
Hallo guys, untuk mengisi waktu sementara kita menentukan apa yang akan menjadi novel lanjutan JOGLO, maka gue persembahan sebuah miniseries dari sebuah kumpulan cerpen yang pernah gue tulis lama banget (dan tentunya, ditolak penerbit juga hehehe). Gue nggak inget kapan gue nulis ini, tapi kalo nggak salah zaman-zamannya gue masih kuliah dulu. Sebelum ini, gue hanya pernah menulis satu cerita detetktif pas gue masih kelas 3 SMA (kalo kalian mau baca kapan-kapan gue terbitin di sini). Karena ini...
Matt menyalakan pemantiknya dan mulai menyulut rokok yang dikulumnya. Ia mengembalikan pemantik itu kepadaku dan mengatakan terima kasih dengan mulut tertutup. Matt adalah pemuda Swedia bermata biru yang tinggal di Inggris seumur hidupnya. Karena itu aksen Inggrisnya sangat kental. Frank, sebaliknya, adalah pemuda berambut pirang asal Perancis yang bahasa Inggrisnya kadang terbata-bata. Karena itu ia cukup pendiam.
“Marg pasti akan memarahimu nanti.” kataku dengan aksen Inggris yang dibuat-buat.
Matt mengisap rokoknya sekali lalu melepaskannya dari mulutnya. Dia mendesis sebentar dan berkata, “Kita ada di atas gunung bersalju dengan suhu minus 5 derajat. Pilihannya adalah aku merokok atau minum.”
Aku memutar-mutar bola mataku. Marg lebih tidak menyukai salah satu dari pria-pria ini mabuk.
Marg menghampiri kami bersama Trish dan Ben. Marg adalah gadis berambut hitam dengan mata coklat yang tajam. Ia pemimpin rombongan dan yang tertua di antara kami. Trish adalah kekasih Frank. Ia segalanya berkebalikan dengan Marg. Ia seorang gadis Amerika yang periang dan berambut merah. Sementara Ben adalah mahasiswa kedokteran yang kikuk. Sejak kecil ia tinggal di Singapura, sehingga cukup akrab dengan mahasiswa Asia seperti aku.
“Kau benar. Kita akan lewat jalan sana, Adi.” Marg mengucapkan namaku dengan lafal yang kaku. Namaku jadi seolah-olah terdengar seperti Edi.
“Malam akan segera turun. Sebaiknya kita mencari tempat untuk bermalam.” Frank menatap Trish sebentar, lalu memalingkan muka. Kurasa mereka sedang bertengkar atau apa. Sejak berangkat tadi mereka tak berbicara sepatah kata pun.
“Kita akan lewat jalan sana.” tunjuk Marg.Ia berjalan mendahului kami dan berkata sebentar.
“Matikan rokokmu, Matt!”
Aku hanya menatap Matt sambil tersenyum geli ketika akhirnya ia membuang rokoknya yang masih menyala ke atas salju dan menginjaknya.
***
Kami berenam berjalan melintasi salju.
“Aku tidak mengerti,” bisik Matt. “Mengapa di resort seperti ini, kita bukannya main seluncur tapi malah mendaki gunung sial ini.”
“Ssst!” bisikku balik, “Marg bisa marah.”
“Ya, aku tahu ini ulang tahunnya, tapi ini keterlaluan.”
“Sudahlah, lagipula ini musim dingin terakhirku di Inggris. Aku belum pernah mendaki gunung bersalju sebelumnya.”
“Kita pernah di Wales.”
“Ralat, itu bukit. Dan saat itu musim panas.”
“Tapi rasanya seperti mendaki gunung.”
Aku tertawa. Matt terbiasa mengeluh tentang apapun.
“Omong-omong, apa yang akan kau lakukan sepulangnya ke Indonesia?”
Aku menjejakkan kakiku ke salju yang terasa makin dalam. “Entahlah, jadi dosen mungkin?”
“Eww.” lenguh Matt dengan ekspresi jijik. “Itu membosankan. Hei, apa aku boleh kesana kapan-kapan? Kau tahulah, liburan tropis?”
Aku mengernyitkan dahiku yang mulai kaku oleh dinginnya udara. “Emang kau ada uang?”
“Tentu aku punya tabungan.”
“Jika kau punya tabungan, kau takkan tinggal bersama kami di flat yang berisi empat orang dalam satu kamar!”
“Hei, aku menyimpannya, makanya itu disebut tabungan …Aaaargh!!!”
Kejadian itu terjadi sepersekian detik. Sesuatu tiba-tiba menerkam Matt di tengah percakapan kami.
Salju, ya salju, Matt diserang oleh salju.
Namun baru setelah sedetik aku mulai berpikir dan menyadari apa yang sedang terjadi.
Itu bukan salju, namun sesuatu dengan bulu putih yang berkilau yang menerkam Matt.
Seekor serigala salju.
Aku hanya terdiri di sana mendengarkan teriakan Matt.
Aku terpaku di sana, membeku.
“Hei!” terdengar teriakan di belakangku. Teman-teman kami datang untuk membantu.
Serigala itu merasa terganggu dengan kedatangan kami. Ia menatapku dengan matanya yang berwarna emas. Ia menggeram dan memperlihatkan gigi taringnya yang meruncing dari atas mulutnya. Kemudian dengan sangat cepat ia menghilang begitu saja.
Marg yang datang pertama kali, “Ada apa? Astaga!”
Ia bergegas menolong Matt yang masih tersungkur di atas tanah. Trish menjerit. Sementara Frank dan Ben segera membantu Marg.
“Apa yang terjadi?” Marg menatapku.
Aku hanya terdiam membeku.
***
Aku dan Ben masih menggendong Matt yang terluka. Atau lebih tepatnya menyeretnya di atas salju, karena jelas Ben sudah kelelahan.
“Frank, bantu kami!” teriak Ben dengan napas ngos-ngosan. “Gantikan aku!”
Namun Frank hanya menyahut.
“Kau dokternya di sini. Lebih aman dia bersamamu.”
Ben mendengus kesal. Marg akhirnya berhenti dan menunjuk ke bawah.
“Lihat, itu sebuah pondok!”
Kami pun melihat sebuah rumah yang cukup besar di bawah bukit yang kami tanjaki. Sebuah stasiun gondola juga terlihat.
“Mungkin ada orang di sana.”
***
“Halo?” Ben berteriak di depan pintu, namun tak ada jawaban.
Tiba-tiba terdengar suara kaca pecah.
“Frank!” seru Marg.
“Apa? Tidak ada orang di sini. Kita sudah berteriak-teriak selama beberapa menit.” Frank lalu melompat masuk melalui jendela yang dipecahkannya dan membuka pintu depan dari dalam.
“Silahkan.”
Kami dengan enggan masuk. Namun hari sudah menjelang malam dan tak ada satupun lampu yang dinyalakan. Jelas tidak ada seorangpun di sini.
Ben dan aku mendudukkan Matt di sebuah sofa.
“Kurasa ini sebuah hotel.” kata Matt.
“Kenapa sepi sekali?” tanya Marg. “Ini musim liburan kan? Seharusnya ramai.”
“Iya. Bukankah kau katakan seharusnya ada banyak orang yang mendaki gunung bersama kita. Tapi nyatanya kita tidak bertemu seorangpun.”
“Ya, kita malah bertemu serigala.”
“Kau yakin itu serigala, Matt?” Marg masih ragu. Aku mengerti keraguannya, sebab serigala di pulau Inggris sudah lama punah. Bahkan yang ada di daratam Eropa-pun amat langka. Aku juga heran, darimana asal serigala itu.
“Ya, kurasa aku tahu apa yang menyerangku. Jelas bukan kucing yang manis.” katanya sinis sambil mengaduh kesakitan.
“Kalau ini benar hotel,” kata Frank, “Aku akan mencari bar-nya.” Frank bergegas masuk lebih dalam.
“Hei!” Marg mengejarnya. “Kita bukan pencuri!”
“Bawakan aku brandy!” seru Matt.
“Aku butuh mandi air hangat. Aku akan naik ke atas mencari kamar mandi.” kata Trish.
“Aku akan mencari telepon. Siapa tahu kita bisa mendapat bantuan.” Ben berkata.
Akhirnya hanya tinggal aku dan Matt di lobi hotel itu.
“Hei mate, maaf soal tadi.” kataku pelan.
“Soal apa?”
Tidak menolongmu waktu kamu diserang…aku benar-benar…”
“Ah, lupakan saja!” kata Matt sambil tersenyum. “Kau ketakutan. Aku mengerti. Mungkin aku juga begitu jika jadi kamu.”
Tiba-tiba terdengar sesuatu terjatuh. Tapi bukan dari arah kemana yang lain pergi. Kusadari ada seseorang selain kami yang ada di sini.
“Sebentar.” Aku berdiri dan menghampiri asal suara itu.
Sebuah pintu kayu menyambutku. Tepinya penuh dengan ukiran bergaya gotik yang sudah sangat tua. Pintu antik ini membuktikan tempat ini telah lama berdiri. Aku membuka pintu dan bertanya dalam kegelapan.
“Ada seseorang di sini?”
Namun tak ada apapun di sana. Mungkin suara tadi hanya perasaanku saja.
Tiba-tiba sesuatu menarik perhatianku. Sebuah buku tergeletak di atas meja. Aku membaca judulnya yang dicetak keemasan di atas sampul kulit yang lusuh.
“Codex Versiphellis.”
Aku membukanya dan terbelalak.
***
Trish menikmati air hangat yang mengucur dari atas kepalanya. Ia benar-benar merindukan rumahnya saat ini.
Tiba-tiba ia mendengar seseorang memasuki kamarnya.
“Siapa itu?” serunya dari dalam kamar mandi.
Tak ada jawaban.
Trish mematikan shower-nya dan melilitkan handuk ke tubuhnya. Ia berseru sekali lagi, “Marg, itu kamu?”
Namun masih tak ada jawaban.
Ia membuka pintu kamar mandi dan menjerit ketika dilihatnya tubuh seseorang menghalanginya.
“AAAAAAAA!”
BERSAMBUNG
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰