Adaptasi - 7

15
0
Deskripsi

“Lho, Bi, kamu sakit? Kok suaranya serak?” 

Tujuh

Lana pikir dengan berjalan-jalan di mall akan menghilangkan rasa sepinya. Ternyata ia salah. Merasa kesepian di tengah keramaian ternyata jauh lebih menyedihkan. Melihat pengunjung lain berjalan-jalan bersama keluarga atau pasangan. Sedang dirinya hanya bisa menatap iri. 

Sudah memasuki waktu makan siang. Lana memilih salah satu restoran sebagai tempatnya mengisi perut. Restoran jepang menjadi pilihannya. Sebab, tiba-tiba saja ia membayangkan nikmatnya ramen yang gurih dan pedas.

“Maaf, Kak, kebetulan restoran kami sedang full. Kalau kakak tidak keberatan, bisa waiting list dulu.” Salah seorang pelayan memberi Lana informasi. 

Ucapan pelayan tersebut tidak berbohong. Lana juga bisa melihat sendiri kondisi restoran di dalam sana yang ramai pengunjung. Mungkin karena bersamaan dengan waktu makan siang. “Nggak masalah, Mbak. Saya tunggu aja, ya?” 

“Baik, Kak. Atas nama siapa? Dan untuk berapa orang?” Pelayan tersebut telah siap dengan pena dan kertas yang berisi nama daftar pengunjung yang bersedia menunggu. 

“Alana, Mbak. Untuk satu orang.” 

Nama Lana dicatat oleh pelayan tersebut. Kemudian dirinya dipersilahkan untuk menunggu di kursi yang telah disediakan. Pengunjung yang belum mendapat tempat dan masuk waiting list sepertinya cukup banyak. Karena bukan hanya Lana saja yang menunggu di sini. 

Menunggu sekitar lima belas menit. Nama Lana segera dipanggil oleh pelayan. Buru-buru dirinya masuk ke dalam. Dipersilahkan untuk menempati salah satu meja yang berada di tengah ruangan. Satu meja persegi dan dua kursi berhadapan. 

Segera menempati salah satu kursi tersebut. Berusaha tak menatap iri pada pengunjung lain yang tak harus menikmati makan siang seorang diri sepertinya.

Mengeluarkan ponsel untuk membalas pesan dari suaminya. Sebenarnya ide mengunjungi mall datang dari Bian. Pria itu yang memberi saran kepada Lana untuk pergi keluar. Tak hanya memberi saran, suaminya juga mengirim sejumlah uang ke rekeningnya untuk digunakan berbelanja. 

Apakah uang yang dikirim akan membuatnya bahagia sepenuhnya. Jawabannya tidak. Uang yang Bian kirim hanya bisa membuatnya puas sementara karena bisa membeli barang yang ia inginkan. Tapi, setelah tiba di rumah Lana akan kembali kesepian. 

“Eh, sori, gue boleh duduk di sini?” 

Lana terkejut mendapati seorang pria yang tiba-tiba duduk di hadapannya. Menatap pria itu dengan tatapan heran. Pasalnya, mereka tidak saling mengenal. 

“Gue males antri. Lo sendirian ‘kan? Boleh nggak gue gabung?” 

“Hah?” Keheranan Lana semakin berlanjut. Darimana pria itu tahu jika Lana sendirian. Mungkinkan pria itu menguntitnya sejak tadi. Mata Lana bergerak gelisah mencari petugas keamanan. Mereka tidak saling mengenal. Bagaimana jika pria itu orang jahat. 

“Eh, tenang-tenang. Gue nggak ada niatan berbuat jahat ke elo kok.” 

Pria itu segera menyadari raut wajah Lana yang mulai ketakutan. “Gue Jevan. Gue tadi juga ikut antri. Tapi, lama banget. Karena lo cuma sendiri jadi gue ngide buat gabung sama lo. Gimana, lo kasih izin nggak?” 

Lana menyipitkan matanya. Berusaha menerawang apakah pria itu benar-benar baik atau tidak. Ia khawatir jika ternyata pria itu orang jahat yang sedang bermaksud menghipnotisnya untuk mencuri barang-barangnya.

“Nama lo siapa?” Pria itu kembali mengajukan pertanyaan kepada Lana sembari mengulurkan tangan.

Ragu-ragu, Lana membalas uluran tangan itu. “Aku Lana.” Jawabnya masih dengan perasaan was-was. 

“Gue Jevan. Gimana? Lo kasih izin gue buat duduk di sini nggak? Gue cuma mau makan aja kok. Gue bayar sendiri deh.” Jevan sudah sangat lapar. Menunggu hingga setengan jam lagi tentu terlalu lama. Jadi, ia berinisiatif duduk bersama Lana yang seorang diri. 

Lana mengangguk perlahan. Memberi izin kepada Jevan untuk duduk bersamanya. Jika pria ini memang bermaksud jahat, Lana bisa berteriak supaya orang lain menolongnya. “Kamu udah pesan makanannya?” 

“Belum. Nih gue mau pesen.” Jevan mengangkat tangan. Memanggil seorang pelayan untuk mencatat pesanannya. 

Sepanjang menikmati makan siang, mereka saling mengobrol satu sama lain. Lana baru tahu bahwa Jevan ternyata memiliki sebuah cafe. Pria itu bahkan mengatakan akan memberi Lana minuman gratis jika datang ke sana. Sebagai ucapan terimakasih karena telah mengizinkannya bergabung duduk di meja yang telah lebih dulu Lana dapatkan.

“Lo bukan orang asli sini ya?” Maksud Jevan adalah Lana bukan orang asli Jakarta. Sebab, logat bicara Lana terdengar berbeda dari orang-orang yang dikenalnya kebanyakan. 

Kepala Lana mengangguk. “Iya, aku asli Semarang. Tapi, karena suamiku kerja di sini, aku jadi ikut suami ke sini.” Jawabnya sembari mengaduk ramen yang telah tersisa setengah. 

Jevan terdiam sejenak. Melirik jemari Lana yang dihiasi cincin. Ia baru menyadari jika di antara ruas jemari Lana ada cincin yang memperlihatkan status wanita itu. “Oh, lo udah nikah?” 

“Udah. Baru sih, tiga bulan lalu.” Ucapnya kemudian tersenyum. 

Bibir Jevan menyunggingkan senyum kecil. Ntah mengapa ada perasaan kecewa. Tapi, segera ia tepis perasaan itu. Mereka baru saja bertemu hari ini. Baru saja saling mengenal. Aneh jika dirinya merasa kecewa dengan informasi yang baru saja Lana sampaikan.

“Cafe kamu di daerah mana? Mungkin lain kali aku bisa kesana.” Mendengar cerita Jevan, Lana jadi tertarik dengan cafe milik pria itu. Ia sempat diperlihatkan gambarnya tadi. 

“Di daerah Setiabudi. Ke sana aja kalau lo lagi senggang. Nanti gue kasih minuman gratis.” Jevan memasukkan ponselnya yang berada di atas meja ke dalam saku celana. Ia sudah selesai makan. Rencananya akan langsung kembali ke café setelah ini.

Lana mengagguk paham. Lain kali saat senggang dirinya akan datang ke sana. Meski sejujurnya, ia memiliki banyak sekali waktu senggang. “Okey, mungkin lain kali aku ke sana deh.” 

Jevan bangkit dari duduknya. “Gue balik dulu ya, Lan. Tadi lo pesan atas nama Alana ‘kan? Biar gue aja yang bayar.” 

Lana menggeleng. “Eh, nggak usah. Bagi dua aja sesuai pesanan. Atau kamu dulu yang bayar nanti aku transfer. Minta nomer rekening kamu ya.” Menyodorkan ponselnya ke arah Jevan. Niatnya adalah meminta nomor rekening pria itu supaya Lana bisa langsung mengirim kembali biaya makanannya.

Jemari Jevan mengetik di ponsel Lana. Tak berselang lama, ponsel itu dikembalikan kembali. “Nih, gue duluan ya. Bye, Lan. Makasih udah kasih izin gue buat duduk di sini. Gue tunggu lo datang ke cafe gue.” Pria itu langsung pergi begitu saja setelahnya. 

Menyisakan Lana yang hanya bisa melongo. Jevan tidak memberinya nomer rekening. Pria itu justru memberikan Lana nomor ponsel. “Lho? Kok malah nomer hape sih.” 

Membereskan barang-barangnya Lana segera menyusul Jevan. Tapi, sayang pria itu sudah pergi ntah kemana. Mungkin Lana akan menghubungi via pesan singkat saja nanti. Meminta langsung berapa nomor rekening pria itu. Supaya Lana bisa mengganti biaya makan siangnya hari ini. 

Meski ia dan Jevan baru saling mengenal hari ini. Tapi, setidaknya Lana memiliki teman untuk mengobrol. Tak harus menatap iri pada orang lain karena dirinya kesepian.

*** 

Lana sampai di rumah ketika langit sudah berubah gelap. Menyalakan lampu kamar sekaligus pendingin ruangan.

Seharian ini Lana menghabiskan waktunya di mall. Selain berjalan-jalan dan makan siang, menonton film juga menjadi kegiatan lain yang dipilihnya. Sebenarnya film itu bukan film yang ingin Lana tonton. Hanya saja, ia sedang malas pulang ke rumah.

Saat kebetulan melewati bioskop, ide untuk menonton pun tiba-tiba muncul. Setelah selesai menonton film, Lana juga tak langsung pulang. Ia justru memasuki toko kacamata. Membeli kacamata baru untuk Bian. Lana tidak membeli barang apapun untuk dirinya sendiri. 

Beberapa waktu lalu suaminya mengatakan ingin membeli kacamata hitam baru. Tapi, belum sempat membeli karena sibuk bekerja. Maka dari itu, Lana berinisiatif membelikan suaminya. Bukan sebuah surprise. Karena saat di toko tadi, Lana bertanya langsung kepada Bian mau dibelikan kacamata yang mana. 

Masih pukul tujuh malam. Suasana rumahnya sudah sepi seperti ini. Demi mengusir sepi, Lana menyalakan televisi. Tak ada acara yang menarik perhatiannya. Ia hanya tidak mau kamarnya hening. 

Segera membersihkan diri. Mengganti pakaiannya dengan piyama. Bagian terakhir adalah menggunakan skincare

Lana merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Menarik selimut hingga sebatas dada. Ponselnya berdering, nama Bian muncul di layarnya. Beruntung karena ia belum memadamkan lampu utama kamarnya. 

Buru-buru menggeser layar ponsel untuk menerima panggilan Bian. “Halo, Bi,” sapa Lana dengan senyum menghias wajah. 

Wajah Bian muncul di layar ponselnya. Pria itu mengenakan kaos berwarna hitam. Tengah duduk di sofa berwarna biru. Sepertinya Bian sedang berada di hotel. 

“Halo, udah mau tidur?” Suara Bian terdengar serak. 

Lana merubah posisinya dari rebahan menjadi duduk. Menyandarkan tubuh pada kepala ranjang. “Lho, Bi, kamu sakit? Kok suaranya serak?” 

Sebelum berangkat kemarin, suaminya baik-baik saja. Lalu hari ini suara Bian berubah serak. Wajah pria itu juga tampak lesu. Sepertinya Bian sedang sakit. 

“Kayaknya kecapean. Dua hari lalu pulang dari Semarang siang, sampai Jakarta sore. Terus malamnya aku langsung kerja. Nggak tidur semalaman. Jadi, yaudah endingnya sakit.” Bian ingin sekali memeluk istrinya sekarang juga. Tapi, apa daya hanya bisa melihat wajah Lana melalui layar ponsel. 

Kedua mata Lana berkaca-kaca. Khawatir dengan kondisi Bian. Ia tak bisa mengurus suaminya jika pria itu sedang sakit saat bekerja seperti ini. “Terus gimana sekarang? Udah baikan belum?” 

“Belum. Dari tadi siang sih. Tapi, nggak papa. Kamu tenang aja. Paling tidur, besoknya udah sehat lagi. Aku cuma butuh istirahat aja kok, Lan.” Bian berusaha menenangkan istrinya. Lana selalu khawatir berlebihan jika terjadi sesuatu dengannya. 

“Minum obat udah belum?” Lana selalu menyelipkan obat pribadi di dalam koper Bian. Seperti minyak angin, obat herbal untuk masuk angin, obat sakit kepala, dan obat demam. Tujuannya supaya saat tubuh Bian bermasalah, pria itu bisa langsung meminum obat. 

Bian menggelengkan kepalanya. “Belum. Aku lagi makan malam ini.” Pria itu memutar kameranya hingga Lana dapat melihat sebungkus nasi bakar yang telah dibuka. “Aku beli nasi bakar seafood. Kamu udah makan?” 

“Belum.” Lana hanya makan siang saja tadi. Lalu, sempat membeli camilan sebelum pulang. Sekarang perutnya masih kenyang. 

Bian memasukkan sesendok nasi bakar ke dalam mulutnya. “Kenapa nggak makan?” Tanya pria itu sembari mengunyah makanannya. 

“Males, Bi. Tadi sore sebelum pulang aku sempat beli camilan dulu. Jadi sampai sekarang masih kenyang.” Nanti kalau tiba-tiba dirinya lapar, ia bisa membuat mie instan. 

Bian mengangguk paham. “Hari ini ngapain aja?” Ia selalu dibuat penasaran dengan apa saja aktivitas Lana saat dirinya sedang bekerja. “Sampai seharian di mall. Betah banget.” Pria itu terkekeh geli. “Nggak pulang kalau duitnya nggak habis ya?” Godanya kepada istrinya. 

Lana terbahak. “Nggak gitu. Aku tadi jalan-jalan, makan, terus nonton, sama beliin kamu kacamata. Udah sih. Eh, Bi, tadi waktu aku lagi makan ...” 

Ingin menceritakan perihal pria asing yang tiba-tiba duduk di hadapannya saat makan siang tadi. Menimbang sejenak, haruskah bercerita atau tidak. Tapi, ntah mengapa sebelah dirinya menahan supaya tidak bercerita. Bukan apa-apa, Lana takut jika Bian akan berpikir macam-macam. Lebih baik ia simpan sendiri saja. 

“Kenapa waktu kamu makan?” Bian sudah menunggu Lana untuk mengatakan kalimat selanjutnya. 

“ ... Aku tadi makan ramen, Bi. Kayaknya kamu belum pernah makan di sana deh. Besok kita makan di sana ya?” Lana mengalihkan ke hal lain. “Ramennya di mall yang di daerah Thamrin, Bi. Besok makan di sana ya kalau kamu pulang?” 

Bian menyandarkan ponselnya pada gelas berisi es teh. Menghadapkan ponsel itu ke arahnya. Ia akan membereskan bungkus makanannya karena sudah habis. “Boleh. Tunggu aku pulang ya. Terus beli apa aja tadi di mall?” 

Ia mengirim uang ke rekening Lana sebesar lima juta rupiah. Jadi penasaran istrinya menggunakan uang itu untuk apa saja.

“Nggak beli apa-apa. Aku cuma makan siang, nonton bioskop, beli kacamata buat kamu, sama camilan. Udah sih itu aja. Sisa uangnya masih banyak. Mau aku transfer balik?” Lana bahkan sempat terkejut dengan nominal yang Bian kirim ke rekeningnya tadi. Uangnya tersisa dua juta enam ratus ribu kalau tidak salah.

Bian terkekeh geli. “Ya, nggak usah lah. Ngapain dikirim balik. Udah simpan aja. Buat besok kalau mau ngemall lagi.” Mengeluarkan obat herbal dari dalam pouch kecil yang telah istrinya siapkan.

Padahal Lana sudah mendapat uang bulanan dari Bian. Tapi, tak jarang pria itu masih mengirimkan uang tambahan kepadanya. “Gimana tadi terbangnya? Lancar? Ada kendala nggak?” 

Tidak terlalu paham dengan masalah penerbangan. Jadi, biasanya Lana hanya bertanya mengenai bagaimana hari Bian saat terbang tadi. Apakah ada kendala atau tidak. Seputar itu saja. 

“Capt-nya agak nyebelin, Lan. Jadi penerbangannya agak nggak enak sih.” Pilot tidak berinteraksi langsung dengan penumpang. Ia hanya berdua saja bersama captain di ruang kemudi. Nyaman atau tidak penerbangannya itu tergantung dengan partnernya. Posisi Bian masih sebagai first officer jadi tidak memiliki banyak kuasa. Hanya bisa mengikuti semua arahan captain saja. 

Lana tersenyum prihatin. “Semangat, Sayang ... Besok pulangnya mau dijemput atau nggak?” Ia bersedia jika Bian minta dijemput langsung ke bandara.

“Nggak usah. Diantar aja nanti sama antar-jemputnya.” Kasihan jika Lana harus jauh-jauh menjemputnya. Meski ia yakin istrinya tidak akan keberatan. Hanya dua hari mereka tidak bertemu. Jadi, Bian masih kuat menahan rindunya hingga tiba di rumah. 

Lana mengangguk. “Mau dimasakin apa besok?” Kalau Bian mengatakan ingin dimasakan makanan apa sejak awal. Ia bisa mempersiapkan bahan-bahannya lebih dulu. 

“Apa aja. Aku lagi nggak ada makanan spesifik yang pingin aku makan sih.” Mungkin efek baru saja selesai makan. Perutnya masih kenyang. Jadi, tidak ada bayangan ingin makan apa untuk besok. 

Lana mulai berpikir menu apa yang bisa ia sungguhkan untuk menyambut kepulangan suaminya besok. Sepertinya makanan berkuah cocok untuk Bian. “Sop ikan mau nggak? Aku kepikiran mau masak sop ikan.” Semoga bang Tigor membawa ikan-ikan segar yang bisa Lana masak. Jadi ia tak perlu ke pasar hanya untuk membeli ikan. 

“Boleh. Apa aja yang kamu masak aku mau makan.” Meski masakan Lana belum seenak chef bintang lima. Tapi, ia selalu senang saat istrinya itu menyiapkan makanan untuknya. 

Ibu jari Lana terangkat di udara. “Sip. Kalau gitu kamu tidur sana, istirahat. Besok terbang jam tiga pagi ‘kan? Semangat ya cari uang buat aku.” Lana terkikik geli memberi semangat untuk suaminya. 

Bian mengangguk. Setelah melambaikan tangan, panggilan mereka terputus. Lana juga akan tidur setelah ini. Tidak sabar akan bertemu suaminya besok. 

*** 

Notes :

Haiii, konfliknya ini kayaknya ngga berat deh. aku lagi pingin bikin yg ringan-ringan aja. Pokoknya konflik pengantin baru yg ngga bikin kepala pusing aja pokoknya hahahaha

Makasih ya buat yg mau baca cerita ini. Maaf kalo part ini ngga greget greget bgt wkwkwk 

Oh iya, kali aja kalian lupa. Si Jevan ini sahabatnya Asa di Epiphany. Karakternya si Jeonghan hahahhaa. Dia masuk di cerita ini juga lho hihihi

Makasih banyak semuanya.. Sehat sehat ya.. Makan teratur dan istirahat yg cukup ❤❤

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Adaptasi
Selanjutnya Adaptasi - 8
15
0
“Kenapa dari awal sebelum kita nikah kamu nggak bilang dulu ke aku, kalau nggak mau punya anak, Bi? Kenapa baru bilang setelah kita nikah?” “Kamu nyesel nikah sama aku?” 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan