
“Aku nggak buat mereka sendirian, Yan. Bisa nggak sih kamu berhenti salah-salahin aku terus? Aku tahu aku salah. Okey, fine, aku minta maaf. Mereka juga udah hadir kok. Kalau kamu keberatan, kamu nggak perlu ngakuin mereka. Anggep aja mereka nggak ada. Toh, pada akhirnya emang aku yang urus mereka sendirian.” Nafas Inez memburu saking emosinya.
“Emang kamu yang salah. Harusnya kamu bisa nahan aku malam itu. Kalau aja malam itu kamu nggak disana, mungkin kejadiannya nggak bakal kayak gini, Nez!”
Bye Bye My Blue - Sembilan
Segala macam menu sarapan sudah tersedia di atas meja. Tetapi, yang dilahap oleh Inez hanyalah buah strawberry yang diberi gula pasir. Memakan buah tersebut sebagai menu sarapannya. Ntah mengapa, sejak mengandung, Inez menjadi rajin menyantap buah-buahan.
“Ibu nggak makan?” Mbok Asih sejak tadi menatap heran. Majikannya itu belum melahap sesuap nasi tetapi sudah memakan buah stroberi yang sudah pasti rasanya asam.
Inez menggeleng, “nggak, mbok. Aku mau makan stroberi aja. Mual aku lihatin makannya.” Melihat menu yang berjejer di atas meja sudah membuatnya kenyang.
Mbok Asih tersenyum kecil, “bawaan bayi ini kayaknya, bu. Mual-mualnya udah pindah ke ibu lagi kayaknya.”
“Nggak tahu sih Rayan masih mual-mual atau nggak. Tapi, kayaknya udah nggak ya, mbok? Cuma masih rewel sama makanan aja dia.” Meski Rayan sudah tak mual-mual seperti beberapa waktu lalu. Tetapi, lelaki itu masih memilih-milih makanan untuk dilahapnya. Tak boleh ada ini, tak boleh ada itu.
Suara denting lift terbuka. Memunculkan Rayan yang telah siap dengan setelan kerjanya. Ikut serta duduk di kursi utama. “Kamu nggak makan, Nez?”
“Udah kenyang aku cium aroma masakannya aja.” Ucap Inez kemudian memasukan kembali stroberi ke dalam mulutnya.
Rayan mengendikan bahu tak perduli. Mau istrinya itu makan atau tidak, suka-suka dia lah. Meminum kopi yang telah tersedia disana. Mengambil selembar roti kemudian memberikan selai coklat di atasnya.
“Bapak, ini bekal makannya.” Mbok Asih memberikan kotak bekal makan siang Rayan. “Bapak masih nggak bisa makan sembarangan, ya?”
Rayan mengangguk, “iya, mbok. Udah nggak mual-mual kayak kemarin. Tapi, kalau makanan saya masih pilih-pilih. Kadang aroma makanan di hidung saya kayak nusuk gitu lho, mbok. Tapi, kalau makanan dari rumah itu enggak.”
“Bawaan bayi itu, pak. Kadang ada yang gitu lho.”
“Yang hamil ‘kan Inez, mbok. Harusnya dia yang mual-mual, pilih-pilih makanan. Lah, tapi, kok malah saya yang ngalamin itu.” Rayan pun sempat dibuat heran. Seharusnya yang mengalami itu semua adalah Inez, bukan dirinya.
“Anak-anakku nggak mau nyusahin mamanya, Yan. Mereka maunya nyusahin kamu. Maklumin aja lah, ya. Kita bagi tugas. Kamu yang mual-mual, pilih-pilih makanan. Nah, aku yang ngandung mereka.”
Mbok Asih terbahak, “ibu ini, ada-ada aja. Tapi, ibu bener lho, pak. Ya, anggap aja lagi berbagi tugas.”
“Mana ada bagi tugas. Ngaco kamu, Nez. Kamu yang salah, aku ikutan kena imbasnya.” Ucap Rayan. Ia masih menganggap bahwa kehamilan Inez sekarang adalah kesalahan wanita itu sendiri.
“Aku nggak buat mereka sendirian, Yan. Bisa nggak sih kamu berhenti salah-salahin aku terus? Aku tahu aku salah. Okey, fine, aku minta maaf. Mereka juga udah hadir kok. Kalau kamu keberatan, kamu nggak perlu ngakuin mereka. Anggep aja mereka nggak ada. Toh, pada akhirnya emang aku yang urus mereka sendirian.” Nafas Inez memburu saking emosinya.
“Emang kamu yang salah. Harusnya kamu bisa nahan aku malam itu. Kalau aja malam itu kamu nggak disana, mungkin kejadiannya nggak bakal kayak gini, Nez!”
Mbok Asih yang sudah terbiasa mendengar pertengkaran itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mau melerai pun juga merasa tak berhak. Jadi, ia memilih mundur perlahan untuk pergi dari sana. Merasa tak enak jika hanya menjadi penonton pertengkaran antara dua majikannya.
“Bisa-bisanya kamu semurahan itu mau disentuh sama laki-laki yang lagi mabuk. Apa kamu emang biasa semurah itu?”
Ucapan Rayan jelas membuat hati Inez terluka. Mungkin jika Rayan bukanlah suaminya, ia terima jika ucapan itu dilayangkan untuknya. Tetapi, lelaki itu adalah suaminya. Apa salah kalau Inez menerima sentuhan yang diberikan oleh suaminya sendiri.
Inez tersenyum sinis, “murahan ya, Yan? Rela disentuh sama suami sendiri yang lagi mabuk itu namanya murahan ya, Yan. Makasih buat pujiannya, aku tersentuh dengernya.”
Rayan memutar bola matanya, “terserah kamu.” Ia segera mengambil kotak bekal makan siangnya kemudian meninggalkan ruang makan.
Menyisakan Inez yang menitihkan air mata karena tersinggung dengan ucapan Rayan. Jika membahas mengenai siapa yang salah, sebenarnya, Rayan lah disini yang bersalah. Mengapa pula pria itu datang dalam keadaan mabuk. Lalu, menyerangnya secara tiba-tiba. Ia hanya menerima, kenapa ia yang disalahkan.
Mengusap perutnya dengan lembut, “jangan didengerin, ya. Mulut laki-laki itu emang jahat. Mama terima kalian kok. Terus sehat ya, biar ada yang belain mama.” Ia tak sudi menyebut Rayan sebagai ‘papa’ kepada kedua calon anak kembarnya.
Mengusap air matanya, ia harus pergi bekerja. Berdiam di rumah hanya akan membuat lukanya semakin menganga. Mungkin dengan bekerja, ia bisa melupakan setiap ucapan menyakitkan yang terlontar dari mulut Rayan barusan.
Inez tiba di butiknya sekitar setengah jam kemudian. Masuk ke dalam butiknya yang cukup ramai. Ada beberapa pelanggan yang sedang melakukan fitting baju, dibantu oleh karyawannya. Ada pula karyawannya yang lain tengah menunjukkan beberapa contoh dari hasil karyanya.
“Bumil cantik,” sapa Sherina sembari berjalan menghampiri Inez. “Tumben pagi-pagi udah sampai sini?” Ia merasa heran karena tak biasanya pada pukul setengah sembilan ini, Inez sudah berada di butiknya. Biasanya, wanita itu akan tiba sekitar pukul sepuluh atau sebelas.
“Iya, ada janji mau pilih bahan sama client, Sher.” Inez tak berbohong, memang ada seorang client yang sudah berjanji dengannya akan datang ke butik untuk memilih bahan untuk gaun pengantinnya. Meski sebenarnya, tujuannya berangkat lebih pagi, agar ia bisa segera bekerja dan melupakan ucapan Rayan yang berhasil menyakiti hatinya.
“Oh, client lo yang anak pengusaha batu bara itu ya, Nez?”
Inez mengangguk, “iya, anaknya temen bokap gue. Masih muda banget lho dia. Baru umur dua puluh tahun kayaknya. Tapi, udah berani ambil keputusan buat nikah.”
“Ya, mau ngapain lagi, Nez. Harta orang tua udah banyak, nggak usah kerja pun dia tetep kaya. Usahanya pasti dimana-mana. Jadi, mau ngapain lagi kalau nggak nikah?”
“Iya bener sih. Yaudah, gue naik ke atas dulu ya, Sher. Mau selesaiin kerjaan juga.” Inez ingin segera masuk ke dalam ruangannya. Duduk santai diatas sofa sembari meluruskan kakinya. Semenjak mengandung, Inez kerap merasa pegal jika berdiri terlalu lama.
***
Rayan merutuki dirinya sendiri karena merasa bersalah. Tak seharusnya ia melukai hati Inez dengan ucapannya yang menyakitkan. Inez tak bisa disalahkan sepenuhnya. Ia pun juga turut serta menghadirkan dua bayi kembar itu.
Inez tidak murahan. Wanita itu adalah istrinya. Jadi, sudah sewajarnya bila wanita itu tak menolak sentuhannya. Rayan memang tak mengingat apapun mengenai kejadian malam itu. Tetapi, ucapannya kepada Inez pagi tadi sudah benar-benar keterlaluan.
Mengacak rambutnya frustasi. Merasa bersalah, tetapi, terlalu gengsi untuk mengucap kata maaf. Mereka memang kerap kali bertengkar, tetapi, tak pernah sekali pun Rayan merendahkan harga diri Inez seperti pagi tadi.
Inez juga tak menyangka, akan hadir dua bayi kembar di dalam perutnya. Wanita itu pasti juga sama terkejutnya. Apalagi, bayi-bayi itu hadir bersamaan dengan proses perceraian mereka yang saat ini sedang berjalan. Meski akhirnya Rayan mengalah untuk menundanya.
Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Wajah sendu milik Inez memenuhi ruang dalam kepalanya. Membuatnya semakin dirundung perasaan bersalah. Kalau ia bisa memutar waktu, Rayan tak akan mengatakan hal itu. Ia akan memilih kata-kata lain untuk meluapkan emosinya.
Padahal beberapa hari lalu, Rayan berhasil mengesampingkan egonya. Ia mampu menahan diri sewaktu berbicara dengan Inez. Tak ada emosi yang meledak-ledak kala itu. Ia bahkan rela menurunkan harga dirinya untuk meminta maaf.
Suara ketukan pintu membuat Rayan membuka mata. Pintu terbuka, Nadia masuk ke dalam ruangannya setelah mendapat izin dari Rayan.
“Permisi, pak, ini ada beberapa berkas yang harus bapak pelajari. Lalu, ada dua yang harus bapak tanda tangani.” Nadia meletakan beberapa berkas di atas meja Rayan.
“Ini mana aja yang harus saya pelajari, mana aja yang harus saya tanda tangani?” Isi kepalanya sedang kacau. Tolong jangan menambah beban hanya untuk menebak mana yang harus dipelajari, mana yang harus ditanda tangani.
Nadia menunjuk sekitar tiga berkas untuk ditandangani dan dua berkas untuk dipelajari. “Ini, pak. Oh iya, untuk perjanjian kontrak Marita Elenia sebagai brand ambassador sudah ditanda tangani. Jadi, Marita Elenia sudah resmi menjadi brand ambassador kita.”
Rayan tersenyum puas, “jadi, kapan rencananya tim marketing mau mulai untuk bikin iklan terbaru?”
“Nanti coba saya konfirmasi ke tim marketing ya, pak.” Nadia sendiri pun tak tahu kapan pembuatan iklan itu akan dimulai. Merasa heran karena biasanya, atasannya itu hanya akan menerima hasil iklan yang sudah jadi dan mengkritik jika sekiranya ada yang kurang. Tak terlalu ikut campur perihal kapan pembuatannya. Bahkan pemilihan brand ambassador yang sebelumnya biasa dipilih oleh tim marketing melalui serangkaian pertimbangan, kini dipilih oleh Rayan langsung.
“Makasih, Nad.”
“Kalau begitu saya permisi dulu, pak.” Nadia memutar kakinya bersiap untuk keluar dari ruangan Rayan.
“Nad, saya mau tanya,”
Nadia menghentikan langkahnya, kembali memutar tubuhnya agar dapat melihat wajah atasannya, “ada apa ya, pak?”
Sebenarnya, ia ragu untuk bertanya. Tetapi, kalau tidak bertanya kepada sekretarisnya, mau bertanya kepada siapa lagi. Bertanya kepada orang yang salah berpotensi memalukan dirinya sendiri. Kalau bersama sekretarisnya, wanita itu bisa menjaga rahasia.
“Kebutuhan ibu hamil itu apa aja ya, Nad?”
Nadia tersenyum, “bapak mau kasih buat ibu, ya?”
“I-iya, Nad.” Tiba-tiba saja, ia berpikir untuk memberikan Inez sesuatu sebagai ucapan permintaan maaf. Mengucap kata maaf secara langsung mustahil untuk ia lakukan. Jadi, sepertinya memberikan barang yang dibutuhkan untuk wanita itu adalah pilihan yang tepat.
“Kalau dulu pengalaman saya dari mengamati kakak saya yang lagi hamil, kebutuhannya nggak terlalu banyak sih, pak. Kalau bapak mau kasih ke ibu, kenapa nggak tanya langsung aja ke ibu maunya apa. Biasanya, ibu hamil ‘kan ngidam-ngidam gitu, pak.”
Meminta maaf saja Rayan enggan. Apalagi menanyakan apa kemauan Inez. Lagipula, sepertinya dirinya disini yang mengalami ngidam. Wanita itu tak pernah mengadu menginginkan ini dan itu. Justru Rayan yang sesekali meminta ini dan itu.
“Kalau setau kamu kebutuhannya apa aja, Nad?” Rayan berencana akan memberikan secara diam-diam. Tak mungkin ia memberikan langsung kepada Inez. Jadi, ia harus menerka-nerka sendiri, barang apa yang Inez butuhkan.
“Kalau setahu saya yang penting makanannya harus gizi seimbang. Terus, vitamin juga, pak. Nah, iya, susu ibu hamil itu penting lho, pak.”
Kalau perihal vitamin, Rayan yakin dokter kandungan Inez sudah memberikannya. Makanan dengan gizi seimbang sudah diatur oleh asisten rumah tangganya. Sepertinya, susu ibu hamil bisa ia pertimbangkan. Rayan juga belum melihat ada susu ibu hamil di dapur mereka.
“Kalau susu ibu hamil, merk yang bagus apa ya, Nad?” Rayan jelas tak tahu perihal merk susu ibu hamil. Ia masih ingat merk susu yang dulu dikonsumsi mamanya saat mengandung Raissa. Tapi, itu sudah lama sekali. Kemungkinan merk itu sudah terganti dengan merk baru yang lebih bagus.
“Saya tahu beberapa merk. Tapi, saya juga kurang tahu mana yang lebih bagus, pak. Nanti coba saya searching, hasilnya saya kirim ke nomer bapak, gimana?”
Rayan mengangguk setuju, “ide bagus. Oke, saya tunggu hasil searching kamu, ya. Silahkan lanjutkan aktifitas kamu, Nad.”
***
Sepulangnya dari kantor, Rayan tak langsung pulang ke rumah. Mengunjungi salah satu supermarket yang menurutnya paling lengkap di antara yang lainnya. Ia sudah mengantongi merk terbaik hasil pencarian sekretarisnya siang tadi. Dan sekarang, tugasnya adalah membeli merk susu tersebut.
Memasuki rak bagian susu ibu hamil. Berbagai macam merk tersebar disana. Kedua matanya memindai kotak-kotak susu yang berjajar untuk menemukan merk susu yang ia cari. Kemudian, ia berhasil menemukan merk susu yang ia cari diantara merk susu lainnya. Tetapi, ada satu hal yang kembali membuatnya kebingungan. Merk susu tersebut memiliki tiga varian rasa. Ada cokelat, vanilla, dan stroberi. Rayan tak tahu dari tiga varian itu, mana yang paling Inez suka.
“Gue pikir susu ibu hamil nggak pakai rasa-rasa gini,” gumamnya sembari menimang mana yang harus ia pilih dari kertiga varian rasa tersebut.
“Permisi, bapak, ada yang bisa saya bantu?” Seorang wanita yang merupakan pelayan supermarket datang menghampiri Rayan yang terlihat kebingungan.
“Saya mau beli susu untuk istri saya. Tapi, saya bingung varian rasa mana yang disuka sama istri saya.” Ucap Rayan jujur kepada wanita itu.
“Kalau biasanya yang banyak dipilih itu coklat, pak. Tapi, juga ada yang pilih vanilla atau stroberi. Tergantung selera sih, pak.”
“Yaudah, saya ambil semua varian rasa saja.” Rayan tak mau ambil pusing. Lagipula, Inez bisa memilih sendiri mana varian rasa yang wanita itu inginkan.
SPG itu membantu Rayan memasukkan tiga kotak susu ibu hamil ke dalam keranjang. Meninggalkan rak susu, Rayan berjalan menuju rak buah. Inez sedang rajin-rajinnya memakan buah-buahan. Jadi, tak ada salahnya ia membelikan buah juga untuk wanita itu.
Memasukkan empat kotak stroberi ke dalam keranjang. Inez menyukai buah stroberi sejak dulu. Lalu, mengambil buah-buah lain juga seperti anggur, jeruk, dan apel.
Berjalan menuju ke kasir. Pegawai supermarket mulai memindai satu persatu barangnya. Sesekali melirik ke arah Rayan yang menurutnya terlihat tampan. “Totalnya semua, tujuh ratus delapan puluh ribu, pak.”
Rayan memberikan kartu kredit kepada pegawai tersebut. Setelah selesai, ia segera keluar dari area supermarket. Melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.
Setibanya di rumah, ia melihat mobil milik Inez sudah terpakir bersama mobil-mobilnya yang lain. Artinya, wanita itu sudah berada di rumah. Turun dari mobil, memberikan kuncinya kepada Anton, penjaga rumahnya. “Tolong parkirin mobil saya. Oh iya, di dalam mobil juga ada belanjaan, tolong kamu bawa masuk ya. Makasih.”
“Siap, pak bos.” Ucap Anton kemudian segera melanjutkan pekerjaannya yang diperintahkan oleh Rayan.
Ketika Rayan masuk, rumah dalam keadaan sepi. Tetapi, sudah ada makanan yang tertata rapi di atas meja makan.
“Bapak, barusan pulang?” Sapa Nani asisten rumah tangganya.
Rayan mengangguk, “Inez mana? Kok saya nggak lihat dia.”
“Ibu di kamar, pak. Dari sore tadi belum keluar juga.” Ucap Nani kepada majikannya.
“Dia belum makan malam?”
“Tadi sih Mbok Asih udah anterin makanan ke atas, pak.”
Rayan mengangguk paham, “yaudah. Saya mau langsung makan aja.”
“Pak, ini belanjaannya mau ditaruh mana?” Anton datang sembari membawa beberapa kantong belanja.
Dengan sigap Nani segera membantu Anton, mengambil alih beberapa kantong belanjaan. “Banyak banget. Ini belanjaan punya siapa, pak?”
“Inez. Saya beli buah sama susu. Dia belum ada susu ‘kan?”
Nani membulatkan kedua matanya. Kejadian yang sangat langka majikannya itu membelikan istrinya sesuatu. “I-ini semua punya ibu, pak?”
Rayan mengangguk membenarkan, “Inez belum beli susu ‘kan?”
Nani menggeleng, “belum sih, pak. Tapi, apa ini nggak kebanyakan, pak?” Ada tiga kotak susu yang Nani lihat. Serta buah-buahan yang dibeli dalam jumlah cukup banyak.
“Nggak. Simpen aja di kulkas kalau kebanyakan. Saya mau makan dulu. Kalian boleh lanjutin aktifitas kalian.”
Rayan duduk di salah kursi makan. Siap melahap semua menu makanan yang tersedia disana. Ia sudah menahan lapar sejak tadi. Bukan tak sanggup membeli makanan, ia memang sedang dalam mode tak bisa asal memakan makanan dari luar. Satu-satunya makanan yang bisa ia nikmati tanpa mual dan aroma menyengat hanyalah hasil masakan rumahnya.
Rayan harus memberi gaji lebih kepada para asisten rumah tangganya karena berhasil menyesuaikan masakan dengan seleranya saat ini yang sebenarnya cukup merepotkan.
***
Notes :
Halo halooo aku kembaliiiii
Makasih udah baca temen temenku semua hihihi
Jgn lupa like dan tinggalin koment biar aku tambah semangat ya ♡♡
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
