PAMALI 1: “JANGAN MEMETIK BUNGA EDELWEIS ”

6
3
Deskripsi

Hai pembaca. Apa kabar? Ini adalah cerita pertamaku dan 20 cerita yang akan kubagikan. Cerita- cerita tersebut akan memiliki satu benang merah, yakni semua mencerminkan akibat yang akan kita terima apabila kita melanggar suatu pantangan.

Atau istilahnya, “pamali”.

Mungkin kita sendiri tak menyadarinya, tapi lingkungan tempat tinggal kita pasti mempercayai  larangan tertentu. Setiap masyarakat mempunyai mitosnya sendiri dan setiap tempat memiliki pamalinya sendiri. Jika kita berada di suatu tempat yang asing, maka hal paling bijaksana adalah tidak melanggar pantangan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat di daerah tersebut. 

Beberapa pamali mungkin logis bagi akal kita. Namun, beberapa yang lain mungkin beraura mistis dan tak mudah dimengerti alasannya. Akan tetapi percayalah, semua larangan itu memiliki maksud untuk menjauhkan kita, ataupun lingkungan tempat kita berada, dari keburukan ataupun ancaman marabahaya yang belum kita pahami. 

Salah satu pamali yang banyak didengar oleh para pendaki gunung adalah larangan memetik bunga edelweis. Bunga yang biasa tumbuh di puncak gunung itu memang terlihat indah dan eksotis, sehingga tak heran banyak pendaki yang tergoda memetiknya sebagai suvenir. Namun perlu diperhatikan, tak hanya merusak lingkungan, perilaku itu juga tidak menghormati wilayah yang kalian datangi. Yang aku pahami, di semua kebudayaan kuno di dunia ini, gunung dianggap sebagai lokasi mistis dimana “sesuatu yang tak berasal dari dunia ini” biasa bermukim, jauh dari gangguan manusia. Seorang pendaki harusnya tak melupakan bahwa ia semata-mata hanyalah “tamu”  dan harus mengikuti semua aturan yang berlaku di sana. 

Tanpa kecuali ...

***

 

“Woi, ngapain kamu?” teriak Yuga, pemimpin tim pendaki itu, “Kamu kan tahu dilarang memetik bunga edelweis di sini!”

“Ah, nggak ada yang lihat. Lagian cuman satu kuntum kok, apa salahnya?” Dennis bersikeras dan memasukkan bunga itu ke dalam tasnya. Pasti akan kelihatan keren jika ia memberikannya pada Febri, gebetannya di kampus saat ia pulang nanti, pikirnya.

“Sudah saatnya melanjutkan perjalanan nih!” komando Yuga kepada teman-temannya begitu waktu istirahat sudah usai. Mereka memanggul barang-barang mereka kembali dan beranjak pergi.

“Ugh,” keluh Dennis sembari susah payah mengangkat tas ranselnya, “Seingatku barang bawaanku nggak seberat ini deh.”

Akibatnya, Dennis merasakan dirinya mulai tertinggal dengan teman-temannya. Mereka terus berjalan, sedangkan Dennis mulai kepayahan. Apalagi, jalanan kini makin menanjak.

“Woi! Tunggu!” seru Dennis dengan napas tersengal-sengal. Namun, mereka sepertinya tak mendengarnya.

Hingga pada suatu titik, Dennis tak mampu melihat mereka lagi.

“Huh, dasar kurang ajar! Setia kawan apanya?” makinya dalam hati. Yang lebih parah lagi, kabut tebal mulai turun. Dedaunan yang tadinya hijau kini terselimuti hawa putih yang mulai membuatnya menggigil.

Nggak masalah, pikir Dennis. Jika ia mengikuti jalan setapak ini, pastilah ia akan tiba di pos berikutnya.

Tiba-tiba ia melihat seseorang di depannya. Dennis langsung berpikir pastilah itu salah satu dari temannya.

“Woi! Kenapa aku tadi diting ...”

Betapa kagetnya pemuda itu ketika menyadari bahwa ia salah orang. Sosok di depannya adalah seorang gadis yang menggendong sebuah ransel usang, sedangkan anggota timnya semuanya adalah laki-laki.

“Oh, maaf ... aku pikir kau adalah temanku. Apa kau melihat mereka?” Dennis salah tingkah, apalagi gadis itu lebih muda darinya dan berwajah cukup manis.

Mimik gadis itu yang awalnya ketakutan berubah menjadi lega. “Apa kau tersesat juga?”

“Aku tidak tersesat. Aku hanya ditinggal teman-temanku tadi.” Dennis masih menjaga egonya, “Apa kau kehilangan arah? Jangan khawatir, kita tinggal mengikuti saja jalan setapak ini.”

“Apa kamu mau menemaniku?”

“Tentu saja!” Dennis bersikap sok pahlawan. “Akan kutemani kau! Aku yakin teman-temanmu tidak jauh.”

Gadis itu tersenyum sejenak, lalu mereka berduapun berjalan beriringan.

“Omong-omong, siapa namamu? Aku Dennis.”

“Aku Caca. Kau sudah sampai ke padang edelweis tadi?”

“Sudah dong. Kau juga tadi habis dari sana ya?”

“Di sanalah aku kehilangan teman-temanku. Aku terlalu sibuk memetik bunga edelweis tadi dan tiba-tiba saja, mereka sudah pergi.”

“Ada takhyul bodoh di sini yang melarang kita memetik bunga itu,”  Dennis tertawa, “Tapi kurasa tak ada salahnya kan kalau hanya satu atau dua kuntum?”

“Apa kita bisa beristirahat sebentar di sini?” tanya gadis itu, “Aku lelah. Entah kenapa tasku menjadi semakin berat setelah kembali dari padang edelweis tadi.”

“Oh, tentu saja!” Dennis menurunkan bawaannya dan duduk, begitu pula gadis itu.

Kabut mulai menggelayut turun lagi. Entah kenapa, Dennis menjadi sangat mengantuk.

Kemudian iapun tertidur.

*** 

 

Ketika terjaga, Dennis terkejut karena tak lagi melihat gadis itu.

“Ca? Caca?” panggilnya, tapi hanya tas ranselnya yang teronggok di hadapannya. Gadis itu sudah tak terlihat lagi.

Mungkin panggilan alam, pikirnya. Dennis kemudian memutuskan untuk menunggu. Namun setelah hampir dua jam, tak ada tanda-tanda gadis itu akan kembali.

“Astaga, apa terjadi sesuatu dengannya?” Dennis mulai merasa cemas. Skenario terburuk adalah gadis itu terperosok dan tak sadarkan diri. Apalagi dengan kabut setebal ini, pasti sangatlah susah baginya untuk melihat apa yang ada di sekitar mereka. Apa mungkin ia masuk ke jurang? Dennis ingin mencarinya, tapi instingnya melarangnya. Terlalu berbahaya. Bisa-bisa ia sendiri juga terperosok karena tak begitu hapal medan di sekitarnya.

Ataukah mungkin gadis itu berjalan sendirian ke pos berikutnya dan meninggalkan tasnya di sini karena kuat lagi mengangkatnya? Entahlah, itu mungkin saja. Namun jika benar begitu, mengapa ia tidak membangunkannya? 

Dennis memutuskan untuk mengejar teman-temannya di pos berikutnya, kemudian mencari gadis itu bersama-sama. Ia  membawa tas ransel gadis itu dan meneruskan perjalanan, sembari berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada gadis itu.

“Ugh, berat juga,” pikirnya dalam perjalanan.

“Woi, Den! Ngapain kamu di situ?” terdengar seruan Yuga ketika Dennis tiba di pos berikutnya . Iapun melihat temannya itu dari balik kabut. Dennis terkejut karena jarak mereka ternyata sedekat ini. Pasti ia tak menyadarinya karena kabut yang terus bergelayut ini.

“Woi, jahat sekali kalian ninggalin aku gitu saja!” teriak Dennis sambil melambaikan tangan.

“Ninggalin apaan? Kan kita sama-sama terus sejak tadi? Kamu lupa kita tadi makan bareng di pos ini?”

“Kamu ngomong apa sih? Aku tadi kalian tinggal dan gara-gara kabut tadi ...”

“Kabut apaan sih? Kamu ngelindur ya? Orang cuaca cerah begini.”

Dennis menoleh dan tak habis mengerti. Yuga benar, tak ada sepercikpun kabut di sini. Lagipula cuaca di sini justru lumayan panas.

Apa jangan-jangan ...

Dennis lalu menceritakan pengalamannya. Walaupun sulit mencerna cerita Dennis, mereka semua sepakat untuk tidak mencari gadis itu dan memberitahukan perkara ini kepada penjaga hutan.

“Perasaanku nggak enak. Setauku nggak ada pendaki lain selain kita, apalagi cewek.” kata Yuga. Namun, tas yang dibawa Dennis menjadi bukti bahwa keberadaan gadis itu bukanlah sekedar omong-kosong.

“Lihat!” salah seorang teman mereka menunjuk, “Ada tag di tas ini!”

Mereka semua melongok ke tas itu dan benar, di resletingnya tergantung sebuah tag berisi nama dan alamat.

“Namanya Caca. Benar, ini gadis yang tadi!”

“Alamatnya di Jagakarsa, searah dengan jalur kita pulang. Bagaimana jika kita sekalian mampir di rumahnya dan mengembalikan tas ini?”

Semua setuju dengan ide itu. Namun pada saat itu, mereka belum sadar bahwa mereka akan menemukan hal-hal yang lebih mengejutkan.

Para pemuda itu sampai di depan rumah Caca dan seorang ibu-ibu menyambut mereka serta mempersilakan mereka masuk. Di ruang tamu, Dennis bergidik ketika melihat foto gadis itu terpajang di ruang tamu, dengan bingkai berpita hitam dan bunga-bunga tujuh warna yang disesajenkan di depannya.

Ibu itu langsung menangis begitu melihat tas yang mereka bawakan.

“Di ... dimana kalian menemukannya?” seru ibu sambil terisak. “Sejak Caca menghilang saat mendaki sepuluh tahun yang lalu, Ibu tak pernah melihat tas ini lagi ...”

Mereka hanya terdiam, terutama Dennis. Ia tak tahu harus berkata apa.

Terlebih lagi, begitu membuka tas itu, mereka langsung tercekam.

Ada kerangka seorang gadis meringkuk di dalamnya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
NovelPamali
Selanjutnya THE SCIENCE OF KEBETULAN (2): PARADOKS ULANG TAHUN DAN STATISTIKA KEAJAIBAN
9
1
Setelah kita membicarakan berbagai kebetulan dalam sejarah, maka kita akan mulai membahasnya dari segi sains. Bisakah segala kejadian “ajaib” tersebut dijelaskan dengan logika? Untuk itu gue punya pertanyaan untuk kalian. Apabila kita mengumpulkan sejumlah orang dalam satu ruangan, maka berapa orang yang kita butuhkan agar paling tidak dua orang dalam ruangan tersebut memiliki kemungkinan memiliki tanggal lahir yang sama? Mungkin kalian akan berpikir kita membutuhkan 365 orang karena kan ada 365 hari dalam setahun (kabisat nggak dihitung ya). Tapi ternyata menurut matematika dan ilmu probabilitas, jumlah yang dibutuhkan jauh lebih sedikit, yakni hanya 23 orang. Lho kok bisa?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan