
“Saya terima nikahnya Leitha Nirmala binti Armand Hajarasa…”
Leitha Nirmala Mahameru, resmi menyandang nama gue dibelakang namanya. Istri gue, dunia dan separuh nafas gue sekarang.
Berisi POV Leitha dan Dimas, happpy reading. Jangan lupa tinggalkan love and komentarnya ya..
-Berisi POV Leitha dan Dimas, bahasa non baku.

Dimastara.
Untuk pertama kalinya gue merasa takjub akan kota terpadat, di Indonesia. Pagi ini nggak ada macet, men. This weekend! Harusnya dari ujung ke ujung udah kayak jajaran ikan asin dijemur. Januar, adik gue menyetir dengan kecepatan penuh tapi tetap fokus, sesekali dia melirik gue kesal. Gue maklum, semua orang bakalan ngomel habis-habisan sama gue hari ini. 30 menit lagi acara ijab gue dimulai dan liat, gue malah baru bangun dengan tampilan super berantakan. Gue sempetin mandi seadanya tapi tetap bersih, sayangnya gue lupa sarapan. Satu-satunya makan berat yang masuk mungkin 10 jam yang lalu, sisanya? Some beer, just a little bit.
“Njing, lapar banget gue, Nu,” keluh gue mengusap perut yang berbunyi.
Januar mendengus sebal, “Masih-masihnya lo sempet mikirin makan, bang. Kalau gue jadi lo sekarang, panik mampus,” omelnya.
Gue bungkam seketika, Januar kalau ngomel persis Bunda, nggak cukup sebentar. Akhirnya dimenit ke 25, gue berhasil menemui Bunda kecuali Leitha. Dia ada diruangan lain, sedang dirias dan menunggu gue selesai ijab kabul nanti. Gue jadi kebayang gimana cantiknya calon istri gue itu pakai kebaya. Pokoknya semua tentang Leitha itu nggak ada celanya, ya maaf, gue bucin abis sama dia. Bunda sibuk mengomel sambil menyuapi gue makanan, sementara gue sedang dirias seadanya oleh perias. Pokoknya hari ini gue cukup diam dan tuli sejenak, gue harus fokus sama deretan kalimat ijab kabul yang sialnya gue lupa beberapa kata. Mampus lo, Mas!
Setelah gue memasuki ruangan, dimana penghulu dan juga wali Leitha, yaitu adik dari ayahnya telah menunggu. Gue menarik nafas sebanyak mungkin, berharap hari ini gue nggak malu-maluin apalagi bikin Leitha kecewa. Di sudut ruangan tertutup tirai putih, gue tahu Leitha berada disana. Sekelebat bayangan dia sempat gue lihat, sumpah! Calon istri gue gila banget cantiknya. Rasa gugup gue barusan mendadak hilang berganti kepercayaan diri yang meluap-luap. Saat tangan gue digenggam penghulu dan menyentaknya gue lancar menyebutkan ijab dalam sekali tarikan nafas. Suara kerabat dan keluarga gue mengucap amin yang paling melegakan.
Gue bisa lihat Lietha tersenyum lebar mendekat ke arah gue ditemeni oleh Bu Linda. Ya Tuhan, rasanya gue nggak pernah menyesal melakukan segalanya untuk Leitha, gue mau sama dia seumur hidup gue. Istri gue, ah, manisnya kalimat itu, dia menertawakan gue yang mendadak terisak bak anak kecil. Serius, man! Gue nangis, nggak peduli apa kata orang tapi gue benar-benar merasa beruntung sekaligus lega bukan main. Bahkan ketika gue mengucap Bismillah sembari mengecup keningnya, dada gue sesak akan kebahagiaan.
Leitha Nirmala Mahameru, resmi menyandang nama gue dibelakang namanya. Istri gue, dunia dan separuh nafas gue sekarang.
Leitha.
Sebenarnya pengen banget marah sama Dimas, tapi kata Mama gue nggak boleh lakuin itu. Benar-benar ya tuh laki, bisa-bisanya dia malah telat dihari pernikahan kita. Pokoknya Dimas nggak perlu deh disatuin sama Hansara, Joshua dan Depta, khususnya ada hari penting esoknya. Bakalan kacau abis! Itu bertiga bikin gue darah tinggi, ada aja tingkah mereka yang benar-benar diluar nalar.
Waktu Januar bilang Dimas udah datang, gue lega bukan main. Gue sempatkan bertanya, abangnya udah sarapan apa belum? Januar cuma menggelengkan kepalanya penuh rasa lelah. Demi? Nggak lucu dong, Dimas waktu ijab kabul malah pingsan. Gue sampai minta tolong Bunda Rani buat ngasih Dimas makan, kudu disuapin tuh baru dia bisa makan dengan tenang. Bunda Rani sampai ngetawain gue, beliau bilang, “Lei, kamu lebih paham anak bunda deh, ketimbang bunda sendiri.” Duh pipi gue mendadak panas, Bunda sarkas apa memuji sih.
Belasan menit berlalu, gue dibawa ke ruang tengah untuk menunggu Dimas melakukan ijab kabul. Jarak kita hanya terpisah oleh tirai putih dan rangkaian bunga setaman. Tapi dari balik sini gue udah bisa liat tawa lebarnya, deretan gigi rapi diapit taring mungil khasnya. Wajah rupawan itu pasti sedang gugup, namun gue terkejut saat Dimas dengan lantang mengucap ijab kabul dalam satu tarikan nafas. Suaranya tegas, tak terburu-buru dan amat jelas.
“Saya terima nikahnya, Leitha Nirmala binti Arman Hajarasa dengan maskawin 500 gram emas dan seperangkat alat solat, dibayar tunai!”
Gue menghela nafas lega dengan doa tersematkan didalamnya. Dimas resmi menjadi suami gue, sahabat masa kecil, kakak laki-laki bahkan yang gue bilang superhero gue selepas kepergian Papa. Dia disini bareng gue, semoga selamanya. Setelah doa usai, gue dibawa menemui Dimas, tawa gue nyaris pecah melihat bulir-bulir air mata dipipinya. Dimas menangis bak anak kecil, walau dilihat kerabat dan keluarga, pria itu acuh tetap menatap gue penuh cinta.
Dimas mencium kening gue lembut diiringi bisikan doa yang terdengar tulus. Air mata gue pun turut jatuh, bukan tentang kesedihan namun sesak oleh kebahagian. Pria ini akhirnya bersanding bersama gue, memenuhi janjinya pada setiap orang yang menyayangi gue. Mungkin semuanya baru awal, tapi akan gue hadapi dengan mempercayai Dimas sepenuhnya. Terdengar klise, tapi gue kadung cinta pada pria besar ini.
Dimastara.
Gue nggak pernah menyesali keputusan memilih intimate wedding buat acara gue sama Leitha. Tamu yang tak terlalu banyak, bahkan rasanya sangat menyenangkan. Melihat semuanya saling bicara, dekat dan berbagi tawa, bukan hanya gue dan Leitha tapi semuanya tampak bahagia. Gue pun sengaja mendatangi Banyu yang termenung sendirian menatap jajaran foto prewedding gue, senyumnya terulas walau tipis. Gue asumsikan Banyu mungkin mengagumi hasil jepretannya, okay, untuk ini akan gue ceritakan kenapa bisa Banyu Hastara bisa menjadi fotografer dadakan prewedding kita.
Sehari sebelum acara pernikahan, gue baru teringat soal foto prewedding, serius! Leitha bahkan nggak membahas ini sama sekali sama gue. Gue heran deh nih calon istri kenapa kesannya pasrah banget sih, gue jadi ngerasa bersalah. Sialnya, gue malah nyadarnya jam tiga subuh! Men, bayangin orang gila mana kebangun jam segitu dan maksa temannya buat bikin konsep prewedding dadakan? Kalau lo pada nanya, Banyu marah apa nggak? Dia lempeng aja, iyain mau gue. Sumpah Banyu sama Leitha itu satu sel otak, pasrahan orangnya.
Leitha sih ngomel dikit, tapi dengan bujuk rayu juga permohonan bak anak kecil, Leitha akhirnya luluh. Kita sengaja milih view langit sunrise di rooftop apartemen Banyu. Kebangetan emang ngelunjaknya gue mah, nggak tanggung-tanggung manfaatin dia. Jam setengah lima subuh, sunrise yang kita tunggu muncul dan hari itu benar-benar sempurna banget. Leitha hanya mengenakan gaun putih sederhana dengan rambut berhias pita warna senada. Dia benar-benar cantik, dan gue pun mengenakan kemeja juga celana putih, kita pilih sepatu casual warna yang sama. Sederhana tapi kelihatan sempurna, entah karena sunrise, orangnya atau memang Banyu dengan tangan ajaibnya.
Akhirnya persiapan pernikahan yang gue rasa bak main lenong, rusuh, serba cepat dan dadakan akhirnya bisa berjalan sempurna. Seandainya nggak ada keluarga, sahabat-sahabat gue dan tentu saja istri gue ini mungkin hari ini nggak bakalan ada. Mungkin Leitha bakalan jadi istri sahabat gue, andai hari itu gue nyerah dan nggak mau lepas mimpi soal Jepang.
Gue dekati Banyu, gue tepuk pundaknya hingga pria berkacamata itu menoleh menatap gue dengan iringan senyumnya.
“Lo fokus banget liat foto pre-wedding gue sama Leitha,” ujar gue.
“Leitha cantik.” jawaban yang singkat padat dan jelas.
Duh, ini kalau bukan temen baik udah gue geplak kali ya, “Maksud lo apa, man, bini gue nih!” sambar gue setengah sewot.
Banyu malah tertawa, “Kan emang benar dia cantik, kecuali mata kamu buta. Saya bilang cantik dalam artian sebenarnya, bukan karena hal lain,” sanggah Banyu menatap gue geli.
“Halah, bisa aja lo ngeles. Tapi, thanks, ya, kalau nggak ada lo mungkin nih foto bagus nggak ada disini.”
Banyu tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya, “Saya besok bakalan ke Edinburgh dan menetap disana sementara waktu."
“Njir! Lo serius? Kerjaan lo?” cecar gue tak percaya.
“Resign, saya pengen liburan sekalian belajar, sesekali nyoba pengalaman kerjaan baru. Saya juga kangen sama Langit.”
“Nyu…”
Banyu lantas terkekeh kecil, “Saya nggak papa, saya udah ikhlasin Langit. Tapi boleh kan saya kangen sama dia, saya bakalan baik-baik aja, Mas. Saya juga udah janji sama Leitha, dia udah tau soal rencana pergi ke Edinburgh.”
Gue nggak bisa merespon apapun ucapannya selain menepuk pundak Banyu lebih lama. Setiap orang memang punya cara sendiri berdamai sama kehilangan, sama halnya seperti gue, berdamai sama perceraian dan perselingkuhan orang tua gue dengan melarikan diri ke Jepang. Tapi, Banyu dan kesebelas teman gue lainnya mereka lebih dari sekedar sahabat, kata Leitha kami seperti keluarga. Jadi saat ada satu atau dua orang yang tak ada, kekosongan itu jelas terasa. Kalau ada waktu, gue akan ceritakan masing-masing tentang kisah hidup mereka, termasuk sosok pria berkacamata disisi gue ini.
“Jangan lupa pulang, gue sama yang lain bakalan kangen banget sama lo, apalagi Leitha,” pungkas gue mengajak pria itu untuk bergabung dengan lainnya.
Dan.. kita akhirnya menikmati pesta pernikahan sekaligus perpisahan dengan Banyu hari itu.
Leitha.
Gue sama Dimas sengaja pilih hotel yang nyatu sama acara repsesi pernikahan gue, lebih efisien sih ketimbang gue milih yang jauh. Kita nggak punya rencana honey moon dalam waktu dekat, diingat Dimas baru saja pindah ke kantor yang baru. Tapi, bukan Dimas namanya kalau hal-hal gila nggak dia lakuin. Gue dibangunin jam lima subuh cuma buat pergi ke bandara, dan dia dengan entengnya bilang, “Sayang kita bakalan honey moon ke Edinburgh. “ Demi Tuhan, gue butuh seperkian detik buat nggak nampol Dimas saat itu juga.
“Lo gila ya! Kenapa mendadak ke Edinburgh, hah? Lo tau ini jam berapa? Kalau masih ngigau mending tidur lagi deh!” Teriak gue kesal, sumpah dalam keadaan gini gue bakalan lo-gue in dia. Itu artinya gue marah.
“Sayang, Banyu mau ke Edinburgh, terus anak-anak Biawak juga. Jadi kita ikutan ya, seru kok. Tenang mereka nggak bakalan recokin kita, Lei,” ujar Dimas tanpa merasa berdosa.
“Visa lo sama gue gimana? Pak Banyu ke Edinburgh urusan belajar dan kerjaan. Ngapain juga anak biawak pada ngintilin dia, Dimas, ya Allah, nggak ngerti lagi gue.”
“Lei, visa kita kan udah kelar, rencananya mau ke London kan?” Dimas menaikan keningnya berkerut lucu.
Gue lantas menghela nafas sebanyak mungkin, demi apa punya laki begini? Dimas mendekat sengaja menciumi pipi gue sampai gue pun menatap dia dengan sedikit melunak.
“Aku belum beres-beres koper,” ujar ku dengan merubah panggilan lo-gue berganti normal lagi.
“Udah beres kok, tuh!” Dimas menujuk kesisi ruangan dengan dagunya. Gue turut mengikuti tatapannya dan benar, koper kita berdua udah siap, rapi dan tinggal dibawa pergi. Perfect.
Gue refleks duduk menatap dia lekat. “Sejak kapan diberesin?” tanya gue heran.
“Dari semalam, waktu kamu tidur. Aku sengaja ngasih kejutan, hehehe.” Tawa Dimas membuat gue turut tersenyum sembari menggelengkan kepalanya tak percaya.
Gue tahu soal keberangkatan Banyu ke Edinburgh, walau agak merasa tak nyaman bahkan gue ngerasa cukup sedih karena gue pikir dia pergi ya karena perjodohan yang batal. Tapi, Banyu menjelaskan alasannya yang bahkan semakin membuat gue berkali-kali lipat makin sedih. He misses his brother, isn’t that sadder? Gue pikir Dimas nggak menyadarinya ternyata suami gue ini pekanya minta ampun. Pagi itu sembari menuju bandara, Dimas jelaskan alasannya turut ikut Edinburgh bersama sahabatnya yang lain. Mereka ingin meyakinkan Banyu disana baik-baik saja, termasuk perasaan gue sendiri. Jujur gue pengen banget Banyu bahagia, bertemu seseorang yang menyayanginya dengan tulus. Banyu itu amat hangat walau sayang, sifat dingin dan tertutupnya sering kali membuat orang awam salah paham padanya.
Maka, hari itu kita berlibur ke Edinburgh, menyewa satu hotel yang sama dan cukup rusuh untuk ke 12 orang yang entah kenapa bisa punya waktu luang disaat bersamaan. Gue bilang, yang ajaib bukan hanya Dimas seorang, nyatanya masih ada lainnya. Tapi persahabatan mereka bikin gue iri, sahabat gue lainnya sekarang sibuk menjadi ibu rumah tangga, wanita karir bahkan menjadi asing. Gue nggak menyalahkan itu karena manusia akan selalu berproses ditiap usianya, yang gue bisa lakuin hanya menerima dengan lapang dada. Tak semua orang seberuntung Dimas dan sahabat-sahabatnya.
Ssst…! kapan-kapan gue bakalan ceritain, gimana rusuhnya bulan madu kita berdua. Gue sama Dimas nyaris jadi tontonan eksklusif 10 mata lelaki pasukan gang Biawak saat kita lagi memadu kasih. Gue bilang apa, hidup gue nggak jauh-jauh dari kepergok orang terdekat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
