
Kehidupan Aruna yang seorang introvert mulai berubah akibat video viral tentang ibunya. Namun apa sebenarnya cerita di balik video yang membuat geram netizen itu?
Aruna merapikan file-file yang barusan ia print. Udara dingin berhembus dari AC central yang berada di atasnya; alasan mengapa ia begitu membenci ruang fotokopi ini. Ia tak begitu terbiasa dengan udara dingin. Bahkan dengan argumen itu, ia bisa membedakan siapa di antara rekan-rekan kerjanya yang dibesarkan di keluarga berada dan mana yang berasal dari rumah tangga yang biasa-biasa saja.
Mereka yang dibesarkan dalam keluarga sederhana, seperti dirinya, tak begitu tahan dengan dingin. Kantornya pernah mengirimnya ke Surabaya dengan kereta yang menurutnya mengigil, hingga ia harus mengenakan dua lapis pakaian, masih ditambah dengan jaket. Namun ketika ia menatap berkeliling ke lorong kereta eksekutif itu, yang ia lihat hanyalah para penumpangnya yang bersantai dengan pakaian tipis, seolah hawa dingin itu sama sekali tak menganggu mereka. Aruna hanya bisa menghela napas menyaksikannya; tahu bahwa mereka beruntung dibesarkan dalam rumah yang ber-AC; tak seperti dirinya yang hanya mengandalkan kipas angin butut semenjak kecil demi mengusir gerah yang mengusiknya semenjak matahari terbit.
Ia hampir bersin, namun menahannya. Teman-temannya pasti akan memandangnya nanti. Ia amat tak suka menjadi pusat perhatian. “Anggap saja aku tak ada, maka itu adalah hari sempurna bagiku,” begitu pikirnya. Suara printer yang dinyalakan rekan kerjanya, entah siapa namanya, menelan pikiran itu. Ia akhirnya sadar bahwa ia terlalu lama melamun dan sebaiknya segera kembali ke bilik cubicle-nya, sebelum ada yang menyapanya dan ia terpaksa berbasa-basi dengan mereka.
“Hei, kau yang namanya Aruna kan?”
“Tuh kan!” hela Aruna kesal dalam hati. Iapun memasang senyum manis yang dipaksakan dan menoleh dengan berat hati. Sebuah senyum anti-Duchenne, istilahnya.
“Ya? Ada apa?”
“Hei, apa ini benar ibumu?” seorang gadis berpakaian serba Uniqlo dari atas sampai bawah, sebuah brand yang takkan mampu ia beli, menampakkan layar smartphone-nya kepadanya. Di sekitarnya, beberapa gadis lain sudah berkumpul mengelilinginya sembari terkikik.
Mata Aruna membelalak begitu melihat ke layar itu.
“A ... apa-apaan ini?”
***
“Aku tahu siapa dia. Dia itu tetanggaku.” komentar itu memiliki like paling banyak, hingga ribuan, dan terus bertambah. Update terakhir aplikasi itu mengizinkan penggunannya untuk melihat kenaikan jumlah like secara real-time, fitur yang kini membuatnya pusing karena angkanya terus bergerak naik.
“Ya, setahuku anaknya kerja di PT Trans Millenia.” balasan itu tepat di bawahnya dan mendapat like yang tak kalah banyak.
“Ya ampun, gimana rasanya Kak tetanggaan ama ibu-ibu model beginian?” itu hanya satu dari berbagai komentar ejekan yang menyusulnya, dan bisa Aruna bilang, paling “ramah”. Komentar lain lebih frontal, keji, dan kasar.
“Mama!” pekiknya dalam hati, “Apa yang Mama lakukan?”
Ia kini bersembunyi di dalam biliknya yang selama ini memberinya perlindungan. Namun, kini bahkan bentengnya itu tak mampu lagi menaungi dirinya dari cekikikan pegawai-pegawai lain yang melewatinya, bahkan sesekali melempar pandangan ke arah biliknya karena penasaran.
Aruna tak tega menyaksikannya lagi, namun percuma, video itu terus-menerus terulang di kepalanya.
“Bu, jangan begini!” ujar perempuan yang ia kenali sebagai tetangganya itu dengan gusar, “Kami juga warga sini! Kami punya hak yang sama di kampung ini!”
“AH, PERSETAN!” seorang wanita paruh baya melempar keranjang sampah yang tadinya diletakkan di depan rumahnya itu ke arah tetangganya. Aruna tahu benar siapa wanita paruh baya itu; ia tak lain adalah ibunya sendiri.
“Ibu, jangan begitu!” seorang gadis muda muncul. Aruna juga mengenalinya. Ia adalah putri dari tetangga yang diamuki ibunya itu.
Aruna lalu tercekam ketika di video itu, ibunya meludahi mereka berdua.
***
“Guys , kalian sudah lihat belum sih video yang sedang viral ini? Ada ibu-ibu yang mengamuk di perumahan gara-gara keranjang sampah tetangganya diletakkan di depan rumahnya. Heboh banget deh Guys !”
“Guys , update nih soal video emak-emak yang lagi viral. Menurut info sih, kejadiannya tuh di Depok dan emak-emak ini namanya Seruni. Sama masyarakat sekitar, emak-emak ini memang dikenal suka berulah.”
“Gue shock banget lho pas liat videonya. Gue pikir marah karena apa, ternyata cuma karena nggak terima tetangganya naruh tempat sampah di depan rumahnya. Padahal menurut penuturan warga, setiap pagi truk pengangkut sampah memang mengangkut sampah-sampah warga di lokasi-lokasi tertentu, salah satunya di depan rumah Bu Seruni ini, jadi tetangganya nggak salah ...”
“Guys akhirnya gue dapat info lebih lanjut nih soal kasus ibu-ibu mengamuk di Depok. Jadi tetangganya ini dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Bu Itok dan nama anak perempuannya yang diludahi adalah Sarah.”
“Gue tuh bener-bener marah ya pas Sarah ini diludahi. Bener-bener nggak terima gitu! Kan dia cuman pengen ngelindungin ibunya dari amukan tetangganya yang gila ini.”
Aruna tercekam melihat video-video di Tiktok yang silih berganti mengisi “for your page”-nya. “Gila? Kalian nggak tahu cerita yang sesungguhnya!” pikirnya.
Matanya kembali membelalak ketika melihat video tentang amukan ibunya itu kini telah dilihat 1,6 juta kali.
“Apa? Barusan hanya 10 ribu views ! Kenapa bisa ...” pekiknya dalam hati.
Akhirnya Aruna sadar bahwa ia menyaksikan video yang berbeda. Video yang ia tonton ini merupakan hasil repost dari Rage Entertainment, perusahaan media sosial yang memposting ulang video-video viral hingga mendulang jutaan follower. Bahkan, saking suksesnya, mereka disebut sebagai BuzzFeed-nya Indonesia.
Aruna bahkan tak tega membaca kolom komentarnya.
Suasana ramai di sekitarnya membuatnya sadar bahwa ini saatnya jam pulang. Ia kemudian buru-buru mengemasi barang-barangnya dan bersiap pergi. Namun di sepanjang koridor, bahkan ketika ia bernaung di dalam lift, orang-orang masih menatapnya. Beberapa dari mereka tampak ingin berbicara dengannya, namun menahan diri. Dengan segera, ia bergegas keluar dari lift begitu pintu membuka. Namun di luar pun, orang-orang masih memandanginya sambil berbisik-bisik kepada rekan mereka.
Aruna tak mempedulikannya dan dengan tergesa-gesa menjejakkan langkahnya keluar dari lobi.
***
“Heh, opo iki [Hei, apa ini]?” teriak Seruni sembari menggotong beberapa kantong sampah. Ia tak peduli apabila lindi, cairan berbau busuk yang bercampur di dalam sampah itu, mulai menetes dan mengotori jalanan beraspal di bawahnya. Ia menghampiri rumah tetangganya dengan langkah penuh amarah. Adegan itu diikuti dengan dilemparkannya sampah-sampah itu ke dalam rumah tetangganya. Bu Itok, sang tetangga, kala itu belum terlihat di dalam kamera.
“Wis tak kandhani to [Sudah kubilang kan], ojo ngguwang sampah nang ngarep omahku [jangan membuang sampah di depan rumahku]!”
“Bu, jangan begini!” Bu Itok membalas, wajahnya yang gusar kini terlihat di depan kamera. “Kami juga warga sini! Kami punya hak yang sama di kampung ini.”
“AH, PERSETAN!” wanita paruh baya itu kemudian melemparkan kantong-kantong sampah itu hingga isinya berceceran di halaman rumah mereka yang sepetak.
“Ibu, jangan begitu!” Sarah muncul dari dalam rumah, masih memakai seragam sekolahnya. “Kami juga bayar uang sampah, sama seperti Ibu. Jadi Ibu jangan—“
Belum sempat Sarah menyelesaikan perkataannya, Seruni buru-buru meludahinya.
“Sudah, Bu! Sabar!” beberapa orang tetangga berusaha menariknya. Di situlah video itu berakhir.
Aruna kemudian menurunkan layar smartphone-nya di hadapan ibunya.
“Apa ini, Ma? Kenapa bisa viral dalam waktu sekejab?”
Seruni tampak kebingungan, “Apa itu viral, Nduk [panggilan untuk anak perempuan]?”
“Ugh,” Aruna pusing berusaha menjelaskannya, “Artinya jutaan orang sudah menonton video ini. Kenapa Mama marah-marah seperti ini? Kan sudah Aruna bilang, jika Mama ada masalah dengan tetangga kita itu lagi, bilang dulu sama Aruna, biar kita selesaikan baik-baik.”
“Baik-baik? Mereka itu orang nggak beradab!” Seruni berbicara dalam bahasa Indonesia. Ia hanya berbicara bahasa Jawa ketika ia benar-benar marah dan tak bisa mengendalikan ucapannya, “Kamu tahu sendiri kan mereka sengaja melakukan ini semua?”
“Memviralkan video ini maksud Mama? Mustahil, Ma!” kegundahan terdengar dalam suara Aruna, “Siapa yang merekamnya? Bukan Bu Itok atau anaknya kan, sebab mereka ada di video ini? Suaminya? Pak Itok kerja jam segitu, Ma!”
“Mama tak tahu siapa yang merekamnya, mungkin orang lewat. Ibu tak mengenalnya. Namun maksud Mama, mereka sengaja menaruh sampah di depan kita. Mama tahu karena Ibu bertanya ke rumah Pak RW.”
“Apa?”
“Mereka mengusulkan agar tempat untuk menumpuk sampah yang ada di mulut gang kita dipindahkan ke depan rumah kita. Alasannya agar truk pengangkut sampah lebih mudah mengambilnya. Ini semua ide mereka supaya orang-orang membuang sampah di depan rumah kita—“
“Tapi itu kan wajar, Ma! Di tempat lama juga kita meletakkannya di depan rumah seseorang. Mama jangan sudzon ...”
“Sudzon? Pada mereka?” kini malah emosi ibunya yang naik, “Kau tahu kan apa yang mereka katakan tentang almarhum papamu? Mereka—“
Perkataan Seruni terhenti oleh bunyi notifikasi yang nyaring. Dentingnya terulang berkali-kali hingga Aruna mengira telepon genggamnya mengalami malfungsi. Ia segera menggeserkan jarinya untuk mematikan lock screen-nya dan terhenyak melihat begitu banyak komentar masuk ke dalam akun media sosialnya.
Aruna bisa menebak bahwa kini, semua orang tahu akun pribadinya.
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰