
Kemarin ada yang request nih lewat inbox, Bang bikinin artikel tentang Oppenheimer dong, kan lagi tayang tuh filmnya bikinan Oom Christopher Nolan. Wah, sayangnya gue belum nonton ya karena nggak ada duit dan milih nunggu bajakannya emang kurang tertarik ama film serius gitu. Namun karena udah rikuesan pembaca setia, apa boleh buat.
Setelah menilik kisah hidup Oppenheimer, tak heran Oom Nolan yang terkenal nggak sembarangan bikin film ini sengaja memilih menggarap biopiknya. Soalnya kisah hidupnya...
Lahir dengan nama lengkap Julius Robert Oppenheimer pada 22 April 1904 di New York, ia lahir dari keluarga imigran Yahudi yang mengungsi dari Jerman (kala itu masih disebut Kerajaan Prussia). Ayahnya (yang juga bernama Julius) datang ke Amerika Serikat saat masih remaja pada tahun 1888 hanya dengan modal nekad. Ia tak punya uang sepeserpun, bahkan tak bisa berbahasa Inggris.
Namun yang namanya Yahudi yah, hanya dalam waktu satu dekade, jerih kerja kerasnya membuahkan hasil dan ia akhirnya menjadi kaya raya. Bahkan pada tahun 1912, keluarga Oppenheimer mampu pindah ke kawasan elite di Manhattan, bahkan mengoleksi karya seni dari pelukis ternama. Bukan main-main, koleksi keluarga pecinta seni itu mencakup karya asli Pablo Picasso dan Vincent van Gogh. Robert (nama akrab Oppenheimer) juga memiliki adik laki-laki bernama Frank.
Oppenheimer adalah seorang sarjana serba bisa. Nggak cuman jago di bidang sains saja, ia juga dikenal mahir menunggang kuda di ranch (peternakan) milik keluarganya di New Mexico. Pada usia 18 tahun, Oppenheimer yang memiliki otak cemerlang diterima masuk ke Harvard College, salah satu universitas paling bergengsi di Amrik. Hanya butuh waktu tiga tahun saja bagi Oppenheimer untuk lulus dengan gelar sarjana cum laude.
Namun usahanya untuk menempuh pendidikan lanjut tidaklah semulus harapannya. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih bergengsi, iapun memilih hijrah ke Inggris. Di sana ia diterima di salah satu kampus terbaik di Eropa, bahkan dunia, yakni Cambridge. Di sana ia berguru dengan fisikawan ternama seperti Ernest Rutherford (penemu proton) dan JJ Thomson (penemu elektron sekaligus pencetus model atom).
Walaupun studinya lancar, Oppenheimer mengaku kurang sreg kuliah di Cambridge. Menurutnya pekerjaannya di sana sangatlah membosankan. Dia juga terkenal memiliki hubungan “antagonis” alias bermusuhan dengan tutornya sendiri, yakni Patrick Blackett (seorang ilmuwan berbakat yang nantinya menjadi pemenang Nobel).
Menurut salah satu teman Oppenheimer, Francis Fergusson, Oppenheimer pernah meninggalkan sebuah apel yang disiram bahan kimia berbahaya di meja Patrick agar dimakannya. Orang tua Oppenheimer sampai kelimpungan berusaha meyakinkan pihak kampus agar tak mengeluarkan anak mereka, atau bahkan melaporkan usaha pembunuhan itu ke polisi. Mungkin karena koneksi keluarganya yang tajir melintir, Oppenheimer akhirnya tidak jadi dijebloskan ke penjara, melainkan diharuskan bertemu dengan seorang psikiater di London.
Di Inggris, Oppenheimer mengalami depresi berkepanjangan, bahkan berubah menjadi pribadi yang emosian dengan amarah yang meletup-letup. Pernah dalam suatu hari, Francis, sahabatnya, berkelakar bahwa ia hendak menikahi kekasih Oppenheimer. Namun candaan itu justru berujung pada aksi Oppenheimer yang malah menerjangnya dan berusaha mencekiknya. Ingat lho, padahal itu sahabat karibnya. Oppenheimer yang jenius tapi penyendiri itu bahkan pernah mengatakan kepada kakaknya bahwa dia "lebih membutuhkan fisika ketimbang teman".
Pada tahun 1926, Oppenheimer akhirnya memutuskan meninggalkan Cambridge dan pindah ke Universitas Göttingen, Jerman, untuk belajar di bawah bimbingan Max Born. Kala itu Universitas Göttingen adalah salah satu pusat fisika teoritis terkemuka di dunia. Oppenheimer berteman dengan ilmuwan-ilmuwan ternama lainnya, termasuk Werner Heisenberg (pencetus Asas Ketidakpastian Heisenberg), Pascual Jordan, Wolfgang Pauli (terkenal banget dong ama Larangan-nya), Paul Dirac (nantinya akan meraih nobel bersama si “kucing” Erwin Schrodinger), Enrico Fermi (penemu reaktor nuklir), dan Edward Teller. Ada di antara mereka yang menjadi teman Oppenheimer, namun ada pula yang nantinya (spoiler dikit) akan menjadi musuh besarnya.
Di Jerman, Oppenheimer rupanya lebih sukses, dibuktikan dengan gelar Doctor of Philosophy (PhD) yang diperolehnya setahun kemudian pada usia yang masih teramat muda, yakni 23 tahun. Kecerdasan Oppenheimer menggema di negara asalnya hingga ia dianugerahi beasiswa oleh Dewan Riset Nasional Amerika Serikat ke Institut Teknologi California (Caltech). Di Caltech, dia berteman dekat dengan Linus Pauling, seorang kimiawan ngetop. Namun lagi-lagi, sifat buruk yang mengoyot dalam diri Oppenheimer (maklum, namanya juga manusia) kemudian menghancurkan persahabatan mereka. Pasalnya Oppenheimer diduga berselingkuh dengan istri Linus, Ava Helen Paulin.
Nantinya ketika Oppenheimer menjadi kepala Proyek Manhattan, ia mengajak Linus untuk bergabung dengannya demi memperbaiki persahabatan mereka. Akan tetapi Linus menolak dengan alasan bahwa dia adalah pecinta damai. Linus Pauling juga nantinya menjadi satu-satunya peraih dua hadiah nobel sekaligus (setelah Marie Curie) di dua bidang berbeda, yakni Nobel Kimia pada 1954 dan Nobel Perdamaian pada 1962.
Kisah cinta terlarangnya dengan si cantik Ava hanyalah awal dari banyak skandal seks yang nantinya dilalui oleh ilmuwan ini. Lalu bagaimana awal kiprah Oppenheimer sehingga ia kemudian dijuluki menjadi bapak “bom atom”. Kita simak lanjutan kisahnya di episode berikutnya.
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰