Epiphany ; 17 (Aska)

9
0
Deskripsi

Aska - Tujuh Belas

Mungkin bukan hanya aku yang menganggap sex sebagai kebutuhan. Aku yakin, lelaki diluar sana pun juga berpikir demikian. Hanya saja, sialnya, kebutuhan pemenuhan nafsuku tidak bisa kulakukan dengan Asa yang sebagai istriku saja.

Pekerjaan memaksaku untuk jauh dari rumah beserta istriku. Sedangkan disana ada Helena yang selalu merelakan tubuhnya untuk aku nikmati secara cuma-cuma. Wanita itu tak pernah meminta bayaran dalam bentuk barang ataupun uang. Ia hanya ingin aku membayarnya dengan kehadiranku disisinya. Tak masalah buatku.

Aku tak bisa melepaskan Helena begitu saja. Sama halnya dengan aku yang tak bisa melupakan Nessa begitu saja. Wanita itu masih menjadi juara satu. Sedangkan aku hanya menjadi juara harapan untuknya. Sial.

Bingung menentukan perasaan seperti apa yang tersimpan untuk Asa. Wanita itu belum menjadi juara. Tak mudah menyingkirkan Nessa begitu saja. Kehadiran Asa masih belum membuatku bisa melupakan sosok wanita yang tumbuh bersamaku selama lebih dari dua puluh tahun.

Nessa tak lagi menangis hanya karena jatuh dari sepeda. Nessa tak lagi kesal karena Barbienya rusak akibat tangan jahilku dan Arka. Nessa sudah berubah menjadi wanita dewasa. Sama halnya dengan perasaan Nessa untuk Arka yang tak pernah lekang digerus waktu. Pun begitu denganku. Aku masih menempatkan Nessa pada kasta tertinggi.

"Sejak kapan kamu merokok?" Aku melirik ketika kehadiran Asa sudah dapat kujangkau dengan netraku. Meletakan putung rokok diatas asbak. "Aku cuma ngerokok kalo lagi stres aja." Asa mengangguk. Kemudian, wanita itu duduk disampingku. Dengan secangkir teh perasa leci yang nampaknya masih panas. Terlihat asap yang mengepul menyelimuti secangkir gelas berwarna putih dengan motif bunga sakura.

"Hujannya belum reda daritadi." Ucap Asa sambil menatap rintikan hujan yang berebut membasahi bumi. Aku mengangguk membenarkan. "Hujan sedang kayak gini redanya emang lama, Sa."

Mengalihkan netraku pada Asa. Wanita itu menatap hujan dengan berbagai pikiran yang berkelut diotaknya. Aku tidak bisa menebak. Aku tak memiliki kelebihan untuk membaca pikiran. Jadi, satu-satunya cara agar aku mengetahui isi kepala Asa yang membuatku penasaran adalah dengan bertanya.

"Mikirin apa, Sa?" Asa tersenyum kecil. "Banyak. Aku sendiri bingung mana yang paling aku pikirin." Tersenyum kecut. "Apa aku jadi salah satu yang kamu pikirkan?" Asa mengangguk. "Itu pasti. Kita sedang dalam keadaan yang kurang baik. Gimana bisa aku nggak mikirin?"

Miris. Pernikahan kami memang sedang dalam keadaan kurang baik. Tapi, aku dan Asa masih bisa duduk berdampingan sembari menikmati hujan. Seolah kami adalah sepasang suami istri yang harmonis.

"Aku sudah banyak berjuang, Ka. Semakin berjalannya waktu, aku nggak bisa terus-terusan berjuang sendiri. Aku butuh kamu. Aku udah berusaha semampuku. Dan kamu masih saja bersikap pasif." Mengakui bahwa memang selama ini aku bersifat pasif. Nyatanya, sikap yang kuperlihatkan pada Asa selama ini tak bisa menjadi patokan bahwa aku sudah mulai menerimanya.

"Aku pingin kita berhenti. Tapi, aku nggak bisa. Cintaku ke kamu terlampaui besar." Suara Asa masih terdengar kuat. Pertahanannya menahan tangis begitu kuat. "Aku bingung harus menempatkan diriku dimana, Ka. Aku bingung. Bahkan ketika pengakuanmu jelas menyakitiku, aku masih ingin bertahan."

Pertahanan wanita itu hancur. Asa mengusap sudut matanya yang berair. Semua kesakitan Asa ada karenaku. Andai saja bukan Asa yang menjadi istriku, mungkin wanita itu tidak akan banyak menangis seperti ini.

Menyentuh jemarinya. Mengusapnya dengan ibu jariku. Memandang wajah sendunya. Menatap netranya yang sama sekali tak memancarkan kebahagiaan. Hanya ada luka yang menyorot netraku kuat.

"Sa, kehidupanku terlalu rumit untuk kamu yang baik hati. Aku terlalu jahat ini malah mendapatkanmu yang sudah begitu baik. Kamu idaman Mamaku, Sa. Jadi, aku pikir dengan menikahimu akan membuat Mamaku bahagia. Itu benar adanya. Karena Mama begitu bahagia ketika kamu lah yang menjadi menantunya." Mama juga mengharapkan Nessa menjadi menantu. Hanya saja, Mama berharap Arka lah yang menikahi Nessa. Bukan aku.

"Kamu bukan wanita yang aku idam-idamkan selama ini. Ada wanita lain yang sudah merebut hatiku sepenuhnya selama bertahun-tahun lamanya. Sayang sekali, wanita itu bukan kamu." Asa diam saja. Sorot matanya tampak semakin terluka. Aku merasa bersalah.

"Apa wanita itu Helena?" Menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Aku dan Helena hanya rekan kerja yang kebetulan juga teman ranjang." Ucapku jujur. Lebih baik kejujuran menyakitkan didengar Asa dari mulutku sendiri. Hal ini terlalu menyakitkan untuk didengar Asa dari orang lain.

Terkadang untuk memperkeruh keadaan, orang akan menambahkan konflik lain agar obrolan menjadi seru. Sedangkan hal seperti ini tidaklah seru dijadikan obrolan jika akulah pemeran utamanya. Asa yang terlihat tangguh ini nyatanya rapuh. Dan rapuhnya Asa akan menghancurkan diriny sendiri jika mendengar pengakuanku.

"Kenapa kamu bisa semudah itu mengakui bahwa Helena adalah teman ranjangmu?" Ntah mengapa aku lebih baik mengatakan sekarang siapa Helena. Agar Asa tahu bahwa bukan wanita itu yang tersimpan dihatiku. Tapi, aku juga belum memiliki kesiapan jika Asa tahu siapa wanita yang sesungguhnya aku cintai.

"Lebih baik aku mengaku sekarang daripada kamu mendengarnya dari orang lain. Mungkin ini menyakitkan untukmu. Tapi, kenyataannya memang seperti ini, Sa." Asa menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Dia terluka. Tuhan, maaf karena aku baru saja melukai wanita yang ternyata menjadi takdirku sesuai dengan garis hidup yang tertulis.

"Aku lelah, Ka." Memeluk tubuh ringkihnya. Mengusap punggungnya dengan lembut. "Maaf, aku minta maaf, Asa. Ini semua salahku." Suara tangisan Asa begitu jelas terdengar ditelingaku. Asa, kenapa harus kamu yang menjadi wanita yang terluka akibat perbuatanku.

"Katakan jika kamu ingin berhenti." Asa mendorong tubuhku. Menggeleng dengan perlahan. "Aku nggak bisa berhenti." Ucapnya dengan suara parau. "Apa kamu ada niatan untuk berjuang sama aku?"

Karena aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaanku. Jadi, yang dapat aku lakukan hanya menatapnya. Aku harap dia memahamiku. Walapun aku tahu, Asa tak memiliki kelebihan untuk membaca pikiran orang lain. Terlebih pikiranku.

Asa mengusap pipiku dengan ibu jarinya. Jemarinya yang dingin menyentuh permukaan kulitku. "Maaf, karena terlalu memaksamu." Memaksa? Memaksa untuk apa?

Justru menjadi merasa lebih buruk. Aku yang berbuat jahat. Dan malah Asa yang meminta maaf karena memaksaku. Tapi, memaksa apa? Aku tak pernah merasa Asa memaksaku selama ini.

"Memaksa untuk apa, heum?" Aku berusaha memperlakukannya dengan baik. "Memaksamu untuk mencintaiku." Karena sedetik setelahnya, aku dapat merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Asa melumat bibirku lebih dulu.

Satu hal yang dapat aku rasakan ketika bibir kami saling bersentuhan. Asa menciumku untuk meluapkan emosinya. Hanya dengan dicium seperti ini, aku sudah sadar seberapa besar cinta Asa yang tersimpan untukku seorang.

•••

"Ka, Aldric itu saudara sepupu dari pihak Mama, ya?" Tanya Asa tiba-tiba. Sekitar dua jam lalu aku dan Asa menemui Aldric disalah satu Coffee Shop langganannya. Tujuan dari saudara sepupuku itu adalah memberikan undangan pernikahannya secara langsung.

Setelah melewati kisah cinta yang menyedihkan. Melewati kehidupan yang suram hingga akhirnya menjadi pecandu alkohol. Aku tidak pernah membayangkan jika aku diposisi Aldric. Mungkin orang lain dapat berpikir kenapa Aldric tidak mencari wanita lain. Masalahnya, mencintai tidak semudah itu, melupakan pun demikian.

Mantan kekasih Aldric yang juga sahabat kecilnya berselingkuh bahkan hingga mengandung anak selingkuhannya. Padahal, aku tadinya berpikir bahwa Amara, kekasih Aldric adalah wanita paling bucin sedunia. Ternyata tidak.

Mana ada wanita yang diperbudak cinta melakukan perselingkuhan. Bahkan perselingkuhan itu menghasilkah buah hati bernama bayi. Kejadiannya sudah bertahun-tahun lalu. Hanya saja, aku tidak bisa melupakan seperti apa luka yang dilukis oleh wanita itu terhadap saudara sepupu yang sangat teramat dekat denganku.

Keluarga Aldric tentu marah dan tak terima. Hanya saja, tak ada yang bisa dilakukan. Bayinya sudah tumbuh saat itu. Bahkan keluarga Aldric sempat menuduh lelaki itu yang macam-macam. Merasa kecewa berat karena mendengar Amara mengandung. Dilain sisi mereka juga bersyukur karena bukan Aldric yang menghamili Amara tanpa ikatan pernikahan.

"Iya. Kenapa?" Asa mengangguk. "Ini pertama kalinya aku dan Aldric bertemu." Mengangguk sambil memutar setir kemudi untuk memposisikan mobilku pada garis parkir yang tersedia.

"Iya, Aldric masih di Jepang waktu kita nikah." Asa mengangguk lagi. Jemarinya merapikan rambutnya yang sedikit berantakan menurutku. Sembari menatap sebagian wajahnya pada cermin yang terletak di sun visor mobilku.

"Pacarnya selingkuh sampai hamil." Sedetik kemudian aku dapat melihat jemari Asa yang berhenti dari pergerakannya merapikan rambut. Kemudian, Asa menatapku. "What? Pacarnya selingkuh?" Aku mengangguk dengan santai untuk menjawab. Jemariku memasukan kunci mobil ke tas milik Asa yang letaknya tepat disamping wanita itu. Kebetulan karena tasnya juga sedang terbuka lebar.

"Sampai hamil malah. Denger-denger anaknya udah tiga sekarang. Nah, terus anaknya yang pertama hampir aja digugurin kalo Aldric nggak ngelarang." Wajah Asa tampak tak percaya. "Cowok setampan Aldric aja diselingkuhi. Jadi, penasaran selingkuhannya kayak apa." Aku tersenyum kecil.

"Udah, Sa. Ngapain sih ngomongin orang." Asa tersenyum. "Aku kan penasaran." Jawabnya dengan gemas. "Ka, ntar aku mau beli parfume, ya." Aku mengusap puncak kepalanya sebagai jawaban. "Oke. Ayo turun."

Setelah menemui Aldric, tiba-tiba wanita itu ingin berjalan-jalan ke Mall. Karena kebetulan letak antara Mall dengan Coffee shop tidak terlalu jauh, aku menuruti keinginan Asa. Kalau tidak salah melihat parfum miliknya habis. Atau mungkin ada barang lain yang ingin dia beli juga.

"Ka, aku pingin makan cilor, ntar beli, ya." Aku menatap Asa tak percaya. Cilor bukannya street snack ya. Tumben Asa ingin makan cilor. "Kamu serius? Tumben. Cilor nyari dimana sih, Sa? Aku nggak pernah makan kayak gitu." Asa mengendikan bahunya. "Aku juga nggak tahu."

Berjalan berdampingan untuk memasuki area gedung Mall. Asa menatap pantulan dirinya seluruh tubuh dari kaca. "Ka, kamu keren pake trucker jacket gitu. Baju kamu ada beberapa di almari yang masih ada label harganya, lho. Yang dipake bajunya itu itu mulu. Kaos warna hitam, hoodie navy." Aku tersenyum geli. Asa memang selalu begitu. Semenyakitkan apapun kenyataan yang baru saja dia terima, dia pasti akan kembali lagi menjadi Asa yang bawel.

"Besok kamu aja yang siapin bajunya." Sedetik setelah aku memintanya menyiapka bajuku, langkah kakinya terhenti. Memandangku tak percaya. "Beneran, ya? Harus mau pakai baju yang aku pilihin, ya." Aku mengangguk. Mengusak rambutnya hingga wajahnya tampak kesal. "Stop it. Kamu bikin rambutku berantakan."

"Sa, pulang aja, yuk. Aku gemes sama kamu pingin cium." Asa menatapku dengan tatapan horornya. "Ish, aku mau beli parfum. Sama aku lagi pingin beli smock dress." Aku tidak paham dress seperti apa yang Asa inginkan, jadi, aku hanya mengangguk saja.

"Cilornya nggak jadi?" Sebelah lenganku baru saja mendapat pukulan dari Asa. Kuat juga pukulannya. Kenapa dia tidak memukulku saja seperti ini ketika aku ketauan bermain dengan wanita lain dibelakangnya. "Astaga, cilor sepuluh ribu juga dapet kali, Ka. Aku mau beli dress terus cilornya nggak jadi gitu?"

"Bukan gitu. Aku nggak suruh kamu milih. Aku kan cuma tanya, Sayang." Asa mendengus kemudian berjalan mendahuluiku untuk menaiki eskalator. Asa memang memiliki tubuh dengan proporsi yang pas, tinggi semampai. Bahkan dari belakang sini aku dapat melihat lekuk tubuhnya yang benar-benar menakjubkan. Aku jadi ingat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun.

"Kamu mau kemana dulu?" Tanyaku setelah akhirnya kita berjalan berdampingan lagi. "Parfum dulu aja kali, ya." Aku mengikuti langkahnya menuju salah satu store parfume langganannya. "Jadi mau beli Victoria Secret aja?" Asa mengangguk. "Yang kemarin mahal banget. Sayang pakainya." Aku tertawa kecil. "Sa, aku nggak akan jatuh miskin cuma beliin kamu parfum harga jutaan." Asa menggeleng. "Nggak ah. Aku tetep mau beli Victoria Secret yang Bombshell."

Asa berjalan dan langsung mengambil satu kotak parfum dengan label merk Victoria Secret. "Aku mau cepet-cepet. Biar bisa makan cilor cepet." Aku tertawa cukup kencang. Membuat Asa harus mencubit perutku agar diam. "Malu, Aska. Jangan keras-keras ketawanya."

"Udah aku mau ke kasir dulu." Asa berjalan meninggalkanku. Mengikuti langkahnya dari belakang. Asa sudah siap mengeluarkan dompetnya. Tanganku menghentikan pergerakan Asa. "Pake kartuku aja." Memberikan credit card kepada pihak kasir.

Setelah selesai Asa menenteng papper bag berwarna merah muda. Wajahnya tersenyum sumringah. "Kamu ngapain bayar pake credit card punyamu. Apa bedanya sama pake punyaku? Toh yang bayar tetep kamu." Asa tersenyum geli.

"Tagihan credit card punyaku nggak ada yang beli buat barangmu, Sa. Jadi, sesekali boleh." Asa tersenyum. "Oke. Makasih, Aska." Aku mengangguk sembari mengusap belakang kepalanya.

Asa berjalan masuk ke dalam salah satu butik ternama. Kemudian, langkahnya mendekat pada dress berwarna purple yang aku perkirakan jika dikenakan Asa mampu menutupi hingga sebatas lututnya.

"Ini bagus, nggak?" Asa bertanya kepadaku. Memandangnya dengan seksama. "Bagus. Coba aja kalau kamu suka." Asa mengangguk. Membawa dress yang ia pilih ke dalam kamar pas. Menanti Asa didepan pintu kamar pas.

Asa membuka pintu kamar pas. Kemudian, berbicara dengan nada pelan. "Aska, bisa bantu aku resleting dress ini? Aku kesulitan." Mengangguk. Membuka pintu sedikit lebih lebar. Asa sudah mengenakan dress purple. Hanya saja, belum diresletingkan.

Aku membulatkan kedua mataku. "Sa, kenapa branya dilepas?" Asa tersenyum kikuk. "I-iya. Didalam dressnya udah ada cup." Aku baru menyadari satu hal jika dress pilihannya tak berlengan. Hanya ada tali serupa spagetti yang tak mampu menutupi bahunya.

"Terlalu terbuka dress ini." Asa menatapku kesal. "Tadi, kamu bilang dress ini cantik." Jujur saja, aku antara terpesona dengan kulit mulus Asa dan ingin menyesap bahu putihnya. Walaupun sudah berkali-bali bermain bersama, aku masih saja terpesona dengan tubuhnya.

"Sa, aku jadi pingin ciumin kamu. Habis ini langsung pulang aja, ya. Cilornya besok aja." Asa semakin kesal. "Ih, kamu kan udah janji. Aku udah ping-- Hmppptt" berisik. Enggan mendengarkan omelan istriku. Langsung saja kuraup bibirnya. Asa mendorong tubuhku, dengan sigap kedua tangannya kukunci dengan satu telapak tanganku.

Menyesap bibir bawahnya cukup kuat. Kemudian beralih ke lehernya. Mengecup lehernya. "As-kh-Aska, kita masih di dalam kamar pas. Please-akh- stop it." Mengabaikan Asa. Aku masih terus mengecup tubuhnya. Beralih ke bahu mulusnya. Menyesapnya hingga memiliki bekas.

"Aska, berhenti. Aku takut digrebek security." Sejujurnya aku ingin tertawa. Tapi, keinginanku pada tubuh Asa lebih kuat. Jadi, yang bisa kulakukan adalah menutup mulutnya. "Diam, kalau kamu nggak mau kita ketauan staff butik ini." Dan selanjutnya adalah aku yang bermain cepat dengan Asa didalam kamar pas. Pertama kalinya untukku dan tentu saja Asa. Seru juga, menantang adrenalinku.

•••


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Epiphany
Selanjutnya Epiphany ; 18 (Asa)
8
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan