
“Mas, lo pernah nggak sih kepikiran, kalau bisa aja semesta sengaja menghadirkan mereka supaya lo sama Inez nggak jadi pisah?” Ray mendadak berpikir demikian. Karena, ia yakin, jika memang semesta mendukung keinginan kakaknya, sudah pasti banyak jalan menuju perpisahan. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
“Ngaco lo. Itu bayi-bayi dateng karena emang si Inez aja yang bego. Mau-maunya dia disentuh sama gue yang lagi mabuk. Dia nggak lagi mabuk padahal saat itu. Dia bisa aja lari atau apalah,” ...
Bye Bye My Blue - Tujuh
Menatap hujan deras di luar sana melalui dinding kaca dari ruangannya. Kepalanya sedang ribut dengan pemikiran mengenai rumah tangganya yang seharusnya berakhir tanpa hambatan. Sayangnya, sebagai manusia, dirinya hanya bisa merencanakan saja. Lalu, selebihnya, Tuhan lah yang menentukan.
Ia bisa apa ketika justru semesta menghadirkan dua calon bayi dalam kehidupannya. Meski ia merasa tak pernah menyentuh istrinya lagi setelah dua tahun lalu. Tetapi, ia yakin bayi itu memang miliknya. Dan dirinya hanya bisa mengikuti permainan semesta yang ntah akan membawanya pada takdir yang mana.
“Waduh, calon bapak malah ngalamun aja disini,”
Rayan memutar bola matanya mendengar suara yang hampir mirip dengannya. “Ngapain lo disini?” Ucapnya tanpa mau bersusah payah untuk memutar badan demi melihat siapa yang datang ke ruangannya. Sebab, tanpa memastikan dengan mata kepalanya, ia sudah tahu siapa seseorang yang menerobos masuk ke ruangannya tanpa izin.
“Judes amat calon bapak yang satu ini,” Ray terkekeh melihat kakak kembarnya yang terlihat sedang tak baik-baik saja. Ia yakin, ada sekelumit resah yang memeluk jiwa kakaknya erat.
“Berisik! Lo ‘kan yang bilang ke bang Radhi, kalau gue sama Inez mau cerai?” Barulah Rayan memutar tubuhnya untuk menatap adik kembarnya. Jujur, ia masih kesal dengan mulut besar Ray yang seenaknya membagikan informasi mengenai perceraiannya kepada Radhika tanpa izin darinya.
“Seratus! Gue sengaja bilang ke bang Radhi, biar dia nggak kaget aja nanti.” Ray duduk di sofa yang ada di ruangan Rayan. “Terus gimana, dengan berita yang sangat membahagiakan ini, lo jadi cerai atau nggak?”
Rayan mengendikan bahu, “bingung gue mesti gimana sekarang.” Ikut serta duduk di sofa seberang Ray. “Bisa-bisanya Inez nggak bilang apa-apa ke gue tentang kejadian malam itu.”
Ray terbahak, “lo lebih tolol si, mas. Lo malah nggak inget apa-apa ‘kan?”
Rayan memijat keningnya, “tapi, harusnya Inez cerita ke gue. Dia malah diem aja dan seolah nggak terjadi apa-apa.” Sejujurnya, ia ingin sekali mencekik leher Inez saking kesalnya.
“Lagian lo kenapa sih ngebet banget pingin cerai?” Ray tahu alasannya. Tetapi, ia harus mendengar alasan pastinya dari mulut kakaknya sendiri.
“Hubungan gue sama Inez udah nggak jelas. Kita sering berantem hal-hal nggak penting.”
Mendengar jawaban Rayan, Ray hanya bisa tersenyum miring, “karena lo sering berantem aja? Bukan karena kepulangan Marita ke Indonesia?”
“Kenapa lo sama bang Radhi selalu nuduh Marita jadi alasan perceraian gue? Ini beneran nggak ada urusannya sama Marita.” Sekalipun alas an itu memang benar, ia tak akan mungkin mengatakannya kepada orang lain.
“Lo tahu alasan Opa nggak ngizinin lo punya hubungan sama Marita?” Opanya adalah orang yang paling menentang hubungan kakaknya. Ntah mengapa, kakeknya rela melakukan banyak cara hanya untuk memisahkan keduanya. Bahkan, mengirim Marita ke luar negeri agar tak menjadi hama dalam pernikahan Rayan.
“Karena Marita bukan dari keluarga yang sama kayak kita. Keluarganya nggak punya perusahaan yang bisa diajak kerja sama.” Itu adalah alasan yang Rayan tahu, mengapa kakeknya melarang hubungannya dengan mantan kekasihnya.
“Kadang, Opa tahu apa yang kita nggak tahu.” Ray menatap kakaknya dalam, “opa nggak seburuk dan sejahat pikiran lo, mas. Lo nggak bisa bilang opa jahat hanya karena jodohin lo sama Inez.”
Rayan menatap tajam Ray, “lo bisa bilang opa nggak jahat, karena bukan lo yang ngalamin sakitnya, Ray. Gue yang dirugiin disini.” Ucapnya berapi-api. “Opa pisahin gue sama cewek yang gue sayang. Dia bahkan pindahin Marita ke Melbourne buat jauhin gue sama dia.”
Ray mengendikan bahunya, “emang ngomong sama orang keras kepala kayak lo susah, mas. Lo belum denger alasannya langsung, tapi, udah ambil kesimpulan sendiri.” Menggelengkan kepala karena tak habis pikir dengan kakaknya.
“Ya, gimana gue bisa denger alasan dari opa, belum sampai kasih penjelasan, beliau udah meninggal duluan.”
Ray meringis. Benar juga yang dikatakan kakaknya. Belum sampai kakeknya memberikan alasan yang jelas mengapa menentang hubungan tersebut, beliau sudah lebih dulu dipanggil Yang Maha Kuasa. Kalau begini, ia yakin, kakaknya itu akan membenci kakeknya sampai akhir.
“Menurut lo, gue harus gimana sekarang?” Rayan masih kebingungan dengan nasib pernikahannya sekarang. Haruskah ia melanjutkan proses perceraiannya, atau tetap pada rencana awal saja, yakni bercerai. Tetapi, bagaimana nasib anak-anaknya nanti. Meski Rayan membenci Inez, ia tak membenci serta anak-anaknya. Bagaimanapun, mereka adalah darah dagingnya.
“Mas, lo pernah nggak sih kepikiran, kalau bisa aja semesta sengaja menghadirkan mereka supaya lo sama Inez nggak jadi pisah?” Ray mendadak berpikir demikian. Karena, ia yakin, jika memang semesta mendukung keinginan kakaknya, sudah pasti banyak jalan menuju perpisahan. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.
“Ngaco lo. Itu bayi-bayi dateng karena emang si Inez aja yang bego. Mau-maunya dia disentuh sama gue yang lagi mabuk. Dia nggak lagi mabuk padahal saat itu. Dia bisa aja lari atau apalah,”
Ray menghela nafas menahan emosi. Ingin rasanya memukul kepala kakaknya agar sadar. “Mas, lo emang beneran nggak bisa lihat, atau lo emang menutup mata?”
Rayan mengerutkan keningnya, “maksud lo?”
“Percuma gue kasih tahu, mas. Ngomong sama orang tolol, tapi, keras kepala emang lebih susah.” Ray enggan menjelaskan apa yang sebenarnya ia lihat selama beberapa tahun ini. Membiarkan saja kakaknya itu menyadari sendiri. Sebab, memberitahu kakaknya adalah hal yang paling sia-sia dalam hidupnya.
Pintu kembali terbuka, kini kakak sulungnya masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Mengambil langkah cepat untuk menghampiri kedua adiknya yang sedang duduk di sofa.
“Yan, Inez hamil?” Radhika memasang wajah sumringah. Ia baru saja mendapat kabar dari ibunya, jika adik iparnya itu sedang mengandung. Dan setelah panggilan itu berakhir, ia langsung mendatangi ruangan adiknya.
Rayan mengangguk, “iya, mas. Mana hamilnya nggak cuma satu, tapi, dua.” Ucapnya dengan nada tak bersemangat.
Radhika terkekeh, “wajar kalau Inez hamil langsung dua. Dulu mama waktu hamil lo sama Ray juga langsung dua. Berarti lo sama papa strateginya tepat, Yan.”
Rayan mendecih, “tepat apanya. Gue aja nggak inget kapan buatnya.” Tak ada memori yang tersisa dari kejadian malam itu. Tau-tau saja, Rayan dikejutkan dengan berita kehamilan Inez.
“Tapi, waktu malam itu, lo emang mabuk berat sih, mas.” Ray masih mengingat kakaknya itu mabuk berat. Ntah berapa botol yang masuk ke dalam tubuh kakaknya. Padahal, Rayan termasuk orang dengan toleransi alkohol yang tinggi.
Radhika mengangguk setuju, “iya, bener. Lo kayak orang kesetanan waktu itu.”
Rayan mengacak rambutnya frustasi, “andai aja gue nggak mabuk malam itu. Bayi-bayi kembar itu nggak bakal ada di perutnya Inez sekarang.” Ucapnya dengan nada menyesal.
“Astaga, mulut lo minta ditabok ya, Yan. Sekali ngomong gitu gue penggal kepala lo.” Radhika selalu menganggap bahwa kehamilan adalah berkah. Lalu, adiknya tiba-tiba berbicara seolah kehamilan Inez adalah sebuah kesalahan.
Ray menggelengkan kepalanya, “susah, bang, ngomong sama orang tolol. Biarin aja, bang, si tolol ini pusing sama rencana hidupnya sendiri. Tuhan udah kasih jalan terbaik, tapi, dia memilih jalan penuh lubang dan batu.”
Radhika terkekeh, “bener juga. Percuma ngomong sampai berbusa nggak bakal paham dia.” Ucapnya yang dihadiahi anggukan oleh adik ketiganya.
“Yang hamil istri gue, kenapa kalian yang kelihat seneng banget?” Rayan mendadak merasa heran. Istrinya yang saat ini tengah mengandung, mengapa pula saudara-saudaranya yang terlihat bahagia. Apa mereka tak tahu bahwa saat ini kepalanya sudah hampir pecah memikirkan bagaimana nasibnya.
“Istri lo, mas? Mulai nganggep Inez istri sekarang.” Ray menaik turunkan alisnya.
“Bangke lo!” Rayan melempar bantalan sofa hingga berhasil menghantam wajah Ray.
“Gue seneng, adek gue yang dulunya cuma bisa nangis kalau diusilin, sekarang udah pinter bikin anak.”
Ray terpingkal mendengar ucapan kakak sulungnya, “lah, iya. Dulu Mas Rayan kalau diusilin cuma bisa nangis. Sekarang, dia udah pinter bikin anak.”
“Bangsat lo berdua. Keluar dari ruangan gue. Berisik!” Ucap Rayan yang kini mulai terlihat emosi.
“Eh, gue jadi inget, yang lo pingsan beberapa waktu lalu. Bisa aja itu bawaan hamilnya si Inez,” Radhika sempat bercerita kepada Sansha, istrinya, mengenai Rayan yang tiba-tiba pingsan dan sakit tanpa alasan. Lalu, istrinya malah mengingatkannya pada kejadian kala istrinya itu tengah hamil anak mereka. Radhika sempat mengalami hal tersebut sekitar satu bulan.
Rayan menghela nafas, “apa sih, bang. Lo ngaco mulu. Mana ada hubungannya gue pingsan sama Inez hamil.”
Ray menjentikan jarinya, ia berusaha mengingat kejadian serupa yang tak asing. “Nah, iya, gue inget. Bang Radhi ‘kan gitu juga waktu Mbak Sansha hamil Ruby. Iya, gue inget banget.”
Rayan juga jadi teringat dengan kejadian itu. Ia bahkan terpaksa menggantikan posisi Radhika selama satu bulan karena kakaknya itu mengalami mual-mual padahal istrinya lah yang tengah mengandung. “Tapi, lo cuma mual-mual aja, bang. Ini gue sampai makan itu nggak bisa, makan ini nggak bisa. Ribet lah pokoknya.”
Radhika mengangguk, “ya, itu namanya kehamilan simpatik. Biasanya terjadi kalau suaminya ikut gugup dan terlalu khawatir selama kehamilan istrinya.”
“Gue aja nggak tahu kalau Inez hamil. Mana ada gue khawatir sama dia.” Rayan memutar bola matanya.
“Nikmatin aja lah masa-masa kehamilan simpatik lo ini. Belum tentu lain waktu lo bisa merasakan hal ini lagi.” Radhika menepuk bahu adiknya. “Gue balik ke ruangan dulu.”
Ray ikut bangkit dari duduknya, “gue juga lah. Kerjaan gue masih banyak.” Segera menyusul kakak pertamanya meninggalkan ruangan Rayan. Menyisakan Rayan yang masih memikirkan istilah yang baru ia dengar ‘kehamilan simpatik’ yang saat ini tengah menyerangnya juga.
***
“Mbak Inez,”
Inez tersenyum kecil kala suara riang itu menggema di dalam rumahnya. Padahal, ia sedang berada di lantai satu untuk makan. Dan suara yang berasal dari lantai dasar itu mampu ia dengar dengan jelas.
Tak berselang lama, suara denting pintu lift terdengar. Muncul gadis cantik dari dalam sana. Masih mengenakan jas almamater berwarna merah. Berlari kecil menghampiri Inez.
“Mbak Inez,” panggil gadis itu sembari menghampiri Inez yang sedang menikmati makan malamnya.
“Halo, sayang,” jawab Inez dengan senyum mengembang di wajah. “Kamu udah makan? Makan sekalian yuk sama mbak.” Ajak Inez kepada adik iparnya.
Gadis itu adalah adik bungsu Rayan, Raissa. Memiliki nama lengkap Naraissa Maureen. Berusia sembilas belas tahun, dan kini sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta di Jakarta yang masuk jajaran universitas termahal di Indonesia.
Raissa segera duduk di samping Inez. Memeluk kakak iparnya erat, “kata mama, Mbak Inez hamil, ya? Aku seneng banget waktu mama kasih informasi itu. Makanya, pulang ngampus aku langsung kesini.”
Inez membalas pelukan adik iparnya itu. Mereka memang sangat dekat. Inez yang merupakan anak tunggal, merasa memiliki adik yang bisa ia sayangi. Lalu, Raissa juga tak memiliki kakak perempuan yang bisa ia ajak bercerita. Intinya, mereka kakak dan adik ipar yang saling melengkapi.
“Iya, aku juga baru tahu kok, Sa.” Pelukan mereka terlepas. “Usianya udah sembilan minggu.” Inez tersenyum sembari mengusap perutnya.
“Terus kata mama, bayinya kembar, ya?” Raissa terlihat begitu excited mengetahui bahwa kakak iparnya itu tengah mengandung anak kembar.
“Iya. Cucu keduanya mama kembar ini,” Inez merapikan surai Raissa yang sedikit berantakan. “Kamu udah makan belum? Yuk, makan sama mbak. Ini tadi Mbok Asih masak sop kombinasi seafood. Kamu mau?”
Raissa mengangguk, “mau banget. Kebetulan cuaca di luar lagi hujan. Makan yang kuah-kuah pasti hangat.” Membalikan mangkuk dan piring yang telah disiapkan. Kemudian, mengambil nasi, sup, dan ikan kakap yang digoreng menggunakan tepung.
“Copot dulu dong, Sa, almetnya,” Inez mengingatkan adik iparnya untuk melepas jas almamaternya terlebih dahulu. Mengingat Raissa merupakan anak bungsu dengan tiga orang kakak laki-laki, ia memiliki sifat yang cenderung manja. Tetapi, hatinya luar biasa lembut.
Raissa mengikuti arahan kakak iparnya. Melepas jas almamaternya, kemudian, meletakan di salah satu kursi yang kosong. Mulai melahap makanannya. Kebetulan sekali, ia tadi melewatkan makan siang karena terlalu sibuk mengurus acara kampus.
“Mas Rayan belum pulang?” Raissa baru menyadari bahwa belum melihat batang hidung kakaknya itu. Ia juga tadi tak melihat ada mobil SUV milik kakaknya yang terparkir di garasi.
Inez mengangguk, “belum. Kayaknya masih ada kerjaan. Atau mungkin jalanan macet karena hujan.”
Raissa mengangguk paham, “pasti Mas Rayan over protektif banget sama Mbak Inez yang hamil gini.” Ia yakin, kakaknya itu pasti sangat menjaga keamanan kakak iparnya. Mengingat, betapa over protektifnya kakak lelakinya itu kepadanya dulu.
Inez tersenyum kecil. Jangankan over protektif, lelaki itu bahkan masih marah dan enggan berbicara apapun dengannya sejak kemarin. Setelah menjelaskan perihal kejadian malam itu yang berakhir membuat Inez hamil, tak ada lagi percakapan setelahanya. Bahkan, Rayan pun sengaja melewatkan sarapan, dan langsung mengambil bekal makan siangnya. Pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“Dia aja dulu ngusir pacarku waktu main ke rumah lho, mbak. Aku udah pernah cerita ke mbak ‘kan?” Raissa pernah memiliki seorang kekasih ketika ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Lalu, kekasihnya itu datang ke rumah untuk bermain. Kebetulan sekali, ada Rayan yang juga sedang berada di rumah. Dengan tutur kata yang baik, Rayan mengusir kekasih adiknya.
Inez terkekeh, “iya, inget kok. Tapi, nggak sih, Sa. Dia biasa aja gitu.”
“Emang Mas Rayan tuh sok sok cuek, mbak. Tapi, sebenernya dia perduli kok.”
Inez ragu mempercayai ucapan adik iparnya. Sebab, Rayan memang bukan sedang menyembunyikan rasa perdulinya. Lelaki itu memang tak pernah perduli padanya. Bahkan, kehamilannya saat ini, dianggap sebagai kebodohan dan kesalahan.
***
Notes :
HAII, aku lagi semangat update ini. Jadi, aku berusaha buat update tiap hari. Kalian kasih komentar dong biar aku tambah semangat hihihi
Tapi, makasih ya udah mau luangin waktu buat baca cerita ini. Aku sebenernya masih agak ragu, kira-kira cerita ini bagus atau enggak, gaya penulisanku gimana, dll. Terlalu banyak khawatir nih ckckck
Semoga berhasil sampai ending :")
Happy weekend semua, sehat selaluu♡♡
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
