” Ia tidak bisa mengambil sarapan jika Zalian masih erat memeluknya. Pria itu selalu mode manja dan seperti bayi jika sedang sakit seperti ini. Terkadang membuat Davina kerepotan.

Berat hati Zalian melepas pelukannya dari pinggang ramping Davina. Membiarkan wanita itu mengambil makanan untuknya.

Davina membantu Zalian agar lelaki itu bersandar pada kepala ranjang. Kemudian, membantu untuk meminum segelas susunya.

“Kamu nggak sarapan?”

“Sarapan. Tunggu kamu selesai sarapan.” Davina tersenyum sembari mengusap pipi Zalian dengan ibu jarinya.

Zalian meminum segelas susunya lalu menangkup pipi Davina. Menyatukan bibirnya dengan bibir mungil milik Davina. Memindahkan susu dari mulutnya ke mulut Davina.

Membulatkan kedua matanya. Davina memukul bahu Zalian cukup keras. Terkejut dengan tindakan tiba-tiba pria itu. “Za, nanti aku ikutan sakit kayak kamu.” Ucapnya kesal. 

Zalian terkekeh geli melihat wajah kesal Davina. “Ya, nggak papa. Sakit berdua kita nanti.” 

“Kalau aku juga sakit yang rawat kamu siapa?” Mengecup pipi Zalian. “Buruan habisin sarapannya.” Davina mengambil serta sarapannya. Ia makan di samping Zalian yang kini justru memperhatikannya dalam diam. Kedua mata lelaki itu menatapnya lekat. Berhasil membuat Davina salah tingkah. 

“Kenapa sih lihatin aku?” Davina menatap Zalian bingung. “Aku jelek ya belum mandi?” 

Zalian menggeleng. Justru Davina sangat cantik menurutnya. Masih mengenakan piyama dengan wajah polos tanpa riasan. Rambut panjangnya dicepol sembarangan dengan helaian-helaian yang menjuntai. Begitu mempesona hingga Zalian ingin mencium Davina hingga kehabisan nafas. “Nggak. Malahan kamu cantik banget bangun tidur gini.” 

Davina mendecih, “lagi ngerayu aku, ya?” Kedua matanya menyipit. 

Zalian terkekeh. Ia memang tidak sedang merayu Davina. Sudah melihat wanita itu berulang kali dalam keadaan bangun tidur seperti ini. Dan setiap melihatnya ia dibuat terkagum-kagum. “Nggak kok. Kamu beneran cantik.” Bibirnya mendekat untuk bisa berbisik di telinga Davina. “Apalagi kalau kamu lagi naked pas bangun tidur. Kamu cantik banget.” 

Memukul bahu Zalian. “Astaga, mesum banget sih.” Kedua pipi Davina bersemu merah. Malu mendengar ucapan Zalian barusan. 

Terbahak melihat wajah merona Davina. Ia letakan piring kosongnya di atas nakas. Menarik wanita itu ke dalam pelukannya. “Kalau nggak ada kamu. Aku pasti udah nyusul mamaku.” 

Davina membalas pelukan Zalian. “Jangan dong. Kalau kamu nyusul mamamu, aku sama siapa?” Mengerucutkan bibirnya. “Bukan cuma kamu yang butuh aku. Tapi, aku juga butuh kamu.” Mengusap punggung Zalian.

“Sama Deka.” Jawab Zalian singkat. 

Davina terbahak. Melepas pelukannya, menatap wajah Zalian yang datar setelah menyebut nama co-pilot yang saat ini sedang berusaha keras mendekatinya. “Waktu kamu dateng ke apartemenku dalam keadaan marah. Kamu ngiranya aku pergi sama Deka ke Bugis Street berdua aja, ya?”

Zalian mengangguk. “Iya. Ezra sialan yang bilang kamu sama Deka lagi jalan berdua. Nggak tahunya dia cuma lagi ngerjain aku karena kalah main game.” Ia menyakiti Davina hari itu. Bahkan sampai memaksa wanita itu menjadi pelampiasannya. Menangkup pipi Davina yang bergerak karena sedang mengunyah. “Maafin aku ya, Vin?” 

Menelan omeletenya lalu tersenyum. “Kenapa harus semarah itu. Kalau aku pergi berdua sama Deka nggak masalah dong? Kita ‘kan nggak ada hubungan apa-apa, Za.” Goda Davina. 

Ya, benar. Memang Zalian tak seharusnya semarah itu. Tetapi, ia tak mau miliknya diambil orang lain. Davina adalah miliknya. 

“Kalau kamu masih nggak kasih kejelasan. Aku beneran pilih Deka sih, Za.” Davina sengaja menggoda Zalian. Meski Deka berkali-kali lipat lebih serius dengannya. Tetapi, Davina sudah terlanjur mencintai Zalian terlalu dalam. 

Zalian membuang wajahnya ke arah lain. Ia tak suka jika Davina berbicara seperti itu. “Emang kejelasan yang kamu pingin kayak gimana sih, Vin?” Mereka sudah dewasa, dan menurut Zalian status tidak begitu penting. Asalkan mereka berdua saling membutuhkan, semuanya selesai. 

Davina hanya takut jika hubungan mereka tak berstatus, Zalian akan meninggalkannya kapan saja. Meski sebenarnya, ia sendiri sudah tahu kemana arah hubungan ini. Tak ada yang bisa diharapkan dari seorang Zalian Arsena. Lelaki itu memang hanya membutuhkan tubuhnya saja. Jadi, status tak terlalu penting menurut Zalian. 

“Status apa yang kamu harap dari aku?” Zalian ingin tahu. Status apa yang diinginkan oleh Davina darinya. Lelaki itu enggan memberi status karena menurutnya hubungan ini sudah cukup begini saja. Tidak terikat satu sama lain.

Davina menunduk, menatap jemarinya yang saling bertaut di atas pangkuan. “Kamu bener-bener nggak mau hubungan ini jadi serius? Nggak cuma sekedar teman ranjang aja?” 

Zalian menghela nafas. Ia sudah berulang kali mengatakan kepada Davina untuk jangan berharap kepadanya. Tetapi, rupanya wanita itu menaruh harapan penuh padanya untuk hubungan yang lebih serius. Padahal, hubungan mereka saat ini saja terlalu main-main untuk diubah menjadi serius. “Aku nggak tahu hubungan serius versimu itu gimana. Tapi, aku memang cuma bisa kasih hubungan sebatas ini aja. Aku trauma sama keluargaku, Vin.” 

Keluarga Zalian dan keluarganya memang tidak terlalu jauh. Sama-sama berantakan pada aspek yang berbeda. Tetapi, Davina berharap bisa membangun keluarga yang bahagia bersama orang yang dicinta. 

“Aku benci sama papaku. Benci banget. Tapi, aku lupa buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Jadi, sebenci apapun aku ke papaku, tanpa sadar sikapku justru mirip sama dia.” Menangkup pipi Davina agar mereka bisa bersitatap dalam jarak dekat. “Aku takut nyakitin kamu, seperti papaku sakitin mamaku.” Ucap Zalian lirih. 

“Tapi, selama ini kamu juga udah sakitin aku terus, Za.” Ucap Davina tanpa basa-basi. Lalu, apa bedanya jika sekarang saja ia sudah kerap dihadiahi luka. 

Zalian tahu dirinya memang kerap melukai Davina. Dan ia sadar akan hal itu. Tetapi, dengan terikat, ia takut akan semakin menyakiti Davina lebih dari ini. Ia takut wanita itu pergi darinya. 

“Kamu selalu minta aku buat nggak pergi kemana-mana. Tapi, justru aku yang seharusnya takut kamu pergi, Za.” Davina menatap Zalian lekat. “Kamu justru yang bakal pergi ninggalin aku. Aku disini cuma sebagai pemuasmu aja ‘kan? Kalau bosan kamu bisa pergi kapan aja ninggalin aku.” 

***

 

Notes:

Aku lg gabut guys jd aku upload ini huehehehe jd dikit aja ya wkwk

Ini flat beneran deh wkwkwk kayaknya konfliknya baru muncul di part belasan deh. sebenernya aku tuh udah menentukan konfliknya. tapi, aku bingung mau jalan menuju kesananya gmn :( jd kayaknya alurku jd lambat gitu. Jgn terlalu berekspektasi sama aku yh wkwkwk takutnya Zonk :')

Tp btw aku dah nulis ini sampai part 16 loch wkwk kepalaku mumet bgt nulis ini. kayaknya aku prefer nulis marriage life dechhhhh wkwkwkwk Aku nulis part 16 aja tuh ganti sampai 3x lho. Karna aku ngga srek sama isinya wkwkwk trs part 15 nulis 2x sampe srek. Isi kepalaku agak agak nih kayaknya 😫

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Fly With Me
Selanjutnya Fly With Me - 10
13
8
“Aku nggak mau kamu terluka kayak mamaku. Jadi, cukup jalani hubungan kayak gini aja. Aku nggak bisa kasih kamu kebahagiaan yang sempurna. Jadi, maaf kalau selama ini aku cuma bisa kasih kamu luka.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan